5. 3. Hasil dan Pembahasan Hubungan Hotspot dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan lahan
Analisis hubungan antara kejadian kebakaran dengan parameter hotspot, SPBK dan kondisi iklim dilakukan berdasarkan data kejadian kebakaran tahun
2009 yang diperoleh dari 4 titik lokasi kebakaran di Kalimantan Tengah. Keempat titik tersebut dinamakan Kalteng 1, Kalteng 2, Kalteng 3, dan Kalteng 4. Titik
lokasi kebakaran ini diperoleh berdasarkan hasil survei yang diukur di lapangan menggunakan GPS.
Sementara itu, untuk data kejadian kebakaran tahun 2011 terdapat 26 titik lokasi kejadian kebakaran yang diperoleh berdasarkan titik lokasi pemadaman
kebakaran yang dilakukan oleh BKSDA Palangka Raya. Lokasi titik-titik kebakaran pada tahun 2009 dan 2011 disajikan pada Gambar 5-3. Dengan
demikian, ada 30 titik lokasi kebakaran yang dianalisis hubungannya dengan indeks-indeks SPBK, hotspot, dan kondisi iklim Lampiran 4.
Gambar 5-3. Lokasi titik kejadian dan pemadaman kebakaran tahun 2009 dan 2011 di Kalimantan Tengah
Distribusi hotspot pada tahun 2009 terlihat lebih banyak dibandingkan pada tahun 2011 Gambar 5-4 dan Gambar 5-5. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh
adanya upaya Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dalam mengurangi jumlah hotspot dengan melarang masyarakat membakar terutama pada musim
kemarau dan sanksi pidana apabila pelanggaran dilakukan oleh masyarakat, adanya sanksi pencabutan izin usaha apabila pembakaran dilakukan oleh
Perusahaan, serta pemasangan spanduk dan plang-plang berisi himbauan dan peringatan bahaya kebakaran di beberapa lokasi terutama pada daerah-daerah
yang rentan terhadap kebakaran.
Gambar 5-4. Distribusi hotspot di Kalimantan Tengah pada tahun 2009 Sumber data diolah dari FIRMS melalui situs:
http:maps.geog.umd.edufirmsshapes.htm
Gambar 5-5. Distribusi hotspot di Kalimantan Tengah pada tahun 2011 Sumber data diolah dari FIRMS melalui situs:
http:maps.geog.umd.edufirmsshapes.htm Dari hasil ekstraksi jumlah hotspot pada HS0, HS7, HS14 dan hubungannya
dengan luas kebakaran menunjukkan bahwa jumlah hotspot yang banyak tidak menggambarkan makin luasnya kebakaran Lampiran 3. Sebaliknya, pada
terjadinya kebakaran yang sangat luas tidak terdapat hotspot. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya jumlah hotspot yang terpantau oleh satelit tidak
selalu menggambarkan makin luasnya area yang terbakar Gambar 5-6. Ini pula yang menyebabkan tidak terdapat korelasi antara jumlah hotspot dengan luas
kebakaran Lampiran 5. Kondisi ini dapat disebabkan antara lain: oleh tidak sesuainya waktu kejadian kebakaran regional dengan waktu lintas satelit yang
relatif tetap Eva and Lambin 2000, juga masalah penutupan awan yang menjadi hambatan pada area tropis lembab. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara
dengan staf di BKSDA dan Dinas Perkebunan diperoleh keterangan bahwa permukaan atap seng dan lahan bekas galian pasir juga bisa terpantau oleh satelit
sebagai hotspot. Namun demikian, deteksi hotspot harian masih merupakan cara
yang sangat cocok dan efektif untuk menentukan keragaman kebakaran antar musim, waktu dan tahun Eva and Lambin 1998a.
