4. Simpulan 3. Hasil dan Pembahasan

Sementara itu, estimasi jumlah hotspot yang terjadi selama periode 6 hari hingga saat kebakaran dapat dilakukan berdasarkan jumlah hari tanpa hujan 2 bulan sebelumnya melalui persamaan berikut: HS7 = 0.003HTH2bl 3 -0.056 HTH2bl 2 + 0.519 HTH2bl R-sq = 30.5....................................................................................................................... ...5-18 Berdasarkan hasil analisis di atas, tingkat risiko terjadinya kebakaran dan prakiraan luas terbakar dapat diprakirakan satu atau dua bulan sebelumnya apabila informasi prakiraan hujan bulanan tersedia. Penggunaan data curah hujan CMORPH tentunya akan sangat bermanfaat dalam sistem peringatan dini kebakaran secara spasial. Wilayah atau lokasi yang berisiko tinggi untuk kebakaran dapat diprakirakan lebih awal sehingga dapat menetapkan langkah- langkah pengendalian kebakaran yang lebih efektif. Namun demikian untuk pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan secara spasial tetap perlu mempertimbangkan keberadaan faktor-faktor pendorong terjadinya kebakaran seperti kedekatannya dengan pemukiman, sarana jalan, sungai, jenis tutupan lahan dan sistem lahan. Jaya et al. 2008 menemukan bahwa wilayah yang rawan terkena kebakaran umumnya berada dekat pemukiman dan jalan dengan jenis tutupan lahan semak belukar atau pertanian pangan.

5. 4. Simpulan

Keberadaan hotspot tidak selalu menggambarkan kejadian kebakaran di suatu wilayah dan banyaknya jumlah hotspot pada suatu wilayah tertentu tidak selalu menggambarkan makin luasnya wilayah kebakaran. Dengan demikian, pemanfaatan informasi jumlah hotspot dalam pendugaan luas areal yang terbakar sebaiknya menggunakan data jumlah hotspot dalam suatu luasan domain tertentu yang terdeteksi minimal 3 – 7 hari periode kebakaran. Luas area terbakar dapat diestimasi menggunakan informasi curah hujan 2 bulan sebelumnya ataumenggunakan nilai potensi kekeringan DC dengan tingkat keragaman masing-masing berturut-turut 67.2 dan 58. Sementara itu, jumlah hotspot selama periode 6 hari sebelum hingga saat terjadi kebakaran dapat diprakirakan berdasarkan jumlah hari tanpa hujan 2 bulan sebelumnya dengan tingkat keragaman sekitar 30.5. Faktor iklim dominan yang menentukan tingkat risiko kebakaran di wilayah Kalimantan Tengah adalah curah hujan terutama kondisi curah hujan 2 bulan sebelumnya. Berkurangnya jumlah curah hujan dari kondisi normalnya akan berdampak pada meningkatnya potensi kekeringan dan akumulasi bahan bakar tersedia yang selanjutnya akan meningkatkan indeks risiko kebakaran. Dengan demikian, informasi tentang kondisi hujan 2 bulan sebelumnya baik yang dikeluarkan oleh BMKG dan atau prediksi dari data satelit dapat dimanfaatkan untuk memprakirakan potensi kekeringan, jumlah hotspot dan luas kebakaran di suatu wilayah sebagai sistem peringatan dini kebakaran.

