Cisauk dalam hirarki sistem metropolitan DKI Jakarta

Tabel 21 Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta periode 1990 – 2010 Kawasan 1990 1995 2000 2005 2010 JABODETABEK 27 90 192 489 613 Core 8 23 49 106 127 Outer Zone 12 43 100 276 348 Kab. Bogor 2 10 31 109 137 Kab. Bekasi 3 14 36 106 138 Kab. Tangerang 7 19 33 61 73 Inner Zone 7 24 43 107 138 Kota Bogor 1 4 9 23 29 Kota Bekasi 2 8 16 36 48 Kota Tangerang 2 6 8 13 16 Kota Depok 2 6 10 35 45 Sumber : Direktori REI dan APERSI Tahun 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010. 100 200 300 400 500 600 700 1990 1995 2000 2005 2010 JABODETABEK Core Outer Zone Inner Zone Gambar 21 Grafik Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta Tahun 1990 - 2010 Penelitian ini perlu membahas keberadaan kota mandiri BSD Bumi Serpong Damai mengingat kedekatan fisik, keterkaitan sistem fungsi – hirarki terhadap obyek studi Cisauk dan indikasi perkembangan dimasa yang akan datang. Dibangun sejak 1989, BSD dengan luas total sekitar 6,000 Ha, dan populasi antara 600,000 – 800,000 orang, terdiri dari sekitar 135,000 unit hunian berlokasi di kecamatan Serpong, pada saat ini tengah direncanakan BSD tahap ke II dan ke III, yang mencakup wilayah perkotaan Cisauk. Pembangunan BSD dilatar belakangi antara lain oleh permasalahan urbanisasi yang tinggi di Jabodetabek, tuntutan akan permukiman, sarana dan prasarana yang memadai, masalah pembangunan perumahan secara sporadis, kebijakan pemerintah dalam pengembangan wilayah dan kota, dan pembangunan skala besar. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah2 perkotaan yg semakin kompleks khususnya di kota2 besar metropolitan menuju permukiman ideal adalah dengan cara mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru dalam skala kota sesuai dengan amanat UU NO.4 Th.1992 tentang Perumahan dan Permukiman khususnya mengenai arahan pembangunan perumahan dan permukiman. Dasar pemilihan lokasi BSD adalah memperhatikan arahan pengembangan Jabodetabek, Serpong sebagai wilayah pengembangan, lokasi yang strategis dan jarak yang ideal 7 km ke Tol Jakarta-Merak dan 13.1 km ke Tol Jakarta Serpong, jaringan infrastruktur eksisting sungai, jalan regional, kereta api, gas, jalur tegangan tinggi sebagai modal eksisting kawasan, kepadatan penduduk rendah 10 jiwaha, daya dukung lahan nonproduktifex.perkebunan karet, sawah tadah hujan nonirigasi teknis. Tabel 22 Luas Kawasan Permukiman Skala Besar di Bodetabek tahun 2010 NO PERMUKIMAN LOKASI LUAS ha KETERANGAN 1 BSD City Tangerang 6,000 2 Lippo Cikarang Bekasi 5,500 3 Delta Mas Bekasi 3,000 4 Citra Raya Tangerang 2,500 5 Bintaro Raya Tangerang 2,320 6 Grand Wisata Bekasi 2,000 7 Bukit Sentul Bogor 2,000 8 Lippo Karawaci Tangerang 1,500 9 Citra Indah Bogor 1,200 10 Gading Serpong Tangerang 800 11 Kota Modern Tangerang 770 12 Alam Sutera Tangerang 700 Secara lebih spesifik pembangunan kota mandiri BSD bertujuan 1 menciptakan pusat pertumbuhan baru di Jabodetabek Tangerang, 2 mengurangi beban kota Jakarta, 3 lingkungan kota baru yang hidup dan berkembang, tertata, terkendali, berorientasi lingkungan, lengkap, dan modern. Pembangunan permukiman di BSD ini juga sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai pola pengembangan hunian berimbang standar-medium-exelent 6:3:1 Sumber : Direktori REI Tahun 2010 yang terdiri dari hunian standart 21T70 sebanyak 15,295 unit 61.54, hunian medium 70T250 sebanyak 7,646 unit 30.77, dan hunian excelent T250 sebanyak 1,911 unit 7.69. Sampai dengan saat sekarang pengembangan hunian BSD City telah terbangun 24,852 unit dan terhuni 23,689 unit 95.32. Pada saat ini sedang dilaksanakan pengembangan BSD tahap ke II yang mencakup wilayah perkotaan Cisauk bagian utara lihat Gambar 22. Gambar 22 Rencana pengembangan BSD Terkait dengan pengeloloaan kawasan, khususnya kawasan permukiman di BSD, peran Pemerintah Daerah sebagai