PENDAHULUAN Latar Belakang Utilization of READY ARL NOAA data and CMORPH for land and forest fire risk model development in Central Kalimantan
1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang
Salah satu penyebab degradasi hutan dan lahan adalah kebakaran. Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang hampir setiap tahun terjadi
di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Pada kejadian kebakaran skala besar pada tahun 19971998 diperkirakan sekitar 10 juta hektar lahan rusak
terbakar dengan kerugian ekonomis untuk Indonesia mencapai 9.3 milyar dolar US ADBBAPPENAS 1999. Sementara kerugian akibat polusi asapnya
diperkirakan mencapai 800 juta US dolar. Bersamaan dengan itu, emisi gas rumah kaca GRK yang dilepaskan ke atmosfir sebanyak 810 – 2,563 Mt C Page et al.
2002 yang setara dengan 13 – 40 total emisi karbon dunia yang dihasilkan bahan bakar fosil per tahunnya Cochrane 2003, Page et al. 2002. Apabila
kebakaran terjadi pada lahan gambut, maka emisi karbon yang dikeluarkan tidak hanya terbatas dari vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah saja tetapi
bahan organik yang terdapat di dalam tanah juga akan terurai dan mengeluarkan karbon ke atmosfir. Hal ini dikarenakan lahan gambut memiliki lebih banyak
karbon di bawah permukaan daripada di atasnya CIFOR, 2009. Pada periode
1997 – 1998 tersebut, diduga lahan gambut menyumbang 60 dari produksi asap di Asia Tenggara dan mempengaruhi 35 juta orang ADBBAPPENAS 1999.
Hal ini berarti akan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan
iklim. Hasil kajian pustaka Miettinen 2007 mendapatkan bahwa kebakaran di
wilayah tropis terjadi karena kegiatan manusia dalam mengelola lahan seperti: penyiapan lahan pertanian, pembersihan lahan, dan pembakaran pasca panen,
penggunaan api dalam sengketa lahan, perburuan, dan ketidaksengajaan seperti: api unggun dari aktivitas perkemahan, kegiatanmerokok, dan sebagainya, dan
aktivitas pengendalian hama. Menurut Saharjo 2000, dalam satu kali pembukaan lahan sebuah perusahaan dapat melakukan penebangan seluas 10 – 20 ha, bahkan
sampai 40 ha, kemudian bekas tebangan dibiarkan mengering selama 2 – 3 minggu untuk selanjutnya dibakar.
Fuller 1995 menyatakan bahwa unsur-unsur iklim berpengaruh sangat besar terhadap kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dikarenakan iklim dapat
mempengaruhi kondisi bahan bakaran dan kemudahannya terbakar. Sementera itu, Chandler et al. 1983 menyatakan bahwa faktor iklim mempengaruhi kebakaran
melalui dua cara, yakni: menentukan panjang musim dan tingkat keparahan kebakaran, serta berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar hutan di suatu daerah.
Pada beberapa kejadian kebakaran seperti tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 19971998, dan 2002, meluasnya bencana kebakaran diakibatkan musim kemarau
panjang yang berasosiasi dengan kejadian El Nino. Walaupun sebagian besar kebakaran terjadi akibat ulah manusia, namun faktor iklim terutama curah hujan
tetap memegang peranan penting. Hal ini terkait dengan kebiasaan penyiapan lahan yang dilakukan pada musim kemarau. Oleh karena itu, unsur-unsur iklim
terutama curah hujan atau tingkat kekeringan akibat menurunnya jumlah hujan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat risiko kebakaran
hutan dan lahan. Kebutuhan data iklim dan cuaca dalam pengembangan model-model yang
menggunakan data iklim sebagai masukannya input seringkali terkendala dengan keterbatasan ketersediaan data. Kondisi ini menjadi salah satu faktor
penghambat untuk melakukan kajian lebih lanjut masalah-masalah yang berhubungan dengan iklim dan cuaca. Pengumpulan informasi ke pusat yang
berjalan lambat, jumlah stasiun hujan dan tenaga ahli yang masih sangat kurang menjadi faktor pendukung keterbatasan data. Permasalahan utama lainnya yang
dihadapi adalah format dan struktur data yang belum standar, sehingga sulit untuk dapat langsung digunakan dalam penelitian Balitklimat 2009.
