6. 4. Simpulan
Dari hasil penelitian pada bab 6 ini dapat disimpulkan bahwa prediksi peluang kejadian dan luas kebakaran dapat ditentukan dengan menggunakan
simulasi Monte Carlo berdasarkan informasi curah hujan dua bulan sebelumnya. Upaya antisipasi untuk penanganan risiko kebakaran perlu dilakukan sedini
mungkin yaitu dua bulan sebelumnya apabila peluang risiko terjadinya kebakaran melewati nilai 40.
7. PEMBAHASAN UMUM
Berdasarkan korelasi antara data READY-ARL NOAA dengan radiosonde di Cengkareng dan Juanda menunjukkan bahwa data READY-ARL NOAA
mempunyai potensi yang cukup baik untuk digunakan sebagai penduga parameter profil atmosfir di kedua wilayah tersebut. Sementara itu, hasil korelasi antara suhu
READY-ARL NOAA level permukaan pada pukul 06.00 UTC dengan suhu maksimum di beberapa stasiun observasi permukaan menunjukkan hubungan
yang cukup baik. Namun untuk pemanfaatannya secara lebih luas masih perlu diuji untuk mendapatkan faktor koreksi yang dapat mewakili wilayah yang akan
dikaji. Selain itu, untuk perbaikan model perlu penambahan panjang series data yang digunakan dalam pembangkitan model agar model yang dihasilkan memiliki
tingkat keragaman yang lebih baik. Keuntungan pemanfaatan data READY-ARL NOAA adalah data dapat
diperoleh secara gratis, mudah dalam cara pengunduhannya download, selang pengamatan 3 jam sekali, level ketinggian pengamatan dari level permukaan
sekitar 1100mb – 1300mb hingga 20mb dengan tingkat kerapatan pengamatan lebih rapat di lapisan atmosfir bawah 1000mb – 300mb dimana proses dinamika
cuaca terjadi di level bawah lapisan atmosfir. Data READY-ARL NOAA ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pengisi data hilang hasil observasi
radiosonde dan atau untuk mengestimasi data profil atmosfir pada wilayah yang tidak memiliki stasiun peluncuran radiosonde. Data READY-ARL NOAA dapat
diunduh berdasarkan titik lokasi lintang dan bujur suatu tempat yang ingin dikaji atau dapat pula diunduh berdasarkan kropping area untuk suatu luasan tertentu
yang akan dikaji. Data READY-ARL NOAA ini memuat data ketinggian potensial, suhu, suhu titik embun, arah angin, kecepatan angin, dan kelembaban
relatif. Data curah hujan CMORPH memiliki potensi yang baik untuk dimanfaatkan
sebagai penduga curah hujan permukaan dan pengisi data yang hilang. Selain itu, data CMORPH dapat digunakan sebagai salah satu alternatif solusi untuk
mengatasi keterbatasan data yang tersedia dalam pembangunan model-model yang menggunakan data curah hujan sebagai masukannya. Data harian berupa
data global dengan resolusi 0.25
o
x 0.25
o
lintangbujur, sehingga data ini kurang
kompatibel digunakan secara langsung sehingga diperlukan teknik downscaling menggunakan analisis statistik, salah satunya dengan metode PLS. Oleh karena
itu, pemanfaatan data ini sedikit lebih rumit dibandingkan dengan apabila menggunakan data CMORPH yang telah diolah menjadi data wilayah seperti yang
dipublikasikan oleh IRI International Research Institute melalui situsnya http:iridl.ldeo.columbia.edumaproom.Fire
. Hasilnya menunjukkan bahwa keragaman yang diperoleh relatif tidak berbeda, namun faktor keragaman data
observasi sangat berpengaruh terhadap akurasi dan konsistensi model yang diperoleh. Konsistensi model biasanya diperoleh pada kondisi curah hujan
musiman yang tidak terlalu beragam dan berfluktuatif. Penggunaan metode PLS Partial Least Square pada analisis hubungan
data READY-ARL NOAA telah memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan keragaman model dan mengurangi tingkat bias atau galat model.
