Kondisi Kota Tangerang Selatan Tinjauan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman

desa tertera pada Tabel 15 dan Peta Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu dan sekitarnya tertera pada Gambar 14 dan 15. Tabel 15 Luas Wilayah di kecamatan Cisauk dan Setu Kec. Cisauk, Kab. Tangerang Kec.Setu, Kota Tangsel No Nama Desa Luas ha No Nama Desa Luas ha 1. Cisauk 484.7 1. Muncul 372.0 2. Sampora 325.0 2. Setu 204.4 3. Cibogo 411.0 3. Bakti Jaya 226.0 4. Suradita 664.3 4. Keranggan 217.0 5. Mekarwangi 434.5 5. Kademangan 322.4 6. Dangdang 512.0 6. Babakan 138.2 Jumlah 2,831.5 Jumlah 1,480.0 Sumber : Laporan Bulanan kec. Cisauk, Mei 2009 dan kec. Setu, Des 2010 Batas-batas wilayah Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu: - Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Pagedangan dan Serpong - Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Serpong - Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Pagedangan dan Legok - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor Berdasarkan data Laporan Bulanan kecamatan Cisauk bulan Mei 2009 dan Kecamatan Setu bulan Desember 2010 mempunyai: - Jumlah desa = 12 Desa - Jumlah RWRT= 93 491 - Jumlah penduduk= 105,307 jiwa Jumlah rumah yang terdapat di kawasan permukiman di Cisauk pada tahun 2009 adalah sebanyak 23,9495 unit yang dapat dibagi kedalam 3 kelompok berdasarkan kondisi rumahnya yaitu rumah permanen sebanyak 14,665 unit atau 61.23 , semi permanen sebanyak 7,553 unit atau 21.54 , dan temporer sebanyak 1,731 unit atau 7.23. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17. Jumlah rumah terbanyak adalah desa Kademangan yaitu sebanyak 6,136 unit dan yang paling sedikit adalah desa Sampora yaitu sebanyak 717 unit. 63 63 Gambar 14 Peta Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu, provinsi Banten Kec. Cisauk Kec. Setu Gambar 15 Kawasan Permukiman di Cisauk dan sekitarnya Tabel 16 Jumlah Penduduk Kec. Cisauk dan Kec. Setu Tahun 2009 Kec. No Desa Luas Wilayah ha Jumlah Pendudk jiwa Laki- laki Perem- puan Jumlah KK Kepa- datan Ket Cisauk 1 Mekarwangi 434.05 5,358 2,716 2,642 1,223 12.34 2 Dandang 512 4,892 2,406 2,486 1,067 9.55 3 Suradita 664 12,632 6,594 6,038 2,171 19.02 4 Cibogo 411 9,270 4,447 4,823 1,744 22.55 5 Cisauk 484.7 10,305 5,097 5,208 2,127 21.26 6 Sampora 325.0 4,158 2,223 1,935 1,066 12.79 BSD Setu 7 Muncul 372.0 7,987 4,108 3,879 2,143 21.47 8 Setu 264.2 9,197 4,583 4,614 2,263 34.81 BSD 9 Bakti Jaya 226.0 15,200 7,900 7,300 3,800 67.25 BSD 10 Keranggan 217.0 5,313 2,610 2,703 1,224 24.48 11 Kademangan 322.4 12,742 6,420 6,261 3,321 39.52 12 Babakan 138.2 8,253 4,140 4,113 1,423 59.71 BSD Jumlah 4370.55 105,307 53,244 52,002 23,572 28.73 Keterangan : Monogram Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2009, BSD artinya masuk wilayah pengembangan BSD. Cisauk Setu Kondisi sosial masyarakat di Cisauk sepertinya mewakili potret umum kawasan di Tangerang yang terdesak oleh industri dan pertumbuhan yang cepat. Masyarakat, secara umum, tidak siap menghadapi perubahan. Mereka yang dulunya hidup dari bertani, tidak lagi memiliki tanah. Anak-anak muda nyaris tanpa ketrampilan yang memadai, tergiring ke pabrik-pabrik yang tersebar di Kabupaten Tangerang. Di kanan kiri, terbentang komplek perumahan,bahkan sebuah komplek perumahan terhampar memotong’ desa. Misalnya, jarak dengan tetangga atau saudara yang awalnya dekat, tidak lagi bisa ditempuh dalam waktu singkat karena umumnya perumahan dikelilingi pagar. Jalan harus berputar jauh, butuh waktu dan ongkos. Perubahan-perubahan ini, membawa dampak yang tidak sederhana terhadap kultur dan psikologi masyarakat. Tabel 17 Jumlah dan kondisi rumah di Kec. Cisauk dan Kec. Setu Tahun 2009 Kec No. Desa Temporer Semi Permanen Permanen Jumlah Cisauk 1 Mekarwangi 500 200 180 880 2 Dangdang 97 485 346 928 3 Suradita 490 1,500 700 2,690 4 Cibogo 312 420 155 887 5 Cisauk 210 258 1,755 2,223 6 Sampora 17 25 675 717 Jumlah 1,626 2,888 3,811 8,325 Setu 1 Kranggan 26 150 961 1,137 2 Muncul 20 60 1,020 1,100 3 Setu 17 950 932 1,899 4 Babakan 25 1,400 810 2,235 5 BaktiJaya . 