a. Luas Kebakaran Ha VS Jumlah Hotspot pada hari kejadian kebakaran HS0
b. Luas Kebakaran Ha VS Jumlah Hotspot pada 6 hari sebelum dan hari kejadian
kebakaran HS7
c. Luas Kebakaran Ha VS Jumlah Hotspot dari 6 hari sebelum sd 7 hari kejadian kebakaran HS14
Gambar 5-6. Hubungan Luas Kebakaran dengan Jumlah Hotspot
Menurut Miettinen 2007, deteksi hotspot tidak mampu untuk digunakan sebagai alat estimasi luas kebakaran. Hal ini dikarenakan deteksi hotspot tidak
dirancang untuk mengukurmenghitung luasan area permukaan yang terbakar. Sebuah piksel berukuran 1 Km
2
dapat dijenuhi oleh sebuah kebakaran yang tidak lebih besar dari 0.001 Km
2
. Namun dikarenakan perlunya informasi tentang dampak dari kebakaran vegetasi dan ketiadaan data yang lebih baik, maka hotspot
digunakan pula untuk mengestimasi area terbakar secara luas, baik global Giglio et al
. 2006 maupun regional Eva and Lambin 1998a, Stolle et al. 2004 dengan berbagai tingkat keberhasilan. Boer et al. 2010 mendapatkan bahwa jumlah
hotspot mulai 7 hari sebelum kebakaran hingga hari terjadinya kebakaran dalam
5 10
15
500 1000
1500 2000
1 3 5 7 9 11131517192123252729 Ju
m la
h H
S
Lu a
s k
e b
a k
a ra
n H
a
Lokasi Kebakaran Luas Ha
HS0
10 20
30 40
50 60
500 1000
1500 2000
1 3 5 7 9 11131517192123252729 Ju
m la
h H
S 7
Lu a
s K
e b
a k
a ra
n H
a
Lokasi Kebakaran Luas Ha
HS7
50 100
150
500 1000
1500 2000
1 3 5 7 9 11131517192123252729 Ju
m la
h H
S 1
4
Lu a
s K
e b
a k
a ra
n H
a
Lokasi Kebakaran Luas Ha
HS14
domain 10 Km dapat digunakan sebagai pendugaan luas kebakaran dengan tingkat keragaman 69.
Hubungan Luaran SPBK dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan
Luaran SPBK FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI digunakan sebagai peringatan bahaya kebakaran dan menggambarkan potensi suatu hutan dan lahan
terbakar jika kondisi cuaca mengindikasikan ekstrim. Analisis hubungan kejadian kebakaran dengan masing-masing luaran SPBK dibangkitkan dari luas kebakaran
Ha yang terjadi di 30 lokasi kebakaran pada tahun 2009 dan 2011 dengan nilai rata-rata masing-masing luaran SPBK pada ukuran luas domain 3x3 Tabel
Lampiran 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi yang erat diperoleh dari
hubungan antara luas kebakaran dengan DC r = 0.76 yang dapat mewakili keragaman R-sq sekitar 58 dari kejadian kebakaran Gambar 5-7. DC
menunjukkan kondisi kekeringan. Dari hubungan ini memperlihatkan bahwa jika nilai DC lebih dari 500 maka luas area yang terbakar diestimasi akan meningkat.
Hubungan yang baik dengan korelasi 0.5 juga terjadi antara luas kebakaran dengan ISI r = 0.68 yang dapat mewakili 46.6 keragaman luas
kebakaran, BUI r = 0.58 mewakili sekitar 33.3 luas kebakaran, dan FWI r = 0.65 mewakili sekitar 42.5 luas kebakaran, sedangkan FFMC dan DMC kurang
baik digunakan sebagai peubah penduga luas kebakaran Gambar 5-7. FFMC dan DMC menggambarkan kondisi kelembaban bahan bakar halus dan kasar sebagai
potensi kemudahan penyulutan api. Oleh sebab itu, apabila tidak ada pemicu berupa kegiatan membakar maka tidak akan terbakar. Hal ini dikarenakan
kebakaran yang terjadi di Indonesia lebih dikarenakan faktor kesengajaan manusia.
a. Luas Kebakaran VS FFMC b. Luas Kebakaran VS DMC
c. Luas Kebakaran VS DC d. Luas Kebakaran VS ISI
e. Luas Kebakaran VS BUI f. Luas Kebakaran VS FWI
Gambar 5-7. Hubungan masing-masing indeks SPBK dengan Luas Kebakaran di Kalimantan Tengah
DC merefleksikan potensi kekeringan dan asap, ISI menggambarkan kondisi kesulitan pengendalian kebakaran, dan FWI merupakan indeks cuaca kebakaran.
