Motivasi Migrasi Terkini Ikhtisar

Tabel 29 Migrasi terkini berdasarkan provinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu dan kota tempat tinggal sekarang, 2000 Provinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu Kota tempat tinggal sekarang DKI Jakarta Jak Sel Jak Tim Jak Pus Jak Bar Jak Ut Dista Aceh 2,24 0,00 0,00 0,92 0,00 0,73 Sumatra Utara 6,72 3,49 2,52 1,53 2,36 3,59 Sumatra Barat 3,64 6,99 5,66 0,92 0,34 3,78 Riau 1,96 0,25 0,00 0,31 0,34 0,66 Jambi 0,28 0,25 0,00 0,61 1,35 0,49 Sumatra Selatan 0,56 0,75 1,89 2,75 3,03 1,55 Bengkulu 0,00 0,75 0,00 0,00 0,00 0,25 Lampung 1,40 1,25 3,77 3,36 4,38 2,36 DKI Jakarta 23,25 37,64 33,33 37,62 42,06 34,69 Jawa Barat 35,58 32,91 28,91 36,37 30,30 33,69 Jawa Tengah 3,92 4,99 3,78 3,67 1,01 3,78 DI Yograkarta 7,28 6,98 8,17 7,03 7,41 7,19 Jawa Timur 1,40 0,00 1,26 0,00 0,00 0,40 Bali 0,56 0,25 0,00 0,00 0,34 0,27 Musa Tenggara Barat 0,28 1,50 0,63 0,00 0,34 0,66 Nusa Tenggara Timur 1,12 1,00 3,78 2,14 1,35 1,49 Kalimantan Barat 0,28 0,00 0,00 0,00 0,00 0,07 Kalimantan Tengah 2,24 0,00 0,63 0,00 0,00 0,56 Kalimantan Selatan 0,00 0,00 0,00 0,31 0,00 0,07 Kalimantan Timur 1,12 0,25 0,00 0,00 0,34 0,40 Sulawesi Utara 0,00 0,00 0,00 0,31 0,00 0,07 Sulawesi Tengah 1,12 0,25 0,63 1,53 4,04 1,33 Sulawesi Selatan 0,28 0,00 0,00 0,00 0,00 0,07 Sulawesi Tenggara 0,28 0,00 0,63 0,31 0,67 0,27 Maluku 0,84 0,00 0,63 0,00 0,34 0,28 Irian Jaya 3,65 0,50 3,78 0,31 0,00 1,30 Luar Negeri 3,65 0,50 3,78 0,31 0,00 1,30 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 124.980 180.178 29.387 118.372 80.155 533.072 Sumber: BPS, 2001

6.2 Motivasi Migrasi Terkini

Perpindahan migran masuk dari tempat asalnya mempunyai alasan baik itu alasan pribadi, keluarga, maupun lainnya. Pada Tabel 30 menampilkan alasan pindah 5 tahun yang lalu ke tempat sekarang. Dapat dilihat bahwa alasan yang mempunyai persentase terbesar adalah ” mencari pekerjaan” sebesar 30.53. Alasan kedua terbesar yang menyebabkan kepindahan migran adalah karena ”faktor kekerabatan” yaitu ikut suamiistriorang tua sebesar 27.52. Alasan berikutnya yang tidak terlalu besar selisih persentasenya adalah pekerjaan sebesar 23.55, selebihnya masing-masing kurang dari 6. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa DKI Jakarta sebagai ibukota menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi, yang diikuti pusat pariwisata, hiburan, pendidikan dan kesehatan. Hal inilah yang membuat banyak orang berfikir bahwa di DKI Jakarta tersedia banyak peluang untuk memperoleh pekerjaan, yang pada akhirnya membuat mereka berbondong-bondong datang ke DKI Jakarta mencoba mempertahankan nasibnya. Tabel 30 Migran terkini berdasarkan alasan pindah 5 tahun lalu dan kota tempat tinggal sekarang di Provinsi DKI Jakarta, 2000 Alasan pindah Kota tempat tinggal sekarang DKI Jakarta Jak Sel Jak Tim Jak Pus Jak Bar Jak Ut Pekerjaan 19,33 21,45 34,57 19,57 36,69 23,55 Mencari pekerjaan 32,77 29,68 22,64 40,67 16,83 30,53 Pendidikan 5,6 6,48 7,55 4,89 5,05 5,77 Perubahan status perekonomian 2,52 0,75 0,63 3,06 2,36 1,91 Ikut suamiistriortu 31,94 28,42 25,18 21,11 28,97 27,52 Ikut saudara kandung 5,32 4,49 5,66 8,87 5,05 5,81 Perumahan 0,84 5,24 0,63 0,61 1,68 2,39 Keamanan 0,25 0,08 Lainnya 1,68 3,24 3,14 1,22 3,37 2,44 Jumlah 100 100 100 100 100 100 Sumber: BPS, 2001 6.3 Karakteristik Migran 6.3.1 Umur Salah satu faktor yang sering berkaitan erat dengan mobilitas