Perjuangan Masyarakat Pamagersari Latar Belakang Lokasi Reforma Agraria .1 Sejarah Lahan Eks-HGU Jasinga

Perkebunan yang berada di wilayah Jasinga merupakan HGU milik perusahaan Perkebunan London Sumatera yang sebagian lahannya berada di Medan dan wilayah Sumatera lainnya. Pada masa revolusi lahan-lahan HGU dikuasai oleh Dwikora dan diinstruksikan untuk dibagikan kepada rakyat. Setelah HGU di Jasinga milik perusahaan London Sumatera habis masa hak kelolanya, maka hak kelola dibeli oleh HCP seorang pengusaha asal Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, namun semakin lama perkebunan semakin tidak terurus dan akhirnya mengalami kebangkrutan. Bangkrutnya perkebunan tersebut menyebabkan banyak perkebunan dibiarkan begitu saja tidak dimanfaatkan sehingga masyarakat berinisiatif untuk menggarapnya. “Bapak memiliki lahan eks-HGU yang luasnya skitar 1,5 hektara. Lahan tersebut Bapak dapatkan dari orang tua bapak yang dulu pernah bekerja di perkebunan pada masa Belanda. Sekitar awal tahun 80-an orang tua bapak dipersilahkan mengelola lahan HGU oleh Lurah Jasinga pada saat itu. Lahan yang diberikan kepada orang tua Bapak adalah lahan HGU diluar area perkebunan. ” SKM, 62 tahun “Pada masa Belanda lahan perkebunan itu terbagi dua, yaitu lahan yang benar-benar ditanami komoditas perkebunan karet dan lahan yang dibiarkan berupa hutan belantara. Diantara perkebunan karet dan hutan belantara tersebut terdapat parit besar yang lebarnya mencapai dua meter yang sengaja dibuat untuk resapan air”. SKM, 62 tahun Berdasarkan pemaparan beberapa warga di atas dapat disimpulkan bahwa lahan eks-HGU yang sekarang digarap oleh masyarakat terbagi dua dilihat dari sejarah pemanfaatannya oleh pemerintah Belanda, yaitu lahan eks-HGU yang dulunya ditanami komoditas perkebunan karet dan lahan eks-HGU yang dulunya berupa lahan kosong atau hutan belantara. Kedua jenis lahan tersebut dibatasi oleh parit yang berfungsi sebagai resapan air.