Kategori tingkat kerentanan kebakaran berdasarkan potensi kekeringan dan asap DC adalah: 140 rendah, 140 – 260 sedang, 260 – 350 tinggi, dan 350
ekstrim. Kategori tingkat kesulitan pengendalian kebakaran ISI adalah: 0 – 1 rendah, 2 – 3 sedang, 4 – 5 tinggi, dan 6 ekstrim. Kategori indeks cuaca
kebakaran FWI adalah: 0 – 1 rendah, 2 – 6 sedang, 7 – 12 tinggi, dan 13 ekstrim. Dari hasil analisis hubungan SPBK dengan luas kebakaran di
Kalimantan Tengah dapat dijelaskan bahwa kecenderungan meluasnya kebakaran di Kalimantan Tengah terjadi apabila kondisi DC potensi kekeringan dan asap,
500 1000
1500 2000
80 85
90 95
Lu a
s k
e b
a k
a ra
n H
a
FFMC Luas Ha = 110FFMC - 16.4
R-sq = 11.3 FFMC = FFMC -90
500 1000
1500 2000
50 100
Lu a
s K
e b
a k
a ra
n H
a
DMC Luas Ha = 3.8 + 13.8 DMC
R-Sq = 15.4 DMC = DMC - 60
500 1000
1500 2000
200 400
600 800
Lu a
s K
e b
a k
a ra
n H
a
DC Luas Ha = 5.14 DC - 62.9
R-sq =58 DC = DC-500
500 1000
1500 2000
4 9
14 19
Lu a
s K
e b
a k
a ra
n H
a
ISI Luas Ha = 190 ISI - 88
R-sq = 31.9 ISI = ISI - 11
500 1000
1500 2000
50 100
150 Lu
a s
K e
b a
k a
ra n
H a
BUI Luas Ha = 14.4 BUI - 62.4
R-sq = 28.4 BUI = BUI-83
500 1000
1500 2000
20 40
60 Lu
a s
K e
b a
k a
ra n
H a
FWI Luas Ha = 49.3 FWI - 105
R-sq = 42.5 FWI = FWI-27
ISI kondisi kesulitan pengendalian kebakaran, dan FWI Indeks Cuaca Kebakaran berada pada level sangat ekstrim, yakni :DC 500, ISI 11, dan FWI
27. Menurut McAlpine 1991 dalam de Groot et al. 2006, nilai DC dapat mencapai 800 di Amerika Utara. Nilai DC 300 menunjukkan kondisi yang
semakin kering pada lapisan organik lebih dalam; seperti gambut, yang akan meningkatkan potensi terjadinya kebakaran dalam smouldering dan kabut asap
de Groot et al. 2006.
Hubungan Kondisi Iklim dengan Kejadian kebakaran dan Hotspot
Kondisi iklim yang dijadikan sebagai parameter penentu indeks risiko kebakaran IRK yang dianalisis dan dihubungkan dengan kejadian kebakaran dan
hotspot adalah: akumulasi curah hujan 1 bulan CH1bl, 2 bulan CH2bl, 3 bulan CH3bl sebelum kebakaran, hari tanpa hujan 1 bulan HTH1bl, 2 bulan
HTH2bl, dan 3 bulan HTH3bl sebelum kebakaran. Penggunaan kriteria curah hujan dan hari tanpa hujan dari 1 – 3 bulan dimaksudkan agar model IRK terbaik
yang dihasilkan dalam analisis ini dapat dimanfaatkan sebagai parameter prediksi kebakaran yang terjadi 1 hingga 3 bulan ke depan. Dengan demikian, informasi
prediksi curah hujan yang dikeluarkan oleh BMKG dapat digunakan sebagai peringatan dini kebakaran dan prakiraan luas kebakaran serta jumlah hotspot.
