4.7. Memudarnya Norma dan Melemahnya Peran Agama
Migrasi internasional perempuan dari Desa Panyingkiran dan Ciherang terbukti berhasil memperbaiki perekonomian keluarga dan berdampak kepada komunitas di kedua tersebut. Tetapi
sebagai sebuah aktifitas yang bersinggungan langsung dengan budaya luar, tentu memiliki berbagai konsekuensi. Salah satu bentuk konsekuensi negatif adalah gejala memudarnya
beberapa norma di kedua desa penelitian. Norma yang dimaksud adalah gejala menurunnya kesakralan sebuah perkawinan dan pemilikan anak. Selama penelitian, diperoleh data bahwa
terdapat beberapa orang anak usia di bawah lima tahun Balita sampai usia belasan tahun yang secara fisik berbeda dengan kebanyakan anak-anak seusia di kampungnya. Anak-anak tersebut
merupakan bawaan dari Arab yang dilahirkan secara tidak syah karena merupakan anak yang dilahirkan diluar perkawinan.
Mereka memiliki postur tubuh dan ciri fisik yang khas seperti; mata bulat dan tajam, hidung lebih mancung, badan lebih tinggi, rambut keriting. Menanggapi kondisi ini, beberapa
informan kunci mengakui bahwa beberapa perempuan muda dari desanya baik yang statusnya tidak bersuami maupun bersuami pulang ke kampung dalam keadaan hamil. Seorang informan
secara berkelakar mengatakan bahwa bagi anak-anak di Desa Ciherang, mereka sudah biasa bermain sepak bola dengan orang asing, khususnya main dengan anak-anak keturunan Arab.
70
yang ikut dengan ibunya memiliki ciri fisik berbeda dengan anak-anak desa pada umumnya. Peneliti memiliki responden yang memi
liki anak secara fisik “berbeda” dengan anak-anak lain di kedua desa, dan setelah dikonfirmasi kepada informan kunci, hal itu mendapat penguatan, bahwa anak-anak tersebut
“oleh-oleh ti nagri Arab”. Meskipun pada awal penelitian sangat sulit memperoleh informasi dan pengakuan dari responden mengenai perlakuan majikan
laki-laki yang diterima mereka, namun beberapa responden mengungkapkan bahwa beberapa majikan pernah melakukan pelecehan seksual seperti mencolek, meraba bagian tubuh tertentu, member syarat dengan gerakan mata
dan bibir, yang menurut mereka “nyerempet-nyerempet”, bahkan ada yang seringkali merayu secara terang-terangan untuk melakukan hubungan intim dengan imbalan uang. Salah seorang di antara mereka adalah Ijh yang pernah
dirayu beberapa kali oleh adik majikan, ketika semua anggota keluarga majikan tidak ada di rumah. Dengan memaksa, adik majikannya mendekap Ijh, Ijh sigap mengambil pisau dan berteriak akan membunuh laki-laki
tersebut atau dia akan bunuh diri, sehingga membuat laki-laki tersebut ketakutan dan jera. Kasus lain dialami Epg yang juga pernah dipeluk oleh anak laki-laki majikan yang masih kuliah, anak majikan mengiming-imingi sejumlah
uang yang cukup besar, uang tersebut direbut Rpg dan dilemparkan ke muka anak majikan dengan ancaman keras, bahwa tindakan tersebut akan dilaporkan kepada orangtuanya, dan kalau masih terus mengulangi mengganggunya,
dia akan kabur dan lapor kepada polisi.
