34.7 37.1 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan CMORPH harian dengan observasi permukaan menggunakan

menggunakan analisis regresi linier sederhana. Nilai koefisien determinasi R-sq menunjukkan proporsi keragaman atau variasi total dalam nilai peubah tak bebas yang dapat diterangkan atau diakibatkan oleh hubungan linier dengan nilai peubah bebas dan dapat memberikan informasi tambahan mengenai penentuan jumlah komponen yang digunakan dalam pembangunan model pendugaan. Tabel 4-2. Nilai koefisien determinasi R-sq untuk masing-masing stasiunhujan berdasarkan analisis regresi sederhana Stasiun Observasi Ukuran Domain 1x1 3x3 5x5 7x7 9x9 Pekanbaru 32.6

37.1 34.7

33.2 32.6 Japura Rengat 22.7 23.3 28.5 28.9 27.5 Tanjung Pinang 10.7 11.5 47.4 21.7 27.9 Dabo Singkep 37.0

47.5 37.1

34.1 34.7 Berdasarkan Tabel 4-2 tampak bahwa tingkat keragaman R-sq model estimasi dengan menggunakan persamaan linier berkisar antara 10.7 – 47.5. Hasil ini juga memperlihatkan bahwa penggunaan domain yang semakin luas tidak selalu meningkatkan nilai keragaman yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua grid dalam suatu ukuran domain mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan kondisi hujan di permukaan sehingga tidak semua grid dapat digunakan untuk menentukan curah hujan di suatu permukaan. Seperti di Pekanbaru dan Dabo Singkep, cukup menggunakan domain 3x3 untuk mengestimasi curah hujan di wilayah tersebut, sedangkan Japura Rengat dan Tanjung Pinang bisa menggunakan domain 5x5. Penggunaan peubah banyak pada pembangkitan model misalnya: pada domain 3x3 akan ada 9 peubah prediktor yang terlibat, domain 5x5 ada 25 peubah prediktor, dan seterusnya memungkinkan terjadinya multikolinearitas antar peubah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan teknik PLS. Tabel 4-3 menyajikan koefisien keragaman R-sq dan jumlah komponen utama PC = principal component yang digunakan dalam analisis hubungan antara curah hujan CMORPH dan observasi dengan metode PLSR. Jumlah komponen pada penelitian ini ditentukan jika nilai x variance keragaman xlebih dari 90 dan perolehan nilai koefisien keragaman relatif stabil artinya penambahan jumlah komponen utama PC kecil pengaruhnya terhadap peningkatan nilai keragaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa domain 3x3 dan 5x5 cukup menggunakan 4 – 5 buah komponen utama saja untuk dapat mewakili keragaman curah hujan CMORPH sebesar 90, sedangkan domain 7x7 hanya memerlukan 3 – 4 komponen untuk dapat mewakili curah hujan secara keseluruhan. Akan tetapi, domain 9x9 justru memerlukan jumlah komponen yang relatif lebih banyak, yaitu 10 – 12 buah komponen utama untuk dapat menggambarkan keragaman curah hujan CMORPH pada wilayah kajian. Tingkat keragaman yang diperoleh pada masing-masing wilayah yang dikaji juga sangat baik, yakni lebih besar dari 90 Tabel 4-3. Tabel 4-3. Keragaman x, koefisien daterminasi R-sq, dan Jumlah PC padaMasing-masing Domain berdasarkan metode PLSR di Semua Stasiun Stasiun Domain Jumlah PC x variance R 2 Pekanbaru 3x3 4 0.9731 47.1 5x5 4 0.9678 85.9 7x7 3 0.9752 98.7 9x9 11 0.9009 68.2 Japura Rengat 3x3 5 0.9784 30.5 5x5 4 0.9805 96.5 7x7 3 0.9517 98.7 9x9 12 0.9081 53.3 Tanjung Pinang 3x3 4 0.9848 23.6 5x5 5 0.9772 74.3 7x7 4 0.9648 87.8 9x9 10 0.9474 48.8 Dabo Singkep 3x3 5 0.9889 59.0 5x5 4 0.9765 94.5 7x7 3 0.9588 95.8 9x9 11 0.9287 76.2 Terdapat perbedaan antara hasil yang diperoleh dari analisis regresi sederhana dengan yang diperoleh dari analisis PLSR. Berdasarkan analisis PLSR, ukuran domain yang paling baik dan mampu menerangkan lebih dari 90 keragaman curah hujan permukaan di semua lokasi kajian adalah domain 7x7 dengan jumlah PC