keinginan untuk menguasai lahan di kampung halamannya baik berupa tanah darat maupun tanah sawah
Penguasaan lahan bisa meningkatkan peran perempuan, relasi gender dalam rumahtangga dan komunitas
Sumber : Diolah dari beberapa sumber.
2.6. Alur Pemikiran Studi
Migrasi internasional perempuan, penguasaan lahan dan kesetaraan gender adalah fokus utama dalam penelitian ini. Dengan mengedepankan pada nalar migrasi, dan sosiologi agraria
penelitian ini mempertautkan teori cumulative causation dari Massey 1990b, tindakan ekonomi rasional dari Weber 1964, embeddednes-Granovetter dalam bingkai relasi gender dan dinamika
penguasaan lahan di pedesaan Jawa Barat. Dalamlogikacumulative causation,faktor jaringan networking merupakan penentu
putusan untuk bermigrasi. Networking tersebut dihubungkan kepada pertimbangan bahwa: 1 migrasi internasional perempuan selalu terkait antara individu, misalnya dalam hal keputusan
dan motif untuk bermigrasi; 2 pada tahap meso, migrasi akan selalu melibatkan keluarga, nilai, norma dan kultur serta kelembagaan pada komunitas asal; dan 3 pada aras makro, migrasi akan
terkait dengan distribusi lahan, distribusi pendapatan, distribusi modal manusia, serta pelabelan manusia.
Keputusan untuk melakukan migrasi internasional tidak dapat dilepaskan dari motif- motif rasional, nilai budaya dan sebagai pengaruh langsung dari pembagian kerja yang terjadi
pada masyarakat yang lebih komplek. Di sinilah kemudian teori tindakan rasional dari Weber, Coleman danembeddedness
– Granovetter menjadi relevan.Logikanya, ketika seorang perempuan memutuskan untuk pergi menjadi tenaga kerja internasional ke luar negeri, selain
didasarkan kepada dorongan untuk memenuhi berbagai kebutuhan ekonomi keluarga, kurangnya lapangan kerja di pedesaan, juga mempertimbangkan faktor lain seperti sistem nilai, norma yang
dianut komunitas, kebiasaan dan tradisi komunitas asal pelaku migrasi.Salah satu sistem nilai dan norma dimaksud adalah peran perempuan sebagai istri dan ibu rumahtangga yang selama ini
sudah dikonstruksikan masyarakat sebagai pemegang peran reproduktif-domestik yang bertanggungjawab terhadap keberlangsungan rumahtangga mereka. Kepergian istriibu
rumahtangga memiliki berbagai konsekuensi yang harus dialami oleh keluarga tersebut akibat ketidakhadiran mereka sebagai figur utama dalam proses sosialisasi, enkulturasi berbagai norma,
nilai didalam keluarga. Dalam konteks ini, rasionalitas Weberian bertemu dengan konsep
embeddedness Granovetter, networking, cumulative causation dari Massey dan nilai dan norma pembagian peran dalam rumahtangga.
Pertautan keempat teoretisasi tersebut, setidaknya dapat membentuk tiga aspek: 1 secara ontologis mengisi celah ketiadaan penelitian migrasi yang mengetengahkan keterlekatan
embeddedness antara migrasi perempuan dan pengusaan lahan di pedesaan; 2 Secara epistemologis penelitian memunculkan teoretisasi yaitu terciptanya “ruang kewargaan
emansipatif”
19
bagi migran perempuan di pedesaan sebagai implikasi penguasaan lahan dan pergeseran peran gender dalam struktur agraria yang baru. Ruang kewargaan emansipatif
merupakan representasi komunitas migran dan eks-migran untuk membangun basis sosial dan kelembagaan migran melalui penguasaan lahan
– di sini mereka memperoleh status lebih. Ruang kewargaan emansipatif inilah yang menjadi
“space” bagi migran perempuan pedesaan untuk mengkonsolidasikan diri, membangun, memanfaatkan kapital sosial, jaringan network,
rasionalitas, dan keterlekatan nilai budaya yang mengakar pada masyarakat pedesaan, khususnya di Jawa Barat; dan 3 secara aksiologis penelitian ini bisa membuktikan bahwa penguasaan
lahan oleh perempuan yang seringkali termarjinalkan akibat sistem nilai budaya patriarkhi mampu membuktikan bahwa mereka menjadi penyelamat ekonomi keluarga dan menggantikan
laki-laki sebagai the bread winner in family. Dengan menggunakan konsep tindakan ekonomi rasional Weber,
“embeddedness”nya Granovetter serta teori networking-Massey, penelitian ini akan mengkaji lebih spesifik : 1
rasionalitas bermigrasi perempuan pedesaan; 2 penggunaan remitan yang dihasilkan migran tenaga kerja internasional perempuan pedesaan
, termasuk yang „ditanamkan‟ dalam tanah pertanian dan non-pertanian;3 implikasi penguasaan lahan terhadap relasi gender dan peran
perempuan dalam rumahtangga dan komunitas pedesaan Jawa Barat.Saling keterhubungan dan mempengaruhi di antara aspek-aspek tersebut disajikan dalam gambar 2.1. di bawah ini.