Namun demikian, pada kondisi dimana multikolinearitas data tidak terlalu signifikan antar peubah banyak yang dilibatkan dalam model maka akurasi
modelnya relatif sama dengan yang diperoleh dari analisis regresi sederhana. Kajian lebih dalam penerapan metode PLS dalam analisis data READY-ARL
NOAA masih perlu dilakukan terutama dalam pemilihan jumlah peubah yang terlibat dan keputusan banyaknya komponen utama PC yang akan digunakan
dalam pembangunan model. Sementara itu, penggunaan metode PLS untuk pembangunan model estimasi
curah hujan dari data CMORPH memberikan kontribusi sangat nyata dalam meningkatkan keragaman yang dapat diwakili oleh model dan menurunkan
tingkat bias atau galat model. Hasil ini menunjukkan bahwa penerapan metode PLS pada pembangunan model dengan menggunakan peubah banyak yang
multikolinearitasnya tinggi adalah sangat efektif. Namun demikian penentuan bentuk jendela atau domain luasan bujur sangkar atau persegi panjang yang
digunakan sebagai prediktor dalam estimasi curah hujan masih perlu dikaji lebih banyak. Wilby et al. 2004 menyatakan bahwa bentuk, lokasi dan luasan domain
yang akan digunakan sebagai peubah prediktor penduga seharusnya dapat mencerminkan pengaruh dominan terhadap peubah respon pada wilayah yang
dikaji, seperti: adanya gangguan siklon, orografi, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
ukuran luasan grid yang optimum untuk masing-masing wilayah atau jenis data yang digunakan dapat berbeda. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa keterandalan model estimasi hujan dari musim hujan ke musim kemarau dan atau dari tahun ke tahun tampak sangat beragam. Kondisi ini ditunjukkan oleh
perubahan tingkat korelasi dan RMSE yang dihasilkan dalam validasi silang yang sangat beragam antar masing-masing tahun. Kondisi ini dapat difahami karena
unsur curah hujan merupakan unsur cuaca yang memiliki keragaman sangat tinggi, baik distribusinya secara spasial maupun secara musiman. Unsur curah
hujan sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi, letak geografis, musim, adanya gangguan cuaca, dan penyimpangan iklim seperti ENSO dan DMI. Semua faktor
dapat berpengaruh secara simultan. Dari 30 data kejadian kebakaran yang diperoleh dan digunakan dalam
penelitian ini, sekitar 33.3 data luas kebakaran kurang dari 2 Ha dan hanya 20 data luas kebakaran yang lebih dari 10 Ha. Kondisi ini menyebabkan korelasi
antara jumlah hotspot pada musim kebakaran sekalipun dengan luas kebakaran dan masing-masingpeubah Indeks Risiko Kebakaran yang dibangkitkan dari
luaran SPBK dan kondisi iklim ini tidak mudah dikembangkan. Namun hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Tanskanen dan Venalainen
2007 bahwa kejadian tunggal kebakaran pada suatu hari tidak dapat memberikan gambaran yang akurat untuk menunjukkan adanya bahaya kebakaran yang
disebabkan oleh kondisi cuacanya, terutama apabila kejadian kebakaran lebih dikarenakan oleh faktor kesengajaan akibat aktivitas manusia.
