kelompok umur 15-34 tahun. Fenomena ini sesuai dengan motivasi migran masuk ke DKI Jakarta untuk mencari pekerjaan dan alasan pekerjaan.
Tabel 31 Migran terkini menurut kelompok umur dan jenis kelamin di DKI Jakarta, 2000
Kelompok Umur Laki-laki
Perempuan Total
10 - 14 5,07
4,68 4,85
15 - 19 13,00
24,34 19,43
20 - 24 23,60
31,61 28,14
25 - 29 19,81
15,29 17,25
30 - 34 15,55
8,87 11,76
35 - 39 7,05
4,54 5,63
40 - 44 4,39
2,67 3,41
45 - 49 2,12
1,37 1,69
50 - 54 1,23
0,98 1,09
55 - 59 1,20
0,39 0,74
60 - 64 0,89
0,47 0,65
65 - 69 0,19
0,09 0,14
70 - 74 0,00
0,23 0,13
75+ 0,08
0,26 0,18
100,00 100,00
100,00 Sumber: BPS, 2001
6.3.2 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah salah satu ukuran kualitas sumberdaya manusia. Mereka yang berkualitas sudah tentu lebih unggul pada pasar kerja
maupun pada berbagai ajang ekonomi lainnya. Makin tinggi tingkat pendidikan makin banyak pula kesempatan bagi mereka, karena semakin tinggi tingkat
pendidikan akan semakin mempermudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya.
Gambaran tingkat pendidikan dapat dilihat melalui Tabel 32 Migran berpendidikan SD sebesar 29.88, yang kemungkinan berprofesi sebagai
pekerja kasar. Apabila dibedakan menurut jenis kelamin, migrasi laki-laki yang lulus SD sebesar 22.99 dan perempuan sebesar 35.15. Persentase terbesar
dari seluruh migran perempuan adalah lulusan SD. Kemungkinan besar sebagian dari mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, suatu profesi
yang sangat berperan dalam menampung tenaga kerja perempuan. Migran dengan tingkat pendidikan SLTP dan SLTA berjumlah sekitar 40.58. Untuk
tingkat SLTP proporsi migran perempuan lebih besar dibandingkan migran laki- laki, namun sebaliknya pada tingkat SLTA, proporsi migran laki-laki lebih besar
daripada proporsi migran perempuan. Selanjutnya, migran yang berpendidikan
Diploma ke atas berjumlah sekitar 16.13, dan proporsi laki-laki lebih besar dibandingkan proporsi perempuan.
Tabel 32 Migran terkini berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jenis kelamin di DKI Jakarta, 2000
Pendidikan tinggi yang ditamatkan Laki-laki
Perempuan Total
TidakBelum Pernah Sekolah 2,70
2,13 2,37
Tidak Tamat SD 10,91
11,12 11,04
SDMISederajat 22,99
35,15 29,88
SLTPMTsSederajat 17,59
22,42 20,33
SLTAMASederajat 24,59
16,93 20,25
SM Kejuruan 7,96
5,11 6,34
Diploma III 0,46
0,45 0,45
Diploma IIISarjana Muda 3,39
2,82 3,07
Diploma IVS1 8,23
3,75 5,69
S2 0,73
0,12 0,38
S3 0,45
0,00 0,20
Total 100,00
100,00 100,00
Sumber: BPS, 2001
6.3.3 Status Pekerjaan
Status pekerjaan adalah jenis kedudukan seseorang dalam pekerjaan, yaitu: berusaha sendiri, berusaha dengan buruh tidak tetap, berusaha dengan
buruh tetap, buruhkaryawan dan pekerjaan keluarga yang tidak dibayar. ”Berusaha” berbeda dengan ”buruhkaryawan”. Pendapatan mereka yang
berstatus ”berusaha” sangat bergantung pada untung atau resiko rugi dari kegiatan usaha, sedangkan sebagai ”karyawan” seseorang tidak menanggung
resiko rugi, tetapi tetap memperoleh pendapatan berupa gajiupah. Mereka yang ”berusaha” bisa menciptakan kesempatan kerja apabila dibantu oleh buruh, baik
buruh tetap maupun buruh tidak tetap. Tabel 33 Distribusi persentase penduduk migran yang bekerja menurut status