70
Menurut penuturan Swd di Desa Panyingkiran terdapat anak-anak yang memiliki wajah khas Timur Tengah seperti hidung mancung, mata lebih besar, dan postur tubuh lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak-anak
kampung lainnya. Mereka adalah anak migran perempuan yang pernah bekerja dan masih bekerja di negara Arab Saudi. Seorang Ibu Kader Pos Pelayanan Terpadu Posyandu Desa Panyingkiran secara berkelakar mengatakan
bahwa dalam penimbangan Balita seringkali mereka mendaftarkan nama Balita yang ditimbang dengan “Anu BinBinti Ghoib
”, karena tidak diketahui nama ayah dari Balita tersebut. Rah 36 tahun, salah seorang informan dari Desa Ciherang mengatakan bahwa salah seorang migran dari
desanya, pulang ke desanya dalam keadaan hamil 4 bulan, padahal perempuan tersebut memiliki suami. Keyakinan bahwa perempuan tersebut pulang dalam keadaan hamil diketahui setelah lima bulan tinggal di kampung,
Informan menyebutkan beberapa perempuan mantan tenaga kerja Arab Saudi yang memiliki anak tanpa Bapak biologis yang jelas, jumlahnya sampai hitungan belasan. Menurut
informan, masyarakat Desa Panyingkiran juga sudah cenderung memaklumi dan menerima anak- anak yang secara fisik memiliki perbedaan dengan anak-anak kampung kebanyakan. Sikap
permisif dan terbuka dari warga desa dianggap sebagai bagian dari resiko yang harus diterima karena bekerja sebagai pembantu rumahtangga di luar negeri. Seorang informan lain yang aktif
dalam kegiatan Pos Pelayanan Terpadu Posyandu di Panyingkiran mengungkapkan bahwa dalam kegiatan Pos Yandu seperti pada waktu penimbangan bayi, dan imunisasi, seringkali
seorang anak di bawah lima tahun Balita tidak tercatat nama ayah kandung balita tersebut. Secara berkelakar petugas Posyandu sering menyebutkan bayi tersebut sebagai anak
“bin atau Binti
Ghoib”. Kelakar tersebut sepintas terkesan seperti melecehkan, tetapi secara sosiologis, kondisi
ini menunjukkan bahwa interaksi antara dua budaya yang berbeda telah menyebabkan semakin melonggarnya norma dan nilai yang dianut suatu masyarakat. Beberapa sanksi sosial yang
muncul dari warga desa terhadap migran perempuan yang memiliki anak dengan ayah biologis yang tidak jelas antara lain sering muncul dalam bentuk sindiran dan bisik-bisik di antara para
tetangga, seperti ucapan “piring pisin di ragaji, colenak di kalapaan” atau ungkapan “aya
cendol di kalapaan”.Secara harfiah, sindiran tersebut menjelaskan bahwa seorang perempuan yang hamil diluar perkawinan, memiliki perasaan malu karena hamil dan punya anak yang tidak
jelas bapaknya. Norma dan nilai terhadap kesakralan perkawinan beserta nilai anak mengalami
peluruhan. Perkawinan sebagai sebuah jalan menuju kepada terbentuknya institusi keluarga yang di anggap memiliki nilai yang sakral melalui semboyan keluarga yang
“sakinah-mawaddah- warokhmah” sedang dipertaruhkan dan mengalami pergeseran makna kesakralannya.
Melemahnya berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat dalam jangka panjang bisa mengarah kepada terjadinya anomiesebagai akibat masuknya norma-norma baru yang diterima
perempuan tersebut melahirkan dan anak yang dilahirkan memiliki ciri fisik yang jauh berbeda dengan ketiga anak perempuan tersebut. Menurut informan, sampai saat ini, sikap suami perempuan tersebut dan juga warga sekitar
tidak mempermasalahkan keadaan yang sebelumnya dianggap “ganjil” tersebut. Dalam kasus yang lain, seorang migran perempuan yang mendapatkan suami penduduk asli Desa Panyingkiran memiliki anak yang diakuinya anak
hasil perkawinannya terdahulu dengan orang Nusa Tenggara Barat, anak berusia kurang lebih empat tahun tersebut memiliki ciri-ciri fisik seperti orang Asia Selatan India, Pakistan, Bangladesh. Menurut beberapa responden,
sebenarnya anak tersebut merupakan anak yang dibawa dari Arab, ketika perempuan tersebut pulang dalam keadaan hamil.
masyarakat, sedangkan norma lama yang sebelumnya dijadikan acuan mulai melemah dan bahkan ditinggalkan. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya kasus-kasus perceraian yang
terjadi pada keluarga migran. Demikian halnya pandangan mereka terhadap nilai anak. Anak yang dikonsepsikan sebagai hasil dari hubungan suci yang didasarkan cinta kasih pasangan
suami istri dalam sebuah keluarga, saat ini mulai bergeser maknanya. Sebagaian dari masyarakat pedesaan di kedua lokasi penelitian sudah menunjukkan gejala yang menganggap bahwa
memiliki anak tanpa suami, merupakan keadaan yang “biasa dan wajar” sebagai resiko dari
pekerjaan dari migran perempuan yang “terpaksa atau dipaksa” menjadi pembantu rumahtangga di luar negeri oleh keadaan kemiskinan yang dihadapi keluarga di pedesaan dan sebagai akibat
langsung tidak adanya pilihan yang lebih baik untuk bisa keluar dari kemiskinan. Pada kondisi ini, pergeseran nilai dan norma di dalam keluarga dan masyarakat pedesaan mengalami
pergeseran. Nilai dan norma lama yang dianut masyarakat secara perlahan tetapi pasti mulai mengalami peluruhan dan digantikan oleh nilai
dan norma baru yang dianggap lebih “sesuai dan mampu” beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat kontemporer.
