7.2.3 Sarana Umum
Terdapat  beberapa  bidang  lahan  eks-HGU  yang  digunakan  untuk  kepentingan umum, diantaranya adalah mushola yang terletak di Perkampungan Citeureup. Mushola
ini  juga  memiliki  sertifikat  sendiri.  Ketika  penelitian  ini  masih  berlangsung,  warga  di Perkampungan Citeureup sedang bergotong royong membangun mushola.
Selain  itu,  ada  juga  lahan  yang  digunakan  untuk  lokasi  lapangan  sepak  bola yang terletak di Kampung Bojong Reundeu.
7.3 Program Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
Reforma  agraria  merupakan  salah  satu  solusi  utama  untuk  menyelesaikan permasalahan  agraria  yang  dihadapi  oleh  masyarakat  Indonesia.  Program        reforma
agraria  sangat  diharapkan  dapat  mewujudkan  pemerataan  hak  pemilikan  lahan  dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Program land reform  yang  pernah direncanakan  pada  masa  pemerintahan  Soekarno  tidak  dapat  direalisasikan.  Hal  ini
disebabkan  berubahnya  kebijakan  politik  agraria  dari  populis  Soekarno  menjadi kapitalis Soeharto Orde Baru.
Hampir  satu  dekade  pemikiran  mengenai  pentingnya  reforma  agraria  kembali dicuatkan  dan  diupayakan  agar  terwujud.  Muaranya  adalah  pada  masa  pemerintahan
SBY-JK  program  reforma  agraria  dapat  direalisasikan.  Tujuan  utama  dari  program reforma  agraria  adalah  penataan  kembali  struktur  agraria  nasional  sehingga  menjadi
lebih  adil  dan  merata.  Struktur  kepemilikan  aset-aset  agraria  yang  adil  dan  merata disertai  dengan  pemberian  program  penunjang  berupa  kemudahan  akses  dalam
mendapatkan moda produksi lahan, teknologi, modal finansial, bibit tanaman, dan lain-
lain serta peningkatan kapasitas sasarana, diharapkan dapat memberikan dorongan bagi terwujudnya  masyarakat  Indonesia  yang  sejahtera.  Hal  ini  pernah  disinggung  oleh
Presiden RI Bapak DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato politiknya
7
.
“Program reforma agraria…secara bertahap…akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal
dari  hutan  konversi  dan  tanah  lain  yang  menurut  hukum  pertanahan  kita  boleh diperuntukkan  bagi  kepentingan  rakyat.  Inilah  yang  saya  sebut  sebagai  prinsip  tanah
untuk  keadilan  dan  kesejahteraan  rakyat
…[yang]  saya  anggap  mutlak  untuk dilakukan”.
Pada  bulan  Juni  2007  program  reforma  agraria  dilaksanakan  di  Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Program ini berupa pemberian sertifikat kepada petani yang
menggarap  lahan  eks-HGU  Perkebunan  Jasinga,  salah  satunya  diperuntukkan  bagi petani di Desa Pamagersari. Secara rasional adanya bantuan berupa pemberian lahan ini
akan memberi pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan  sasaran yang mendapatkannya, dalam hal ini terfokus pada kehidupan petani di Desa Pamagersari.
Berdasarkan  informasi  yang  diperoleh,  terdapat  beberapa  hal  yang mengindikasikan  bahwa  program  reforma  agraria  di  Desa  Pamagersari  belum  dapat
memberikan dorongan  yang signifikan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sasaran program sebagian besar petani.
Beberapa hal yang menyebabkan program reforma agraria                        di Desa Pamagersari  belum  dapat  memberikan  pengaruh  yang  signifikan  terhadap  tingkat
kesejahteraan sasarannya petani, antar lain: a.
Waktu pelaksanaan reforma agraria Program  reforma  agraria  dalam  bentuk  sertifikasi  lahan  eks-HGU  baru
dilaksanakan  pada  tahun  2007.  Jangka  waktu  ini  masih  terlalu  singkat  untuk  melihat
7
Penggalan  pidato  dalam  Reforma  Agraria  Mandat  Politik,  Konstitusi.  dan  Hukum  dalam  Rangka Mewujudkan “Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. BPN RI, 2007.
pengaruh  yang  ditimbulkan,  yaitu  berupa  tingkat  kesejahteraan  sasaran  progarm.  Jika setelah mendapatkan sertifikat para petani langsung menggarap lahannya,  maka sampai
saat ini waktu optimal penggarapan lahan baru berlangsung sekitar 1 sampai 1,5 tahun. Jangka waktu ini hanya cukup untuk menghasilkan tanaman jangka pendek seperti padi,
singkong, pisang, ubi, dan jagung. Beberapa responden mengaku pernah menjual beberapa hasil panen tanamannya,
namun  hasil  penjualan  itu  tidak  begitu  besar.  Hal  ini  seperti  diutarakan  oleh  CH  53 tahun.