antara 3 – 4 buah dan tingkat cakupan variansi peubah bebas CMORPH lebih dari 95. Dengan demikian, dari hasil analisis ini terlihat bahwa ukuran efektiftas domain yang menentukan hujan di beberapa wilayah di Riau adalah domain 7x7. Namun demikian, tingkat keterandalan validitas penggunaan domain 7x7 tersebut masih perlu diuji. Uji keterandalan model estimasi curah hujan permukaan ini dapat diukur dengan cara menghitung nilai RMSE dan korelasi r antara curah hujan dugaan model terhadap curah hujan observasi. Validasi model estimasi curah hujan dari data CMORPH dilakukan untuk mengukur akurasi pemanfaatan data CMORPH dalam mengestimasi curah hujan permukaan. Proses validasi dilakukan dengan teknik validasi silang. Teknik validasi silang ditujukan untuk menilai konsistensi model dalam mengestimasi curah hujan permukaan. Untuk tujuan validasi silang, maka dilakukan pembagian data antara periode tahun yang akan digunakan untuk verifikasi model dan periode data yang digunakan untuk validasi. Periode data yang digunakan untuk verifikasi dan validasi model dijelaskan pada Tabel 4-4. Signifikansi nilai koefisien korelasi antara kedua data CMORPH dan observasi ditunjukkan oleh nilai p-valuenya uji korelasi Pearson. Tabel 4-4. Periode data untuk verifikasi model dan validasi No. Periode data verifikasi model Tahun Validasi 1. 2004 – 2008 2003 2. 2003, 2005 – 2008 2004 3. 2003 - 2004, 2006 – 2008 2005 4. 2003 – 2005, 2007 – 2008 2006 5. 2003 – 2006, 2008 2007 6. 2003 – 2007 2008 Hasil validasi silang antara nilai dugaan model terhadap nilai observasi dari tahun 2003 – 2008 menunjukkan bahwa korelasi yang relatif selalu tinggi r 0.5 dan konsisten diperoleh di stasiun Dabo Singkep pada domain 3x3, 5x5, dan 7x7 dengan RMSE berkisar antara 30 – 53 mm untuk domain 3x3, 31 – 71 mm untuk domain 5x5, dan 30 – 64 mm untuk domain 7x7. Selain di Dabo Singkep, korelasi yang cukup baik berkisar 0.5 – 0.81 dijumpai di Pekanbaru pada domain 3x3 dengan RMSE berkisar antara 46 – 59 mm. Sementara itu, untuk wilayah Japura Rengat dan Tanjung Pinang tampak berfluktuasi dan tidak konsistenGambar 4-4. Gambar 4-4. Nilai koefisien korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi hasil validasi silang pada masing-masing domain di 4 empat wilayah kajian Gambar 4-5. Nilai RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi hasil validasi silang pada masing-masing domain di 4 empat wilayah kajian 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 Pekanbaru Japura Rengat Tj Pinang Dabo Singkep K o re las i r 2003 2004 2005 2006 2007 2008 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 Pekanbaru Japura Rengat Tj Pinang Dabo Singkep R M S E 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Dari hasil validasi silang ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat konsistensi luasan domain terhadap besarnya nilai korelasi dan RMSE. Selain itu, ketidak-konsistenan nilai korelasi juga terjadi pada tahun ke tahun di semua stasiun yang dikaji. Hasil ini juga memperlihatkan bahwa semakin luas ukuran grid tidak selalu meningkatkan nilai korelasi dan memperkecil nilai RMSE. Besarnya tingkat ketepatan model sangat dipengaruhi oleh posisi lokasi stasiun, topografi, kualitas data yang diperoleh dari observasi, dan sebagainya. Untuk stasiun yang jauh dari laut, maka topografi akan sangat berpengaruh dikarenakan sifat unsur klimatologinya lebih tidak homogen. Kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi proses termodinamika pembentukan awan dan distribusi hujannya. Wetterhall 2005 menyatakan bahwa ukuran luasan grid domain yang optimum tidak bergantung pada musim, tetapi lebih pada posisi lokasi stasiun.Di antara unsur iklim yang