sosial adalah faktor umur. Usia sekolah menengah hingga usia bekerja adalah usia potensial untuk melakukan migrasi ke kota besar. Pada masa tua, orang sudah enggan untuk pindah ke perkotaan. Pada usia anak-anak di bawah 15 tahun biasanya perpindahan baginya merupakan keputusan orang tua atau famili lainnya sehingga probabilitas untuk melakukan migrasi lebih kecil daripada mereka yang berusia produktif. Atas dasar pemikiran tersebut, maka diduga proporsi usia migran 15-34 tahun akan cenderung lebih tinggi dibandingkan pada kelompok usia di luar itu. Pada Tabel 29 terlihat bahwa proporsi migran paling besar terdapat pada kelompok umur antara 15-34 tahun. Pada penduduk usia 15-34 tahun dari seluruh penduduk migran berumur 5 tahun ke atas mencapai 76.58, sementara kelompok usia 5-14 tahun hanya 9.76, dan sisanya 13.66 pada kelompok usia 35 tahun ke atas. Gambaran ini terlihat pula pada masing-masing jenis kelamin. Baik migran laki-laki maupun migran perempuan, proporsi terbesar berada pada kelompok umur 15-34 tahun. Fenomena ini sesuai dengan motivasi migran masuk ke DKI Jakarta untuk mencari pekerjaan dan alasan pekerjaan. Tabel 31 Migran terkini menurut kelompok umur dan jenis kelamin di DKI Jakarta, 2000 Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Total 10 - 14 5,07 4,68 4,85 15 - 19 13,00 24,34 19,43 20 - 24 23,60 31,61 28,14 25 - 29 19,81 15,29 17,25 30 - 34 15,55 8,87 11,76 35 - 39 7,05 4,54 5,63 40 - 44 4,39 2,67 3,41 45 - 49 2,12 1,37 1,69 50 - 54 1,23 0,98 1,09 55 - 59 1,20 0,39 0,74 60 - 64 0,89 0,47 0,65 65 - 69 0,19 0,09 0,14 70 - 74 0,00 0,23 0,13 75+ 0,08 0,26 0,18 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS, 2001

6.3.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah salah satu ukuran kualitas sumberdaya manusia. Mereka yang berkualitas sudah tentu lebih unggul pada pasar kerja maupun pada berbagai ajang ekonomi lainnya. Makin tinggi tingkat pendidikan makin banyak pula kesempatan bagi mereka, karena semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mempermudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya. Gambaran tingkat pendidikan dapat dilihat melalui Tabel 32 Migran berpendidikan SD sebesar 29.88, yang kemungkinan berprofesi sebagai pekerja kasar. Apabila dibedakan menurut jenis kelamin, migrasi laki-laki yang lulus SD sebesar 22.99 dan perempuan sebesar 35.15. Persentase terbesar dari seluruh migran perempuan adalah lulusan SD. Kemungkinan besar sebagian dari mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, suatu profesi yang sangat berperan dalam menampung tenaga kerja perempuan. Migran dengan tingkat pendidikan SLTP dan SLTA berjumlah sekitar 40.58. Untuk tingkat SLTP proporsi migran perempuan lebih besar dibandingkan migran laki- laki, namun sebaliknya pada tingkat SLTA, proporsi migran laki-laki lebih besar daripada proporsi migran perempuan. Selanjutnya, migran yang berpendidikan Diploma ke atas berjumlah sekitar 16.13, dan proporsi laki-laki lebih besar dibandingkan proporsi perempuan. Tabel 32 Migran terkini berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jenis kelamin di DKI Jakarta, 2000 Pendidikan tinggi yang ditamatkan Laki-laki Perempuan Total TidakBelum Pernah Sekolah 2,70 2,13 2,37 Tidak Tamat SD 10,91 11,12 11,04 SDMISederajat 22,99 35,15 29,88 SLTPMTsSederajat 17,59 22,42 20,33 SLTAMASederajat 24,59 16,93 20,25 SM Kejuruan 7,96 5,11 6,34 Diploma III 0,46 0,45 0,45 Diploma IIISarjana Muda 3,39 2,82 3,07 Diploma IVS1 8,23 3,75 5,69 S2 0,73 0,12 0,38 S3 0,45 0,00 0,20 Total 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS, 2001