Salah seorang informan kunci yang juga seorang Guru Agama senior di sebuah SMP Negeri Kabupaten Karawang mengungkapkan bahwa gejala melemahnya pandangan masyarakat
terhadap nilai-nilai kesakralan dan kesucian keluarga di pedesaan Karawang memang sedang terjadi. Jika dahulu masyarakat sangat menganggap tabu, apabila ada seorang perempuan yang
hamil tanpa menikah atau apa yang disebut “reuneuh koar, atawa jadah”, saat ini bukannya
masyarakat menerima, tetapi mau di apakan lagi, masyarakat tidak mungkin memberi tindakan untuk memberi sanksi kepada perempuan tersebut, karena di pihak lain keberadaan migran
perempuan juga menjadi pahlawan bagi keluarga mereka dan secara tidak langsung member dampak positif terhadap perekonomian pedesaan. Sanksi moral yang meskipun tidak mempan
dan tidak pernah bisa mengurangi gejala tersebut masih tetap ada. Misalnya, jika ada salah seorang perempuan di desanya yang pulang dari Arab Saudi dalam keadaan hamil atau
membawa anak yang tidak jelas suamibapaknya, beberapa tetangga akan membicarakannya dengan sindiran-sindiran halus berupa peribahasa Sunda seperti
“aya cendol di kalapaan” atau “gundal-gendol teu aya bapaan”, yang artinya seseorang yang mengandung anak tetapi anak
tersebut tidak memiliki bapak. Atau peribahasa berikut “Piring pisin di ragaji, colenak di
kalapaan”kuring isin ka paraji, boga anak taya bapaan. Artinya menunjukan perasaan malu dari seorang perempuan kepada dukun bayi yang membantu proses kelahirannya yang
melahirkan anak tetapi tidak memiliki suami. Menurut informan, itu peribahasa dulu ketika tatanan masyarakat masih tertib dalam menjunjung nilai dan norma, saat ini keadaan tersebut
dianggap biasa saja. Agama, dalam hal ini Islam sebagai agama mayoritas yang di anut penduduk di kedua
desa, seringkali menjadi sesuatu yang berjarak dengan kehidupan sehari-hari termasuk dalam hal menyikapi dampak negatif dari migrasi internasional. Hal ini paling tidak terefleksikan dari
pandangan tokoh agama di kedua desa melalui figur ajengan, kyai sebagai tokoh panutan dalam kehidupan beragama. Menurut pandangan Ajengan, kyai dan imam di kedua desa, bahwa
kepergian seorang perempuan untuk bekerja menjadi pembantu di luar negeri khususnya di Arab Saudi sepenuhnya menjadi keputusan suatu keluarga. Dengan demikian, ketika keluarga tersebut
menghadapi masalah, antara lain kasus pelecehan seksual, penyiksaan, bahkan kehamilan, maka kondisi tersebut sudah menjadi resiko yang seharusnya sudah dipikirkan sebelum keberangkatan.
Berikut disarikan hasil kutipan hasil wawancara dengan tiga orang tokoh agama atau ajengan Desa Ciherang yaitu H.M. Al 84 tahun, H. Dud 60 tahun, dan H.Sal 65 tahun.
Pandangan mereka mengenai maraknya perempuan dari Desa Ciherang yang bekerja di Arab Saudi serta dampak negatifnya antara lainkasus beberapa perempuan yang hamil dan memiliki
anak setelah kepulangan bekrja di luar negeri. Menurut pandangan mereka bahwa; a bekerja ke luar negeri merupakan suatu bentuk ikhtiar dan menjadi pilihan setiap perempuan dan keluarga
masing-masing, sehingga sebagai tokoh yang mengurus keagamaan mereka merasa tidak memiliki hak untuk mendorong apalagi melarang kepergian perempuan ke luar negeri; b jaman
sudah berubah dan tuntutan materi dalam hal ini pemenuhan ekonomi keluarga menjadi pendorong kepergian perempuan yang sampai harus meninggalkan suami dan anak-anaknya; c
kepergian perempuan bekerja di luar negeri sangat tergantung kepada niat dan nasib masing- masing, karena semua kehidupan seperti jodoh, kematian, kebahagiaan dan celaka seseorang
sudah diatur Allah SWT.Sikap pandangan tokoh agama yang sekaligus menjadi imam alias panutan di pedesaan mencerminkan sifat ambiguitas didalam masyarakat pedesaan yang sedang
mengalami perubahan sosial, karena disatu pihak perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumahtangga ke luar negeri sudah terbukti bisa memperbaiki kondisi perekonomian keluarga,
tetapi di pihak lain ketika perempuan migran harus menanggung beban penderitaan antara lain yang terkait dengan kehamilan tanpa suami yang jelas, maka pihak perempuan sering menjadi
pihak yang harus menanggung beban dan mendapat sanksi sosial antara lain stigma miring dari masyarakat sekitar.
