Gambar 1-2, namun jumlah hotspot di wilayah tersebut pada tahun 2011 juga masih cukup tinggi, yakni sekitar 6.119 hotspot walaupun jika dibandingkan
dengan tahun 2005 – 2009 telah terjadi penurunan sebesar 43 Vetrita et al. 2012. Kondisi ini menjadikan kebakaran di Provinsi Kalimantan Tengah cukup
menarik untuk dikaji. Dalam pembangunan model hubungan antara data observasi permukaan
dengan data yang diturunkan dari data satelit diperlukan teknik atau metode analisis yang memungkinkan diperolehnya model hubungan kedua data. Dalam
penelitian ini analisis hubungan antara data iklim observasi dengan data READY- ARL NOAA dan CMORPH menggunakan teknik analisis PLS Partial Least
Square . PLSdapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas yang
mungkin terjadi antar lapisan atmosfir dari data READY-ARL NOAA dan peubah curah hujan CMORPH yang digunakan dalam membangun model pendugaan
parameter iklimcuaca non hujan dan hujan. PLS umumnya juga digunakan untuk mengatasi adanya multikolinearitas yang terjadi dari persamaan yang
menggunakan peubah banyak, mereduksi dimensi kovariasi, menghindari adanya kolinearitas antar komponen kovariasi, dan mengatasi struktur data yang tidak
linier serta mengatasi masalah dimensi peubah respon yang besar Zhu et al. 2007. Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti di
antara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh
tidak unik dan menghasilkan penduga model regresi yang bias, tidak stabil, dan mungkin jauh dari nilai sasarannya. Pemanfaatan analisis PLS untuk hubungan
data READY-ARL NOAA dengan radiosonde dalam penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain.
1. 2. Kerangka Pemikiran
Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang hampir setiap tahun terjadi pada musim kemarau, terutama di Kalimantan dan Sumatera dan telah
menyebabkan banyak kerugian baik secara ekonomi, ekologi, sosial, maupun politik. Sebaran asapnya juga menyebar ke negara tetangga dan dapat
mengganggu kesehatan dan aktivitas masyarakat. Polutannya terutama karbon
diduga telah memberi kontribusi yang nyata terhadap pemanasan global. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, namun upaya
tersebut masih belum optimal dalam mengatasi kebakaran tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan model-model
pemantauan atau sistem peringatan dini kebakaran baik berdasarkan data observasi maupun dengan memanfaatkan data satelit.
Pemanfaatan data satelit untuk pengembangan dan pembangunan model sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan lebih banyak ditujukan dalam
upaya mengatasi keterbatasan data observasi permukaan dan mengisi data yang hilang. Selain itu, cakupan wilayah yang teramati lebih luas dan data dapat
diperoleh secara lebih near real-time dibandingkan bila harus menggunakan data observasi permukaan. Dalam penelitian ini data satelit yang digunakan adalah
data READY-ARL NOAA untuk menurunkan data iklim non hujan dan CMORPH untuk mengestimasi data curah hujan. Dalam pembangunan model
hubungan antara data READY-ARL NOAA dan CMORPH dengan data observasi permukaan digunakan teknik analisis PLS. Pada analisis hubungan antara data
READY-ARL NOAA dengan observasi radiosonde, penggunaan analisis PLS ditujukan untuk mereduksi multikolinearitas yang terjadi antar masing-masing
lapisan atmosfir yang digunakan sebagai data masukan model. Sementara itu, penggunaan PLS dalam analisis hubungan curah hujan CMORPH dengan curah
hujan observasi dimaksudkan untuk mereduksi dimensi peubah curah hujan CMORPH yang bersifat global agar lebih kompatibel digunakan dalam
mengestimasi curah hujan regional atau lokal di wilayah penelitian. Data iklim yang diturunkan dari kedua data satelit tersebut selanjutnya
digunakan sebagai data masukan dalam model SPBK untuk model pemantauan dan peringatan dini bahaya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan
Tengah. Kemudian berdasarkan data curah hujan CMORPH dilakukan analisis hubungan antara kondisi curah hujan dengan kejadian kebakaran.Selanjutnya, dari
hubungan yang diperoleh dengan curah hujan ini dibangun model prediksi risiko kebakaran hutan dan lahan sebagai sistem peringatan dini kebakaran. Dengan
adanya sistem peringatan dini terhadap bahaya kebakaran tersebut diharapkan dampak yang ditimbulkan dapat di antisipasi lebih awal.
