4.4.2. Pendidikan dan Keterampilan Migran Perempuan Desa Panyingkiran-Ciherang
Secara sosiologis, pendidikan memiliki fungsi manifes dan laten. Fungsi manifes antara lain membekali individu agar sanggup mencari nafkah hidup dan menolong orang untuk
mengembangkan berbagai potensi demi pemenuhan kebutuhan pribadi dan pengembangan masyarakat, melestarikan kebudyaan, menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi
dalam kehidupan demokrasi. Fungsi laten terkait dengan pemupukan masa remaja, pengurangan pengendalian orang tua, penyediaan sarana untuk pembangkangan, dan dipertahankannya sistem
kelas. Horton dan Hunt, dalam Sunarto 1993. Dengan demikian pendidikan memiliki fungsi yang besar terhadap berlangsungnya proses sosial dan menyiapkan individu menjadi warga
masyarakat yang sempurna sesuai dengan norma, dan nilai dalam masyarakat. Berdasarkan data pada aras mikro mengenai pendidikan dan penguasaan keterampilan
migran perempuan dari Desa Panyingkiran dan Desa Ciherang bisa menjadi gambaran yang lebih real tentang kondisi kualitas tenaga kerja perempuan asal Jawa Barat bahkan Indonesia. Jika
dibandingkan dengan pendidikan dan keterampilan migran perempuan dari negara lain seperti Filipina, Thailand, India, bahkan negara miskin seperti Bangladesh, kualitas buruh migran
perempuan Indonesia termasuk dari Jawa Barat dibawah kualitas migran dari negara-negara tersebut.
Hal ini diperkuat oleh pengakuan Asyh
55
65 tahun, migran asal Ciherang, ITA 36 tahun asal Panyingkiran, yang bekerja selama belasan tahun di Arab. Mereka mengungkapkan
55
Penuturan Asyh 55 tahun seorang mantan pembantu rumahtangga yang bekerja selama kurang lebih 19 tahun pada keluarga kaya di Kota Mekah. Majikan Asyh memiliki lima orang pembantu, dua diantaranya berasal
dari Filipina dan Bangladesh. Menurut Asyh, temannya yang dari Filipina dianggap majikannya sulit diatur, karena seringkali menolak beberapa pekerjaan yang dianggapnya bukan bagian dia, sehingga majikan Asyh
memperlakukan pembantu asal Filipina “berbeda” dengan yang berasal dari Indonesia. Menurut istilah Asyh, temannya dari Filipina dan Bangladesh “wanian alias berani melawan kepada majikan”. Hal yang sama
diungkapkan oleh ITA yang bekerja pada seorang majikan jendral dan keluarga kerajaan di Abu Dhabi dimana majikannya memiliki 9 orang pembantu yang berasal dari Indonesia 4 orang, sisanya dari Negara India, Bangladesh
dan Filipina. Demikian halnya dengan Bdryh 43 tahun selagi bekerja pada keluarga M.Ali Husaeni-Madam Maka di Kota Imarat-Abu Dhabi, dua orang temannya sesama pembantu berasal dari India yang bekerja sebagai juru
masak.
Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu, majikannya seringkali mengungkapkan bahwa majikan dan keluarganya sangat suka dengan para pembantu dari Indonesia karena lebih penurut dan rajin bekerja. Bahkan
majikan laki-laki Asyh berkali-kali memuji Asyh, kakak dan adiknya den gan ucapan “ Bani Enung, khaiiir,
khaiiiiir ” sambil mengacungkan jempol. Maksudnya bahwa anak-anak Bapak Enung bapak Asyh semuanya baik-
baik. Kondisi yang “nyaman” ini membuat Asyh hanya sempat berganti majikan dua kali, bahkan menurut pengakuannya, sampai dua tahun terakhir setelah Asyh pulang ke Ciherang majikannya masih suka menelepon,
meminta Asyh kembali bekerja di sana, tetapi Asyh merasa sudah tidak kuat bekerja. Posisi tersebut digantikan oleh ketiga anak Asyh. Dua orang anak perempuan Asyh saat ini menjadi pembantu di Arab, dan seorang anak laki-
lakinya bekerja sebagai buruh bangunan di Malaysia. Di masa tuanya, Asyh hidup dengan Is adiknya yang pernah
bahwa temannya sesama pembantu yang berasal dari Filipina, Bangladesh, Srilanka, dan India memiliki kelebihan dalam hal berbahasa dan berani membela hak-hak sebagai pekerja. Mereka
mampu berbahasa Arab bahkan berbahasa Inggris dengan cukup lancar. Menurut mereka, keadaan ini sangat membantu para pembantu dari negara-negara tersebut ketika berhadapan
dengan permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaan, seperti jam kerja yang tidak sesuai dengan kontrak kerja, pembayaran upah, hak kesehatan, perlakuan yang tidak manusia dari majikan.