6.3.3 Status Pekerjaan

Status pekerjaan adalah jenis kedudukan seseorang dalam pekerjaan, yaitu: berusaha sendiri, berusaha dengan buruh tidak tetap, berusaha dengan buruh tetap, buruhkaryawan dan pekerjaan keluarga yang tidak dibayar. ”Berusaha” berbeda dengan ”buruhkaryawan”. Pendapatan mereka yang berstatus ”berusaha” sangat bergantung pada untung atau resiko rugi dari kegiatan usaha, sedangkan sebagai ”karyawan” seseorang tidak menanggung resiko rugi, tetapi tetap memperoleh pendapatan berupa gajiupah. Mereka yang ”berusaha” bisa menciptakan kesempatan kerja apabila dibantu oleh buruh, baik buruh tetap maupun buruh tidak tetap. Tabel 33 Distribusi persentase penduduk migran yang bekerja menurut status pekerjaan utama dan kota di DKI Jakarta, 2000 Status Pekerjaan Jak Sel Jak Tim Jak Pus Jak Bar Jak Ut DKI Jakarta Berusaha Sendiri 11,16 19,91 11,65 14,72 18,24 15,91 Berusaha dibantu dengan buruh tidak tetap 1,39 1,69 1,94 0,43 0,55 1,16 Berusaha dibantu dengan buruh tetap 3,72 0,42 1,93 0,43 1,10 1,36 Buruhkaryawan 80,94 72,05 78,65 83,99 79,00 78,44 Pekerja tak dibayar 2,79 5,93 5,85 0,43 1,11 3,13 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS, 2001 Dari distribusi persentase migran bekerja, ternyata 78.44 dari mereka bekerja sebagai buruhkaryawan. Migran tersebut terperangkap dalam sektor informal, hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan migran yang tidak terlalu tinggi yang menyebabkan migran tersebut tidak dapat bekerja di sektor formal sehingga hanya bekerja di sektor informal. Apabila dilihat dari distribusi migran tersebut di atas, maka migran tersebut merupakan penduduk dengan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi dan pendapatan yang mereka hasilkan juga rendah, sehingga mereka membentuk suatu permukiman yang dikenal dengan ”kampung”. Somantri 2000 menjelaskan struktur kota seperti ini menunjukkan bahwa mayoritas warga merupakan kalangan ”miskin”. Banyak diantara mereka pemukim liar atau menempati tanah dengan status tidak jelas, secara politik amat lemah, bekerja di sektor informal. Mereka secara geografis dan okupasional sangat mobile. Oleh karena itu warga tersebut merupakan ”urban floating-mass”. Melalui migrasi dalam kota, mereka membangun hubungan sosial baru dan perumahan mandiri ”self-housing project”. Hubungan sosial yang dimaksud adalah melalui organisasi sosial, baik formal maupun informal, menjalin kerjasama, agar dapat menyalurkan kepentingan bersama di tingkat komunitas Ibrahim, 2002. Pola hubungan sosial yang ada di komunitas adalah pertemanan yang cukup akrab, namun sebagian besar pola hubungan sosial sangat tergantung pada kondisi fisik rumah di lingkungan. Artinya, bila berdekatan pola hubungan sosial cukup dekat, bahkan kenal dengan sebagain besar warga, terutama yang satu RT dan berdekatan. Untuk kondisi rumah yang mewah dan modern, pola hubungan hanya sebatas saling kenal. Berdasarkan penelitian Ibrahim 2002, proses pembangunan dan perkembangan DKI Jakarta menghasilkan pusat-pusat kegiatan baru yang tersebar di berbagai wilayah DKI Jakarta, seperti Kebayoran Baru, Pondok Indah, Kelapa Gading, Gerogol, dan Pluit. Selanjutnya terjadi proses suburbanisasi yang ditandai oleh kantung-kantung permukiman di pinggir