1. 3. Hubungan Kebakaran HutanLahan dengan Faktor Iklim 1. 4. Deteksi Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan

gambut, yaitu tipe lapisan permukaan surface fire dan tipe bawah permukaan ground fire. Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut hingga 10–15 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 cm jam -1 atau 92 cm hari -1 . Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 30–50 cm di bawah permukaan. Pada tipe dua ini ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut peat dome dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam -1 atau 29 cm hari -1 . Kebakaran tipe kedua ini lebih berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe dua ini sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun. Dari uraian di atas jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut dapat menimbulkan dampakakibat buruk yang lebih besar dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di kawasan tidak bergambut tanah mineral. Oleh karena itu, cara penanganannyapun berbeda.

2. 1. 3. Hubungan Kebakaran HutanLahan dengan Faktor Iklim

Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan melalui dua cara, yaitu: panjang musim dan keparahan kebakaran, dan peningkatan jumlah bahan bakar hutan di suatu daerah Chandler et al. 1983. Lebih lanjut Chandler et al. 1983 menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan melalui berbagai cara yang saling berkaitan, yakni: 1. Jumlah total bahan bakar yang tersedia, 2. Jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, 3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, dan 4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan. Sementara itu menurut Pyne et al. 1996, iklim terutama curah hujan juga menentukan jumlah dan jenis vegetasi serta kadar air bahan bakaran. Faktor iklim sangat mempengaruhi perilaku api dalam hal proses penyalaan, perkembangan nyala api, penjalaran api, dan kondisi asap Weise dan Biging 1996; Saharjo 1999; Gomez-Tejedor et al. 2000. Selain itu, faktor iklim juga mempengaruhi sifat-sifat bahan bakar seperti tipe bahan bakar, kandungan bahan bakar, sifat-sifat instrinsik, kekompakan, dan kadar air bahan bakar Johansen 1985; van Wagtendonk dan Sydoriak 1985; Saharjo 1999. Walaupun hampir seluruh kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan manusia, baik sengaja maupun tidak disengaja, namun faktor iklim tetap memegang peranan penting. Hal ini terkait dengan kebiasaan penyiapan lahan yang dilakukan pada musim kemarau. Fakta lain menunjukkan bahwa kemarau panjang tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 19971998, dan 2002 yang berasosiasi dengan kejadian El Nino menyebabkan meluasnya bencana kebakaran hutan.