lain, curah hujan merupakan unsur iklim yang mempunyai tingkat keragaman yang paling tinggi. Keragaman ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan musiman, topografi, gangguan cuaca siklon tropis, maupun oleh pengaruh fenomena sirkulasi barat-timur El Nino, La Nina, DMI Dipole Mode Index , dan sebagainya. Berdasarkan hasil validasi ini menunjukkan bahwa ukuran domain yang optimum untuk model estimasi curah hujan di Pekanbaru dihasilkan dari ukuran domain 3x3 dengan jumlah PC 4, sedangkan di Dabo Singkep dengan ukuran domain3 x 3 dengan jumlah PC 5. Untuk dua lokasi lain Japura Rengat dan Tanjung Pinang masih perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut dengan mempertimbangkan panjang deret data yang lebih banyak dan kontinyu. Contoh koefisien model estimasi curah hujan dari data CMORPH pada domain 3x3 di Pekanbaru tahun 2003 menggunakan analisis PLSR disajikan pada Gambar 4-6. Gambar 4-6. Contoh Koefisien model estimasi curah hujan menggunakan PLSR di Pekanbaru pada domain 3x3 dengan 4 PC Untuk mengetahui apakah model estimasi curah hujan memiliki kemampuan yang cukup baik untuk digunakan sebagai model penduga curah hujan permukaan, maka dilakukan plotting data curah hujan hasil dugaan model dibandingkan dengan data observasi. Gambar 4-7 memperlihatkan data dugaan model pada domain 3 x 3 dengan data observasi pada tahun 2003. a. Pekanbaru b. Japura Rengat c. Tanjung Pinang d. Dabo Singkep Gambar 4-7. Perbandingan Nilai Curah Hujan Dugaan Model dengan Curah Hujan Observasi Tahun 2003 di 4 empat lokasi penelitian 50 100 150 200 250 300 123123123123123123123123123123123123 Jan FebMarAprMayJun Jul AugSepOctNovDec C u ra h H u ja n m m Dasarian Pengamatan CH Obs 2003 CH_dug 3x3 50 100 150 200 250 123123123123123123123123123123123123 Jan FebMarAprMayJun Jul AugSep OctNovDec C u ra h H u ja n m m Dasarian Pengamatan CH Obs 2003 CH dug 3x3 50 100 150 200 123123123123123123123123123123123123 Jan FebMarAprMayJun Jul AugSepOctNovDec C u ra H u ja n m m Dasarian Pengamatan CH Obs 2003 CH dug 3x3 50 100 150 200 250 300 123123123123123123123123123123123123 Jan FebMarAprMayJun Jul AugSep OctNovDec C u ra h H u ja n m m Dasarian Pengamatan CH Obs 2003 CH dug 3x3 Berdasarkan Gambar 4-7 tampak bahwa curah hujan hasil estimasi tahun 2003 di Pekanbaru dan Dabo Singkep relatif baik dengan korelasi masing-masing 0.81 dan 0.72, namun model estimasi ini kurang cukup menjangkau nilai curah hujan yang sangat ekstrim. Hasil estimasi hujan di Tanjung Pinang kurang bagus dibandingkan dengan ketiga wilayah lainnya. Namun demikian, secara umum curah hujan dari data CMORPH relatif cukup baik digunakan untuk estimasi curah hujan permukaan. Selanjutnya, untuk menilai seberapa efektif penggunaan PLSR dalam analisis hubungan antara curah hujan CMORPH dengan curah hujan observasi dilakukan perbandingan antara tingkat keragaman R-sq yang dihasilkan dari analisis linier sederhana dengan analisisi PLSR Gambar 4-8. Hasil perbandingan antara analisis regresi sederhana dengan analisis PLSR menunjukkan bahwa penggunaan analisis PLSR meningkatkan perolehan R-sq sebesar 7 – 12,1 dengan domain 3x3, 26,9 – 68 dengan domain 5x5, 61,7 – 69,8 dengan domain 7x7, dan 20,9 - 41,5 dengan domain 9x9. Kenaikan R-sq tertinggi di semua lokasi kajian terjadi pada ukuran domain 7x7. Dengan demikian, analisis PLSR memiliki kemampuan yang lebih baik daripada regresi sederhana. Gambar 4-8. Perbandingan Nilai Koefisien Keragaman R-sq antara Analisis Regresi Linier dengan PLSR Wilayah Riau dibagi menjadi dua bagian, yaitu wilayah daratan Provinsi Riau dan wilayah kepulauan Kepulauan Riau. Wilayah daratan diwakili oleh Pekanbaru dan Japura Rengat. Sementara wilayah