DKI Jakarta atau ’suburban enclave housing: real estate”. Akibatnya tercermin pada ketimpangan spasial, sehingga DKI Jakara terbagi kedalam kantung-kantung permukiman berdasarkan strata sosial ekonomi, seperti Kampung-Kumuh dan Perumahan Real Estate middle class household dengan permasalahan komunitas yang berbeda. DKI Jakarta tidak dapat diperlakukan sama sebagai pola permukiman yang homogen, baik ditingkat makro maupun mikro. Setiap bagian memiliki kondisi komunitas ketetanggaan yang berbeda dari sudut sosial, ekonomi, dan budaya heterogen.

6.4 Ikhtisar

Terjadinya ketimpangan antar wilayah yang ada di Indonesia, tidak diikuti dengan adanya keterkaitan antar sektor dan antar wilayah yang baik, yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi antar wilayah yang semakin melebar sehingga mendorong orang untuk bermigrasi ke DKI Jakarta. Asal migran lebih banyak dari wilayah Jawa Barat, yang merupakan wilayah yang paling dekat dengan aksesibilitas ke DKI Jakarta yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Tujuan migran yang pindah ke DKI Jakarta lebih dominan mencari pekerjaaan, dengan tingkat pendidikan yang tidak tinggi yaitu SD, SLTP, serta SLTA sehingga sebagian migran yang bekerja hanya sebagai buruhkaryawan. Seperti yang dijelaskan oleh BPS 1995 ada tiga karakteristik migran, diantaranya: 1 Karakteristik demografi, meliputi para pemuda berumur 15-24 tahun. Proporsi migran ini meningkat karena kesempatan pendidikan yang meningkat. Ada dua tipe migran, yaitu migrasi “peserta” dari para istrisuami dan anak-anak yang mengikuti migrasi “utama”, dan migrasi yang tidak disertai oleh siapapun tipe ini berkembang dengan pesat. 2 Karakteristik pendidikan, yang menunjukkan adanya korelasi positif antara pendidikan yang dicapai dengan migrasi. Penduduk yang bersekolah tinggi mempunyai peluang bermigrasi yang besar dari pada penduduk yang tidak bersekolah tinggi. 3 Karakteristik ekonomi, migran beberapa tahun yang lalu adalah miskin, tidak memiliki tanah, dan tidak memiliki keahlian, dimana kesempatan-kesempatan di perdesaaan hampir tidak ada sama sekali. Namun akhir-akhir ini, situasi tersebut telah berubah dengan munculnya sektor industri yang stabil dan modern. Migran pria maupun wanita berasal dari semua strata, sosio- ekonomi dengan mayoritas berasal dari golongan miskin karena memang kebanyakan penduduk desa itu miskin. Diantara ketiga karakteristik migrasi tersebut di atas, ternyata bahwa ekonomi yang dominan melatarbelakangi penduduk miskin di perdesaan melakukan migrasi ke perkotaan. Migran tersebut terperangkap dalam sektor informal, hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan migran yang tidak terlalu tinggi yang menyebabkan migran tersebut tidak dapat bekerja di sektor formal sehingga hanya bekerja di sektor informal. Mereka membentuk suatu permukiman yang dikenal dengan ”kampung”. Melalui migrasi dalam kota, mereka membangun hubungan sosial baru dan perumahan mandiri ”self- housing project”. Pola hubungan sosial yang ada cukup dekat, bahkan kenal dengan sebagain besar warga, terutama yang satu RT dan berdekatan. Sedangkan untuk kondisi rumah yang mewah dan modern, pola hubungan hanya sebatas saling kenal. Berdasarkan penelitian Ibrahim 2002, proses pembangunan dan perkembangan DKI Jakarta menghasilkan pusat-pusat kegiatan baru yang tersebar di berbagai wilayah DKI Jakarta, yang mengakibatkan tercermin pada ketimpangan