Indikasi Ketimpangan dalam Kepemilikan Lahan

ketidaktepatan dalam penentuan sasaran penerima sertifikat. Hal ini dijelaskan pada sub bab berikutnya yang membahas adanya indikasi ketimpangan dalam pemilikan lahan.

6.2.1 Indikasi Ketimpangan dalam Kepemilikan Lahan

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan beberapa responden dan informan, peneliti menduga adanya ketimpangan dalam distribusi kepemilikan lahan eks-HGU. Hal ini dapat dilihat dari tiga pokok permasalahan yang bisa dijadikan indikator adanya ketimpangan itu, antara lain: 1. Akumulasi kepemilikan lahan oleh pihak tertentu. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa petani, didapatkan informasi yang menunjukkan adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk mengakumulasi kepemilikan lahan dalam jumlah besar dengan cara membelinya. Hal ini seperti diutarakan oleh SKM 62 tahun. “Ada hal lain yang terjadi dalam masalah sertifikasi ini, menurut bapak sekarang cukup banyak warga yang mendapatkan lahan yang telah menjual lahannya karena membutuhkan uang, ironisnya yang sering membeli lahan itu adalah mantan lurah AFF, 55 tahun yang sebenarnya juga sudah mendapat jatah lahan dari program setifikasi tersebut.” Hal ini juga diakui oleh Ibu CH 53 tahun, salah seorang penggarap yang pernah menjual sebagian lahannya kepada AFF 55 tahun. “sebagian lahan ibu telah dijual kepada Lurah AFF tapi masih digarap oleh Saya. Sebenarnya sih ibu juga sayang, tapi bagaimana lagi…” Mengenai fakta jual-beli lahan eks-HGU ini juga diakui sendiri oleh AFF55tahun sebagai pihak yang pernah membeli beberapa lahan eks-HGU setelah program sertifikasi. “Bapak juga pernah membeli lahan eks-HGU, tapi itu bapak lakukan justru untuk menyelamatkan lahan tersebut. Sebelumnya bapak mendengar kabar bahwa ada orang Jakarta yang ingin membeli lahan-lahan eks-HGU tersebut. Bapak sempat marah kepada war ga yang akan menjual lahannya.” “Ngeunah wae sia rek ngajual kana urang laen, aing mah hese-hese ngajuangkeunana. Dieu jual ka Aing wae.” “Enak saja kamu mau menjualnya kepada orang lain, saya sudah susah-susah memperjuangkannya. Sini jual kepada saya” Selain keterangan dari beberapa subjek program sertifikasi, ada juga keterangan yang diutarakan oleh pihak yang tidak termasuk dalam subjek program. Salah satunya adalah NR 40 tahun yang sekarang menjabat sebagai Kepala Desa Pamagersari. “Saya juga pernah mendengar kabar ada warga yang menjual lahan eks-HGU yang diberikan kepadanya. Tapi saya tidak tahu persis siapa orangnya dan berapa banyak lahan yang sudah dijual, karena tidak ada bukti atau laporan tertulis yang masuk ke kantor desa. Biasanya jika ada transaksi jual-beli tanah tercatat di kantor desa, kerana yang bersangkutan memang seharusnya melapor. “ Seorang pegawai BPN Kabupaten Bogor juga memberi keterangan yang serupa, walaupun ZN bukan pegawai yang berwenang dalam pembagian sertifikat lahan di Desa Pamagersari namun beliau pernah mendengar kabar mengenai jual-beli lahan eks-HGU setelah program sertifikasi dilaksanakan . “…..sekarang memang segala sesuatu digembor-gemborkan atas nama rakyat, tapi ujungnya untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Program reforma agraria di Kecamatan Jasinga merupakan pilot project, tapi saya dengar-dengar sekarang banyak warga yang sudah ngejual lahannya. Itulah mereka, dikasih bantuan tapi dijual. Akhirnya pemerintah juga nanti yang ditempuhin …” 2. Musyawarah membagi lahan untuk warga yang tidak memilik lahan dan belum bekerja. Seperti yang telah dijelaskan di atas, sebelum pelaksanaan sertifikasi pemerintah desa melakukan musyawarah dengan para penggarap asal untuk membagi lahan garapan mereka. Hal ini merupakan langkah yang positif sebagai upaya pemerataan hak agar lebih adil. Namun, dalam pelaksanaannya tidak jelas siapa yang dimaksud dengan “warga yang tidak memiliki lahan dan belum bekerja”, karena pihak yang bukan penggarap asal namun mendapatkan sertifikat lahan sebagian besar adalah aparat desa yang menjabat sejak masa lurah AFF dan ketua RTRW di Desa Pamagersari. Rata- rata mereka mendapat lahan garapan seluas 100 m 2 sampai dengan 200 m 2 . Musyawarah ini bukan sesuatu yang pantas dipermasalahkan seandainya pembagian lahan ini sesuai dengan keinginan dan kesungguhan mereka untuk memanfaatkan lahan secara optimal. Namun, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Beberapa ketua RT yang ditemui, tiga orang di antaranya telah menjual lahan eks-HGU tanpa pernah menggarapnya. 