6. MODEL PREDIKSI RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

6.1. Pendahuluan

Salah satu dampak perubahan iklim terhadap keberadaan hutan adalah perubahan intensitas, frekuensi, lama dan waktu kejadian kebakaran hutan. Perubahan iklim dapat memberikan dampak pada hutan, melalui peningkatan suhu yang akan meningkatkan kerentanan vegetasi. Perubahan iklim pada hutan dapat berupa: 1 Perubahan keanekaragaman hayati, flora dan fauna; 2 Peningkatan kerentanan vegetasi hutan terhadap ancaman bahaya kebakaran; 3 Peningkatan bahaya kebakaran hutan dilihat dari kondisi lingkungan; 4 Peningkatan kerentanan lahan gambut terhadap kekeringan dan bahaya kebakaran; 5 Perubahan serangan hama dan penyakit pada hutan tanaman. Apabila dibandingkan dengan faktor perusak lainnya, kebakaran hutan merupakan ancaman yang paling berbahaya bagi keberadaan hutan.Hal ini dkarenakankebakaran yang terjadi dalam waktu yang singkat dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Selain dampaknya pada kerusakan vegetasi dan lahan hutan, kebakaran juga dapat berdampak bagi lingkungan, termasuk asap lintas batas negara dan pada kesehatan manusia. Oleh karena itu, kejadian kebakaran hutan perlu diantisipasi dan dicegah sedini mungkin. Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah dengan luas areal hutan gambut tropis terbesar di dunia. Akibat pembukaan dan konversi lahan secara besar-besaran yang dimulai pada tahun 1996 hingga 1998 dan penggunaan api dalam aktivitas penyiapan lahan pertanian, menjadikan wilayah ini seringkali mengalami kebakaran, terutama pada musim kemarau. Walaupun sudah ada upaya dari Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dalam menurunkan tingkat kebakaran yang terjadi, namun hingga saat ini Kalimantan Tengah masih termasuk salah satu wilayah yang rawan terhadap kebakaran. Oleh sebab itu, untuk menentukan langkah dan strategi antisipasi dini terhadap bahaya kebakaran diperlukan pengembangan model prediksi terhadap kebakaran menggunakan data iklim. Chandler et. al 1983a menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu: 1 Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia. 2 Iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran. 3 Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, dan 4 Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.Selanjutnya, sifat-sifat bahan bakar seperti tipe bahan bakar, kandungan bahan bakar, sifat-sifat instrinsik, kekompakan, dan kadar air bahan bakar juga sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, demikian menurut Rice dan Martin 1985, Johansen 1985, van Wagtendonk dan Sydoriak 1985, Saharjo 1999 . Bahkan pada beberapa kejadian kebakaran Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model prediksi peluang kejadian dan luas kebakaran hutan dan lahan menggunakan data curah hujan.

6.2. Data dan Metode Data