Migran dari negara-negara tersebut di atas sering mengadukan majikan mereka kepada pihak kedutaan ketika mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari majikan.
Rendahnya pendidikan dan keterampilan migran perempuan merupakan permasalahan serius yang harus ditangani pemerintah, agar kualitas tenaga kerja Indonesia bisa sejajar dengan
tenaga kerja asal negara-negara lain sehingga pada masa yang akan datang Indonesia tidak hanya dikenal sebagai sumber tenaga kerja yang murah dengan keterampilan yang rendah unskilled
manpower. Jika selama ini sebagian besar tenaga kerja Indonesia, khususnya tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri hanya terserap ke dalam sektor informal yang masuk
kategori kotor, berbahaya dan sukar atau 3 D dirty, dangerous, difficult, ke depan harus dipersyaratkan bahwa tenaga kerja yang akan dikirim ke luar negeri minimal memiliki Ijazah
SMAsederajat dengan memiliki keterampilan berbahasa negara tujuan bekerja, budaya negara tujuan bekerja, dan diberi pengetahuan mengenai hak dan kewajiban sebagai pekerja.
Rendahnya pendidikan yang ditamatkan migran perempuan asal Desa Panyingkiran dan Ciherang terkait dengan pandangan lama mengenai manfaat pendidikan bagi kaum perempuan.
Pendapat yang keliru dari sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi, yang penting sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumahtangga sehari-
hari, karena perempuan pada akhirnya akan ke dapur juga. Padahal, pendidikan – dalam hal ini
pendidikan formal dan non-formal – menjadi salah satu jalan bagi individu dan masyatakat untuk
bisa keluar dari kemiskinan dn ketidakberdayaan. Idealisme mengenai manfaat pentingnya pendidikan sejalan dengan kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan kualitas bangsa Indonesia melalui gerakan wajib belajar 9 tahun dan akan meningkat menjadi 12 tahun. Tetapi berbagai hambatan muncul dalam tataran pelaksanaannya
seperti hambatan bebas biaya yang belum sepenuhnya terealisir, hambatan sebagian kultur yang
bekerja bersama-sama di Arab, pada majikan yang sama, mereka bertugas untuk mengasuh keempat cucu yang ditinggalkan ibu mereka bekerja di luar negeri.
dimiliki warga masyarakat yang menganggap bahwa memilih bersekolah artinya menghabiskan waktu seorang anak yang berarti memperpanjang ketergantungan anak kepada orang tua, dan
bersekolah berarti sama dengan beban yang harus ditanggung orang tua. Wawancara dengan informan kunci yaitu L.Sd 42 tahun yang merupakan guru senior pada salah satu SD Negeri
dan merangkap guru honorer pada SMP Negeri 3 Ciherang mengungkapkan bahwa kondisi pendidikan penduduk Desa Ciherang saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan situasi 10
tahun lalu apalagi 20 tahun yang lalu. Pada tahun 1970-an, di Desa Ciherang hanya terdapat sebuah SD Negeri dan Madrasah
Ibtidaiyah milik masyarakatswasta, dan untuk bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, warga Desa Ciherang harus menempuh jarak kurang lebih tiga kilometer ke Kota Kecamatan
Pasawahan yang saat itu sudah memiliki satu buah SMP Negeri. Pendidikan setara SLTA hanya terdapat di Kota Purwakarta yang berjarak kurang lebih 7 kilometer dari Desa Ciherang, denngan
fasilitas transportasi yang saat itu masih sangat terbatas. Kondisi pendidikan migran perempuan asal Desa Panyingkiran dan Ciherang bisa
diperhatikan pada tabel dibawah ini.