Sementara itu menurut Miettinen 2007, deteksi hotspot tidak mampu untuk digunakan sebagai alat estimasi luas kebakaran. Hal ini dikarenakan deteksi
hotspot tidak dirancang untuk mengukurmenghitung luasan area permukaan yang terbakar. Kelemahan utama sistem deteksi hotspot antara lain: kemungkinan bias
disebabkan oleh tidak sesuainya waktu kejadian kebakaran regional dengan waktu lintas satelit yang relatif tetap Eva and Lambin 2000 dan masalah penutupan
awan yang menjadi hambatan pada area tropis lembab. Faktor iklim dominan yang menentukan tingkat risiko kebakaran di wilayah
Kalimantan Tengah adalah curah hujan terutama kondisi akumulasi curah hujan 2 bulan sebelumnya. Berkurangnya jumlah curah hujan dari kondisi normalnya akan
berdampak pada meningkatnya potensi kekeringan dan akumulasi bahan bakar tersedia yang selanjutnya akan meningkatkan indeks risiko kebakaran. Dengan
demikian, informasi tentang kondisi hujan 2 bulan sebelumnya baik yang dikeluarkan oleh BMKG dan atau prediksi dari data satelit dapat dimanfaatkan
untuk memprakirakan potensi kekeringan, jumlah hotspot dan luas kebakaran di suatu wilayah sebagai sistem peringatan dini kebakaran.Kebakaran hutan dan
lahan umumnya terjadi pada musim kemarau. Menurut Prasetiyo 2005, pada musim kemarau hanya curah hujan saja yang sangat berpengaruh terhadap kondisi
bahan bakaran mati dan bahan bakaran hidup. Sebaliknya pada musim hujan, semua unsur cuaca berkorelasi terhadap bahan bakaran hidup dan bahan bakaran
mati Zulkarnaen 2003. Sebaran curah hujan beragam menurut waktu dan tempat ruang. Kondisi
ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kondisisirkulasi atmosfer, distribusi daratan dan massa air, serta kegiatan antropogenik. Penyimpangan
curah hujan dari kondisi normal kadang terjadi dalam satu tahun di suatu daerah. Secara umum, kurangnya curah hujan yang diterima oleh suatu wilayah sering
disebut sebagai kekeringan ‘drought’. Menurut Pyne et al. 1996, periode kekeringan merupakan suatu jangka waktu, biasanya dalam beberapa bulan atau
tahun, di mana ketersediaan kelembaban aktual pada suatu tempat tertentu turun lebih rendah dari kondisi yang diharapkan. Dalam penelitian ini, kondisi
kekeringan direpresentasikan dengan nilai DC. DC merefleksikan potensi kekeringan dan asap, ISI menggambarkan kondisi
kesulitan pengendalian kebakaran, dan FWI merupakan indeks cuaca kebakaran. Kategori tingkat kerawanan kebakaran berdasarkan potensi kekeringan dan asap
DC adalah: 140 rendah, 140 – 260 sedang, 260 – 350 tinggi, dan 350 ekstrim. Kategori tingkat kesulitan pengendalian kebakaran ISI adalah: 0 – 1
rendah, 2 – 3 sedang, 4 – 5 tinggi, dan 6 ekstrim. Kategori indeks cuaca kebakaran FWI adalah: 0 – 1 rendah, 2 – 6 sedang, 7 – 12 tinggi, dan 13
ekstrim. Dari hasil analisis hubungan masing-masing luaran SPBK dengan luas kebakaran di Kalimantan Tengah tampak bahwa kecenderungan meluasnya
kebakaran di Kalimantan Tengah terjadi apabila kondisi DC potensi kekeringan dan asap, ISI kondisi kesulitan pengendalian kebakaran, dan FWI Indeks
Cuaca Kebakaran berada pada level sangat ekstrim, yakni :DC 500, ISI 11, dan FWI 27.
Pada umumnya model-model peringkat bahaya kebakaran yang dibangun menggunakan unsur cuaca ditujukan pada pendugaan kondisi kelembaban bahan
bakar permukaan terhadap pengaruhnya pada proses penyalaan, penjalaran, dan akumulasi konsumsi bahan bakar dari kebakaran. Penggunaan unsur kecepatan
angin sebagai masukan model SPBK terkait dengan pengaruhnya terhadap perilaku kebakaran. Kelemahan utama dari model-model ini adalah model hanya
dapat memberikan gambaran kondisi kelembaban pada bahan bakar mati serasah, ranting kayu yang memang dikendalikan oleh kondisi cuaca, seperti kelembaban
relatif, suhu udara, angin, radiasi matahari, dan jumlah curah hujan van Wagner 1979; van Wagner 1987, Nelson 2001 dalam Tanskanen dan Venalainen 2007.
Sementara kondisi kelembaban bahan bakar halus yang hidup lebih dipengaruhi oleh kondisi keragaman cuaca jangka panjangnya yang menyebabkan terjadinya
perubahan fenologi dalam tanaman pada musim kebakaran Viegas et al 2001 dalam Tanskanen dan Venalainen 2007.