Agama secara sosiologis semestinya memiliki fungsi manifest dan laten
71
Horton dan Hunt, 1984, Durkheim 1966 dalam Sunarto 1993, dengan demikian seharusnya selain
memiliki fungsi doktrin, ritual, aturan berperilaku juga memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan secara berkala dalam menegakkan dan memperkuat perasaan dan ide-ide kolektif yang menjadi
ciri dan inti dari suatu masyarakat. Tetapi, di dalam praktek kehidupan sehari-hari di masyarakat luas, terlebih di Indonesia yang bersifat multi kultur dan multi agama, kehidupan beragama
seringkali terpisah dengan praktek nyata sehari-hari, atau apa yang dinamakan sebagai sekularisme
72
. Berbagai pengalaman pahit yang dialami migran perempuan asal Desa Panyingkiran dan
Ciherang selama bekerja di luar negeri tidak akan pernah mampu menyurutkan minat perempuan dari pedesaan untuk bekerja menjadi PRT di luar negeri selama permasalahan ketenagakerjaan di
Indonesia belum ditangani secara tuntas. Kebijakan pemerintah yang memberikan ijin dan berbagai kemudahan kepada PPTKISPJTKI tanpa pengawasan yang ketat terhadap proses
perekrutan, pelatihan, pengiriman tenaga kerja sampai proses kepulangan ke tanah air, maka dalam jangka panjang akan terus menimbulkan masalah.
Keputusan kaum perempuan pedesaan untuk berangkat bekerja di luar negeri terutama pada kepergian yang pertama bukan perkara yang mudah dan tidak terjadi secara tiba-tiba.
Keputusan tersebut muncul dan menjadi perdebatan psikologis lantaran dasar pertimbangan
71
Fungsi manifest suatu agama ditunjukkan dengan praktek-praktek ritual, doktrin, dan aturan perilaku yang dimiliki suatu agama. Sedangkan fungsi laten adalah fungsi positif dari suatu agama berupa integrasi masyarakat
pada tingkat mikro maupun makro. Namun demikian, agama juga memiliki disfungsi tersendiri. Salah satu konflik yang sering terjadi di masyarakat seringkali bersumber dari faktor agama. Di Indonesia, seringkali konflik agama
mengemuka dan memakan korban tidak terhingga, yang paling baru dan hangat dalam ingatan kita yaitu konflik berdarah antara Umat Kristen dengan Umat Islam di Ambon-Maluku, di Poso-Sulawesi Tengah dan di beberapa
tempat. Konflik ini seringkali lebih kental bermuatan politik-kekuasaan yang dikemas dengan mengatasnamakan agama.
72
Sekulerisme bisa dimaknai sebagai doktrin yang didefiniskan sebagai usaha untuk membangun prinsip yang berhubungan dengan perilaku manusia yang didasarkan pada pengetahuan rasional dan pengalaman ketimbang pada
teologi atau hal-hal yang supranatural. Sebagai sebuah gerakan, sekularisme bermula di Inggris dan Perancis pada akhir abad ke-19, dimana sekularisme menginginkan agama gereja dan negara menjadi entitas terpisah, negara
harus netral dalam soal agama. Secara sosiologi, sekularisme berkaitan dengan usaha sadar untuk menggantikan agama dengan nalar dan pengalaman manusia. Misalnya karya Saint-Simon dan Auguste Comte di akhir abad ke-19,
yang mengembangkan agama kemanusiaan dan melihat masyarakat mesti direorganisasi berdasarkan prinsip positivis dan rasional. Sedangkan dalam pandangan Max Weber, perkembangan teknologi bukan hanya mengubah
dunia ruang fisik dan materi, tetapi juga manusia itu sendiri. Ini berarti individu menguasai lingkungan tanpa perlu menggunakan daya supranatural. Proses rasionalisasi ini anti agama, dan merupakan bagian dari perkembangan
masyarakat yang berakar di dalam Yahudi-Kristen Outhwaite, 2008
individu, dihadapkan pada keputusan dan dukungan keluarga suami dan orang tua. Dalam konteks ini, secara internal seorang perempuan memerlukan keberanian luar biasa ketika
memutuskan pergi bekerja ke luar negeri yang memiliki resiko besar. Bila ditinjau dari sisi sosiologis, sebuah keputusan individu untuk melakukan suatu aksi,
termasuk berangkat atau tidak berangkat bekerja ke luar negeri sangat dipengaruhi oleh cara berpikir individu dan seberapa besar motif untuk bisa memperbaiki kondisi status sosial ekonomi
keluarga. Dengan menggunakan konsep Weber, sebelum keputusan diambil seorang perempuan migran, sebenarnya migran tersebut sudah memainkan tipe ideal dari suatu tindakan, berupa
perpaduan antara tindakan rasional instrumenal zwechrationale dengan rasional yang berorientasi kepada nilai wertsrationale. Ketika calon migran mencari berbagai informasi
mengenai cara-cara bermigrasi, biaya, dan persyaratan yang harus disiapkan, kesulitan yang mungkin dihadapi dan kondisi kerja di negara tujuan, maka calon migran perempuan
menggunakan pertimbangan dan pilihan sadar terhadap apa yang diputuskan. Hal ini diperlukan untuk sedapat mungkin memprediksi konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi sebagai
akibat dari tidakan tersebut Weber dalam Lawang, 1990: 220. Bagi migran perempuan dari Desa Panyingkiran dan Desa Ciherang motif ekonomi
menjadi faktor determinan dalam melandasi keputusan untuk bekerja di luar negeri. Namun demikian, daya dukung psikologis, terutama ketika pertama kali akan bekerja di luar negeri,
seperti memikirkan berkali-kali sebelum memutuskan berangkat ke Arab, juga menjadi faktor yang tak bisa dikesampingkan. Pengakuan Msryh 56 tahun salah seorang migran generasi
pertama dari Desa Ciherang menjelaskan tentang faktor daya dukung psikologis ini. Ngawitan angkat ka nagri
73
Arab, tahun 1986, harita diajak Ceu Epn, tatangga nu nembe wangsul damel di Arab. Sanaos kahirupan Ibu sarwa walurat jeung kakurangan,
73
Penggun aan kata “nagri” terutama oleh responden generasi pertama sebagai embel-embel yang menunjukkan
negara tujuan bekerja seringkali digunakan tidak hanya dipakai untuk negara tujuan bekerja, tetapi lebih kepada kota tempat bekerja seorang migran.