Kebutuhan terhadap ketersediaan data dan informasi yang aktual dan relatif near real-time
telah mendorong berkembangnya model prediksi, baik yang berbasis statistik maupun stokastik. Dewasa ini dengan makin berkembangnya
teknologi satelit, maka pemanfaatan data satelit menjadi alternatif yang sangat baik. Hal ini dikarenakan datanya lebih mampu mewakili wilayah yang luas,
biaya lebih murah, dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak dalam pengumpulan datanya.
Berbagai jenis data curah hujan estimasi dan unsur-unsur iklim lainnya dari data satelit telah dikeluarkan oleh NOAA dengan tingkat keakuratan yang relatif
baik. Hal ini membuat penggunaan data estimasi curah hujan yang berasal dari
satelit geostationary menjadi alternatif utama bagi peneliti dalam dan luar negeri untuk melakukan kajian iklim, seperti data estimasi curah hujan CMORPH CPC-
Morphing Technique . Menurut Janowiak 2007, TRMM Tropical Rainfall
Measuring Mission TMI TRMM Microwave Image yang digunakan dalam
pembangkitan data curah hujan CMORPH memiliki kemampuan yang lebih baik dalam estimasi hujan dengan tingkat kesalahan kecil. Menurut Oktavariani
2008, kemampuan model estimasi curah hujan dari data CMORPH untuk mengisi data yang hilang selama 2 - 3 bulan adalah cukup baik. Nilai korelasi
antara observasi dan hasil dugaannya berkisar antara 0.45 – 0.60. Selain data CMORPH, NOAA juga telah mengeluarkan data dan informasi
meteorologi lainnya yang dapat dieksplorasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan pemantauan dinamika atmosfir dan cuaca serta dispersi polusi melalui
pengamatan profil atmosfer, seperti data profil atmosfer dari READY-ARL Real- time Environment Applications and Display System-Air Resources Laboratory
NOAA dan dari MODIS. Penggunaan data READY-ARL NOAA sebagai data penduga parameter profil atmosfer dan unsur cuaca diharapkan dapat membantu
mengatasi keterbatasan data permukaan dan pengisi data profil atmosfer yang hilang missing data yang secara operasional di permukaan diperoleh dari
radiosonde. Penggunaan data READY-ARL NOAA selama ini belum banyak dieksplorasi untuk kepentingan pendugaan unsur iklim dan cuaca, khususnya di
Indonesia. Penelitian ini mencoba menganalisis hubungannya dengan data observasi permukaan dan memanfaatkannya sebagai masukan model Sistem
Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK. Selain itu, hasil analisis hubungannya dengan data observasi radiosonde diharapkan menjadi alternatif untuk perolehan
data radiosonde di wilayah yang tidak mempunyai stasiun peluncuran radiosonde. Sebagaimana diketahui bahwa, Indonesia dengan wilayah yang sangat luas hanya
memiliki 14 stasiun peluncuran radiosonde di seluruh Indonesia. Dengan demikian, potensi pemanfaatan data READY-ARL NOAA sangat penting untuk
dikaji. Keunggulan penggunaan data READY-ARL NOAA adalah data dapat diperoleh secara gratis, waktu pengamatan 3 jam-an dibandingkan dengan
radiosonde yang hanya 2 kali sehari, dan data pengamatan yang lebih rapat di level lapisan bawah atmosfir sebaliknya radiosonde lebih rapat di atas, padahal
proses dinamika atmosfir yang mempengaruhi cuaca adalah pada lapisan atmosfir bawah.