10 95 3,012 3,117 6 Kademangan 7 2,010 4,119 6,136 Jumlah 105 4,665 10,854 15624 Jumlah Keseluruhan 1.731 7.553 14.665 23.949 Persentase 7,23 21,54 61,23 100,00 Sumber: Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu, tahun 2009 Dalam skala regional kawasan permukiman di Cisauk memiliki potensi yang dapat mempengaruhi perkembangan kota yaitu: 1. Kecamatan Cisauk memiliki akses yang tinggi ke beberapa simpul pelayanan utama, yaitu ke Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bogor. Hal tersebut terlihat dengan adanya jaringan jalan Kabupaten, akses ke jalan tol Serpong yang menghubungkan Serpong dengan Jakarta Bintaro. 2. Kecamatan Cisauk merupakan hinterland daerah belakang bagi pengembangan Serpong, sehingga segala perkembangan yang terjadi di Serpong akan berpengaruh pada perkembangan di kecamatan Cisauk. 3. Berdasarkan RTRW Kabupaten Tangerang tahun 2006, kecamatan Cisauk berfungsi sebagai kegiatan permukiman dan perkotaan. 4. Adanya Puspiptek sebagai pusat pengembangan teknologi. 5. Adanya sarana pendidikan tinggi ITI, sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. 6. Adanya kawasan industri Tekno Park yang dapat menyerap tenaga kerja. Disamping itu dalam skala regional kawasan permukiman di Cisauk memiliki permasalahan diantaranya adalah: 1. Adanya akses yang tinggi ke beberapa simpul pelayanan utama, yaitu ke Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bogor, dapat mendorong percepatan pembangunan dan perkembangan kota yang tidak terkendali. 2. Terjadi arus commuter yang tinggi dimana hal ini dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas.

4.3.2 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk pada tahun 2009 terdiri dari penggunaan lahan terbangun sebesar ± 2,045.92 ha atau 47.74 dan tidak terbangun ± 2,239.93 ha atau 52.26. Penggunaan lahan untuk permukiman sebesar ± 1,978.50 ha atau 46.16 , pertanian lahan basah sebesar ± 931.12 ha atau 21.73 dan lahan kering ± 668,00 ha atau 15,59. Masih tersedianya lahan bagi pengembangan kegiatan perkotaan yang cukup apabila hal ini dilihat dari masih luasnya lahan yang belum terbangun. Permasalahan dan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Cisauk saat ini antara lain pola penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk belum terkendali dan belum terstruktur dengan baik. Permasalahan lain adalah belum adanya kejelasan beberapa fungsi ruang kawasan seperti antara fungsi kawasan lindung konservasi dan kawasan budidaya. Penyebaran permukiman penduduk yang tidak teratur cukup menyulitkan pelayanan sarana dan prasarana lingkungannya. Penggunaan lahan di Cisauk secara lebih terinci seperti tertera pada Tabel 18. Tabel 18 Penggunaan Lahan di Cisauk No Penggunaan Lahan Luas ha Prosentase I Lahan Terbangun 1. Pemukiman Pekarangan 1,978.50 46.16 2. Bangunan Pemerintah, Sekolah. 21.32 0.50 3. Perdagangan 36.10 0.84 4. Industri 10.00 0.23 Subtotal 2,04.,92 47.74 II Lahan tidak terbangun 1. Sarana olah raga 26.00 0.61 2. Pertanianlahanbasah 931.12 21.73 3. Pertanian lahan keringladangtegalan 668.00 15.59 4. Perkebunan 342.86 8.00 5. Empangkolam 63.79 1.49 6 Danaurawa 55.70 1.30 7 Pekuburan 31.00 0.72 8. Lain-lain 121.46 2.83 Sub total 2,239.93 52.26 Jumlah Keseluruhan 4,285.85 100.00 Sumber: Laporan Bulanan Umum, Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2009

4.3.3 Potensi dan Permasalahan Fisik

Potensi fisik dasar yang dimiliki oleh kawasan permukiman di Cisauk antara lain luas wilayah kawasan permukiman di Cisauk ± 4,285.85 ha yang terletak di ketinggian 24 - 62 meter di atas permukaan laut dengan topografi yang relatif datar dan kemiringan 3 - 8, memiliki kesesuaian lahan untuk kegiatan perkotaan. Potensi air tanah rata-rata 5.70 literdetikkm 2 0.057 literdetikha dengan kedalaman air tanah antara 1-150 meter. Potensi air permukaan yang tersedia: Sungai Cisadane, Sungai Angke, Sungai Jaletreng dan Sungai Cimanceuri dengan debit air total sebesar 6,130 literdetik. Tempat Pembuangan Akhir TPA Sampah di Jl. Raya Puspiptek, Desa Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan cukup mengganggu lingkungan karena lokasinya di tanah milik pribadi dan beroperasi tanpa izin dan setiap hari bau tak sedap menyengat akibat kegiatan tersebut. Tempat pembuangan sampah yang dioperasikan secara liar berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan membahayakan masyarakat di sekitarnya karena tidak dikelola sesuai kaidah-kaidah teknis maupun manajemen pengelolaan sampah. 