Misalnya “Nagri Arab, Nagri Jidah, Nagri Riyadh, Nagri Abha”, dan lain-lain. Sedangkan pada migran muda mereka lebih sering menggunakan sebutan kota tempat mereka bekerja, bahkan
beberapa migran mampu mendeskripsikan lokasi kota tempat mereka bekerja terhadap kota-kota lain disekitarnya. Misalnya bahwa kota Abha terletak tidak jauh dari Kota Mekah, bisa ditempuh sekian jam dengan penerbangan atau
sekian jam dengan kendaraan roda empat. Dalam wawancara dengan informan terutama yang berpendidikan relatif tinggi dan memiliki keterampilan antara lain ITA, yang bahkan memiliki kesempatan untuk diajak berkeliling
liburan oleh keluarga bear majikannya ke beberapa kota seperti London, Paris, Amerika, dan Singapura. Menurut ITA, beberapa orang temannya sesama pembantu rumahtangga dari Indonesia termasuk dirinya beruntung di
tempatkan pada majikan yang kaya dan berasal dari keluarga kerajaan, tetapi setelah uang terkumpul, dia tetap memilih mau menghabiskan masa tua bersama anak-suami di kampung halaman, apalagi saat ini dia dan suaminya
juga sibuk mengurus kios, sawah dan kebun yang pengerjaannya dibantu beberapa buruh tetap.
maklum teu gaduh caroge, barudak saopat-opat laleutik keneh, ibu mikir bulak-balik tawaran Ceu Epn, komo deui sok nguping beja, majar urang Arab mah garalak, sok
kieu-sok kitu tea,ibu mandeg mayong pikeun berangkat. Sanggeus dipikir di bulak-balik, hate gilig, Ibu bebeja ka Ema, oge ka Bapa. Saentos sadayana nyatujuan, Ibu dongkap
ka bumi Ceu Epn ngawartosan yen Ibu cios ngiring angkat ka Arab, teras daftar ka sponsor H. Ukn
”. wawancara, 15122010. Artinya:
Pertama berangkat ke Arab tahun 1986 diajak oleh Ceu Epn yang baru pulang dari Arab. Walaupun keadaan keluarga serba kekurangan, karena tidak punya suami, empat orang
anak yang masih kecil-kecil, ibu tidak langsung menerima tawaran Ceu Epn. Ibu memikirkan berkali-kali, apalagi sering terdengar kabar bahwa orang Arab galak-galak,
suka macam-macam, hati ibu bimbang. Setelah dipikir dibolak-balik, pikiran ibu sudah bulat, niat tersebut disampaikan kepada Ema dan Bapa. Setelah semuanya menyetujui,
ibu mendatangi Ceu Epn dan terus mendaftar kepada sponsor yaitu H.Ukn Wawancara,15122010.
Kondisi yang hampir sama dikemukakan oleh Nyt 36 tahun mantan migran dari Panyingkiran yang pernah bekerja di Arab selama lebih dari delapan 8 tahun. Nyt menyatakan:
Saleresna mah jadi TKW teh kapaksa Pak, pami kanggo jalmi aya mah moal kedah kuli ka Arab, apan sakitu seueur kajadian nu matak pikasieuneun saperti disiksa majikan tea,
di rogahala tea, atawa nepi ka dihukum pancung sagala. meni pikasieuneun, tapi bade kumaha deui, ari ku kabutuh mah, kasieun jeung kahawatiran ge kaelehkeun.
Wawancara,26112011. Artinya:
Sebenarnya menjadi TKW terpaksa Pak, karena kalau untuk orang kaya tidak akan pernah kuli ke Arab, sangat menakutkan, tetapi mau apalagi, karena kupancungapalagi di
sana maksidnya Arabbegitu banyak kejadian yang sangat menakutkan seperti disiksa majikan, diperkosa, atau dihukum pancung, sangat menakutkan, tetapi mau apalagi,
karena kebutuhan, ketakutan dan kehawatiran terkalahkan Wawancara,26112011.