19
Konsep ruang kewargaan emansipatif diambil dari konsep ruang kewargaan. Konsep ruang kewargaan civic space, di populerkan oleh Daniere dan Michael Douglass 2009 berangkat dari suasana dan aspirasi post-
authoritarianisme Asia. Konsep ini ingin memberi peran yang lebih banyak pada civil society dalam menghadapi kekuatan privatepublic partnership. Jadi, civic space adalah space-nya masyarakat sipil
– sebuah ruang yang terbuka untuk semua golongan masyarakat tanpa dikuasai oleh kepentingan negara dan ekonomi. Singkatnya, civic
space adalah ruang publik yang bisa menjadi tempat untuk masyarakat madani, atau sipil, bisa berkembang dan berdaya tanpa tekanan negara dan bisnis. Dalam konteks penelitian ini, penguasaan lahan oleh migrant perempuan
pedesaan tidak hanya berimplikasi pada “perubahan status dan pergeseran peran gender” akan tetapi juga menjadi penanda kemunculan ruang kewargaan emansipatif perempuan pedesaan untuk mengcounter masuknya kapitalisme
di pedesaan dalam jangka panjang.
Gambar 2.1. Alur Pemikiran Studi
Teori Sosio-Migrasi : 1 Cumulative Causation-Massey; 2 Rational action
– Weber; Coleman 3 Embededdness-
Granovetter; 4 Gender dan Pembagian Peran dalam Rumahtangga
Migrasi Internasional Perempuan Pedesaan: Motif rasional individu memperbaiki
ekonomi, status sosial keluarga Dorongan, dukungan keluarga
Nilai, norma, asal komunitas masyarakat tentang gender dan peran gender
Networking yang terbentuk
Pemanfaatan Remiten Ekonomi
pemanfaatan untuk konsumtif- produktif, sosial
–keagamaan
Menghasilkan tipe keluarga: 1 Rikrik-gemi bari dagdag-degdeg;
2 mangpang-meungpeung
Penguasaan lahan berupa tanah darat, sawah oleh migran
perempuan Implikasi Penguasaan Lahan oleh Migran
Perempuan: Pembentukan kearah kesetaraan
gender pada aras keluarga, rumahtangga, dan komunitas
Eksistensi dan kemandirian perempuan pedesaan
Komodifikasi lahan oleh perempuan
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma
20
post-positivisme. Paradigma post-positivisme merupakan upaya perbaikan terhadap paradigma positivisme yang hanya mengandalkan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Melalui paradigma post-positivisme penelitian ini mampu mengungkap realitas dari migrasi tenaga kerja internasional perempuan
pedesaan terhadappenguasaan lahan dan kesetaraan gender di pedesaan Jawa Barat, khususnya yang terjadi pada dua komunitas desa sawah yaitu Desa Panyingkiran Kecamatan Rawamerta
Kabupaten Karawang, dan Desa Ciherang Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta yang merupakan dua desa yang banyak mengirim migran perempuan internasional ke negara-negara
Timur Tengah terutama ke Arab Saudi. Postpositivisme, secara ontologis bersifat critical realism yang memandang realitas
memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi sesuatu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Karenanya secara metodologis pendekatan
eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori. Secara
epistemologis hubungan antara peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan, karena itu hubungannya harus bersifat interaktif namun peneliti tetap berusaha
bersikap netral melalui usaha untuk tetap menjaga jarak dan tidak memasukkan unsur-unsur emosi dari tineliti.
Melalui paradigma post-positivisme, penelitian ini diharapkan mampu mengungkap realitas migrasi internasional yang dilakukan perempuan dari pedesaan Jawa Barat dan cara
mereka menggunakan remitan ke dalam penguasaan lahan serta bagaimana implikasinya terhadap relasi gender pada aras keluarga, rumahtangga dan komunitas pedesaan.
20
Paradagima yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seperangkat keyakinan dasar atau berupa pandangan dunia worldview mengenai sifat dunia, tempat individu di dalamnya, dan rentang kemungkinan hubungan terhadap dunia
tersebut beserta bagian-bagiannya. Dalam paradigma ini tercakup aspek ontolologis, epistemologis dan metodologis yang masing-masing saling terkait. Bahwa pilihan terhadap ontologis mengarahkan pilihan epistemologis yang
selanjutnya mengarahkan kepada pilihan metodologi yang dipilih. Hakikat dari ontologi sendiri secara sederhana dimaknai sebagai pendirian tentang bentuk dan sifat realitas serta hal apa yang dapat diketahui mengenai suatu
realitas tersebut. Epistemologis merupakan pendirian tentang sifat hubungan antara peneliti dan tineliti serta hal yang dapat diketahui dari tineliti. Sedangkan metodologi mencakup pendirian tentang cara peneliti mendapatkan apa
saja yang dia yakini dapat diketahui dari tineliti. Guba dan Lincoln, 1994:107-109, dalam Sitorus, 1999