3. Kurang tepatnya sasaransubjek program Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional telah menetapkan mekanisme penentuan subjek reforma agraria. Untuk memastikan bahwa subjek reforma agraria memenuhi ketentuan, diperlukan mekanisme penentuan subjek reforma agraria. Penentuan subjek didasarkan hasil identifikasi subjek secara teliti, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi kriteria yang ditetapkan. Proses penentuan subjek reforma agraria ini perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagai berikut BPN, 2007: g. Berasaskan keadilan h. Tidak bersifat diskriminatif baik berdasarkan gender, suku, ras, agama, golongan, dan lain-lain. i. Penentuannya melibatkan partisipasi civil society j. Diselenggarakan mekanisme musyawarahkesepakatan masyarakat. k. Diidentifikasi atau diusulkan oleh unit administrasi terkecilterdekat l. Memperhatikan aspek ketepatan dan efektivitas sasaran, sebagai contoh adalah efektivitas faktor usia, jenis usaha, jenis pekerjaan, dan sebagainya. Jika ditampilkan dalam bentuk matriks, maka dapat diketahui ketentuan- ketentuan penentuan subjek reforma agraria yang telah dilakukan di Desa Pamagersari, antara lain sebagai berikut: Tabel 15: Ketentuan-ketentuan Penentuan Subjek Reforma Agraria yang Telah Dilakukan. No Ketentuan yang berlaku Keterangan 1 Berasaskan keadilan  2 Tidak bersifat diskriminatif  3 Penentuannya melibatkan partisipasi civil society  4 Diselenggarakan mekanisme musyawarahkesepakatan masyarakat  5 Diidentifikasi atau diusulkan oleh unit administrasi terkecilterdekat  melalui paguyuban kepala desa dan pemerintah desa 6 Memperhatikan aspek ketepatan dan efektivitas sasaran, sebagai contoh adalah efektivitas faktor usia, jenis usaha, jenis pekerjaan, dan sebagainya. belum Menurut peneliti penentuan subjek reforma agraria di Desa Pamagersari kurang memperhatikan faktor ketepatan dan efektivitas subjek sasaran. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan subjek yang terkesan kurang menganggap penting lahan yang didapatkannya. Hal ini seperti pernyataan CP 43 tahun. “….sebelumnya saya gak tau apa-apa, saya dikasih tau sama tetangga. Katanya saya dapet jatah buat RT. Yah saya sih syukur aja kalo dikasih mah, kalo nggak dikasih juga saya ga maksa. Tapi saya ngga ada waktu buat ke kebon, abis saya sibuk di pasar. Saya juga ngga ahli sih kalo disuruh bertani mah….” “….akhirnya ada tetangga saya yang ingin menggarapnya, saya sih silahkan saja. Eh…beberapa bulan kemudian dia bilang kalo tanah saya udah dijual ke orang. Yah…tadinya itu ya, saya mah ngga mau ambil pusing. Yaudah lah kalo sudah dijual mah, mau gimana lagi... Saya dikasih uang 300 rebu, yang 100 rebu saya kasihin ke yang ngejual.” Rendahnya rasa memiliki ini dipengaruhi oleh jenis usaha atau kemampuan dasar SDM yang dimiliki oleh subjek. Selain CP 43 tahun, penjualan lahan eks-HGU juga dilakukan oleh BD 45 tahun dan SHD 46 tahun, keduanya adalah ketua RT di Desa Pamagersari. Selain ketiga warga tersebut ada juga AGK 40 tahun yang mengaku belum sempat mengarap lahan karena beliau sudah memiliki pekerjaan, namun AGK tidak menjual lahannya. Rencananya jika nanti memiliki waktu luang dan cukup modal, lahan yang dimilikinya akan ditanami Jengjeng Sengon. Reandahnya rasa memiliki diduga sebagai salah satu penyebab dijualnya lahan eks-HGU yang telah diberikan pemerintah. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh pihak yang memang ingin membeli lahan eks-HGU tersebut dan tentu saja hal ini tidak sesuai dengan tujuan program reforma agraria di Indonesia. BAB VII PROGRAM REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI

7.1 Tanggapan Warga Terhadap Program Sertifikasi