Pada tahun 2009 ada beberapa titik lokasi kebakaran yang disurvei. Akan tetapi setelah diplot pada peta, ada beberapa lokasi yang saling berdekatan
sehingga dikelompokkan menjadi 4 kelompok lokasi kebakaran yang diberi notasi K1, K2, K3, dan K4. Demikian pula untuk data lokasi pemadaman kebakaran
pada tahun 2011, lokasi yang berdekatan dikelompokkan menjadi 6 kelompok lokasi yang diberi notasi P1 – P6. Ekstraksi jumlah hotspot untuk setiap kelompok
lokasi kebakaran dilakukan berdasarkan ukuran domain 3 x 3 grid CMORPH hasil resize dengan resolusi grid 2.5 x 2.5 Km
2
. Berdasarkan jumlah hotspot pada bulan Juni hingga November Desember
dan hubungannya dengan anomali hujan tampak bahwa secara umum di semua lokasi kebakaran di Kalimantan Tengah, hotspot muncul pada bulan-bulan musim
kemarau yang berlangsung mulai bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus tahun 2011 atau September tahun 2009. Puncak jumlah hotspot
tertinggi tampak bersamaan dengan anomali hujan negatif tertinggi di semua lokasi kebakaran, baik pada tahun 2009 K1 – K4 Gambar 5-8a maupun 2011
P1 – P6 Gambar 5-8b.
a. Kejadian Kebakaran tahun 2009
b. Kejadian Kebakaran tahun 2011 Gambar 5-8. Hubungan Anomali Curah Hujan dengan Jumlah Hotspot pada
Lokasi Kebakaran di Kalimantan Tengah pada tahun 2009 a dan 2011 b Hasil analisis hubungan antara luas kebakaran dengan variabel kondisi iklim
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang erat antara luas kebakaran dengan jumlah curah hujan 2 bulan r = 0.82 dan 3 bulan r = 0.62 sebelum kebakaran
dengan tingkat keragaman berturut-turut sebesar 67.2 dan 38.5 Gambar 5-9. Merujuk pada Gambar 5-9b dan c, apabila akumulasi curah hujan kurang dari 93
mm pada 2 bulan sebelumnya atau kurang dari 167 mm pada 3 bulan sebelumnya, maka potensi luas kebakaran diperkirakan akan meningkat tajam. Sementara itu,
-5 5
10 15
100 200
300 400
500
Jun-09 Jul-09 Ags-09 Sep-09 Okt-09 Nov-09 Des-09 A
n om
a li
C H
C M
O R
P H
Ju m
la h
H ot
sp ot
anom_K1 anom_K2
anom_K3 anom_K4
HS_K1 HS_K2
HS_K3 HS_K4
-10 -5
5 10
50 100
150
Jun-11 Jul-11
Ags-11 Sep-11
Okt-11 Nov-11
A n
om a
li C
H C
M O
R P
H
Ju m
la h
H ot
sp ot
anom_P1 anom_P2
anom_P3 anom_P4
anom_P5 anom_P6
HS_P1 HS_P2
HS_P3 HS_P4
HS_P5 HS_P6
berdasarkan hubungan luas kebakaran dengan jumlah hari tanpa hujan sebelum kebakaranmenunjukkan bahwa jumlah hari tanpa hujan 2 bulan atau 3 bulan
sebelum kebakaran hanya mempengaruhi berturut-turut sekitar 20.6 dan 15.3keragaman luas kebakaran. Apabila jumlah hari tanpa hujan melebihi 45
hari selama 2 bulan sebelumnya atau melebihi 66 hari selama 3 bulan sebelumnya, maka luas kebakaran akan berpotensi meningkat Gambar 5-9 e dan
f.