Data hotspot yang diturunkan dari data kanal inframerah termal TIR = thermal Infrared
baik dari NOAA maupun MODIS hingga saat ini masih dipercaya sebagai alat deteksi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Meskipun dari
beberapa hasil wawancara di lapangan di beberapa instansi menyatakan bahwa beberapa hotspot yang dicek di lapangan bukan berasal dari kejadian kebakaran,
tetapi dari objek lain seperti: atap seng, lahanpenambangan pasir, dan sebagainya. Oleh sebab itu, penelitian ini juga menilai efektifitas penggunaan informasi
hotspot dalam hubungannya dengan kejadian kebakaran dan untuk pendugaan luas kebakaran. Selain itu, juga melihat hubungannya dengan kondisi iklim curah
hujan dan dengan indeks-indeks SPBK FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI. Berkurangnya akumulasi curah hujan 1, 2, dan 3 bulan dan makin
panjangnya hari tanpa hujan 1, 2, dan 3 bulan sebelum kebakaran akan menyebabkan kekeringan dan kelembaban vegetasi jauh menurun dan makin
kering. Pada lahan gambut akan menyebabkan makin menurunnya paras muka air lahan. Kondisi ini diprediksi akan berpotensi terjadinya kebakaran. Oleh karena
itu, perlu diketahui hubungan kondisi curah hujan tersebut dengan kejadian kebakaran di Kalimantan Tengah.
Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian tahapan penelitian. Tahap pertama adalah melakukan analisis hubungan antara data READY-ARL NOAA
dengan data radiosonde dan observasi permukaan untuk mendapatkan model estimasi data non hujan dari data satelit. Tahap kedua adalah melakukan analisis
hubungan data CMORPH dengan data curah hujan observasi untuk mendapatkan model estimasi curah hujan dari data satelit. Tahap ketiga adalah menentukan
indeks risiko kebakaran IRK yang paling baik digunakan sebagai alat peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Tahap ketiga dicapai melalui pembangunan
model hubungan antara luas kejadian kebakaran dengan jumlah hotspot pada suatu domain dalam periode waktu tertentu HS0, HS7, HS14, akumulasi jumlah
hujan CH1Bl, CH2Bl, CH3Bl dan hari tanpa hujan HTH dalam satu periode waktu tertentu HTH1Bl, HTH2Bl, HTH3Bl, dan indeks-indeks luaran SPBK
FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI yang dihitung menggunakan data estimasi dari satelit. Secara ringkas kerangka penelitian selengkapnya disajikan pada
Gambar 1-3.
Gambar 1
Kejadian kebakaran hut adalah kejadian kebakaran
dengan kegiatan manusia pa no 41 tahun 1999 dan PP no
suatu kesatuan ekosistem be yang didominasi pepohona
dengan lainnya tidak dapat daratan yang peruntukanny
bagi masyarakat PP no 4 r 1-3. Bagan Alir Kerangka Penelitian
n hutan dan lahan yang dimaksud di dalam pene n yang terkait secara langsung maupun tidak
pada suatu kawasan hutan atau lahan. Berdas no 4 tahun 2001, yang dimaksud dengan hut
berupa hamparan lahan berisi sumber daya al nan dalam persekutuan alam lingkungannya,
pat dipisahkan. Lahan adalah suatu hamparan ya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan a
4 tahun 2001. Kawasan hutan adalah wilaya penelitian ini
dak langsung dasarkan UU
hutan adalah alam hayati
a, yang satu n ekosistem
n atau kebun yah tertentu
yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap PP no 4 tahun 2001.
1. 3. Tujuan Penelitian