Kerangka Pemikiran Analisis keterkaitan ekonomi sektoral dan spasial di dki jakarta dan bodetabek: pendekatan model I-O interregional

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan, diperlukan pengertian perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek social ekonomi wilayah. Selain itu, perencanaan pembangunan wilayah perlu dibatasi oleh batas-batas wilayah yang menjadi unit perencanaannya. Dalam menetapkan batas-batas wilayah maka terdapat pengelompoka wilayah berdasarkan criteria-kriteria: a homogenitas; b nodal; dan c administrastif. Konsep homogenitas menetapkan wilayah berdasarkan beberapa persamaan unsure baik itu fisik, social, maupun ekonomi. Konsep nodal menetapkan wialayh berdasar perbedaan struktur tata ruang, dimana terdapat sifat ketergantungan secara fungsional, misal antara pusat inti yang biasanya disebut kawasan perkotaan dengan wilayah belakangnya yang biasanya disebut kawasan perdesaan. Hubungan secara fungsional ini biasa berupa arus mobilitas penduduk, barang dan jasa, maupun komunikasi dan transportasi. Sedang konsep ketiga adalah batas wilayah ditentukan berdasar batas wilayah administratitif seperti propinsi, kotakabupaten, atau kecamatan. Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi tekanannya lebih kepada mewujudakan pertumbuhan ekonomi yang biasanya dilihat dari total ukur peningkatan angka produk domestik regional bruto PDRB. Walaupun pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh angka PDRB sering bias dalam arti over estimate karena sering tidak dikoreksi oleh adanya dampak negatif pertumbuhan ekonomi, namun angka ini masih menjadi standar yang dianggap sah dalam menilai keberhasilan pembangunan wilayah. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian antasektor pembangunan, sehingga dapat: 1 diminimalisasikan adanya ketidakserasian incompatibility antarsektor dalam pemanfaatan ruang, 2 terwujudnya keterkaitan antarsektor, baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang; dan 3 proses pembangunan yang berjalan secara ke arahyang lebih maju dengan menghindari adanya kebocoran wilayah regional leakages dan kemubaziran inefficiency dalam penggunaan pemanfaatan sumberdaya. Untuk menentukan peranan sektor dalam perencanaan pembangunan wilayah dapat digunakan analisis Tabel Input-Output. Seperti yang telah disebutkan di atas, maka pertumbuhan suatu unit wilayah sering tidak seimbang dengan unit wilayah lainnya dengan kata lain terjadi kepincangan kemajuan kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan yang dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1 perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam resource endowment; 2 perbedaan demografi; 3 perbedaan kemapuan sumberdaya manusia human capital; 4 perbedaan potensi lokasi; 5 perbedaan dari aspek aksisibilitas dan kekuasaan power dalam pengambilan keputusan; dan dapat pula karena 6 perbedaan dari aspek potensi pasar. Perbedaan pertumbuhan dari satu unit wilayah dengan unit wilayah lainnya dapat terjadi karena beberapa faktor sekaligus dan saling berkaitan. Oleh karena itu perbedaan pertumbuhan wilayah dalam lingkup suatu negara, maka dalam satu kawasan lebih luas akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1 wilayah maju; 2 wilayah sedang berkembang; 3 wilayah belum berkembang; dan 4 wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Biasanya wilayah maju berkembang karena didukung oleh potensi sumberdaya alam yang tinggi baik di wilayah tersebut maupun dari wilayah belakangnya, potensi lokasi yang strategis, tingginya kualitas sumberdaya manusia karena didukung oleh sarana pendidikan yang lengkap, dan aksesibilitas yang sangat baik terhadap pasar domestik maupun pasar internasional karena didukung oleh infrastruktur yang lengkap seperti jalan, pelabuhan, alat komunikasi, maupun sarana penunjang lainnya. Wilayah maju juga dicirikan oleh struktur ekonomi yang relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayaha penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Struktur ekonomi wilayah yang sedang berkembang secara relatif masih terjadi keseimbangan antara peranan sektor pertanian atau primer lainnya dengan sektor industri. Sektor jasa sudah mulai berkembang walau perannya secara relatif masih kecil. Wilayah yang belum berkembang dicirikan ole tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut mauun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini belum mempunyai aksesibilitas yang beik terhadap wilayah lainnya. Struktur ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal, yaitu: 1 wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun lokasi, sehingga secara alamiah sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan ekonomi; dan 2 wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumberdaya alam, lokasi, maupun keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan tumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah yang mempunyai potensi sumberdaya alam yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana manfaat tertinggi dari pemanfaatan sumberdaya alat tersebut dinikmati oleh wilayah lain. Pembangunan di DKI Jakarta mengakibatkan adanya pertumbuhan wilayah hinterlandnya atau Bodetabek. Wilayah DKI Jakarta itu sendiri memiliki potensi dan karakteristik sumberdaya alam yang berbeda dengan wilayah Bodetabek. Perbedaan potensi dan karakteristik sumberdaya ini dapat dilihat dari struktur perekonomian yang ada di tiap wilayah. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui keterkaitan ekonomi sektoral dan spasial di DKI Jakarta dan Bodetabek, yang dianalisis dengan menggunakan data input-output interregional 2005. Untuk melihat struktur perekonomian di wilayah penelitian dapat ditunjukkan dengan struktur permintaan dan penawaran, struktur output, struktur nilai tambah, serta struktur permintaan akhir pada model input-output interregional 2005. Myrdal dalam Rustiadi 2006 memformulasikan sebab-sebab bertambahnya ketimpangan perkembangan ekonomi antarwilayah. Myrdal berpendapat bahwa, karena adanya faktor sebab-akibat kumulatif circular cumulative causation dalam proses pembangunan jangka panjang justru ketimpangan-ketimpangan tersebut akan semakin lebar. Ada dua kekuatan penting yang dikemukakan Myrdal yakni: 1 wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang backwash effects, dan 2 wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang mendorong perkembangan wilayah- wilayah yang masih terbelakang spread effects. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya backwash effects adalah corak perpindahan penduduk dari wilayah yang masih terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Sejumlah tenaga kerja yang berpendidikan atau berkualitas lebih danamis dan selalu mencari alternativ yang lebih baik. Adanya perkembangan ekonomi di wilayah yang lebih maju merupakan daya tarik bagi perpindahan tenaga kerja berkualitas tesebut. Sedangkan di wilayah terbelakang tinggal orang-orang yang pada umumnya masih konservatif. Faktor lain adalah arus investasi yang tidak seimbang, karena struktur masyarakatnya lebih konservatif maka permintaan modal di wilayah terbelakang sangat minimal. Di samping itu, produktifitasnya yang rendah sangat tidak merangsang bagi penanaman modal dari luar. Bahkan modal yang ada di dalam justru terus mengalir ke luar wilayah yang telah lebih maju karena lebih terjamin untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Faktor terakhir adalah pola dan aktivitas perdagangan yang didominasi oleh industri-industri di wilayah yang lebih maju, sehingga wilayah terbelakang sangat sukar mengembangkan pasar bagi hasil-hasil industrinya. Faktor yang terakhir berkaitan dengan kenyataan adanya jaringan-jaringan pengangkutan yang jauh lebih baik di wilayah yang lebih maju, sehingga kegiatan produksi dan perdagangan dapat dilaksanakan lebih efisien menguntungkan. Dengan adanya faktor-faktor tersebut maka perkembangan ekonomi wilayah maju semakin maju, sebaliknya wilayah terbelakang semakin terbelakang. Serentak dengan terjadinya backwash effects terhadap wilayah- wilayah belakang, perkembangan wilayah maju mengakibatkan peningkatan permintaan akan barang-barang hasil pertanian dan industri rumah tangga dari wilayah terbelakang. Adanya kenyataan ini merupakan faktor pendorong bagi perkembangan wilayah belakang spread effects. Karena kekuatan efek penyebaran spread effects ini jauh lebih lemah daripada efek pencucian backwash effects maka mekanisme pasar semakin memperlebar ketimpangan- ketimpangan antarwilayah. Sebagai alat analisis, model IRIO sangat bermanfaat untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masing-masing