a. Luas Kebakaran VS Akumulasi curah hujan 1 bulan sebelum kebakaran
b. Luas Kebakaran VS Akumulasi curah hujan 2 bulan sebelum kebakaran
c. Luas Kebakaran VS Akumulasi curah hujan 3 bulan sebelum kebakaran
d. Luas Kebakaran VS jumlah hari tanpa hujan 1 bulan sebelum kebakaran
e. Luas Kebakaran VS jumlah hari tanpa hujan 2 bulan sebelum kebakaran
f. Luas Kebakaran VS jumlah hari tanpa hujan 3 bulan sebelum kebakaran
Gambar 5-9. Hubungan antara Luas Kebakaran dengan Parameter Kondisi Iklim
y = -1.996x + 180.0 R-sq = 3.8
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
50 100
150 Lu
a s
K e
b a
k a
ra n
H a
CH1Bl mm 500
1000 1500
2000
100 200
300 Lu
a s
K e
b a
k a
ra n
m m
CH2Bl mm Luas Ha = 5.1 - 21.7 X
R-sq = 67.2 X = CH2Bl -93 mm
500 1000
1500 2000
200 400
600 Lu
a s
K e
b a
k a
ra n
H a
CH3Bl mm Luas Ha = -29.4 -7.6 X
R-sq = 38.5 X = CH3bl - 167
y = 11.73x - 198.3 R-sq = 1.4
500 1000
1500 2000
15 20
25 30
Lu a
s k
e b
a k
a ra
n H
a
HTH1bl hari
500 1000
1500 2000
35 40
45 50
55 Lu
a s
K e
b a
k a
ra n
H a
HTH2Bl hari Luas Ha = 6.3 + 59.1 X
R-sq = 20.6 X = HTH2bl - 45
500 1000
1500 2000
50 60
70 80
Lu a
s K
e b
a k
a ra
n H
a
HTH3Bl hari Luas Ha = 64.5 - 0.9 X
R-sq = 21.1 X = HTH3bl - 66
Parameter kejadian ke indikator kebakaran adalah
kondisi iklim dengan juml saat kejadian kebakaran
kebakaran HS7, dan pada kebakaran menunjukkan ba
HS0 berkorelasi dengan sedangkan jumlah hotspot
sebelum kebakaran dan jum curah hujan 1 bulan sebelum
sebelum kebakaran dipredi menurun secara logaritmik
11a atau apabila jumlah ha menurun maka jumlah hot
akan berkurang secara pol Gambar 5-11c. Sementara
hari kebakaran HS7 terliha kebakaran r = 0.55 dengan k
Gambar 5-10. Korela Hasil analisis hubung
indeks SPBK menunjukkan yang memiliki hubungan sa
hujan 1 hingga 3 bulan sebe n kebakaran yang lain yang dapat digunaka
ah deteksi jumlah hotspot. Hasil analisis antar lah hotspot dalam domain 3 x 3 grid CMOR
n HS0, pada 6 hari sebelum hingga saat pada 6 hari sebelum kebakaran hingga 7 har
bahwa jumlah hotspot pada saat kejadian n akumulasi curah hujan 1 bulan sebelum ke
pot HS7 berkorelasi dengan hari tanpa hujan umlah hotspot HS14 berkorelasi dengan kondi
lum kebakaran Gambar 5-10. Jika jumlah huj diksi meningkat, maka jumlah hotspot dipredi
k dengan keragaman sekitar 29.6 r = 0.54G hari tanpa hujan 1 bulan sebelum kebakaran
hotspot pada kebakaran sebulan yang akan da polinomial dengan keragaman sekitar 20.5
ara itu, jumlah hotspot 6 hari sebelum kebakar ihat berkorelasi dengan hari tanpa hujan 2 bula
an keragaman sebesar 30.5 Gambar 5-11.