Pandangan Nyt di atas memiliki makna bahwa menjadi pembantu rumahtangga sebenarnya terpaksa, karena untuk orang kaya tidak mungkin menjadi kuli di Arab, apalagi
begitu banyak kejadian yang membuat takut seperti disiksa majikan, diperkosa sampai dihukum pancung, tetapi karena kebutuhan, mereka harus mengalahkan berbagai ketakutan dan
kehawatiran. Mengenai motif melakukan migrasi internasional, Nyt mengemukakan alasan sebagi berikut:
Abdi ka Arab opat wangsulan, mimiti taun 1993, waktos anak nembe umur 8 sasih. Saleresna mah beurat ninggalkeun budak masih orok keneh, tapi kumaha deui sabab
ngandelkeun panghasilan caroge tina kula kuli mah teu tiasa nyukupan. Waktos ka Arab, budak abdi diurus ku Ema di lembur, hasil 8 taun damel di Arab sareng Abu Dhabi tea
ngan kapeser taneuh darat 200 meter hargana Rp 12 juta nu ayeuna didamel rorompok.
Ngabangun rororompok mah nyicil sababaraha taun, Alhamdulillah ayeuna rorompok tos rampung, sanajan teu sae oge, nu penting mah pageuh. Aya artos sesa emam
sadidinten, ku abdi dianggo modal wawarungan, nya hasilna mah lumayan kanggo emam sareng jajan barudak sadidinten. Wawancara,26112011. Artinya:
Saya pergi bekerja di Arab selama empat kali, pertama pada tahun 1993, ketika itu anak baru berumur 8 bulan. Meskipun berat meninggalkan anak bayi, karena terdesak berbagai
kebutuhan apalagi suami hanya bekerja kuli serabutan. Waktu bekerja di Arab, anak diasuh oleh Emak, dan hasil kerja selama 8 tahun, Alhamdulillah bisa membeli tanah 200
meter dan sekarang dibangun rumah. Sisa uang dipakai untuk makan sehari-hari dan dipakai modal membuka warung kecil-kecilan yang hasilnya lumayan untuk makan dan
jajan anak sehari-hari. Wawancara, 26112011.
Pada tahap memutuskan kepergian ke luar negeri terutama kepergian yang pertama, rasionalitas migran perempuan sudah mampu mengalahkan beban psikologis seperti sikap
emosional berupa perasaan takut, was-was terhadap situasi yang mungkin terjadi di tempat bekerja yang masih asing. Menurut pengakuan mereka, awal kehawatiran pada saat
keberangkatan pertama adalah ketidaksiapan mental ditambah dengan minimnya kemampuan berbahasa Arab dan pemahaman terhadap adat istiadat masyarakat Arab. Padahal penguasaan
bahasa Arab sebagai alat berkomunikasi dengan majikan di tempat kerja merupakan kunci untuk kelancaran bekerja selanjutnya. Selain itu, informasi mengenai kondisi kerja di negara tujuan,
dalam hal ini negara Arab sangat penting mengingat bahasa, adat istiadat dan lingkungan yang sangat jauh berbeda dengan di kampung asal migran.
Berbagai kekhawatiran terhadap kondisi tersebut terungkap dari pengakuan migran yang mendapat kesulitan beradaptasi pada tahun pertama mereka menjadi pembantu rumahtangga
pada keluarga Arab. Beberapa perlakuan tidak menyenangkan yang diterima migran antara lain karena ketidak nyambungan dalam berkomunikasi yang seringkali memunculkan kemarahan
majikan, terutama majikan perempuan yang setiap hari bertemu langsung. Beberapa responden yang pernah kabur dari majikan padahal belum habis kontrak kerja, mengaku alasan mereka
kabur selain karena tidak betah, majikan galak, suka menyiksa, melakukan pelecehan seksual, awalnya justru karena ketidaknyambungan komunikasi. Hal ini seringkali menyebabkan berbagai
bentuk kesalahan yang sering terjadi misalnya; salah mengambil barang, salah mengerjakan tugas.
Sikap dan perasaan mereka waktu pertama berangkat antara lain khawatir, ragu-ragu alias gamang, dan bingung mengenai situasi dan kemungkinan yang akan dihadapi di tempat bekerja
di negara yang masih sangat asing. Kondisi selengkapnya ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel. 4.18. Sikap Yang Dihadapi Migran Waktu Pertama Kali Bekerja
Asal Migran Sikap Pertama Akan Bekerja
Desa Panyingkiran
dan Ciherang Khawatir, takut karena tidakbelum bisa berbahasa Arab sama sekali
Takut mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari majikan karena memiliki stigma bahwa orang Arab; galak, cerewet dan suka memperlakukan perempuan seenaknya
Merasa asing dengan lingkungan tempat bekerja Kurang menguasai Bahasa Arab dengan baik, hanya mengerti beberapa buah kata dan
kalimat pendek-pendek
Sumber : Data lapangan, 2009-2011.