Adanya kaitan yang cukup erat antara kebakaran hutan dan lahan dengan faktor iklim memungkinkan untuk dikembangkannya model-model pemantauan
dan peringatan dini kebakaran. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geologi BMKG dan LAPAN telah mengembangkan Sistem Peringkat Bahaya
Kebakaran SPBK yang berbasis data iklim. SPBK BMKG menggunakan data iklim observasi permukaan, sedangkan LAPAN menggunakan data iklim yang
diturunkan dari data satelit dari berbagai sumber. Model SPBK, baik yang dikembangkan oleh BMKG dan LAPAN mengadopsi model FDRS Fire Danger
Rating System yang dikembangkan di Canada. Masukan input data dalam
model ini adalah data suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan curah hujan. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian Syaufina et al. 2004 menjelaskan bahwa dari
beberapa faktor iklim yang diuji hubungannya dengan kondisi kebakaran lahan gambut di Hutan Simpan Sungai Karang di Tanjong Karang, Selangor, Malaysia
hanya faktor curah hujan yang memiliki hubungan yang relatif baik. Faktor curah hujan berpengaruh pada kandungan air bahan bakar organik pada lahan gambut.
Selain itu, Ceccato et al. 2007 mendapatkan bahwa faktor anomali hujan yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran. Oleh karena itu, penelitian ini juga
menganalisis efektifitas penggunaan indeks-indeks SPBK dalam menduga potensi kebakaran hutan dan lahan.
Kondisi suhu yang panas karena kebakaran hutan dan lahan dapat terpantau oleh satelit sebagai titik-titik panas hotspots. Deteksi hotspot didasarkan pada
deteksi radiasi inframerah termal TIR = thermal infrared yang diemisikan oleh kobaran api kebakaran yang terjadi di permukaan. Data hotspot tersebut dapat
diperoleh dari data satelit National Oceanic and Atmospheric Administration – Advanced
Very High
Resolution Radiometer
NOAA-AVHRR dan
MODIS.Hingga saat ini deteksi hotspot titik panas masih dipercaya sebagai salah satu cara yang cocok dan efektif dalam menggambarkan keragaman
musiman, tahunan, dan waktu terjadinya kebakaran. Namun dari hasil penelitian sebelumnya telah ditunjukkan bahwa banyaknya jumlah hotspot yang terdeteksi
tidak selalu berhubungan dengan banyaknya kejadian dan luasnya kebakaran.
Oleh sebab itu, penelitian ini juga menilai hubungan jumlah hotspot dengan luas kejadian kebakaran.
Penelitian-penelitian sebelumnya tentang kebakaran hutan dan lahan pada dasarnya telah menggunakan faktor lingkungan fisik, iklim dan infrastruktur baik
secara terpisah maupun terintegrasi untuk menilai dan mengkajikondisi kebakaran yang terjadi, seperti yang dilakukan Hidayat 1997, Syaufina et al. 2004,
Adiningsih 2005, Hadi 2006, dan Jaya et al. 2008. Akan tetapi, setiap lokasi penelitian memiliki karakter dan perbedaan faktor-faktor utama yang mendukung
terjadinya kebakaran tersebut. Kondisi yang berbeda dari setiap kejadian kebakaran suatu daerah menyebabkan perlu dilakukan penelitian secara khusus
agar kegiatan pengendalian kebakaran yang akan dilakukan dapat berjalan dengan efektif dan efisien sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Pemilihan wilayah
Kalimantan Tengah sebagai studi kasus kebakaran dalam penelitian ini adalah dikarenakan ketersediaan data kejadian kebakaran tanggal, luas, dan posisi
lokasi yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan lokasi lain. Selain itu, sekitar 2 juta hektar lahan di sekitar Kota Palangka Raya,
Kalimantan Tengah berupa lahan gambut dengan tutupan vegetasi hutan rawa gambut Rieley et al. 1996 yang pada akhir-akhir ini telah rusak akibat konversi
lahan yang berdampak pada penurunan kualitas lahan dengan makin menurunnya tinggi muka air lahan gambut Simbolon 2003. Kondisi ini dimulai pada tahun
1996 saat terjadi konversi hutan lahan gambut menjadi lahan pertanian melalui program pemerintah Indonesia yang dikenal dengan Mega Proyek Lahan Sawah
Sejuta Hektar yang terkait dengan program transmigrasi Notohadiprawiro 1998. Hampir 1.5 juta hektar total area dibuka dan dikonversi. Sejak itu, lokasi proyek
ini menjadi lokasi utama ditemukannya hotspot kebakaran hutan akibat adanya pembakaran sisa-sisa vegetasi untuk pembersihan lahan, khususnya pada musim
kemarau Jaya et al. 2000, Page et al. 2000. Sementara itu menurut Badan Lingkungan Hidup 2010, hampir 19.60 3,010,640 Ha lahan gambut tersebut
mempunyai potensi terjadinya kebakaran. Berdasarkan data jumlah distribusi hotspot di Indonesia dari Direktorat
Pengendalian Kebakaran Hutan periode tahun 2000 - 2010, Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan rata-rata hotspot tertinggi Gambar 1-1.