regulator, pengawas, dan seharusnya juga sebagai pengelola fasos dan fasum yang sudah diserahterimakan. Dengan BSD mengelola kawasan, terjadi tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan khususnya pada area dan prasarana BSD. Sebagai contoh, untuk standar lingkungan yang ditetapkan untuk kelompok sasaran tertentu, penanganan oleh Pemda dianggap masih belum memadai dengan keterbatasan yang ada. Untuk itu pengembang cenderung untuk mengelola sendiri dengan memperoloeh pendapatan dari Iuran Pengelolaan Kawasan Lingkungan IPKL. Kemungkinan konflik kepentingan lain adalah jika lahan yang diserahkan sebagai fasos dan Cisauk Setu fasum kemudian dibangun oleh Pemda atau oleh Pemda diserahkan ke pihak lain, masalah implementasi kualitas dan standar pembangunan yang akan dilakukan menjadi tidak sinkron. Hal lain adalah perlunya keseimbangan kepentingan umum yang non eksklusif oleh Pemda, sementara pengembang lebih berorientasi dan bermotif pada keuntungan. Hirarki perkotaan metropolitan DKI Jakarta berdasarkan dokumen NUDS National Urban Development Strategy Tahun 2000 disebutkan bahwa Serpong, Ciputat, Depok sebagai PKL dan Cisauk sebagai daerah pedesaan NUDS, 2000. Berdasarkan Perpres No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Metropolitan DKI JakartaJabodetabek Punjur dapat diilustrasikan dalam Gambar 23 dimana terdapat 1 satu PKN yaitu DKI Jakarta, dikelilingi oleh 4 empat PKW yaitu kota Tangerang, kota Depok, kota Bogor, dan kota Bekasi. Kota Tangerang sebagai PKW dikelilingi beberapa PKL seperti Tigaraksa, Balaraja dan Serpong. Kawasan permukiman di Cisauk dalam hal ini merupakan kawasan perdesaan. Gambar 23 Hirarki metropolitan DKI Jakarta sesuai Perpres 54Th 2008 tentang penataan ruang Jabodetabek Punjur Kondisi fungsional di lapangan pada pengamatan tahun 2010 lihat Gambar 24 menunjukkan bahwa dalam hirarki sistem metropolitan DKI Jakarta terdapat PKW Pusat Kegiatan Wilayah baru berupa kawasan permukiman skala besar yaitu kota mandiri BSD Bumi Serpong Damai tahap I yang didukung oleh akses langsung ke Jakarta berupa jalan TOL Jakarta-Serpong dan jaringan kereta api Rangkasbitung - Jakarta. PKL Pusat Kegiatan Lokal Serpong dan Cisauk keduanya berinduk ke PKW baru tersebut melalui jalan akses baru ke Tangerang atau ke Jakarta. Kecamatan Cisauk yang semula berkondisi perdesaan berubah Tangerang Tangsel Serpong Cisauk Perdesaan Depok Bogor DKI Jakarta PKN PKW PKW PKW PKW PKL PKW Bekasi PKL Tiga Raksa BSD tahap I Tangerang Tangsel Serpong Cisauk perdesaan menuju perkotaan Depok Bogor DKI Jakarta PKN PKW PKW PKW PKW PKL PKW Bekasi PKW PKL Tiga Raksa BSD tahap I -I I Tangerang Tangsel Serpong Cisauk perdesaan menuju perkotaan Depok Bogor DKI Jakarta PKN PKW PKW PKW PKW PKL PKW Bekasi PKW PKL Tiga Raksa menuju ke perkotaan. Kondisi ini akan menjadi lebih eksis mengingat jalur kereta api tersebut menjadi rel ganda double track dan pengembangan jalan TOL tersebut ke Balaraja dan selanjutnya menuju ke bandara International Soekarno – Hatta. Gambar 24 Hirarki fungsional metropolitan DKI Jakarta Tahun 2010 Dengan asumsi bahwa BSD tahap II akan dilaksanakan antara kurun waktu 10 sampai dengan 20 tahun, maka dapat diindikasikan keberadaan Cisauk dalam hirarki sistem perkotaan Jakarta dimasa 10 tahun yang akan datang adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 25. Gambar 25 Indikasi hirarki metropolitan DKI Jakarta Tahun 2020 Memperhatikan arah dan besaran rencana pengembangan BSD, maka diperkirakan kedepan peran dan posisi Cisauk masih akan tetap eksis karena sebagian besar wilayahnya tidak termasuk dalam rencana pengembangan tersebut. Agar kawasan permukiman di Cisauk tersebut dapat berkembang secara berkelanjutan, maka perlu dilakukan kerjasama yang sinergis antara pemerintah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan permukiman fungsional di Cisauk lihat Gambar 26.