spasial. DKI Jakara terbagi kedalam kantung-kantung permukiman berdasarkan strata sosial ekonomi, seperti Kampung-Kumuh dan Perumahan Real Estate middle class household dengan permasalahan komunitas yang berbeda. VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata di sisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup kompleks, dan cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antarwilayah yang sangat besar Anwar, 2005. Dalam penelitian ini, wilayah DKI Jakarta merupakan pusat dari aktivitas masyarakat yang didominasi oleh sektor tersier, serta wilayah Bodetabek yang merupakan wilayah penyangga DKI Jakarta didominasi oleh sektor sekunder. Sedangkan wilayah Sisa Indonesia masih didominasi oleh sektor primer. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa Anwar, 2005. Ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Ketidakmerataan pembangunan menghasilkan struktur hubungan atau keterkaitan antarwilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah Anwar, 2005. Wilayah belakang hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan backwash yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan. Namun di sisi lain, terjadinya akumulasi modal atau nilai tambah di wilayah pusat pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat bahwa wilayah DKI Jakarta yang memiliki dominasi sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, tetapi sektor tersebut tidak menjadi pengganda output bagi Indonesia secara keseluruhan, yang mengindikasikan bahwa mediasi bagi simpul ekonomi secara nasional tidak berfungsi sebagaimana mestinya, malah hanya terjadi akumulasi modal di DKI Jakarta. Sektor dengan nilai pengganda pendapatan yang tertinggi di DKI Jakarta adalah sektor pertambangan dan penggalian. Sedangkan untuk wilayah Bodetabek dan Sisa Indonesia, sektor dengan nilai pengganda pendapatan yang tertinggi adalah sektor angkutan udara. Sektor-sektor tersebut merupakan sektor-sektor yang tidak hanya berkembang di wilayah itu sendiri, melainkan berkembang pula di wilayah lainnya. Walaupun sektor tersebut tidak memberikan kontribusi output yang tinggi untuk wilayahnya sendiri, tetapi wilayah tersebut memberikan kotribusi pendapatan yang tinggi secara nasional. Menurut Retnowati 2006, pengganda pendapatan yang dominan hampir di seluruh Indonesia adalah sektor jasa , sektor lain adalah bangunan, pertambangan, listrik, gas, dan air minum, serta transportasi dan komunikasi. Sektor keuangan dan pertanian hanya ada di beberapa propinsi saja. Dari pembanding yang dilakukan antara T ahun 1995 dan 2000, beberapa provinsi tidak terjadi perubahan sektor yang memiliki nilai pengganda pendapatan yang tinggi. Beberapa perubahan sektor terjadi pada provinsi-provinsi yang pada Tahun 1995 mendapat sektor pertambangan sebagai sektor yang dominan, pada Tahun 2000 posisi sektor tergeser oleh sektor bangunan atau transportasi dan komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sektor sekunder diwakili oleh sektor bangunan dan tersier diwakili oleh sektor transport asi dan komunikasi telah menggeser posisi sektor primer diwakili oleh sektor pertambangan yang memiliki nilai pengganda pendapatan yang tinggi. Terjadinya backwash effects pada wilayah-wilayah yang lebih maju terhadap wilayah lainnya, sehingga dapat menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang terbelakang. Di DKI Jakarta nilai pengganda outputnya lebih tinggi terhadap wilayah DKI Jakarta itu sendiri, dibanding terhadap wilayah lainnya. Sehingga hanya meningkatkan ouput pada wilayahnya sendiri. Selain itu, keterkaitan antarsektor antarwilayah di Indonesia sangat lemah, hal ini dapat dilihat dari penggunaan output untuk dijadikan input di wilayah lain sangat kecil. Penggunaan output-output tersebut lebih banyak digunakan sebagai input pada wilayahnya sendiri. Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan antarsektor terkuat di DKI Jakarta adalah sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan. Untuk Bodetabek yang memiliki keterkaitan antarsektor terkuat adalah sektor industri, dan perdagangan. Sedangkan sektor yang memiliki keterkaitan antarsektor terkuat di Sisa Indonesia adalah sektor indutri, perdagangan, dan bangunan. Pada penelitian Wikarya 2003 menunjukkan bahwa pola keterkaitan ekonomi yang asimetris antarpulau di Indonesia berakibat pada sebuah keadaan yang kontraproduktif dengan upaya pemerataan, yaitu kenaikan permintaan akhir atas output yang diproduksi di Jawa dan Bali hanya sedikit berdampak pada penambahan output, pendapatan, serta tenaga kerja di pulau-pulau lainnya. Sebaliknya kenaikan permintaan akhir atas output yang diproduksi di luar Jawa dan Bali berdampak signifikan dalam peningkatan output, pendapatan, serta kesempatan kerja di Jawa dan Bali. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketidakmerataan pembangunan menghasilkan struktur hubungan atau keterkaitan antarwilayah yang saling melemahkan. Wilayah belakang hinterland terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan backwash yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi modal atau nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara berlebihan. Akumulasi modal atau nilai tambah tersebut terjadi di wilayah pusat pertumbuhan yang selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah belakangperdesaan. Akhirnya pada keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk keluar dari desa menuju ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan akhirnya menjadi diperlemah, disebabkan karena timbulnya berbagai ”penyakit urbanisasi” yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota-kota, dapat dilihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami ” over-urbanization”. Todaro 1997 berpendapat bahwa motivasi seseorang untuk migrasi karena motif ekonomi. Motif ini timbul karena adanya kesenjangan antarwilayah. Oleh karena itu, migrasi penduduk mencerminkan adanya keseimbangan ekonomi antara desa dengan kota. Status ini akan memicu pola migrasi cenderung ke kota atau ke desa tergantung dari kekuatan daya penarik dan pendorong pull -push factors. Faktor yang mendorong dan menarik seseorang untuk bermigrasi adalah: 1 faktor demografi jenis kelamin, pendidikan, 2 harapan pendapatan yang lebih besar dari apa yang sebenarnya diperoleh di desa, 3 sempit dan rendahnya sumberdaya lahan yang dicerminkan dalam produktifitas, 4 terbatasnya kesempatan kerja pertanian bagi tenaga kerja yang mempunyai pendidikan tinggi. Di samping itu faktor penarik lainnya adalah: 1 adanya kesempatan kerja sektor industri dan jasa di wilayah perkotaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi, 2 dukungan perkembangan sarana dan prasarana infrastruktur dan teknologi komunikasi. Sedangkan Antono 1998 menjelaskan bahwa sektor industri mempunyai daya tarik yang cukup besar bagi penduduk