elasi antara Hotspot dengan Peubah Kondisi Ikl hubungan antara peubah kondisi iklim dengan masin
ukkan bahwa indikator potensi kekeringan dan a sangat erat dengan akumulasi curah hujan dan
belum kebakaran. Korelasi antara DC dengan kan sebagai
ntara variabel ORPH pada
at kejadian hari sesudah
n kebakaran kebakaran,
hujan 2 bulan kondisi jumlah
hujan 1 bulan prediksi akan
0.54Gambar 5- n diprediksi
datang juga r = 0.45
karan sampai bulan sebelum
Iklim sing-masing
n asap DC n hari tanpa
n akumulasi
curah hujan 1 bulan, adalah-0.57,-0.84, -0.91.
hujan 1, 2, hingga 3 kering dan semaki
kebakaran.
a. Jumlah hotspot ha Jumlah Curah Hujan 1 b
kebaka
c. Jumlah hotspot 6 ha Gambar 5-11. H
Gambar 5-12. H
y =
2 4
6 8
10 12
14
50 Ju
m la
h H
S
CH1bl
Ju m
la h
H S
1 4
- -
K o
re las
i r
an, 2 bulan, dan 3 bulan sebelum kebakara 0.91. Hal ini berarti bahwa semakin menurun a
3 bulan sebelum kebakaran maka DC akan akin tinggi risiko wilayah Kalimantan Te
hari kebakaran VS ujan 1 bulan sebelum
karan b. Jumlah hotspot 6 ha
hari kebakaran VS jum hujan 2 bulan sebe
6 hari sebelum hingga 7 hari sesudah kebakara tanpa hujan 1 bulan sebelum kebakaran
. Hubungan Jumlah Hotspot dengan Peubah Kondi
. Hubungan Indeks-indeks SPBK dengan Kondi
y = -2.73lnx + 12.61 R² = 0.296
100 150
1bl mm 10
20 30
40 50
60
35 40
45 Ju
m la
h H
S 7
HTH2bl
20 40
60 80
100 120
140 160
15 20
25 30
Ju m
la h
H S
1 4
HTH1bl hari
-1.00 -0.50
0.00 0.50
1.00
Parameter Kondisi Iklim FFMC
DMC DC
ISI BUI
FWI
ran berturut-turut un akumulasi curah
kan semakin tinggi Tengah terhadap
6 hari sebelum hingga jumlah hari tanpa
belum kebakaran
ran VS Jumlah hari ondisi Iklim
ondisi Iklim
45 50
55 2bl hari
a. DC VS CH1bl b. DC VS CH2bl
c. DC VS CH3bl Gambar 5-13. Bentuk Hubungan antara Potensi Kekeringan DC dengan Peubah
Iklim Curah Hujan 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan Sebelum Kebakaran dan Dengan Luas Kebakaran
Selain itu, DC juga berkorelasi dengan jumlah hari tanpa hujan selama 1, 2, dan 3 bulan sebelumnya berturut-turut sebesar 0.47, 0.68, dan 0.81. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa semakin banyak jumlah hari tidak hujan maka semakin rentan terhadap kekeringan dan kebakaran.
Kondisi iklim dalam hal ini akumulasi curah hujan 3 bulan sebelum kebakaran berkorelasi dengan ISI indekstingkat kesulitan pengendalian
kebakaran sebesar -0.46 dan FWI indeks cuaca kebakaran dengan r sebesar - 0.45. Korelasi antara akumulasi curah hujan 3 bulan sebelum kebakaran dengan
ISI dan FWI ini, walaupun kecil tetapi cukup signifikan pada taraf 95. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi berkurangnya akumulasi curah hujan 3 bulan
sebelum kebakaran akan berpengaruh terhadap tingkat kesulitan pengendalian kebakaran. Parameter ISI dan FWI juga memiliki korelasi positif dengan jumlah
y = -2.016x + 555.1 R² = 0.324
100 200
300 400
500 600
700 800
50 100
150 D
C
CH1bl mm y = -2.781x + 760.8
R² = 0.713
100 200
300 400
500 600
700 800
100 200
300 D
C
CH 2bl mm
y = -0.909x + 674.7 R² = 0.832
100 200
300 400
500 600
700 800
200 400
600 D
C
CH3bl mm
hari tanpa hujan 2 bulan sebelumnya, masing-masing berturut-turut 0.47 dan 0.59. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin panjang hari tanpa hujan pada dua bulan
sebelum kebakaran, maka akan semakin sulit kebakaran dikendalikan akibat indeks cuaca FWI yang juga mendukung.