“Hasil panen antara lain pisang dan singkong, tadi juga baru saja menjual singkong yang ada di  depan  seharga  Rp.  260.000  dengan  cara  diborongkan,  sekarang hasilnya  sedang
tidak bagus karena terkena hama, biasanya jika tidak ada kuuk semacam hama di dalam tanah  hasil  penjualan  singkong  saja  bisa  mencapai        Rp.  1500.000.  Untuk  pisang
perminggu bisa menghasilkan hingga                    Rp. 80.000 s.d. Rp. 100.000. Sebelum dijual saya terlebih dahulu menyisihkan untuk keperluan keluarga dikonsumsi sendiri.
Selain itu ada juga hasil sawah, setahunnya bisa menghasilkan sekitar Rp. 1500.000 dua kali panen. Namun sekarang hasil sawah jarang dijual, hanya untuk kebutuhan keluarga
saja.
”
Jika  dilakukan  penghitungan  matematis  dari  hasil  panen  yang  didapatkan  oleh CH 53 tahun, maka rincian uang yang didapatkan dari hasil panen            per tahun:
1. Panen Padi
: Rp. 1500.000,- dua kali penen 2.
Panen Singkong : Rp. 1000.000,-
3. Panen pisang
: Rp. 4500.000,- + Jumlah
: Rp. 7000.000,-
Jika Rp. 7000.000,- dibagi 12 bulan maka CH 53 tahun setiap bulannya hanya bisa mendapatkan  ± Rp. 580.000,-. Jumlah ini adalah hasil  perhitungan kasar, dimana
kondisi  panen  diasumsikan  dalam  keadaan  baik  tidak  ada  gangguan  hama.  Jika  ada gangguan  hama  dan  ditambah  dengan  biaya  produksi  lainnya,  tentu  saja  hasil  yang
didapatkan jauh lebih kecil. Tentu saja hasil panen ini belum bisa membuat CH merasa sejahtera secara ekonomi, mengingat harga kebutuhan pokok pada saat ini sangat tinggi.
“….tapi pak jika lagi paceklik kondisi sulit mah, kadang-kadang ibu juga meminjam uang ke saudara atau te
tangga.”
Selain  pemaparan  di  atas,  ada  juga  informan  yang  mengemukakan  hal  yang serupa  mengenai  masih  singkatnya  masa  pemberian  sertifikat  sehingga  sulit  melihat
dampaknya  bagi  kesejahteraan  sasaran.  Hal  ini  seperti  disampaikan  oleh  SKM  62 tahun.
“Sejauh  yang bapak amati, warga  yang mendapatkan sertifikat belum dapat dikatakan sejahtera sebab program tersebut baru saja dimulai tahun 2007 yang lalu, belum lagi ada
warga yang sudah menjual lahnnya .”
Sementara  untuk  tanaman  keras  yang  memiliki  nilai  jual  cukup  tinggi  seperti Sengon membutuhkan waktu minimal 3 tahun untuk bisa dipanen.      Rata-rata Sengon
yang ada saat ini baru berumur 6 bulan hingga 1 tahun, dan ini belum layak untuk dijual sehingga belum bisa memberikan hasil bagi petani.
b. Belum ada pemberian access reform yang memadai. Access  reform  merupakan  bantuan  pelengkap  program  reforma  agraria.  Access
reform diberikan untuk mengoptimalkan pengusahaan obyek           reforma agraria oleh penerima manfaat.  Access reform ini merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait
dan  berkesinambungan  yang  meliputi  antara  lain:                                      a  penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, b pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima
manfaat,  c  dukungan  permodalan,  dan  d  dukungan  distribusi  pemasaran  dan dukungan lainnya BPN RI, 2007.
Bentuk  access  reform  yang  pernah  diberikan  adalah  bantuan  bibit                buah- buahan sebanyak 200 batang untuk Desa Pamagersari. Jumlah ini jauh dari mencukupi,
selain itu bibit buah-buahan yang diberikan rata-rata memiliki masa panen 4 samapai 5 tahun.
c. Kurang optimalnya pemanfaatan lahan oleh sasaran program
Kurang optimalnya pemanfaatan lahan oleh sasaran program merupakan     salah satu  sebab  kurang  signifikannya  pengaruh  reforma  agraria  bagi  tingkat  kesejahteraan
petani.  Beberapa  warga  yang  termasuk  dalam  sasaran  program  mengutarakan  bahwa mereka  belum  sempat  menggarap  lahan  eks-HGU.  Hal  ini  dikarenakan  mereka  telah
memiliki kesibukan dan pekerjaan yang lebih menjanjikan hasilnya daripada menggarap lahan. Salah satunya seperti diutarakan oleh UP 62 tahun.