kepulauan diwakili oleh 20 40 60 80 100 120 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 Pekanbaru Japura Rengat Tanjung Pinang Dabo Singkep K o e fi si e n K e rag am an R 2 R2 Regresi Sederhana R2 PLSR Tanjung Pinang dan Dabo Singkep. Oleh sebab itu, karakteristik hujan kedua wilayah tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya. Pengkajian penggunaan ukuran dan bentuk domain bujur sangkar, persegi panjang, dan sebagainya yang digunakan sebagai prediktor masih perlu dilakukan. Menurut Wigena 2006 ada tiga hal yang masih menjadi isu penting dan perlu pengkajian lebih banyak dalam penggunaan luaran data yang bersifat global, yakni: 1Penggunaan peubah penting yang dapat digunakan atau dilibatkan dalam prediksi iklim agar mampu menjelaskan keragaman peubah lokal, 2 Penentuan domain GCM Global Climate Model dalam pemodelan prediksi iklim, dan 3 Penentuan metode statistik yang dapat menjelaskan hubungan antara peubah prediktor dengan peubah respon sesuai karakteristik wilayah serta yang dapat mengakomodir kejadian-kejadian ekstrim. Hubungan CMORPH-IRI Wilayah Kabupaten dengan observasi permukaan Analisis hubungan CH CMORPH-IRI dilakukan terhadap data curah hujan di Palangka Raya dan Pekanbaru menggunakan data tahun 2003 – 2009. Model dibangkitkan berdasarkan data dasarian 10 harian. Penggunaan data dasarian dimaksudkan untuk mereduksi keragaman yang sangat besar pada data harian. Berdasarkan pola curah hujan rata-rata bulanan dari tahun 2003 – 2009 hasil observasi BMKG di Pekanbaru dan Palangka Raya terlihat bahwa tinggi CH rata- rata bulanan di Palangka Raya pada musim kemarau dan hujan sangat jelas perbedaannya, sedangkan di Pekanbaru tampak tidak memiliki perbedaan yang jelas antara MH dengan MK Gambar 4-9. Di Palangka Raya, MK berlangsung dari bulan Mei – Oktober, sedangkan MH dari bulan November – April. Sementara itu menurut BMKG, MK di Pekanbaru berlangsung dari bulan April sampai September dan MH dari bulan Oktober hingga Maret Gambar 4-9. Gambar 4-9. Pola curah hujan di Pekanbaru dan Palangka Raya Hasil plotting antara curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi di Palangka Raya dan Pekanbaru memperlihatkan bahwa curah hujan CMORPH-IRI mampu mengikuti pola perubahan curah hujan observasi permukaan Gambar 4- 10. Selain itu, hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa data CMORPH-IRI mempunyai hubungan cukup erat dengan CH observasi di kedua wilayah penelitian, yakni masing-masing sebesar 0.68 di Palangka Raya dan sebesar 0.60 di Pekanbaru. Korelasi curah hujan CMORPH dengan observasi pada curah hujan MK di Palangka Raya r = 0.72 lebih tinggi dibandingkan dengan MK r = 0.47, sedangkan di Pekanbaru terjadi sebaliknya korelasi pada MK r = 0.56 lebih kecil dibandingkan MH r = 0.64.Dengan demikian, data curah hujan CMORPH-IRI mempunyai potensi yang cukup baik untuk digunakan sebagai penduga curah hujan observasi. Sementara itu, dari hasil uji dua persamaan regresi antara MK dan MH di kedua wilayah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sangat nyata antara model pendugaan musim kemarau dengan musim hujan di Palangka Raya 0.0000 5. Di Pekanbaru, hasil uji Z juga menunjukkan perbedaan kecil antara musim kemarau dengan musim hujan 0.0082 5 Tabel 4-5. Dengan demikian, selanjutnya dalam pembentukan model estimasi hujan akan dipisahkan antara model estimasi curah hujan pada musim hujan dengan musim kemarau. 