68 Gambar 16 Peta penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2010 68 Permasalahan fisik dasar yang dimiliki oleh kawasan permukiman Cisauk diantaranya wilayah kawasan permukiman di Cisauk yang terbagi dua oleh Sungai Cisadane mengakibatkan perkembangan yang terjadi antara daerah barat sungai dengan daerah sebelah timur tidak seimbang dengan kata lain daerah timur sungai sudah lebih berkembang. Di kecamatan Cisauk saat ini masih terdapat lahan-lahan kosong yang menjadi tempat penambangan pasir dan batu. Hal ini mengakibatkan terbentuknya lubang-lubang bekas galian yang menjadi danausitu yang dalam, sehingga sulit untuk diurug kembali. Akibat adanya galian pasir dan batu di kecamatan Cisauk, maka setiap hari truk-truk pengangkut pasir dan batu dengan beban melebihi perencanaan selalu mondar mandir melalui jalan raya yang berdampak pada kerusakan jalan sebelum waktunya. Saluran drainase primer kawasan permukiman di Cisauk berupa sungai yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Jaletreng yang melintasi kawasan permukiman di Cisauk, serta Sungai Cimanceuri dan Sungai Angke di perbatasan sebelah Barat dan Timur kawasan permukiman di Cisauk. Saluran drainase sekundernya adalah kali- kali kecil dan saluran irigasi yang terdapat di areal persawahan. Saluran drainase tersiernya adalah berupa saluran buatan di pinggir-pinggir jalan. Jaringan drainase kawasan permukiman di Cisauk, secara umum masih menggunakan saluran drainase alami atau saluran irigasi. Sistem drainase buatan terdiri dan selokan-selokan yang terdapat disisi jalan dan saluran irigasi. Saluran alamiah memanfaatkan aliran sungai-sungai yang ada. Sebagian besar masih bersifat alamiah konstruksi dari tanah dan hanya sebagian kecil yang sudah permanen. Saluran drainase yang sudah cukup baik dan permanen terdapat di beberapa ruas jalan yang terdapat di bagian timur kawasan permukiman di Cisauk, sedangkan saluran drainase di luar ruas jalan tersebut pada umumnya bersifat alamiah dan tidak berfungsi dengan baik sehingga apabila terjadi turun hujan tidak dapat menampung limpasan air hujan tersebut, dan sebagai akibatnya akan menimbulkan genangan air. Penyaluran air dari drainase- drainase tersebut tersebar ke persawahan, danau bekas galian pasir, dan sungai. Untuk pembuangan air kotor, pada umumnya penduduk masih banyak menggunakan saluran terbuka dimana air kotor buangan rumah tangga dibuang ke saluran drainase dan saluran irigasi. Namun untuk sebagian penduduk lainnya, pembuangan air limbah sudah dilakukan dengan baik, dimana pembuangan air kotor dilakukan ke septick tank atau saluran tertutup. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih kawasan permukiman di Cisauk, sumber air baku yang dimanfaatkan adalah air tanah dangkal dengan kedalaman 7- 15 m. Fluktuasi muka air tanah sangat tergantung oleh musim. Sumber air tanah dangkal hanya dipergunakan sebagai sumber penunjang dan untuk kebutuhan jangka pendek. PDAM Kabupaten Tangerang mengambil air baku sungai Cisadane di wilayah Cisauk yang diolah menjadi air bersih tetapi pelayanannya masih terbatas. Sistem transportasi di kawasan permukiman di Cisauk terdiri dari pola jaringan jalan, sarana terminal dan stasiun kereta api, dan moda angkutan kota. Jaringan jalan tersebut menghubungkan desa dengan desa yang ada kawasan permukiman di Cisauk, kawasan permukiman di Cisauk dengan kecamatan lain yang ada di kabupaten Tangerang dan kota Tangsel, dan menghubungkan kawasan permukiman di Cisauk dengan Kabupaten Bogor yang ada di Propinsi Jawa Barat. Kawasan permukiman di Cisauk terdapat sarana perhubungan lain, yaitu sebuah stasiun kereta api yang melayani jalur kereta Bogor — Serpong atau Serpong — Jakarta. Sampai saat ini masalah transportasi yang ada di kawasan permukiman di Cisauk adalah sebagai berikut: 1. Belum adanya terminal untuk kegiatan angkutan umum, baik untuk melayani dalam kawasan permukiman maupun untuk angkutan yang melayani dari kawasan permukiman Cisauk ke luar wilayah kawasan. 2. Belum dilalui sarana angkutan umum yang melewati kawasan permukiman di Cisauk sebelah barat. 3. Masih banyaknya jalan yang perlu peningkatan, yaitu jalan perkerasan ± 30 km, dan jalan tanah ± 75 km.