2. 1. 4. Deteksi Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan

Deteksi dini kebakaran hutan sangat penting dalam mengurangi dampak kerusakan kebakaran. Satelit inderaja membuka peluang pilihan analisis kehutanan dan ekosistem lainnya secara kualitatif pada skala spasial dan geografis. Sehubungan dengan kebakaran hutan dan lahan, data satelit mempunyai peranan yang sangat penting dalam identifikasi dan pemetaan kebakaran hutan serta dalam perekaman frekuensi kerusakan pada wilayah atau tipe vegetasi. Dengan demikian, pemantauan dan pendeteksian kebakaran hutan akan sangat efektif menggunakan data inderaja. Selain itu, data inderaja juga dapat digunakan untuk memahami perilaku kebakaran hutan, faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap area kebakaran, dan faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku kebakaran. Integrasi antara data inderaja dengan faktor- faktor penyebab kebakaran secara Sistem Informasi Geografi GIS akan sangat efektif untuk keperluan pemetaan wilayah risiko kebakaran hutan. Kondisi suhu yang panas karena kebakaran hutanlahan sering terpantau oleh satelit sebagai hotspots titik-titik panas. Hotspots merupakan salah satu indikator terjadinya kebakaran hutanlahan. Deteksi kebakaran aktif menggunakan hotspot didasarkan pada deteksi dari radiasi inframerah termal TIR = termal infrared yang diemisikan oleh api kebakaran. Data hotspot tersebut dapat diperoleh dari data satelit NOAA-AVHRR dan MODIS. Hotspotdidefinisikan sebagai titik-titik pada citra pixel atau sub-pixel yang mempunyai suhu sangat tinggi dan berhubungan dengan active fire Kobaran Api di permukaan bumi. Menurut hukum pergeseran WIEN’S, suhu tersebut berkisar antara 400 o K sampai dengan 700 o K di permukaan bumi. Suhu titik api tersebut pada citra dapat dihasilkan berdasarkan nilai suhu kecerahannya Temperature Brightness=Tb , yang diturunkan berdasarkan persamaan yang dikembangkan oleh D’Souza 1993. Data hotspot dari NOAA-AVHRR ditentukan dengan memanfaatkan data kanal 3 kanal inframerah sedang dengan panjang gelombang 3.55 – 3.93 m dan kanal 4 kanal inframerah panjang dengan panjang gelombang 10.3 – 11.3 m, sedangkan dari data MODIS ditentukan dengan menggunakan kanal-kanal yang mempunyai panjang gelombang 4µm dan 11µm. Dari hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa data hotspot yang diturunkan dari data NOAA maupun MODIS dapat digunakan sebagai indikasi terjadinya kebakaran hutanlahan di suatu wilayah. Penggunaan MODIS untuk deteksi hotspot kebakaran memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan menggunakan AVHRR-NOAA. Kelebihannya adalah penentuan posisi geolokasi yang lebih baik, penggunaan metode pemrosesan data yang lebih konsisten, dan informasi dapat diperoleh lebih cepat melalui internet. Selain itu, algoritma yang diaplikasikan untuk data AVHRR tidak mampu menghasilkan nilai suhu permukaan yang lebih tinggi dari 325 K, sehingga nilai ini diterima sebagai nilai maksimum pada kisaran luaran sensor. Hal ini dikarenakan adanya kejenuhan saturasi dalam kanal 3 3.55 – 3.93 m Kaufman et al. 1990 yang diacu oleh Fuller 2003. Meskipun pengaruh “Sun- glint ” dan suhu permukaan yang tinggi selama siang hari memungkinkan menghasilkan nilai suhu yang lebih tinggi Justice et al. 2002 yang diacu oleh Fuller 2003, akan tetapi kanal-kanal termal MODIS jenuh pada suhu yang lebih tinggi sehingga memungkinkan untuk mendapatkan sumber informasi suhu yang lebih akurat pada sebaran dan waktu kejadian kebakaran dibandingkan dengan AVHRR. MODIS memiliki 36 kanal yang dapat digunakan untuk mengkoreksi nilai suhu yang tidak benar dibandingkan AVHRR yang hanya memiliki 4 kanal. Selain itu, kanal inframerah-tengah MODIS dipusatkan pada 4 m; sedangkan AVHRR pada 3.8 m, yang dapat mengurangi proporsi radiansi yang diterima dari pantulan permukaan Fuller 2003. Deteksi kebakaran dengan hotspot dapat dilakukan secara harian dan dipertimbangkan sebagai cara yang relatif baik dan cukup efektif untuk menentukan keragaman kebakaran antar musim, waktu dan tahun Eva dan Lambin 1998a. Kelemahan utama sistem deteksi hotspot ini antara lain: adanya kemungkinan bias yang disebabkan oleh tidak sesuainya waktu kejadian kebakaran regional dengan waktu lintas satelit yang relatif tetap Eva dan Lambin 2000 dan masalah penutupan awan yang menjadi hambatan khususnya pada area tropis lembab seperti wilayah Indonesia. Selain itu, sistem deteksi hotspot tidak mampu untuk mengestimasi dampak kebakaran dikarenakan ketidakmampuannya untuk mengukurmenghitung total area dari bagian permukaan yang terbakar pada area yang terkena kebakaran. Sebuah piksel berukuran 1km 2 dapat dijenuhi oleh sebuah kebakaran yang tidak lebih besar dari 0.001km 2 yang melebihi ketidakpastian ukuran area terbakar yang terjadi pada daerah yang terdeteksi terbakar. Walaupun demikian, dikarenakan perlunya informasi tentang dampak dari kebakaran vegetasi dan ketiadaan data yang lebih baik, maka penggunaan hotspot sering pula digunakan untuk mengestimasi area terbakar secara luas dan telah diuji oleh beberapa peneliti dengan berbagai tingkat keberhasilan, baik pada skala global Giglio et al. 2006 dan regional Eva and Lambin 1998a, Stolle et al. 2004. Berdasarkan distribusi hotspot kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir di seluruh provinsi, khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan yang merupakan wilayah dengan kejadian kebakaran terbesar. Di Sumatera, kebakaran lebih sering terjadi di wilayah Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan Gambar 2-1. Sementara itu di Provinsi Riau, wilayah yang sering dilanda kebakaran ada di Kabupaten Pelalawan, Bengkalis, dan Rokan Hilir Gambar 2-2. Berdasarkan penggunaan lahan di Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2001 sampai dengan 2005, hotspot rata-rata tertinggi ditemukan pada areal perkebunan 264, diikuti pada areal HPH 259, areal penggunaan lain 157 dan HTI 103 Hendriana 2006. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2-1. Tabel 2-2. Data hotspotberdasarkan Penggunaan Lahan di Kabupaten Rokan Hilir, Propinsi Riau tahun 1997- Maret 2005 Penggunaan Lahan Hotspot Tahun Jumlah Rata-rata 2001 2002 2003 2004 2005 HPH 261 223 102 215 497 1.298 259 HTI 69 96 35 31 285 516 103 Perkebunan 134 264 126 241 552 1.317 264 ArealPenggunaan Lain 88 214 40 74 369 785 157 Total 552 797 303 561 1.703 3.916 Sumber data : Kementerian Lingkungan Hidup 2001-2005dalam Hendriana 2006 Hasil penelitian Syaufina et al. 2004b menyatakan bahwa jumlah hotspotpada kejadian kebakarandi Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau juga berhubungan erat dengan jumlah curah hujan. Peningkatan dan penurunan jumlah hotspot pada bulan-bulan tertentu berkaitan dengan peningkatan dan penurunan jumlah curah hujan. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, yaitu mulai bulan Agustus-Desember,jumlahhotspot berkurang bahkan tidak dijumpai sama sekali. Sebaliknya, pada saat curah hujan rendah atau tidak terjadi hujan, maka terjadi hotspot dalam jumlah tinggi seperti pada bulan Maret, April, dan Juli. Jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli di mana curah hujan mengalami titik terendah. Boer et al. 2010 mendapatkan bahwa berdasarkan analisis statistik hubungan antara jumlah hotspot dengan panjang deret hari kering sebelum kebakaran menunjukkan jumlah hotspot meningkat secara exponensial dengan meningkatnya jumlah deret hari kering dengan tingkat keragaman 62 Gambar 2-1. Dengan demikian, semakin panjang deret hari kering, risiko untuk terjadinya kebakaran akan semakin besar. Gambar 2-1. Hubung Berdasarkan ha 2009 menunjukkan direpresentasikan den hujan yang negatif. K potensi kerapatan hots Gambar 2-2. Hubun Kalimantan T 2. 2. Analisis dan Pe