wilayah dan bentuk saling ketergantungan antarwilayah. Bentuk saling ketergantungan ini menjadi masukan bagi perumus kebijakan ekonomi ditingkat regional dalam kaitannya dengan upaya mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah dan mengukur spesialisasi daerah yang diarahkan untuk mendukung tujuan pembangunan nasional yang mengacu pada usaha peningkatan produktifitas BPS, 2000a. Perbedaan potensi dan karakteristik sumberdaya alam yang terjadi mengakibatkan adanya keterkaitan antarwilayah dalam hal sektor-sektor ekonomi. Wilayah yang berkembang dengan baik ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antarsektor dalam perekonomian, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antarsektor yang berlangsung secara dinamis. Untuk menganalisis keterkaitan ekonomi, maka dapat dilihat dari nilai indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan pada tiap daerah. Selain itu pula, keterkaitan ekonomi dapat diukur dengan menggunakan nilai multiplier yang ada di tiap wilayah. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketidakmerataan pembangunan menghasilkan struktur hubungan atau keterkaitan antarwilayah yang saling melemahkan. Wilayah belakang hinterland terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan backwash yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi modal atau nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara berlebihan. Akumulasi modal atau nilai tambah tersebut terjadi di wilayah pusat pertumbuhan yang selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah belakang atau perdesaan. Akhirnya pada keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk keluar dari desa menuju ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan akhirnya menjadi diperlemah, disebabkan karena timbulnya berbagai ”penyakit urbanisasi” yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota-kota, dapat dilihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami ” over-urbanization”. Todaro 1997 berpendapat bahwa motivasi seseorang untuk migrasi karena motif ekonomi. Motif ini timbul karena adanya kesenjangan antarwilayah. Oleh karena itu, migrasi penduduk mencerminkan adanya keseimbangan ekonomi antara desa dengan kota. Status ini akan memicu pola migrasi cenderung ke kota atau ke desa tergantung dari kekuatan daya penarik dan pendorong pull-push factors. Faktor yang mendorong dan menarik seseorang untuk bermigrasi adalah: 1 faktor demografi jenis kelamin, pendidikan, 2 harapan pendapatan yang lebih besar dari apa yang sebenarnya diperoleh di desa, 3 sempit dan rendahnya sumberdaya lahan yang dicerminkan dalam produktifitas, 4 terbatasnya kesempatan kerja pertanian bagi tenaga kerja yang mempunyai pendidikan tinggi. Di samping itu faktor penarik lainnya adalah: 1 adanya kesempatan kerja sektor industri dan jasa di wilayah perkotaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi, 2 dukungan perkembangan sarana dan prasarana infrastruktur dan teknologi komunikasi. Pembangunan DKI Jakarta mengakibatkan terjadinya ”over-urbanization”. Hal ini menunjukkan bahwa DKI Jakarta memiliki faktor penarik bagi penduduk di luar DKI Jakarta yang menyebabkan banyak penduduk yang bermigrasi ke DKI Jakarta. Untuk mengetahui karakteristik migran yang ada di DKI Jakarta maka dapat dilihat dari data penduduk berdasarkan tempat tinggal 5 tahun lalu dan sekarang, migran berdasarkan provinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu dan kota tempat tinggal sekarang, migran berdasarkan alasan pindah ke DKI Jakarta, migran berdasarkan kelompok umur, migran berdasarkan tingkat pendidikan, serta migran berdasarkan status pekerjaan. Dari karaktistik migran yang ada dapat dilihat dampak dari adanya migrasi yang ada terutama hubungannya dengan sektor-sektor ekonomi di DKI Jakarta. DKI Jakarta Pertumbuhan: -Ekonomi -Penduduk Bodetabek Pertumbuhan: -Ekonomi -Penduduk Interregional Input-Output Jabodetabek 2005 22 Sektor Koefisien Input Elemen Matriks Invers Leontief Analisis Keterkaitan Resume Keterkaitan dan Dampak Pengganda Keterkaitan antar sektor antar wilayah; Indeks Daya Penyebaran Indeks Derajat Kepekaan Dampak Multiplier: Pengganda Output, Pengganda Pendapatan, Pengganda Nilai Tambah, Pengganda Pajak, Pengganda Impor Migrasi Linkage Analisis Dampak Gambar 3 Bagan alir penelitian

3.2 Data dan Sumber Data