4.3.4 Ekosistem Sub DAS Cisadane

Kawasan Sub DAS Cisadane dengan beberapa anak sungainya merupakan kawasan dengan fungsi utama untuk konservasi air dan tanah. Dengan daerah tangkapan seluas 1,500 km2, Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya catchment area. Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3detik. Berdasarkan pemantauan di stasiun Pengamat Serpong, aliran sungai terendah yang pernah terjadi tercatat sebesar 2.93 m³detik di tahun 2001 dan tertinggi 973.35 m 3 detik pada tahun 2007. Sub DAS Cisadane dengan luas 140,046 ha wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango Kabupaten Bogor dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40, sedangkan bagian hilir sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7 dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun. Kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten berada di bagian tengah sub DAS Cisadane yang subur namun kondisi teknisnya kurang bagus karena aktivitas domestik dan industri. Sub DAS Cisadane yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan luasnya 140,046 ha merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek sebagaimana terlihat pada Gambar 17. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango Kabupaten Bogor dan mengalir ke laut Jawa. Panjang sungai ini kurang lebih 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40. Bagian tengah sampai bagian hilir merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi antara lain Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7 dari total luas DAS ini adalah merupakan lahan terbangun dan seluas ± 15.45 merupakan daerah pemukiman. Kecenderungan yang terjadi sejalan dengan pertambahan penduduk yang terus terjadi adalah lahan terbangun terus meningkat sedangkan lahan pertanian dan lahan konservasi cenderung menurun. Gambar 18 memperlihatkan aliran permukaan di wilayah sub DAS Cisadane bagian tengah. Distribusi aliran permukaan terbesar berasal dari Rumpin sebesar 100 m 3 detik dan aliraqn distribusi terkecil berasal dari Parung Panjang sekitar 1.5 m 3 detik. Aliran distribusi dari Kecamatan Cisauk sebesar lebih dari 40 m 3 detik dan Kecamatan Serpong sekitar 5 m 3 detik. Gambar 17 Peta Sub DAS Cisadane Gambar 18 Distribusi aliran permukaan di wilayah sub DAS Cisadane tengah Sumber : BPDAS Citarum-Ciliwung- Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah Jabodetabekjur, 2009

4.4 Tinjauan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman

Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan permukiman telah menjadi dasar dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk DAS Cisadane Cisauk, provinsi Banten. UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman mengatur bagaimana mengadakan rumah dan meningkatkan kualitas permukiman. Pengembangan permukiman akan dilakukan melalui pengelolaan tanah untuk permukiman skala besar yang dikenal dengan nama Kawasan Siap Bangun KASIBA dan dengan memepertimbangkan rencana tata ruang Anonim, 1992. Menurut UU ini permukiman ditempatkan dalam kerangka pikir tata ruang yang mencakup metropolitan, kota dan desa. Sebagai tindak lanjut dari UU tersebut terbit Peraturan Pemerintah PP No.801999 tentang Kawasan Siap Bangun Kasiba dan Lingkungan Siap Bangun Lisiba yang berdiri sendiri. Secara implisit UU dan PP tersebut bertujuan untuk mengendalikan pembangunan perumahan dan permukiman yang terkotak-kotak dan terfragmentasikan dalam kelompok kecil kurang dari 1000 unit sehingga menimbulkan ketidakefisienan. Berubahnya lingkungan strategis yang ditandai dengan berubahnya sistem politik dan ketatanegaraan seperti otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, kesetaraan dan keterbukaan, maka UU No.4 Tahun 1992 dirasakan kurang sesuai sehingga terbit UU Perumahan dan Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011 yang sasarannya antara lain memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang; meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya alam bagi pembangunan perumahan; memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau Anonim, 2011. Persoalan yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ruang yang dilihat sebagai tempat berlangsungnya interaksi sosial, yang mencakup manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistemnya, seperti sumberdaya alam dan sumberdaya buatan berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal. UU Penataan Ruang no.