Gambar 1-1. Distribusi J Hutan dan Lahan Periode
Penge
Gambar 1-2. Penu Sumber: Badan Lingkun
Walaupun sudah ban Provinsi Kalimantan Tenga
ribuan hotspot pada tahun
5000 10000
15000 20000
25000 30000
35000 40000
45000
Sumut Riau
Ju m
la h
H ot
sp ot
2000 2001
2002 200
i Jumlah Hotspot di Provinsi Paling Rawan Keba riode Tahun 2000 – 2010 Data diolahdari Dire
ngendalian Kebakaran Hutan, 2011
enurunan Jumlah Hotspot Tahun 2006 – 2009 di Kalimantan Tengah
gkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, 2010
banyak upaya yang dilakukan oleh Pemerinta ngah untuk menurunkan jumlah hotspot dari
hun 2006 menjadi sekitar 4600an hotspot pada ta
Sumsel Jambi
Kalbar Kalteng
Kaltim Kalsel
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
ebakaran rektorat
, 2010
ntah Daerah ri sekitar 41
tahun 2009
Sulsel Rata2
Gambar 1-2, namun jumlah hotspot di wilayah tersebut pada tahun 2011 juga masih cukup tinggi, yakni sekitar 6.119 hotspot walaupun jika dibandingkan
dengan tahun 2005 – 2009 telah terjadi penurunan sebesar 43 Vetrita et al. 2012. Kondisi ini menjadikan kebakaran di Provinsi Kalimantan Tengah cukup
menarik untuk dikaji. Dalam pembangunan model hubungan antara data observasi permukaan
dengan data yang diturunkan dari data satelit diperlukan teknik atau metode analisis yang memungkinkan diperolehnya model hubungan kedua data. Dalam
penelitian ini analisis hubungan antara data iklim observasi dengan data READY- ARL NOAA dan CMORPH menggunakan teknik analisis PLS Partial Least
Square . PLSdapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas yang
mungkin terjadi antar lapisan atmosfir dari data READY-ARL NOAA dan peubah curah hujan CMORPH yang digunakan dalam membangun model pendugaan
parameter iklimcuaca non hujan dan hujan. PLS umumnya juga digunakan untuk mengatasi adanya multikolinearitas yang terjadi dari persamaan yang
menggunakan peubah banyak, mereduksi dimensi kovariasi, menghindari adanya kolinearitas antar komponen kovariasi, dan mengatasi struktur data yang tidak
linier serta mengatasi masalah dimensi peubah respon yang besar Zhu et al. 2007. Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti di
antara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh
tidak unik dan menghasilkan penduga model regresi yang bias, tidak stabil, dan mungkin jauh dari nilai sasarannya. Pemanfaatan analisis PLS untuk hubungan
data READY-ARL NOAA dengan radiosonde dalam penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain.