3. Beberapa Hasil Penelitian Analisis Risiko dan Bahaya Kebakaran

dimungkinkan dapat dengan mudah menyebar ke wilayah lain Jaiswal et al. 2002.Sebagian besar penelitian memetakan wilayah risiko kebakaran hutan secara langsung dengan teknologi inderaja dan sistem informasi geografi SIG menggunakan informasi topografi, vegetasi, penggunaan lahan, jumlah penduduk, dan permukiman Jaiswal et al. 2002; Chuvieco dan Congalton 1989; Chuvieco dan Salas 1996 dalam Dong et al. 2006. Umumnya wilayah risiko kebakaran didelineasi dengan penentuan bobot secara subyektif untuk kelas-kelas dari semua layer data berdasarkan sensitifitasnya terhadap kebakaran atau kemampuan mudahnya kebakaran. 2. 2. 3. Beberapa Hasil Penelitian Analisis Risiko dan Bahaya Kebakaran Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan unsur iklim dan atau parameter lain dalam menganalisis risiko kebakaran. Anderson et al. 1999 menggunakan SDI Soil Dryness Index dan indeks vegetasi NDVI Normalized Difference Vegetation Index sebagai penentu risiko kebakaran dan menghubungkannya dengan jumlah hotspot. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah hotspot sejalan dengan meningkatnya SDI. Hidayat 1997 dan Junaidi 2001 hanya menggunakan NDVI sebagai indikator risiko kebakaran, sedangkan Departemen Kehutanan Canada menggunakan FWI Fire Weather Index sebagai indikatornya Dimitrakopoulos dan Bemmerzouk 1996 yang kemudian diadopsi oleh LAPAN untuk pemantauan dan pemetaan rawan kebakaran di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Hidayat 1997 menghubungkan NDVI dari NOAA-AVHRR dengan kandungan air daun sebagai indikator tingkat kelengasan bahan bakaran untuk menentukan batas NDVI yang dapat digunakan sebagai peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa hutan sudah mengalami kekeringan dan rawan terhadap kebakaran apabila nilai NDVI 0,3. Sementara itu, Satriani 2001 memetakan dan menghitung luasan daerah rawan kebakaran beberapa tipe penggunaan hutan di Kalimantan menggunakan teknik SIG. Satriani menggunakan teknik tumpang-susun overlay dan pembobotan antara indeks kekeringan Keetch-Byram IKKB dengan bobot 40, tipe hutan dengan bobot 25, jumlah hotspoot NOAA-AVHRR dengan bobot 25, dan NDVI dengan bobot 10 di Kalimantan pada tahun 1997 – 1998 untuk menentukan indeks kerawanan kebakaran dan menghitung luas masing-masing kelas wilayah rawan kebakaran rendah, sedang, dan tinggi. Satriani juga mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara IKKB bulanan dengan jumlah hotspot bulanan di Kalimantan Barat r = 0.73 dengan R-sq = 53 dan Selatan r = 0.80 dengan R-sq = 64, sedangkan di Kalimantan Tengah r = 0.22 dengan R-sq = 5 dan Kalimantan Timur r = 0.34 dengan R-sq = 12 tidak cukup erat. Sementara itu Buchholz dan Weidemann 2000 membandingkan penggunaan IKKB dengan Indeks Nesterov yang dikembangkan oleh Nesterov tahun 1949 di Rusia dan negara-negara Eropa lainnya untuk menentukan model paling sederhana sebagai indeks risiko kebakaran pada kejadian kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada tahun 19971998. IKKB menggunakan tiga variabel dalam perhitungan indeks kekeringan, yakni curah hujan rata-rata tahunan, suhu maksimum harian, dan curah hujan harian. Indeks Nesterov menggunakan variabel hari tanpa hujan, suhu bola kering, dan suhu titik embun yang dihitung berdasarkan suhu dan kelembaban relatif RH. Hasil perbandingan dari kedua metode dapat dilihat pada Gambar 2-3. Namun, penelitian ini tidak dipetakan secara spasial. Gambar 2-3. Perbandingan IKKB dengan Indeks Nesterov Sumber: Buchholz dan Weidemann 2000 Maki et al. 2004 mengembangkan model pendugaan bahaya kebakaran hutan berdasarkan status kandungan air daun vegetasi yang diestimasi berdasarkan nilai NDWI Normalized Difference Water Index yang diturunkan dari data spektral inframerah dekat NIR = near infrared dan inframerah gelombang pendek SWIR = shortwave infrared. Selanjutnya dari hasil uji cobanya di laboratorium, mereka mengembangkan VDI Vegetation Dryness Index menggunakan data SPOTVEGETATION untuk menduga kandungan air vegetasi secara global. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa VDI sangat bermanfaat untuk mendeteksi wilayah berpotensi kebakaran yang tinggi. Selain itu, VDI dapat digunakan untuk mendeteksi potensi arah penyebaran penjalaran kebakaran. Sementera itu,Adiningsih 2005 mengembangkan model regional prediksi risiko kebakaran hutan dan lahan di Sumatera menggunakan variabel curah hujan bulanan 6 interval kelas, NDVI bulanan 6 kelas NDVI, penutup lahan 6 kelas penutup lahan, dan jenis lahan kelas lahan kering dan gambut dengan skoring, selanjutnya menganalisis risiko kebakaran hutan dan lahan pada berbagai kondisi penyimpangan iklim. Dari hasil skenario pembobotan yang dicoba dalam penelitian ini diperoleh bahwa kombinasi pembobotan yang memberikan hasil terbaik untuk curah hujan dan NDVI masing-masing adalah sebesar 0.35, sedangkan masing-masing 0.15 untuk penutup lahan dan jenis lahan. Dengan kata lain, kontribusi curah hujan dan NDVI di dalam risiko kebakaran hutan dan lahan lebih besar dibandingkan penutup lahan dan jenis lahan. Dolling et al . 2005 meneliti hubungan antara IKKB dengan luasan total area terbakar di Kepulauan Hawaii. Sementara itu, Hernandez-Leal et al. 2006 mengembangkan Indeks Dinamik Risiko Kebakaran FRDI = Fire Risk Dynamic Index yang diturunkan dari integrasi antara Indeks Statis Risiko Kebakaran FRSI = Fire Risk Static Index dengan komposit nilai NDVI 10 harian global resolusi 1 Km dari AVHRR-NOAA. Variabel yang digunakan untuk menentukan FRSI adalah ketinggian tempat altitude, insolasi, kemiringan lereng slope, penutup lahan land cover, dan jarak dari jalan utama. Selanjutnya, model peluang kejadian kebakaran dihitung berdasarkan regresi multivariat logistik. Nilai peluang kejadian kebakaran akan berkisar antara 0 – 1. Bilangan 0 – 1 ini merupakan peubah Bernoulli atau biner. Model FRDI ini dikembangkan di Pulau Tenerife, Spanyol. LAPAN dan BMKG juga telah mengembangkan SPBK Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran. SPBK LAPAN mengadopsi metode FDRS yang dikembangkan oleh Canada dan parameter yang digunakan diturunkan dari data satelit, sedangkan SPBK BMKG diturunkan dari data historis iklim hasil pengukuran stasiun klimatologi. Model SPBK LAPAN telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Kedua model SPBK ini tentu saja memiliki sensifitas berbeda dan masih perlu dikaji lebih lanjut keunggulan dan kelemahan kedua sistem SPBK tersebut.

2. 3. Data READY-ARL NOAA