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa pengembangan kawasan permukiman harus dimulai dengan penyusunan rencana tata ruang yang dilanjutkan dengan perumusan kebijakan strategis tata ruang, program sektoral, dan pelaksanaan pembangunan secara terpadu Anonim, 2007. Untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmonisasikan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, serta yang dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah. UU No.32 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan Anonim, 2004. Dampak dari pelaksanaan UU ini adalah perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan permukiman disesuaikan dengan prioritas dan kepentingan masing-masing pemerintah daerah. tuntutan otonomisasi mengehendaki penyelenggaraan perumahan dan permukiman menerapkan pola pembangunan dilaksanakan secara desentralisasi. Masalah lingkungan pada kawasan permukiman dan perumahan, yang umumnya muncul sebagai akibat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumberdaya dan teknologi yang kurang terkendali. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat tentang Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah RP4D merupakan kebijakan Pemerintah Daerah mengenai penanganan perumahan dan permukiman yang merupakan turunan dari Rencana Tata Ruang Wilayah. Sebagai wilayah kabupaten yang termasuk salah satu penyangga ibukota Jakarta, permasalahan perumahan dan permukiman di Kabupaten Tangerang merupakan masalah yang cukup mendesak. Sebagian warga Jakarta yang tergusur mencari lahan tempat tinggal di Kabupaten Tangerang, sehingga keterjangkauan adalah aspek penting yang perlu diperhatikan. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.04KPTSBKP4N1995 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang antara lain untuk 1 mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang sehat, aman, serasi dan teratur, 2 mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang terdiri dari rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana, 3 mewujudkan kesetiakawanan sosial, kekeluargaan dan kebersamaan, dan 4 menjamin tercapainya target pembangunan perumahan dan permukiman terutama rumah sederhana. UU RI No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan perhatian khusus terhadap peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Lingkungan diartikan sebagai satuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya. Intinya, lingkungan adalah suatu satuan ruang dengan berbagai unsur dan proses yang terjadi didalamnya. Pengelolaan lingkungan hidup, menurut undang- undang ini merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang meliputi perumusan kebijakan, penataan, pemanfaatan, pengembangan pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup Anonim, 1997. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dikenal istilah AMDAL dan ANDAL. AMDAL adalah keseluruhan tata cara untuk menghasilkan sarana pengendalian dampak oleh adanya suatu kegiatan sedangkan ANDAL adalah suatu kegiatan pengkajian untuk menghasilkan suatu informasi bagi pengambilan keputusan suatu proyek. Dengan demikian ANDAL merupakan bagian dari AMDAL.Tahapan yang perlu dilakukan untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan adalah : − Penyajian Informasi Lingkungan PIL adalah suatu studi yang hasilnya digunakan untuk memutuskan perlu tidaknya suatu proyek disertai ANDAL. − Kerangka Acuan ANDAL KAA merupakan penuangan hasil PIL kedalam petunjuk pelaksanaan ANDAL. − Analisis Dampak Lingkungan ANDAL yaitu studi tentang dampak lingkungan oleh kegiatan yang direncanakan yang hasilnya digunakan untuk memutuskan dapat tidaknya kegiatan yang direncanakan dilanjutkan dan syarat yang harus dipenuhi bila kegiatan tersebut dilanjutkan. − Rencana Pengelolaan Lingkungan RKL merupakan petunjuk tentang bagaimana mencegah atau mengatasi dampak-dampak yang tidak diinginkan. − Rencana Pemantauan Lingkungan RPL merupakan petunjuk untuk mengikuti dan mengamati segala perubahan lingkungan setelah kegiatan dilaksanakan. Beberapa lahan penambangan bahan galian golongan C seperti penambangan pasirterdapatdi kecamatan Cisauk. Bahan galian golongan C merupakan bahan galian yang dikategorikan sebagai bahan galian non strategis. Bahan galian golongan C meliputi bahan galian industri dan bahan galian bangunan. Jenis bahan galian industri antara lain asbes, batu gamping, feldspar, pasir kwarsa, lempung, trass, oker, batu tulisslate, dan zeolit. Bahan galian bangunan meliputi andesit, diorit, pasir dan batu, serta marmer. Kesuburan tanah pada lokasi bekas tambang sangat rendah karena rendahnya kandungan bahan organik dan nitrogen di dalamnya. Dengan kondisi tanah seperti ini akan terus mengalami degradasi apabila tidak dikelola secara benar dengan segera. Luas areal pertambangan semakin lama semakin bertambah. Pada umumnya pengusaha memperluas kawasan yang ditambangnya dengan cara membeli lahan pertanian penduduk