Tingkat risiko terjadinya kebakaran dan prakiraan luas yang akan terbakar dapat diprakirakan dua bulan sebelumnya apabila informasi prakiraan hujan
bulanan tersedia. Penggunaan data curah hujan CMORPH tentunya akan sangat bermanfaat dalam sistem peringatan dini kebakaran secara spasial. Wilayah atau
lokasi yang berisiko tinggi untuk kebakaran dapat diprakirakan lebih awal sehingga dapat menetapkan langkah-langkah pengendalian kebakaran yang lebih
efektif. Model prediksi risiko kejadian dan luas kebakaran dapat dibangkitkan berdasarkan model persamaan hubungan antara curah hujan dua bulan sebelum
kebakaran dengan luas kebakaran yang telah diperoleh dan diintegrasikan dalam lembar kerja stokastik stochastic spreadsheet menggunakan simulasi Monte
Carlo.Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan periode Juli – September di Kalimantan Tengah merupakan periode dengan peluang curah hujan di bawah
normal. Apabila curah hujan dua bulan lebih rendah dari batas kritis 93 mm maka risiko kejadian dan luas kebakaran akan meningkat. Selain itu, apabila nilai
prakiraan peluang kejadian kebakaran lebih besar dari 40, pemerintah perlu segera mengintensifkan pelaksanaan program antisipasi penanggulangan risiko
kebakaran lebih dini dua bulan lebih awal, khususnya pada wilayah-wilayah yang rawan terjadi kebakaran.
Adanya sinyalemen bahwa Indonesia pada sebagian wilayahnya akan mengalami penurunan jumlah curah hujan akibat adanya perubahan iklim yang
diprediksi akan meningkatkan intensitas potensi kekeringan dan kebakaran, khususnya di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Perubahan iklim melalui
peningkatan suhu akan berdampak pada peningkatan kerentanan vegetasi hutan. Dampak perubahan iklim terhadap kondisi hutan dapat berupa: 1 perubahan
keanekaragaman hayati, flora dan fauna, 2 peningkatan kerentanan vegetasi hutan terhadap ancaman kebakaran, 3 peningkatan kejadian kebakaran sebagai akibat
kondisi lingkungan, 4 peningkatan kerentanan lahan gambut terhadap kekeringan dan kebakaran, dan 5 perubahan serangan hama dan penyakit tanaman hutan.
Adanya perubahan iklim diprediksi akan meningkatkan frekuensi dan luas kebakaran akibat peningkatan suhu, perubahan pola hujan, terjadinya kekeringan
dan kondisi iklim ekstrim. Kondisi ini akan meningkatkan potensi bahaya kebakaran hutan akibat peningkatan ketersediaan bahan bakar, penurunan kadar
air bahan bakar, penurunan kandungan kelembaban tanah. Pada lahan gambut seperti pada sebagian lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah, perubahan iklim
akan meningkatkan kerentanan terhadap bahaya kebakaran akibat peningkatan suhu dan kekeringan yang menurunkan kadar air gambut, menurunnya muka air
lahan gambut, dan meningkatnya sifat kekeringan yang tidak dapat balik irreversible drying yang menyebabkan air tidak mudah diserap oleh lahan
gambut tersebut. Akibatnya lahan gambut menjadi mudah terbakar dan sulit untuk dipadamkan, karena penjalaran api tidak hanya terjadi di atas permukaan tanah
tetapi juga di bawah permukaan tanah. Untuk itu, pengembangan model sistem peringatan dini kebakaran sangat penting artinya bagi pengelolaan dan mitigasi
bencana kebakaran hutan dan lahan. Adanya kebijakan pelarangan pembersihan lahan dengan cara bakar serta
sanksi pencabutan izin operasi, khususnya pada perusahaan perkebunan yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah terbukti
mampu mengurangi kejadian jumlah hotspot di wilayah ini selama periode 2006 - 2010.
7. SIMPULAN DAN SARAN 7. 1. Simpulan