5.1.2 Perjuangan Masyarakat Pamagersari

Kebijakan-kebijakan agraria di Indonesia sangat erat kaitannya dengan ideologi pembangunan ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah yang berkuasa pada masanya, ideologi ini sangat mempengaruhi arah kebijakan politik pembangunan Indonesia. Dinamika kebijakan politik agraria dari masa ke masa sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Upaya perbaikan kebijakan dan implementasi dari kebijakan politik agraria merupakan usaha perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, awal kemerdekaan Orde Baru, hingga masa Reformasi. Pergerakan-pergerakan sosial baik secara terorganisir maupun yang berjuang melalui gerakan bawah tanah terdiri dari lapisan masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari kaum intelektual dan akademisi, serikat tani, paguyuban pamong desa, serikat buruh, dan sebagainya. Begitu pun halnya dengan latar belakang terlaksananya program sertifikasi lahan di Desa Pamagersari. Program reforma agraria di Desa Pamagersari tidak serta-merta terimplementasi begitu saja tanpa adanya upaya untuk memperjuangkan hak-hak petani. Pergerakan masyarakat Pamagersari untuk mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU dimobilisasi oleh Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga. Salah satu tokoh sentral yang sangat berpengaruh dalam pergerakan tersebut adalah AFF 55 tahun. AFF 55 tahun atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan lurah mantan kepala desa Pamegersari sejak tahun 1999 hingga 2007 merupakan tokoh yang menginisiasi terbentuknya Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga. Lurah AFF 55 tahun mengutarakan,salah satu yang melatarbelakangi terbentuknya Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga adalah adanya keinginan, motivasi, dan ambisi untuk menulis suatu sejarah. Anggota Paguyuban Kepala Desa Jasinga memiliki cita-cita bersama yang didasarkan pada upaya-upaya memperjuangkan hak masyarakat Jasinga dalam mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU PT. Perkebuan Jasinga. Cita-cita mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU ini dilatarbelakangi oleh habisnya masa sewa perkebunan yang dikaitkan dengan upaya dan keinginan warga untuk menggarap lahan perkebunan tersebut dengan rasa tenang. Paguyuban tersebut mamapu mewadahai semua partisipasi dan inisiatif warga serta anggotanya, sehingga tersatukan membentuk sebuah modal dan kekuatan sosial. Setiap waktu aktivitas di paguyuban terus dilakukan, baik berupa koordinasi internal dengan sesama pengurus, maupun koordinasi eksternal dengan pemerintah dan komponen masyarakat lainya. Sayogyo dalam Wiradi 2000 mengemukakan bahwa gerakan yang diperlukan dalam mengarahkan refoma agraria jelas memerlukan perencanaan bersama. Tak ada cara lain dari kerja sama dalam jaringan networking di antara berbagai golongan yang mau bersatu dalam menjadikan reforma agraria itu suatu yang dapat terwujud dalam kenyataan. Begitu pun dengan adanya paguyuban ini, koordinasi internal dan eksternal dilakukan untuk membentuk jaringan agar pergerakan paguyuban mendapatkan dukungan baik secara politik maupun sosial sehingga memiliki kekuatan dan bargaining position posisi tawar yang memadai untuk memperjuangkan hak masyarakat. Terdapat berbagai hambatan dalam memperjuangkan hak kepemilikan lahan ini melalui proram sertifikasi, bahkan sebelum memulai pun banyak warga yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak akan mungkin terwujud. Akan tetapi, Lurah AFF 55 tahun tetap bersemangat memperjuangkan bersama rekan-rekan kepala desa yang lain. “Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa hal tersebut akan mustahil terwujud, akan tetapi hati ini tetap keukueh, tetap semangat. Bapak terus mencari informasi mengenai reforma agraria, membeli buku-buku tentang undang-undang agraria, dan terus berdiskusi dengan rekan-rekan di paguyuban. Selain itu kami dalam tim Paguyuban Kepala Desa selalau menjalin koordinasi dan membentuk jaringan secara eksternal, karena kami sadar untuk mewujudkan cita-cita ini butuh kekuatan dan dukungan dari berbagai pihak” Mocodompis 2006 mengutarakan bahwa sebagai suatu sistem yang diharapkan dapat menjadi jalan keluar dari permasalahan kemiskinan rakyat maka reforma agraria adalah langkah multidimensional dan harus melibatkan komitmen bersama dari pihak- pihak yang terkait di dalamnya. Hal inilah yang disadari oleh Lurah AFF 55 tahun beserta rekan-rekanya dalam paguyuban, bahwa untuk mewujudkan cita-citanya dalam bentuk pelaksanaan reforma agraria memerlukan suatu modal sosial, berupa kekuatan diplomasi politik yang dapat mempengaruhi berbagai komponen masyarakat agar mau ikut berkomitmen untuk memperjuangkan hak masyarakat. “Dahulu pada saat memperjuangkan hak kepemilikan lahan eks-HGU untuk masyarakat Jasinga beberapa rekan Bapak pernah mengalami pasang-surutnya semangat. Namun, rutinitas kami berupa diskusi, saling bertukar pikiran, curhat, dan sebagainya mampu memberikan dorongan yang akhirnya berhasil membuat semangat itu kembali muncul dan pada akhirnya kami dapat memegang komitmen hingga program sertifikasi dapat terlaksana.” Upaya-upaya pendekatan dan kerja sama terus dilakukan oleh tim di paguyuban, yaitu pendekatan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor, dan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat. Pendekatan ini dilakukan melalui upaya diplomasi baik secara politik maupun sosial. Terdapat berbagai hambatan yang dihadapi oleh tim dari paguyuban kepala desa dalam proses memperjuangkan terlaksananya reforma agraria di Kecamatan Jasinga. Hambatan terbesar datang dari pihak yang dahulu memiliki HGU, mereka masih berkeinginan untuk mendapatkan perpanjangan HGU di kawasan perkebunan Jasinga. Berbagai upaya dilakukan oleh mantan pemegang HGU tersebut, diantaranya adalah upaya-upaya yang bertentangan dengan etika dan ketentuan hukum yang berlaku. “Pada proses memperjuangkan reforma agraria di Jasinga, terdapat hambatan besar yang menghalangi perjuangan kami. Hambatan itu muncul dari eks-pemilik HGU perkebunan Jasinga, mereka juga ternyata masih keukeuh untuk mendapatkan perpanjangan hak kelola perkebunan. Upaya-upaya kotorpun mereka lakukan, diantaranya adalah dengan meminta bantuan kepada jawara leter A sebutan untuk jawarapendekar Banten. Beberapa rekan Bapak sempat diintimidasi untuk berhenti memperjuangkan Reforma Agaria ini.” AFF, 55 tahun “Namun, Bapak melihat ada kelemahan dari pihak mereka yang bisa dimanfaatkan sebagai bumerang. Kelemahan itu adalah masalah pembayaran pajak perkebunan yang sudah tertunda beberapa tahun lamanya sehingga memberatkan pihak lawan untuk mendapatkan perpenjangan HGU. Selain itu mereka juga bersalah telah membiarkan lahan perkebunan begitu saja setelah penebangan karet, hal ini telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Sehingga akhirnya dimanfaatkan oleh masyarakat Jasinga. Dengan menghindari bentrokan fisik, akhirnya berbagai upaya yang kami lakukan dapat memukul mundur lawan” AFF, 55 tahun Pihak eks-pemilik HGU Jasinga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Akhirnya, berbagai usaha tersebut membuahkan hasil sehingga Kecamatan Jasinga dipilih sebagai lokasi percontohan program reforma agraria di Indonesia. Pergerakan Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Jasinga dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Momentum RA : Habisnya HGU Lahan eks-HGU diterlantarkan Masyarakat telah menggarap selama puluhan tahun Animo masyarakat untuk mendapatkan hak milik lahan Inisiatif tokoh sentral paguyuban Lurah AFF Paguyuban Kepala Desa Dukungan berbagai pihak: PEMDA BPN Kabupaten BPN Provinsi Pihak lain Upaya memperjuangkan RA Implementasi RA program sertifikasi Gambar 3: Bagan Pergerakan Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Jasinga

5.2 Pelaksanaan Reforma Agraria di Pamagersari