setempat. Berhubung keadaan lahan yang kritis, tidak produktif, dan hanya cocok ditanami dengan tanaman tahunan yang produksinya juga tidak memadai, maka sangat wajar jika masyarakat terdorong untuk menjual tanahnya. Masyarakat yang telah kehilangan lahan pertaniannya pada umumnya bekerja sebagai pekerja tambang atau merantau ke luar daerah. Status tanah yang diusahakan untuk pertambangan kemudian menjadi tanah milik pengusaha tambang. Karena status tanah bekas tambang yang telah beralih menjadi tanah milik tersebut maka akan sangat sulit untuk memaksa pengusaha melakukan reklamasi pada lahan bekas tambangnya. Setelah tanah mencapai lapisan terakhir yang berbatu dan mengeluarkan air, penambangan dihentikan dan beralih ke daerah lain. Lahan bekas tambang umumnya dibiarkan dan tidak dilakukan perlakuan apapun untuk mengembalikan kesuburan tanahnya. Pengaturan landasan hukum bagi perangkat pemerintah untuk melakukan pengendalian dan penertiban kegiatan penambangan bahan galian golongan C dilakukan dengan Peraturan Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Undang– Undang RI No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air mengamanatkan bahwa perlu diimplementasikan secara konsisten prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya air secara terpadu integrated water resources management IWRM. Dalam pengertian tersebut pengelolaan sumberdaya air, termasuk pengelolaan sungai perlu memperhatikan prinsip-prinsip yaitu: 1 memberikan manfaat kepada publik secara efektif dan efisien, 2 mempertemukan keseimbangan kepentingan dan harmonisasi antara aspek sosial, ekonomi, dan prinsip keseimbangan lingkungan hidup, 3 keberlanjutan, keadilan, dan otonomi, serta 4 transparansi dan akuntabilitas, serta menjamin terjadinya keterbukaan terhadap adanya proses akuntabilitas publik. UU tersebut juga mengamanatkan tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap sumberdaya air Anonim, 2004. Untuk mengantisipasi penerapan hak dan kewajiban masyarakat tersebut dalam implementasinya diperlukan pemahaman yang seimbang baik di tingkat pemerintah dan masyarakat. Hal yang mendapatkan sorotan publik adalah bahwa UU tersebut dinilai membawa semangat liberalisasi di sektor air yang dirasa akan mengganggu pemenuhan hak asasi rakyat akan air. Dalam RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2002 – 2011, Kecamatan Cisauk ditetapkan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan SWP I dengan pusat Kota Serpong. SWP ini diarahkan pada pengembangan pusat permukiman perkotaan secara intensif, pendidikan, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa, industri, pariwisata serta peternakan. Kecamatan Cisauk sendiri termasuk ke dalam pusat pertumbuhan Orde IV, sebagai pusat pelayanan lokal dengan fungsi utama sebagai pusat administrasi pemerintahan dan pusat pelayanan sosial. Kecamatan Cisauk dengan luas 4,285.85 ha dibagi atas 3 Bagian Wilayah Kota BWK, yaitu: a. BWK A: meliputi Desa Sampora, sebagian Desa Cisauk, Desa Cibogo, dan Desa Suradita, luas BWK A sebesar 1,470.35 ha, dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, kawasan perdagangan regional CBD, dan pengembangan permukian dan industri terbatas non polutan serta areal cadangan kota, dengan pusat BWK di Desa Sampora. b. BWK B: meliputi Desa Setu, Kademangan, Muncul, Kranggan, Babakan dan Desa Baktijaya, dengan luas 1,510.91 ha. BWK B memiliki fungsi sebagai kawasan perdagangan, perindustrian, pendidikan tinggi, puspitek dan pengembangan perumahan dengan pusat BWK di Desa Setu c. BWK C meliputi Desa Cisauk, Dangdang, dan Desa Mekarwangi dengan luas 1,304.59 ha. BWK C memiliki fungsi sebagai areal cadangan pengembangan kota dan permukiman dengan kepadatan rendah, dengan pusat BWK di Desa Cisauk Sebagaimana hirarkinya yang termasuk pusat pertumbuhan Orde I, Kecamatan Cisauk memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut: 1 pusat administrasi pemerintahan, 2 pusat pelayanan sosial, 3 pusat pelayanan kegiatan ekonomi skala lokal, 4 merupakan hinterland bagi Kota Serpong. V HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan analisis dilaksanakan sesuai dengan metodologi penelitian, dilakukan dalam 4 tahap sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap pertama menguraikan hasil identifikasi dinamika kawasan permukiman dan sistem metropolitan DKI Jakarta. Tahap kedua menjabarkan kondisi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk dengan metode MDS-Rapsettlement. Tahap ketiga menjelaskan hasil analisis berupa faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan permukiman. Pada tahap keempat menguraikan pemilihan skenario dan penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman.