“Ibu  bersyukur bisa dapet sertifikat, tapi sampe sekarang ibu belum sempet ngegarap. Abis  gimana,  ibu  si
buk  jualan.  Jangankan  ngegarap  de…ngeliat  lahannya  aja belum..hehehe…abis lokasinya jauh….di Blok Ciledug sana..”
d. Penjualan lahan yang telah disertifikasi Beberapa  sasaran  program  yang  berhasil  ditemui  mengaku  telah  menjual  lahan
eks-HGU  yang diberikan kepadanya.  Bahkan  lahan  itu  belum pernah digarap olehnya. Salah satunya adalah CP 43 tahun, beliau mengatakan:
“  …lahan  tersebut  akhirnya  digarap  oleh  tetangga  saya  SHN,  41  tahun.  Tanpa sepengetahuan  saya  lahan  tersebut  sudah  dijual  oleh  SHN,  dan  saya  diberi  uang  Rp.
300.000,- tapi ya sudahlah...saya ngga mau ngeributin ”
Beda halnya dengan CP 43 tahun yang membiarkan lahannya dijual oleh SHN 41  tahun.  Terdapat  warga  yang  menjual  lahan  dengan  alasan  tidak  memiliki  biaya
untuk melanjutkan sekolah anaknya, diantaranya adalah              Ibu CH 53 tahun.
“Saya hanya mendapatkan sedikit lahan, sebagian telah dijual kepada AFF tapi masih digarap  oleh  saya.  Sebagian  lahan  sudah  dijual  kepada  AFF  55  tahun,  namun  lahan
yang masih ada sawahnya saya pertahankan karena dekat kampung dan hanya itu yang benar-
benar milik saya.”
Beberapa  faktor  di  atas  nampaknya  perlu  menjadi  perhatian  berbagai  pihak, diantaranya  pemerintah  BPN  sebagai  pengampu  kebijakan  agraria  dan  warga  yang
mendapatkan  sertifikat.  Jika  permasalahan-permasalahan  di  atas  tidak  dapat terselesaikan,  tidak  menutup  kemungkinan  tujuan  utama  reforma  agraria  di  Indonesia
tidak  akan pernah tercapai. Walaupun program tersebut sudah berjalan bertahun-tahun lamanaya.
Jika  kepemilikan  materi  ekonomi  merupakan  salah  satu  patokan  untuk  melihat tingkat kesejahteraan sasaran program, maka dari informasi dan perhitungan sederhana
di  atas  dapat  diketahui  bahwa  sebagian  besar  sasaran  program  belum  dapat  dikatakan sejahtera.  Akan  tetapi,  program  Reforma  Araria  di  Desa  Pamagersari  saat  ini  dapat
memberikan  pangaruh  psikologis  non-material  yang  positif.  Seluruh  subjek  program merasa  senang  dan  leluasa  menggarap  lahannya,  dengan  memiliki  sertifikat  para
penggarap tidak lagi merasa takut kehilangan lahan garapannya. Midgley,  et  al  2000:  xi  seperti  dikutip  oleh  Suharto  2006  mendefinisikan
kesejahteraan  sosial  sebagai  “…a  condition  or  state  of  human  well-being.”  Kondisi sejahtera  terjadi  manakala  kehidupan  manusia  aman  dan  bahagia  karena  kebutuhan
dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta  manakala  manusia  memperoleh  perlindungan  dari  resiko-resiko  utama  yang
mengancam kehidupannya.
Pembagian  sertifikat  lahan  eks-HGU  merupakan  langkah  pemerintah  untuk memberikan  perlindungan  terhadap  hak-hak  penggarap  di  Desa  Pamagersari  sehingga
masyarakat merasa senang dan lebih leluasa menggarap lahannya kapan pun. Berdasarkan  pemaparan  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  dalam  kurun  waktu
dua tahun terlaksananya program Reforam Agraria di Desa Pamagersari, pengaruh yang
dapat terlihat baru sebatas pengaruh secara psikologis. Dimana sasaran merasa senang, leluasa,  dan  tidak  takut  kehilangan  lahan  garapannya.  Kesejahteraan  psikologis  non-
material  ini  merupakan  modal  dasar  untuk  mewujudkan  kesejahteraan  ekonomi  yang
lebih baik pada masa yang akan datang.
BAB VIII PENUTUP
8.1 Kesimpulan