perdesaan, karena sektor ini mampu menawarkan dari pada sektor pertanian. Seperti halnya wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek yang merupakan kota industri dengan segala fasilitas tersedia di sini antara lain pendidikan yang lengkap, pertokoan mewah, aneka macam hiburan, dan wisata tidak luput dari serbuan kaum migran. Menurut Alatas dalam Antono 1998, mobilitas penduduk di daerah tujuan mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya sektor industri di perkotaan dapat memenuhi tenaga kerja terutama tenaga kerja kasar dan menengah dari perdesaan. Selain itu mobilitas penduduk juga dapat berperan sebagai relokasi sumberdaya manusia ke arah yang lebih produktif. Namun karena laju perpindahan penduduk ke perkotaan melampaui daya serap sektor industri, maka yang tidak terserap di sektor industri terpaksa terjun ke sektor informal yang umumnya memiliki pendapatan rendah dan tidak menentu. Berdasarkan penelitian Desiar 2003 migrasi masuk tersebut berdampak pada perkembangan sektor informal. Sektor informal walaupun berskala kecil dan sulit memperoleh akses ke lembaga keuangan formal bank serta tiadanya perlindungan dari pemerintah yang memadai tetap akan diminati para migran yang tingkat pendidikannya relatif rendah. Hal ini disebabkan mudahnya orang bekerja atau berusaha di sektor ini, yaitu tidak memerlukan ijin usaha, tidak memerlukan pendidikan formal yang tinggi, dan tidak memerlukan modal yang besar. Karena itu cukup banyak migran yang pendidikannya hanya sampai SLTP yang sulit memasuki sektor formal akhirnya berusaha di sektor informal. Pada penelitian Antono 1998, menunjukkan bahwa eratnya hubungan migran dengan daerah asal migran terutama dijumpai pada laki- laki dan perempuan migran yang bekerja di sektor informal. Frekuensi pulang kampung kaum migran di sektor informal lebih tinggi dibandingkan kaum migran di sektor formal. Alasan mereka sering pulang kampung antara lain mengirim uang untuk biaya hidup dan sekolah anaknya yang tinggal di desa. Kaum migran di sektor informal terutama kaum perempuan, tidak tertarik membeli rumah di kota tujuan dibandingkan dengan laki-laki. Kehidupan kaum migran terutama yang bekerja di sektor informal amat sederhana di kota tujuan. Cara hidup yang sederhana tersebut dilakukan dengan maksud meminimalkan pengeluaran untuk biaya hidup di kota. Sehingga penghasilan yang diterimanya masih cukup untuk dibawa pulang ke desa asalnya. Alasan mereka mencari nafkah di kota adalah faktor ekonomi antara lain kurangnya peluang usaha di desa asal push factor dan kesempatan mendapatkan penghasilan yang lebih baik di kota tujuan pull factor. Selain itu, perkembangan wilayah perkotaan dalam hal ini DKI Jakarta sangat perlu untuk memperhatikan masalah modal sosial social capital. Perkembangan tersebut dicirikan oleh terjadinya berbagai bentuk ketidakefisienan dan permasalahan, seperti meluasnya daerah kumuh slum area, tingginya tingkat pencemaran, terjadinya kemacetan lalu lintas, merebaknya kriminalitas, dan sebagainya. Selain itu juga, menurut Ibrahim 2002 proses pembangunan dan perkembangan DKI Jakarta yang menghasilkan pusat -pusat kegiatan baru yang tersebar di berbagai wilayah DKI Jakarta, mengakibatkan adanya ketimpangan spasial. Hal ini yang menjadikan DKI Jakarta tidak dapat diperlakukan sama sebagai pola permukiman yang homogen, baik di tingkat makro maupun mikro. VIII SIMPULAN

8.1 Simpulan