100 200 300 400 500 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des C u rah H u jan m m Pekanbaru Palangkaraya a. Musim Kemarau di Palangka Raya b. Musim Hujan di Palangka Raya c. Musim Kemarau di Pekanbaru d. Musim Hujan di Pekanbaru Gambar 4-10. Perbandingan pola curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi Tabel 4-5. Hasil Uji Z pada model regresi linier MK dan MH di Palangka Raya dan Pekanbaru Pekanbaru Palangkaraya Koefisien SE koef Koefisien SE koef MH 0.984 0.05251 0.824 0.04009 MK 0.868 0.05488 0.672 0.04031 [MH-MK] 0.116 0.00237 0.152 0.00022 Z 2.382779 10.24784 0.0082 0.0000 Selanjutnya untuk mendapatkan model pendugaan curah hujan dari data CMORPH-IRI dilakukan analisis regresi antara kedua data pada masing-masing musim. Bentuk hubungan antara data curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi dibangkitkan dari pola diagram pencar antara kedua data. 50 100 150 200 250 300 1 1 1 9 2 8 3 7 4 6 5 5 6 4 7 3 8 2 9 1 1 1 9 1 1 8 C H m m M s K e m a ra u Pengamatan CH CMORPH CH Observasi 50 100 150 200 250 300 350 1 1 1 9 2 8 3 7 4 6 5 5 6 4 7 3 8 2 9 1 1 1 9 1 1 8 C H m m M s. H u ja n Pengamatan CH CMORPH 50 100 150 200 250 300 350 1 1 1 9 2 8 3 7 4 6 5 5 6 4 7 3 8 2 9 1 1 C H m m M s K e m a ra u Pengamatan CMORPH_IRI CH Observasi 50 100 150 200 250 300 350 1 1 1 9 2 8 3 7 4 6 5 5 6 4 7 3 8 2 9 1 1 C H m m M s. H u ja n Pengamatan CMORPH_IRI CH Observasi a. Musim Kemarau di Pal c. Musim Kemarau di P Gambar 4-11. Bentuk hubung P Hasil analisis di Pal estimasi curah hujan mus musim hujan MH dengan di Pekanbaru, keragaman m kecil dibandingkan dengan bahwa sekitar 54.2 keraga oleh model, sedangkan unt Pekanbaru, keragaman yang dan sebesar 37.9 pada M dilakukan validasi silang. A untuk dua wilayah penelitia Palangka Raya: Musim Kemarau: y = Musim Hujan: y = 0.824 50 100 150 200 250 300 100 C H M K O b se rv a si m m CH CMORPH-IRI m 50 100 150 200 250 300 100 200 C H M K P E K A N B A R U m m CH CMORPH_IRI m alangka Raya b. Musim Hujan di Palang u di Pekanbaru d. Musim Hujan di Peka uk hubungan CH CMORPH-IRI pada MK dan M Palangka Raya dan Pekanbaru alangka Raya menunjukkan bahwa keragam usim kemarau MK lebih baik dibandingka n R-sq masing-masing 54.2 dan 20.8. Sem n model estimasi curah hujan MK R-sq =26.2 n curah hujan MH R-sq = 37.9. Hal ini men gaman curah hujan MK di Palangka Raya dapa untuk curah hujan MH hanya sebesar 20 ang dapat diwakili oleh model sekitar 26.2 MH. Untuk menguji keterandalan dan konsiste ng. Adapun model estimasi curah hujan untuk MK tian adalah sebagai berikut: = 0.003 x CH MK 2 + 0.301x CH MKR-sq 0.824 x CH MH R-sq = 20.8 200 300 IRI mm y = 0.824x R-sq = 0.208 50 100 150 200 250 300 350 100 200 C H M H O b se rv a si m m CH CMORPH-IRI mm y = 0.867x R-sq = 0.262 300 400 IRI mm 50 100 150 200 250 300 350 100 200 C H M H P E K A N B A R U m m CH CMORPH_IRI mm ngka Raya kanbaru n MH di man model kan dengan ementara itu 26.2 lebih enunjukkan pat diwakili 20.8. Di 26.2 pada MK stensi model K dan MH sq = 54.2 300 mm y = 0.984x R-sq = 0.379 00 300 mm Pekanbaru: Musim Kemarau: y = 0.867 x CH MK R-sq = 26.2 Musim Hujan: y = 0.984 x CH MH R-sq = 37.9 Untuk menguji keterandalan model-model tersebut perlu dilakukan validasi. Validasi dilakukan dengan teknik validasi silang. Pembagian tahun untuk verifikasi model dan tahun untuk validasi seperti pada Tabel 4-4, khusus untuk Palangka Raya ditambah dengan periode tahun 2003 – 2008 untuk verifikasi model dan tahun 2009 untuk validasi. a. Korelasi b. RMSE Gambar 4-12. Nilai korelasi dan RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi pada MK dan MH hasil validasi silang di Palangka Raya dan Pekanbaru Berdasarkan hasil validasi silang menunjukkan bahwa kisaran korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi di Palangka Raya berturut-turut berkisar antara 0.46 – 0.93 untuk MK dan 0.03 – 0.71 untuk MH. Korelasi terendah terjadi pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2004 