Data yang digunakan dalam penelitian pada bab ini adalah data CMORPH- IRI dasarian wilayah Palangka Raya dari tahun 2003 – Juli 2012. Data ini diperoleh dari situs milik IRI melalui http:iridl.ldeo.columbia.edumaproom .Fire . Data lainnya adalah data luas kebakaran yang digunakan pada bab 5. Metode Analisis Analisis penetapan luas kebakaran dilakukan dengan menggunakan data curah hujan. Asumsi dalam pendekatan ini didasarkan bahwa penurunan hujan akan menyebabkan turunnya kadar air bahan bakar hutan sehingga bahan bakar menjadi lebih mudah terbakar. Berdasarkan hasil penelitian pada bab 5 diperoleh bahwa ada korelasi yang baik r = 0.82 antara luas kebakaran dengan akumulasi curah hujan 2 dua bulan sebelum kebakaran dengan tingkat keragaman sebesar 67.2. Luas lahan terbakar cenderung meningkat dengan menurunnya akumulasi hujan 2 bulan sebelumnya. Dari hubungan ini, prediksi peluang kerusakan hutan akibat kebakaran dapat dilakukan melalui beberapa tahap analisis. Adapun tahapan analisis adalah sebagai berikut: - Tahap 1: Penetapan hubungan tingkat kerusakan kebakaran dengancurah hujan. Tahapan ini telah dilakukan pada bab sebelumnya Bab 5 untuk mengetahui apakah tingkat kerusakan akibat kebakaran memiliki hubungan nyata dengan curah hujan. Dari Bab 5 luas kebakaran dapat diprakirakan berdasarkan akumulasi curah hujan dua bulan sebelum kebakaran dengan persamaan sebagai berikut: Luas Ha = 5.13 – 21.7 CH2bl – 93 R-sq = 67.2 - Tahap 2: Menghitung akumulasi curah hujan dua bulanan untuk menentukan pola hujan dua bulan dan peluang curah hujan dua bulan yang lebih rendah dari 93 mm. Data akumulasi curah hujan dua bulanan ini dihitung dengan menggunakan data curah hujan CMORPH-IRI. Penggunaan data CMORPH dikarenakan keterbatasan ketersediaan data observasi. - Tahap 3: Apabila informasi sifat hujan dua bulanan ke depan diperkirakan akan jauh di bawah normal atau lebih rendah dari 93 mm, maka diperkirakan risiko terjadi kebakaran pada dua bulan ke depan akan tinggi. Dengan mengintegrasikan model empiris yang diperoleh pada tahap 1menggunakan simulasi Monte Carlo melalui lembar kerja stokastik stochastic spreadsheet, besar peluang terjadinya kebakaran pada dua bulan ke depan dapat diketahui. Selanjutnya untuk prediksi peluang kebakaran diperlukan informasi hujan dua bulanan. Informasi hujan dua bulanan yang digunakan adalah informasi prakiraan yang memiliki nilai error. Nilai error ini sangat menentukan besarnya tingkat kepastian certainty prakiraan kebakaran tersebut. Semakin kecil error dari tinggi hujan prakiraan, maka akan semakin besar tingkat kepastian nilai prakiraan kebakaran. Jika informasi nilai error tidak ada, nilai error tinggi hujan dua bulanan dapat diduga berdasarkan persamaan hubungan antara nilai koefisien keragaman CV dan rata-rata tinggi hujan. Secara skematis, hubungan antara ke tiga tahapan analisis di atas disajikan pada Gambar 6-1. Data Curah Hujan CH CMORPH- IRI Tahun 2003 - 2012 - Hitung CH dua bulanan - Tentukan distribusi normal CH - Hitung Rata2 dan keragamanan Tentukan Bulan2 dengan nilai CH 2 bulan 93 Hitung Peluang Kejadian dan Luas kebakaran Informasi prediksi CH dari BMKG Tinggi hujan nilai errornya Simulasi Monte Carlo melalui Lembar Kerja Stokastik Cek apakah CH prediksi di bawah normal Lakukan antisipasi dan upaya pencegahan pada daerah rawan kebakaran Penentuan Nilai peluang ambang kritis kejadian dan luas kebakaran Simulasi Monte Carlo Apakah nilai Peluang Kejadian dan luas kebakaran melewati batas kritis? Ya Tidak perlu dilakukan intensifikasi upaya antisipasi kebakaran Tidak Gambar 6-1. Proses Penyusunan Model Prediksi Risiko Kebakaran Hutan dari Data Curah Hujan