5.1 Dinamika Perkembangan Kawasan Permukiman dalam Sistem Metropolitan DKI Jakarta dan DAS Cisadane

Dalam Bab Pendahuluan telah disebutkan bahwa banyak penduduk yang semula bermukim di kota-kota besar kemudian pindah ke kawasan di pinggiran kota karena kelangkaan lahan, urbanisasi, peningkatan biaya akomodasi, investasi ekonomi dan tawaran permukiman baru yang terintegrasi dengan infrastruktur dan lapangan pekerjaan alternatif di luar kota inti. Misalnya, dalam kurun 1995-2000 diperkirakan setengah juta penduduk yang semula tinggal di DKI Jakarta pindah ke daerah-daerah penyangga seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Pembangunan prasarana wilayah khususnya transportasi seperti jalan tol akan mempercepat pengembangan daerah-daerah di pinggiran Jakarta. Dalam hal ini di kawasan kabupaten Tangerang bagian selatan berkembang pesat setelah dibangunnya jalan tol Jakarta-Serpong pada tahun 1990-1995. Pertambahan penduduk di daerah penyangga tersebut akan meningkatkan pengembangan kawasan permukiman. Sebagai contoh, pengembangan kawasan permukiman skala besar yang dikenal sebagai kota mandiri Bumi Serpong Damai BSD di kecamatan Serpong berkembang pesat sejak dibangun pada tahun 1989. Perkembangan di BSD ini berdampak pada pengembangan kawasan permukiman di kota-kota kecil di sekitarnya seperti kawasan permukiman di Cisauk. Jadi perkembangan kawasan permukiman di Cisauk tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kawasan metropolitan DKI Jakarta. Perkembangan kawasan metropolitan DKI Jakarta dapat dijabarkan dalam dinamika dan sistem metropolitan yang antara lain berupa perkembangan penduduk, hirarki sistem perkotaan, dan peta pemangku kepentingan pengembangan kawasan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2006 dalam laporan perihal Metropolitan di Indonesia Bab V halaman 131 dengan referensi Mamas-Komalasari membagi kawasan metropolitan DKI Jakarta dalam 3 wilayah yaitu Core untuk DKI Jakarta yang meliputi 5 wilayah Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur, outer zone yang meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi, dan inner zone yang mencakup Kota Tangerang, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi Ditjen. Penataan Ruang, Dep. PU, 2006. Perkembangan perumahan di metropolitan DKI Jakarta dari tahun 2000 sampai tahun 2010, dengan data-data dari Sensus Penduduk tahun 2000 dan 2010 dan SUPAS Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2005, menunjukkan kecenderungan yang meningkat secara bervariasi seperti tertera pada Tabel 19. Secara wilayah terjadi perkembangan perumahan dari tahun 2000 ke tahun 2005 yang relatif kecil dan terjadi perkembangan perumahan yang cukup besar dari tahun 2005 ke 2010. Tabel 19 Perkembangan Perumahan di Metropolitan DKI Jakarta Kawasan Th 2000 Unit Th 2005 Unit perbedaan Th 2010 Unit perbedaan JABODETABEK 5,458,428 5,844,013 7.06 6,648,576 13.77 Core 2,116,199 2,206,582 4.27 2,503,476 13.45 Jakarta Pusat 204,786 226,062 10.39 234,979 3.94 Jakarta Timur 588,762 610,438 3.68 690,598 13.13 Jakarta Selatan 450,386 497,658 10.50 532,886 7.08 Jakarta Barat 494,234 516,568 4.52 608,342 17.77 Jakarta Utara 378,031 355,856 -5.87 436,671 22.71 Outer zone 2,111,981 2,215,584 4.91 2,532,670 14.31 Kab. Bogor 838,854 913,648 8.92 955,694 4.60 Kab. Bekasi 531,416 508,400 -4.33 566,469 11.42 Kab. Tangerang 741,711 793,536 6.99 1,010,507 27.34 Inner zone 1,230,248 1,421,847 15.57 1,612,430 13.40 Kota Bogor 170,748 221,720 29.85 233,975 5.53 Kota Bekasi 439,540 485,776 10.52 599,029 23.31 Kota Tangerang 339,542 367,055 8.10 475,277 29.48 Kota Depok 280,418 347,296 23.85 304,149 -12.42 Sumber : Sensus Penduduk 2000, 2010, SUPAS 2005

5.1.1 Perkembangan Penduduk Metropolitan DKI Jakarta

Perkembangan jumlah penduduk masih dapat digunakan untuk mengindikasikan perkembangan kawasan permukiman Kuswartojo et al., 2005. Sensus dan Survei penduduk oleh BPS menggambarkan perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta dari tahun 1990 sd 2010 dimana jumlah penduduk DKI Jakarta sempat menurun sementara jumlah penduduk daerah penyangga seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi cenderung naik secara signifikan seperti terlihat pada Tabel 20. Kepadatan penduduk secara umum cenderung meningkat baik untuk Jabodetabek, Inner Zone maupun Outer Zone. Tabel 20 Perkembangan Jumlah Penduduk Metropolitan DKI Jakarta 1990 1995 2000 2005 2010 1990 1995 2000 2005 2010 JABO DETABEK 4,129.2 17.09 20.15 22.08 23.55 27.89 4,139 4,880 5,347 5,703 6,754 C ore 662.0 8.22 9.11 8.34 8.80 9.57 12,417 13,761 12,598 13,293 14,456 Jakarta Selat an 145.7 2.03 2.04 1.78 2.00 2.06 13,933 14,001 12,217 13,727 14,139 Jakarta T imur 187.7 2.01 2.38 2.35 2.39 2.69 10,709 12,680 12,520 12,733 14,331 Jakarta Pusat 48.3 1.16 0.98 0.87 0.88 0.90 24,017 20,290 18,012 18,219 18,634 Jakarta Barat 126.2 1.67 2.15 1.90 2.09 2.28 13,233 17,036 15,055 16,561 18,067 Jakarta Utara 154.1 1.35 1.56 1.44 1.44 1.64 8,761 10,123 9,345 9,345 10,642 O ute r Zone 2,173.8 5.43 7.27 9.44 9.05 11.52 2,498 3,344 4,343 4,163 5,299 Kab. Bogor 820.3 2.28 2.48 3.58 3.82 4.77 2,779 3,023 4,364 4,657 5,815 Kab. Bekasi 606.1 1.42 2.14 2.71 1.98 2.63 2,343 3,531 4,471 3,267 4,339 Kab. T angerang 747.4 1.73 2.65 3.15 3.25 4.12 2,315 3,546 4,215 4,348 5,512 Inne r Zone 1,293.4 3.44 3.77 4.30 5.70 6.80 2,660 2,915 3,325 4,407 5,257 Kota Bogor 118.5 1.73 2.22 1.83 0.89 0.95 14,599 18,734 15,443 7,511 8,017 Kota Bekasi 437.9 0.68 0.62 0.62 1.99 2.33 1,553 1,416 1,416 4,544 5,321 Kota T angerang 536.8 1.03 0.93 0.96 1.45 1.79 1,919 1,732 1,788 2,701 3,335 Kota Depok 200.2 - - 0.89 1.37 1.73 - - 4,446 6,843 8,641 Kawasan Luas Km2 Jumlah Penduduk juta jiwa Kep adatan Penduduk JiwaKm2 Sumber: Sensus penduduk 1990, 2000, 2010 dan survei penduduk 1995, 2005 Kondisi yang spesifik terjadi antara tahun 1995–2000 dan antara tahun 2000–2005 seperti terlihat pada Gambar 19. Pada kurun waktu 1995–2000 pertambahan penduduk di outer zone meningkat pesat yang disebabkan al. karena maraknya pembangunan perumahan skala besar di kawasan metropolitan DKI Jakarta seperti perumahan kota mandiri BSD Bumi Serpong Damai, perumahan Lippo Karawaci, perumahan Citra Raya dan perumahan Alam Sutera di Tangerang, perumahan Lippo Cikarang di Bekasi, perumahan Kota Wisata di Cibubur, dan lain-lain. Banyak penduduk dari kota-kota besar