untuk MK dan terendah pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2006 untuk MH. Tingkat kesalahan estimasi RMSE pada MK berkisar 25.81 – 54.60 mm, sedangkan pada MH sebesar 40.06 – 70.14 mm. Selain pada tahun 2004 r = 0.93 dan 2005 r = 0.46, korelasi dari hasil validasi dugaan model untuk MK relatif baik dan stabil persisten sedangkan untuk MH relatif tidak stabil Gambar 4-12. Sementara itu, hasil validasi di Pekanbaru memperlihatkan bahwa nilai korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi pada MK berkisar antara 0.27 pada tahun 2007 hingga 0.90 pada tahun 2003, sedangkan pada MH 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 M H M K M H M K M H M K M H M K M H M K M H M K M H M K 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 K or e la si r Pekanbaru Palangkaraya 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 M H M K M H M K M H M K M H M K M H M K M H M K M H M K 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 R M S E P m m Pekanbaru Palangkaraya berkisar antara 0.10 – 0.88. Korelasi terendah pada tahun 2004 dan tertinggi pada tahun 2005. Dari hasil validasi silang ini tidak terlihat adanya konsistensi perolehan korelasi, baik pada MK maupun pada MH Gambar 4-12. Selanjutnya, hasil perbandingan antara nilai curah hujan dugaan model dengan observasi disajikan pada Gambar 4-13. a. Musim Kemarau di Palangka Raya b. Musim Hujan di Palangka Raya c. Musim Kemarau di Pekanbaru d. Musim Hujan di Pekanbaru Gambar 4-13. Perbandingan antara curah hujan dugaan model dengan observasi pada musim kemarau dan musim hujan di Palangka Raya a dan b dan di Pekanbaru c dan d Hasil perbandingan pola curah hujan dasarian dugaan model terhadap observasi pada MK dan MH di Palangka Raya menunjukkan bahwa model pendugaan pada MK lebih baik dibandingkan pada MH. Sebaliknya di Pekanbaru, model pendugaan pada MH sedikit lebih baik dibandingkan pada MK. Model tidak mampu menjangkau nilai curah hujan pada kondisi ekstrim. Nilai korelasi di Palangka Raya antara MK dan MH relatif berbeda, sedangkan di Pekanbaru 50 100 150 200 250 300 1 1 1 9 2 8 3 7 4 6 5 5 6 4 7 3 8 2 9 1 1 1 9 1 1 8 C u ra h H u ja n m m Dasarian MK CH Observasi CH Dugaan r = 0.74 50 100 150 200 250 300 350 1 9 1 7 2 5 3 3 4 1 4 9 5 7 6 5 7 3 8 1 8 9 9 7 1 5 1 1 3 C u ra h H u ja n m m Dasarian MH CH Observasi CH Dugaan r = 0.47 50 100 150 200 250 300 1 9 1 7 2 5 3 3 4 1 4 9 5 7 6 5 7 3 8 1 8 9 9 7 1 5 C u ra h H u ja n m m Dasrian MK CH Observasi CH_MK Dugaan r = 0.56 50 100 150 200 250 300 350 1 9 1 7 2 5 3 3 4 1 4 9 5 7 6 5 7 3 8 1 8 9 9 7 1 5 C u ra h H u ja n m m Dasarian MH CH Observasi CH_MH Dugaan r = 0.64 sedikit sekali perbedaannya. Kondisi ini disebabkan Pekanbaru memiliki pola hujan ekuatorial dengan curah hujan hampir merata sepanjang tahun, sementara di Palangka Raya memiliki pola hujan monsun dengan perbedaan musim yang jelas. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki keragaman sangat tinggi di antara unsur iklim lainnya, baik dari musim ke musim maupun tempat ke tempat. Selain itu, kondisi Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa, memiliki tingkat non-linieritas yang tinggi sebagai akibat dari beragamnya topografi dan pengaruh Monsoon, sehingga kondisi atmosfer di wilayah ini sulit diprediksi dibandingkan dengan wilayah lintang tinggi Satiadi dan Subarna 2006; Hermawan 2005. Selain itu, beragamnya topografi dan adanya pengaruh monsoon yang kuat menyebabkan adanya perbedaan pola hujan pada wilayah- wilayah Indonesia. Bab selanjutnya akan membahas tentang aplikasi data READY-ARL NOAA dan CMORPH dalam perolehan indeks-indeks SPBK dan mengkorelasikannya dengan luas kebakaran. 4. 4. SIMPULAN