6. 3. Hasil dan Pembahasan

Luas kebakaran hutan dapat diduga dari tinggi hujan dua bulanan sebelum terjadi kebakaran. Hasil analisis lihat Bab 5 menunjukkan bahwa apabila tinggi hujan dua bulanan lebih rendah dari 93 mm, maka risiko terjadi kebakaran akan meningkat dengan luasan yang akan terbakar yang cukup tinggi. Berdasarkan pola hujan dua bulanan, bulan dengan peluang terjadinya hujan dua bulanan yang kurang dari 93 mm ialah pada periode Juli-September Gambar 6-2. Apabila informasi sifat hujan dua bulanan ke depan yang dikeluarkan pada bulan Juni atau Juli diperkirakan akan jauh di bawah normal atau lebih rendah dari 93 mm, maka diperkirakan risiko terjadi kebakaran pada bulan September atau Oktober akan tinggi. Dengan menggunakan simulasi Monte Carlo, besar peluang terjadinya kebakaran pada bulan September atau Oktober apabila sifat hujan Juli-Agustus atau Agustus-September normal, berkisar antara 15 dan 20 Gambar 6-3. Dengan menggunakan prinsip bahwa kebakaran harus dihindari, maka peluang kritis 20 dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan upaya antisipasi. Dengan kata lain, apabila prakiraan sifat dan tinggi hujan dua bulanan yang dikeluarkan oleh penyedia jasa informasi prakiraan BMKG akan memberikan nilai prediksi peluang kebakaran di atas 20, maka upaya antisipasi mengatasi kebakaran harus segera dilakukan. 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 JF FM MA AM MJ JJ JA AS SO ON ND T in g g i H u ja n m m Gambar 6-2. Pola hujan dua bulanan di Palangka Raya Gambar 6-3. Peluang kumulatif terjadi kebakaran luas 50 ha pada bulan September kiri dan Oktober kanan di Palangka Raya apabila sifat dan tinggi hujan dua bulanan normal Untuk menduga besar peluang terjadi kebakaran pada bulan September dan Oktober selama kurun waktu 2003 sampai 2011, maka simulasi Monte Carlo dilakukan berdasarkan informasi tinggi hujan dua bulanan Juli-Agustus dan Agustus-September setiap tahun. Untuk keperluan prediksi peluang kebakaran, informasi hujan dua bulanan yang digunakan adalah informasi prakiraan yang memiliki nilai error. Nilai error ini sangat menentukan sebesar apa tingkat kepastian certainty prakiraan kebakaran tersebut. Semakin kecil error dari tinggi hujan prakiraan, maka akan semakin besar tingkat kepastian nilai prakiraan kebakaran. Oleh karena itu untuk dapat menggunakan model risiko ini, BMKG selain memberikan prakiraaan sifat hujan musiman Bawah Normal, normal atau atas normal, juga perlu mengeluarkan informasi prakiraan tinggi hujan disertai error -nya. Di wilayah Indonesia yang pengaruh ENSO kuat, tingkat kepastian prakiraan hujan akan tinggi atau error-nya kecil, dengan demikian tingkat kepastian prakiraan kebakaran juga akan tinggi. Untuk keperluan simulasi pendugaan besar peluang terjadi kebakaran bulan September dan Oktober setiap tahun dari data tinggi hujan Juli-Agustus dan Agustus-September, nilai error tinggi hujan dua bulanan diduga berdasarkan persamaan hubungan antara nilai koefisien keragaman CV dan rata-rata tinggi hujan Gambar 6-4. Hasil analisis menunjukkan bahwa tahun yang nilai peluang terjadi kebakaran melewati nilai kritis 20 ialah 2006, 2009 dan 2011 Gambar 6-5. Gambar 6-4. Hubungan antara koefisien keragaman CV dan rata-rata curah hujan dua bulanan di Palangka Raya Catatan: Nilai CV=simpangan bakunilai rata-rata Nilai median luas kebakaran untuk September 2006, 2009 dan 2011 masing- masing sekitar 1380, 1539 dan 1520 hektar, sedangkan untuk bulan Oktober masing-masing sekitar 980, 80 dan 0 hektar. Hasil analisis ini menujukkan bahwa peluang terjadinya kebakaran pada bulan Oktober 2009 kurang dari 20 dan kalau kebakaran terjadi prakiraan luas kebakaran juga tidak terlalu besar yaitu kurang dari 100 ha. Tahun 2006 dan 2009 telah diketahui merupakan tahun El Nino dimana secara umum tinggi hujan musim kemarau Juli-September di Indonesia termasuk Palangkaraya turun sampai di bawah rata-rata dibawah normal. Tahun 2011 merupakan tahun La Nina yang secara umum hujan musim kemarau di Indonesia akan di atas normal. Namun demikian untuk Palangkaraya hujan sedikit lebih rendah dari normal. Kondisi ini menyebabkan hasil prakiraan peluang kebakaran menjadi tinggi yaitu mencapai sekitar 30. Hasil ini menyarankan bahwa peluang kritis yang sebaiknya digunakan oleh pembuat kebijakan lebih tinggi dari 20. Dalam hal ini, angka 40 dapat diusulkan sebagai nilai peluang kritis. y = -0.391lnx + 2.8023 R² = 0.7749 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 200 400 600 800 1000 K o e fi si e n K e ra g a m a n Rata-rata hujan dua bulanan mm Gambar 6-5. Perkiraan peluang terjadi kebakaran pada bulan September dan Oktober berdasarkan informasi tinggi hujan dua bulanan pada bulan Juli-Agustus dan Agustus-September di Palangka Raya Apabila nilai peluang kritis 40 diterima, maka prosedur penggunaan model risiko kebakaran untuk menentukan apakah langkah antisipasi secara lebih dini harus dilakukan atau tidak adalah sebagai berikut: 1. Ikuti perkembangan informasi prakiraan sifat hujan musiman dua bulanan dari BMKG untuk setiap bulan 2. Apabila prakiraan sifat hujan musiman dua bulanan dinyatakan di bawah normal, dapatkan informasi berapa nilai tinggi hujan prakiraan dua bulanan dari BMKG beserta nilai errornya. 3. Gunakan nilai prakiraan tinggi hujan bulanan dan errornya untuk melakukan simulasi Monte Carlo untuk menduga peluang kejadian dan luas kebakaran. 4. Apabila nilai prakiraan peluang kejadian kebakaran lebih besar dari 40, pemerintah perlu segera mengintensifkan pelaksanaan program antisipasi penanggulangan risiko kebakaran lebih dini dua bulan lebih awal, khususnya pada wilayah-wilayah yang rawan terjadi kebakaran. Agar model risiko penanggulangan kebakaran ini bisa lebih efektif, maka peta rawan kebakaran perlu disiapkan. 20 40 60 80 100 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 P e lu a n g K e b a k a ra n September Oktober

6. 4. Simpulan