Tabel. 4.12. Pendidikan Migran Perempuan Asal Desa Panyingkiran dan Desa Ciherang
Jenjang Pendidikan Frekuensi
Persentase Tdk tamat SD
10 9,61
Tamat SDSederajat 77
74,03 Tamat SMPSederajat
14 13,46
Tamat SMASederajat 3
2,88 Jumlah
104 100
Sumber : Hasil Penelitian 2009-2011
Data di atas menggambarkan bahwa sebagian besar migran yang bekerja di Negara Arab Saudi berpendidikan rendah, yaitu hanya tamat SD dan SMP, bahkan masih ada migran
yang tidak menamatkan pendidikan dasar. Maka, sangat tidak mengherankan posisi tawar mereka di mata majikan di luar negeri sangat ”lemah”, mereka tidak mungkin memiliki
keberanian untuk melakukan interaksi dan berkomunikasi yang setara dengan pihak majikan. Temuan ini semakin memperkuat temuan Mantra 1999; Hugo 1995; Kassim 1997 bahwa
migrasi internasional pekerja mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang tidak jauh berbeda yaitu; rata-rata pendidikan migran masih rendah, kualitas pekerja migran jauh berbeda dari
standar yang dibutuhkan pasar kerja dan sebagian besar bekerja pada pekerjaan tidak terampil dan tingkat pendidikan maksimal SLTA dan termasuk kelompok usia produktif 15-34
tahun.Jika dibandingkan dengan pendidikan pada tingkat kabupaten, kondisi pendidikan migran perempuan Desa Ciherang masih dibawah rata-rata pendidikan penduduk pencari kerja
Kabupaten Purwakarta. Tingkat pendidikan tenaga kerja dari Kabupaten Purwakarta tahun 2010 menunjukkan angka sebesar 54 persen atau 11.154 orang pencari kerja berpendidikan tamat
SMAsederajat, 30 persen lebih atau 6.226 orang berpendidikan SMPsederajat, pencari kerja yang berpendidikan SDsederajat sebanyak 1.698 orang atau 8,28 persen, dan yang
berpendidikan tinggi yaitu setingkat akademi dan universitas sebanyak 1.465 orang atau sebesar 7 persen dari keseluruhan pencari kerja yaitu 20.543 orang Disnakertrans Kab.Purwakarta,
Oktober 2010. Rata-rata kondisi pendidikan penduduk Kabupaten Purwakarta lebih baik jika
dibandingkan dengan pendidikan penduduk Desa Ciherang. Sebagian besar penduduk dewasa di Desa Ciherang hanya bersekolah sampai jenjang Sekolah Dasar SD yaitu 2.050 orang atau 66
persen, bahkan masih banyak penduduk dewasa 18 tahun ke atas yang tidak menamatkan pendidikan dasar yaitu 357 orang 11,5 persen. Penduduk yang berhasil menamatkan
SMPsederajat ada 440 orang atau sekitar 14 persen, terdapat 225 orang yang berhasil menamatkan pendidikan SMAsederajat, dan hanya terdapat 28 orang penduduk yang sampai
menamatkan perguruan tinggi. Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi di Desa Panyingkiran. Dari 5.432 penduduk berusia dewasa yaitu 18 tahun ke atas masih ada yang tidak menamatkan
pendidikan SD yaitu sebanyak 722 orang atau sekitar sekitar 13 persen, 3.096 orang atau 57 persen hanya berpendidikan tamat SDsederajat, 1.093 orang atau sekitar 20 persen tamat
SMPsederajat. Penduduk yang bersekolah sampai pendidikan lumayan tinggi yaitu jenjang SMAsederajat 495 orang atau hanya 9 persen dan yang berhasil menamatkan perguruan tinggi
hanya 26 orang atau hanya 0,48 persen. Rendahnya pendidikan di desa menjadi tantangan besar pemerintahan daerah Kabupaten
Karawang dan Purwakarta untuk menuntaskan program wajib belajar 9 tahun yang sudah dicanangkan pemerintah. Bahkan ke depan pendidikan wajib dasar 9 tahun perlu ditingkatkan
sampai 12 tahun, agar kualitas Bangsa Indonesia bisa sejajar minimal dengan bangsa-bangsa di kawasan Asia. Apabila wajib belajar 12 tahun sudah diterapkan secara merata di seluruh wilayah
Indonesia, peluang perempuan pedesaan untuk mendapat pendidikan yang lebih baik akan semakin terbuka, dan secara langsung akan mempengaruhi kualitas tenaga kerja termasuk kepada
migran perempuan yang akan dipekerjakan di luar negeri.
Realitas di atas merupakan gambaran pendidikan migran sebelum melakukan migrasi internasional. Pasca migrasi internasional, para migran memperoleh pengalaman, dan
keterampilan kerja. Walaupun berangkat dengan keterampilan yang kurang memadai, akan tetapi pasca kepulangan mereka membawa remitan sosial, berupa berbagai keterampilan seperti
penguasaan Bahasa Arab, memasak makanan a la Timur Tengah, mengurus rumahtangga, etos dan disiplin kerja. Kedua hal ini baik langsung atau tidak langsung mempengaruhi dinamika
kelembagaan dan ruang kewargaan emansipatif migran perempuan pedesaan.
4.5. NegaraTujuan Bekerja dan Dinamika Jumlah Migran Internasional