pekerjaan utama dan kota di DKI Jakarta, 2000
Status Pekerjaan Jak Sel
Jak Tim Jak Pus
Jak Bar Jak Ut
DKI Jakarta
Berusaha Sendiri 11,16
19,91 11,65
14,72 18,24
15,91 Berusaha dibantu dengan buruh tidak tetap
1,39 1,69
1,94 0,43
0,55 1,16
Berusaha dibantu dengan buruh tetap 3,72
0,42 1,93
0,43 1,10
1,36 Buruhkaryawan
80,94 72,05
78,65 83,99
79,00 78,44
Pekerja tak dibayar 2,79
5,93 5,85
0,43 1,11
3,13 Jumlah
100,00 100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
Sumber: BPS, 2001
Dari distribusi persentase migran bekerja, ternyata 78.44 dari mereka bekerja sebagai buruhkaryawan. Migran tersebut terperangkap dalam sektor
informal, hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan migran yang tidak terlalu tinggi yang menyebabkan migran tersebut tidak dapat bekerja di sektor formal
sehingga hanya bekerja di sektor informal. Apabila dilihat dari distribusi migran tersebut di atas, maka migran
tersebut merupakan penduduk dengan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi dan pendapatan yang mereka hasilkan juga rendah, sehingga mereka
membentuk suatu permukiman yang dikenal dengan ”kampung”. Somantri 2000 menjelaskan struktur kota seperti ini menunjukkan bahwa mayoritas
warga merupakan kalangan ”miskin”. Banyak diantara mereka pemukim liar atau menempati tanah dengan status tidak jelas, secara politik amat lemah, bekerja di
sektor informal. Mereka secara geografis dan okupasional sangat mobile. Oleh karena itu warga tersebut merupakan ”urban floating-mass”. Melalui migrasi
dalam kota, mereka membangun hubungan sosial baru dan perumahan mandiri ”self-housing project”.
Hubungan sosial yang dimaksud adalah melalui organisasi sosial, baik formal maupun informal, menjalin kerjasama, agar dapat menyalurkan
kepentingan bersama di tingkat komunitas Ibrahim, 2002. Pola hubungan sosial yang ada di komunitas adalah pertemanan yang cukup akrab, namun
sebagian besar pola hubungan sosial sangat tergantung pada kondisi fisik rumah di lingkungan. Artinya, bila berdekatan pola hubungan sosial cukup dekat,
bahkan kenal dengan sebagain besar warga, terutama yang satu RT dan berdekatan. Untuk kondisi rumah yang mewah dan modern, pola hubungan
hanya sebatas saling kenal. Berdasarkan penelitian Ibrahim 2002, proses pembangunan dan
perkembangan DKI Jakarta menghasilkan pusat-pusat kegiatan baru yang tersebar di berbagai wilayah DKI Jakarta, seperti Kebayoran Baru, Pondok Indah,
Kelapa Gading, Gerogol, dan Pluit. Selanjutnya terjadi proses suburbanisasi yang ditandai oleh kantung-kantung permukiman di pinggir DKI Jakarta atau
’suburban enclave housing: real estate”. Akibatnya tercermin pada ketimpangan spasial, sehingga DKI Jakara terbagi kedalam kantung-kantung permukiman
berdasarkan strata sosial ekonomi, seperti Kampung-Kumuh dan Perumahan Real Estate middle class household dengan permasalahan komunitas yang
berbeda. DKI Jakarta tidak dapat diperlakukan sama sebagai pola permukiman yang homogen, baik ditingkat makro maupun mikro. Setiap bagian memiliki
kondisi komunitas ketetanggaan yang berbeda dari sudut sosial, ekonomi, dan budaya heterogen.
6.4 Ikhtisar