5.1.3 Cisauk dalam ekosistem DAS Cisadane

Hal yang lazim dalam pengelolaan DAS di Indonesia adalah adanya fragmentasi kegiatan pengeloloaan DAS antar Kementerian Utama dan lembaga bukan Kementerian. Konsekuensinya adalah adanya pembagian wewenang. Kecenderungan fragmentasi pengelolaan DAS semakin menguat dalam kerangka otonomi daerah dimana Pemda ingin mendapatkan kendali yang lebih besar dalam pengelolaan sumberdaya air yang berada dalam jurisdiksi wilayah administrasinya dengan motivasi untuk mendapatkan kendali pemanfaatan sumberdaya air yang lebih besar disamping sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah PAD. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan DAS seringkali dibatasi oleh batas-batas yang bersifat administratif dan kurang memperhatikan batas-batas ekosistem alamiah. Kejadian banjir, tanah longsor, erosi, dan pencemaran air berlangsung menurut batas-batas ekosistem alamiah tersebut. Pada suatu daerah aliran sungai DAS banyak institusi yang terlibat secara langsung atau tidak langsung. Masing-masing institusi merasa berhak melakukan pengelolaan, menggunakan atau melakukan eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing. Akibatnya terjadi tumpang tindih dalam tugas pokok, fungsi dan kewenangan pengelolaannya. Sebagai contoh, pengelolaan di daerah hulu melibatkan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri. Sementara di daerah tengah dan hilir melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum terkait dengan irigasi. Beberapa Kementerian juga mempunyai kewenangan terhadap pengelolaan DAS antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Upaya pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Dalam kaitan hubungan kawasan permukiman di Cisauk dengan DAS Cisadane, perlu diusahakan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di Cisauk tidak mengganggu keberlanjutan DAS Cisadane karena akan berdampak pada bagian hilir DAS tersebut. Gambar 26 Pengembangan Fungsional Kawasan Permukiman di Cisauk

5.2 Status Keberlanjutan

Kawasan Untuk mendapatkan data-data primer yang diperlukan, penelitian ini melibatkan sejumlah responden dan nara sumber di Cisauk dan di luar Cisauk melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Memperhatikan karakteristik yang ada, responden dibagi dalam empat kategori, yaitu: penduduk, pengusaha, pemerintah, dan akademisi ahli. Responden penduduk berasal dari komplek perumahan dan perkampungan dan dipilih yang berusia produktif 17 tahun – 55 tahun sejumlah 190 orang. Responden pengusaha diwakili oleh pengembang sebanyak 10 orang dan responden pemerintah berasal dari aparat desa, Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, dan provinsi Banten sejumlah 16 orang. Responden akademisi atau ahli di bidang perkotaan, sumberdaya alam, pemerintahan, transportasi, dan lingkungan sebanyak 24 orang. Sebagaian dari para ahli ini, sebanyak 10 orang, dianalisis persepsinya dengan menggunakan metode AHP untuk mendapatkan struktur hirarki pengambilan keputusan dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan. Tabulasi data-data hasil kuesioner responden tertera pada Lampiran 5. Keberlanjutan pembangunan di suatu wilayah dapat diketahui dari indikator pembangunan berkelanjutan yang mencakup berbagai dimensi. Pada penelitian ini indikator yang digunakan mencakup tiga dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan oleh Munasinghe 1993. Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria yang mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan. Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan indikator keberlanjutan kawasan dari berbagai referensi dan preferensi pakar. Keberlanjutan dimensi ekologi adalah stabilitas global untuk seluruh ekosistem, khususnya sistem fisik dan biologi Perrings, 1991. Keberlanjutan dimensi sosial adalah terjaganya stabilitas sosial dan budaya, termasuk reduksi konflik yang merusak UNEP et al., 1991. Keberlanjutan dimensi ekonomi adalah pendapatan yang dapat diciptakan secara maksimum dari modal yang minimal dengan manfaat yang optimal Maler, 1990. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Rapsettlement Rapid Appraisal for Settlement. Teknik Rapsettlement adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan permukiman berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Dalam analisis Rapsettlement setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Ordinasi Rapsettlement dibentuk oleh dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek dalam bentuk skala 0 sampai 100. Rapsettlement didasarkan pada teknik ordinasi menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur dengan MDS. Analisis terhadap status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dengan metode MDS Multidimensional Scalling menghasilkan nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman. Secara multidimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 55.93 pada skala keberlanjutan 0 − 100 lihat Gambar 27. Status keberlanjutan kawasan permukiman tersebut diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 26 atribut yang tercakup dalam tiga dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi seperti tersebut dalam Tabel 6, 7 dan 8, termasuk kedalam kategori cukup berkelanjutan.