Selain itu, parameter BUI berkorelasi negatif dengan akumulasi curah hujan 2 bulan sebelumnya r = - 0.47 dan dengan hari tanpa hujan 2 bulan sebelumnya
r = 0.71. BUI menggambarkan akumulasi bahan bakar tersedia. Berdasarkan hasil analisis ini dapat dijelaskan bahwa apabila akumulasi curah hujan 3 bulan
sebelumnya menurun maka akan semakin kering dan semakin banyak akumulasi bahan bakar yangtersedia yang terbakar. Pada kondisi ini apabila terjadi
kebakaran, maka tingkat kesulitan pengendalian kebakaran juga akan semakin tinggi dan luas kebakaran dapat diprediksi akan meningkat Gambar 5-12 dan
Gambar 5-13.
Potensi Pemanfaatan Indeks Risiko Kebakaran IRK Sebagai Peringatan Dini Kebakaran
Indeks risiko kebakaran IRK dipilih berdasarkan korelasi paling baik antara semua peubah SPBK dan kondisi iklim dengan luas kebakaran dan jumlah
hotspot. Berdasarkan hasil analisis di atas, IRK yang menghasilkan korelasi sangat baik dengan luas kebakaran dan dengan tingkat keragaman cukup tinggi
adalah parameter akumulasi curah hujan 2 bulan sebelum kebakaran CH2bl dari data CMORPH dengan r sebesar 0.82 dengan keragaman sebesar 67.2.
Parameter ini dapat digunakan sebagai penduga luas kebakaran berdasarkan persamaan berikut:
Luas Ha = 5.13 – 21.7 CH2bl – 93 R-sq = 67.2..........................5-16
dengan Ch2bl adalah akumulasi curah hujan 2 bulan sebelum kebakaran. Luas kebakaran juga dapat diduga berdasarkan hubungannya dengan
parameter DCdengan menggunakan persamaan berikut:
Luas Ha = 5.14 DC – 500 – 62.9R-sq = 58...................................5-17
dengan DC adalah nilai drought code.
Sementara itu, estimasi jumlah hotspot yang terjadi selama periode 6 hari hingga saat kebakaran dapat dilakukan berdasarkan jumlah hari tanpa hujan 2
bulan sebelumnya melalui persamaan berikut:
HS7 = 0.003HTH2bl
3
-0.056 HTH2bl
2
+ 0.519 HTH2bl R-sq = 30.5.......................................................................................................................
...5-18 Berdasarkan hasil analisis di atas, tingkat risiko terjadinya kebakaran dan
prakiraan luas terbakar dapat diprakirakan satu atau dua bulan sebelumnya apabila informasi prakiraan hujan bulanan tersedia. Penggunaan data curah hujan
CMORPH tentunya akan sangat bermanfaat dalam sistem peringatan dini kebakaran secara spasial. Wilayah atau lokasi yang berisiko tinggi untuk
kebakaran dapat diprakirakan lebih awal sehingga dapat menetapkan langkah- langkah pengendalian kebakaran yang lebih efektif. Namun demikian untuk
pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan secara spasial tetap perlu mempertimbangkan keberadaan faktor-faktor pendorong terjadinya kebakaran
seperti kedekatannya dengan pemukiman, sarana jalan, sungai, jenis tutupan lahan dan sistem lahan. Jaya et al. 2008 menemukan bahwa wilayah yang rawan
terkena kebakaran umumnya berada dekat pemukiman dan jalan dengan jenis tutupan lahan semak belukar atau pertanian pangan.
5. 4. Simpulan