Dihadapkan kepada situasi sulit seperti itu, beberapa migran mengaku bersikap pasrah dan tidak ada lagi pilihan karena mereka sudah memutuskan tanda tangan kontrak. Mereka harus
belajar dengan cepat antara lain dengan mengingat dan mencatat kata-kata yang baru didengar dari majikan dan seluruh anggota keluarganya. Berbagai informasi suka dan duka bekerja pada
keluarga Arab Saudi umumnya didapat dari teman, saudara dan menjadi referensi serta bekal awal dalam bekerja di Arab Saudi. Berbagai kekhawatiran mengenai sikap, perlakuan majikan
dan suasana bekerja di Arab Saudi sangat beralasan, karena beberapa perlakuan tersebut ternyata dialami langsung oleh migran perempuan dari Desa Panyingkiran dan Ciherang. Masalah yang
dialami migran perempuan disajikan dalam tabel 4.19. di bawah ini.
Tabel 4.19. Masalah Yang Sering Dialami Migran Perempuan di Tempat Bekerja
Masalah Yang Dihadapi Migran Frekuensi
Prosentase
Majikan cerewet,galak, pemarah
Majikan perempuan pencemburu, pelecehan seksual
Tidak dan belum menguasai Bahasa dan Budaya
Arab
Majikan kasar menyiksa secara fisik
Gaji ditahan dan tidak dibayar
Jam kerja yang panjangkurang istirahatibadah
Tidak cocok makanan
Tidak pernah menghadapi masalah dengan majikan 40
12 21
6 5
8 7
5 39,00
11,79 18,62
5,88 4,90
4,90 9,80
4,90
Jumlah 104
100
Sumber: Penelitian, 2009-2011
Majikan perempuan cerewet, galak, dan pemarah menjadi permasalahan yang banyak dihadapi semua migran dari Panyingkiran dan Ciherang. Menurut mereka, sumber kemarahan
sering berawal dari ketidakmengertian mereka dalam melaksanakan perintah yang diminta majikan. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan berbahasa Arab merupakan modal penting
yang harus dimiliki calon migran perempuan, sebelum mereka berangkat ke Arab Saudi. Hal ini
diperkuat dengan jawaban responden di kedua desa bahwa pada saat kedatangan yang pertama di Arab bahwa terdapat 12 orang migran dari Panyingkiran atau sekitar 21,28 persen tidak dan
belum menguasai bahasa Arab, sedangkan dari Desa Ciherang, terdapat 40 orang atau 40,38 persen migran perempuan belum atau kurang menguasai bahasa Arab.
Beragam upaya yang dilakukan migran dalam menghadapi permasalahan tersebut memunculkan kreatifitas tersendiri. Beberapa migran mengaku selalu mencatat setiap kata atau
kalimat yang diucapkan majikannya ke dalam buku kecil yang dibawa dari tanah air. Catatan yang berisi kata-kata atau kalimat yang sering dipakai majikan sehari-hari tersebut disimpan di
kamar dan kalau sedang ada waktu senggang dibuka-buka sambil menghapalkannya sendiri. Kesulitan berbahasa Arab relatif bisa diatasi oleh buruh migran yang memiliki teman
kerja yang berbeda negara, karena migran dengan ”terpaksa” harus berkomunikasi dengan Bahasa Arab apabila majikan mereka berasal dari kelas atas atau pendatang dari negara-negara
sekitar Arab Saudi, para migran dituntut menguasai Bahasa Inggris. Hal yang sebaliknya terjadi apabila dalam satu keluarga majikan terdapat lebih dari satu
orang pembantu dari Indonesia, maka intensitas penggunaan Bahasa Arab bisa berkurang. Di sini sesama migran Indonesia mengaku lebih suka berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa
Indonesia, apalagi berbahasa daerah. Sikap ini nampaknya bukan sekedar menghindari penggunaan bahasa Arab yang ”mendominasi” mereka selama bekerja, tetapi seringkali sebagai
semacam bentuk ”pelampiasan” terhadap situasi kerja sehari-hari. Menurut pengakuan migran,
dengan berbahasa Indonesia, terlebih-lebih bahasa daerah dengan sesama teman kerja, mereka bisa lebih leluasa membicarakan perilaku majikan, tanpa takut diketahui artinya oleh majikan
sendiri. Berikut penuturan Rmyh 42 tahun salah seorang migran perempuan dari Panyingkiran: Suatu hari saya dimarahi dan dipukul oleh majikan laki-laki oleh lempengan besi karena
salah mengambil barang yang diminta majikan. Ketika masuk kamar saya dihibur oleh teman kerja yang berasal dari Ciamis. Kalau menghadapi kesedihan seperti itu, kami
saling menghibur diri dan mengobrol sampai larut malam. Di kamar, kadang-kadang saya melampiaskan kekesalan dengan cara mencaci maki majikan dengan kata-kata yang tidak
kalah kasarnya dengan bahasa yang diucapkan majikan, tetapi dengan menggunakan bahasa Sunda. Setelah itu beban dan kesedihan di hati biasanya lebih ringan.
Wawancara, 1022010.
Beberapa migran mengaku kesulitan menangkap perintah majikan yang diucapkan dengan cepat, dengan nada keras sehingga seperti yang membentak. Apabila mengalami kondisi
seperti ini, para migran mengaku berkomunikasi dibantu dengan bahasa isyarat. Menurut
mereka, untuk sekedar meminta majikan mengulang perintah saja, diperlukan keberanian lebih, karena hal ini seringkali menimbulkan kemarahan majikan.
Dari narasi cerita di atas setidaknya dapat digarisbawahi empat hal yang menjadi rasional awal keberangkatan dan proses bekerja migran perempuan pedesaan dari Panyingkiran dan
Ciherang di luar negeri. Pertama, rasional tersebut didasari oleh keinginan kuat merubah kondisi hidup keluarga, faktor ekonomi. Faktor ini seperti disinggung diawal menjadi faktor yang paling
determinan dalam menentukan pilihan bermigrasi. Kedua, daya dukung psikologis. Walaupun para migran merasa ”ngeri” takut, dan khawatir, namun kekuatan dan keamauan keras untuk
berangkat mampu menekan kondisi psikis menjadi daya dorong dan energi positif. Ketiga, dalam proses bekerja kendala-kendala yang dihadapi para migran dalam
berkomunikasi yaitu bahasa Arab dengan majikan, disiasati dengan membangun komunikasi dengan kelompok migran lainnya dan mencatat bahasa-bahasa penting keseharian. Dalam
konteks sosiologis demikian merupakan bentuk adaptasi sosial, sekaligus cikal-bakal terbentuknya kewargaan migran. Dalam konteksnya ini, kedua instrumentasi tersebut baik
adaptasi dan kewargaan migran menjadi penanda motif rasionalitas. Keempat, kekuatan motif rasionalitas bermigrasi yang juga tak kalah pentingnya adalah kondisi dan daya tarik negara
tujuan dan jaringan migrasi internasional, dimana keduanya menjadi bagian penting yang dapat mempengaruhi migran perempuan bekerja ke luar negeri meskipun harus dihadapkan kepada
berbagai resiko yang berat. Keberangkatan ke luar negeri dan kedatangan di kampung halaman memiliki makna yang
terkait dengan ritual tradisi-keagamaan, berupa salametan dan syukuran. Beberapa migran mengaku bahwa mereka selalu mengadakan acara
”salametan” sebelum keberangkatan bekerja ke Arab Saudi. Salametan
74
dilakukan dengan cara mengadakan pengajian, baik yang melibatkan
74
Acara salametan dan sykuran merupakan dua bentuk ritual yang dilakukan sebagai bentuk “pengharapan” agar sebelum berangkat, selama bekerja di Arab Saudi, dan kepulangan kembali ke kampung halaman, para migran
perempuan dilindungi Allah SWT. Bagi migran perempuan, terlebih bagi mereka yang cukup berhasil dan membawa remitan dalam ju
mlah yang cukup, syukuran bisa menjadi ajang “kepedulian sosial”. Hal ini akan terlihat dari jenis makanan yang disajikan pada saat syukuran atau salametan. Seorang responden bahkan mengaku, bahwa
ketika diadakan acara syukuran, seringkali mereka juga menyelipkan oleh-oleh alakadarnya kepada jama‟ah yang
hadir. Menurut mereka, tindakan tersebut dianggap sangat wajar, karena mereka juga turut mendoa‟kan keselamatan
mereka selama bekerja di luar negeri. Dalam wawancara dengan tiga orang ajengan di Panyingkiran, mereka mengatakan bahwa dalam setiap acara salametan atau syukuran yang diadakan keluarga migran, selalu diisi dengan
do‟a bersama yang dimulai dengan tahlilan, salawat nabi, dan ditutup dengan pembacaan do‟a. Dalam hal syukuran tersebut disatukan dengan acara syukuran sunatan anak atau adik migran, seringkali yang punya hajat meminta
diadakan pembacaan Surat Al-Barjanzi sebagai bagian rasa syukur kepada Allah SWT. Surat Al-Barjanzi merupakan semacam hikayat dari keluarga Nabi Muhammad, khususnya cucu kesayangan Nabi Muhammad yaitu
Majlis Taklim Ibu-ibu atau Bapak-bapak, yang dipimpin oleh ustad atau ustadzah. Tujuannya m
eminta do‟a restu dari warga sekitar, agar selama bekerja di Arab Saudi dalam keadaan selamat. Kepulangan kembali ke kampung halaman, terlebih bagi migran yang pulang dalam
keadaan selamat dan cukup berhasil, maka diadakan juga acara syukuran, yang juga diisi dengan pengajian dan diakhiri dengan do‟a bersama yang dipimpin ustad atau ustadzah.
4.8. Ikhtisar