Ikhtisar SETING SOSIAL EKONOMI DAN KARAKTERISTIK MIGRAN PEREMPUAN DESA PANYINGKIRAN DAN CIHERANG

Majlis Taklim Ibu-ibu atau Bapak-bapak, yang dipimpin oleh ustad atau ustadzah. Tujuannya m eminta do‟a restu dari warga sekitar, agar selama bekerja di Arab Saudi dalam keadaan selamat. Kepulangan kembali ke kampung halaman, terlebih bagi migran yang pulang dalam keadaan selamat dan cukup berhasil, maka diadakan juga acara syukuran, yang juga diisi dengan pengajian dan diakhiri dengan do‟a bersama yang dipimpin ustad atau ustadzah.

4.8. Ikhtisar

Dari pemaparan pada bab ini setidaknya ada 4 hal yang dapat dijadikan benang merah untuk masuk kepada bab-bab berikutnya: pertama, konfigurasi Panyingkiran dan Ciherang sebagai desa yang berbasis pertanian menempatkan penguasaan lahan sebagai elemen penting dalam mengukur pelapisan sosial di masyarakat pedesaan. Kedua, rendahnya aksesibilitas perempuan pada sektor non pertanian menandakan tidak terserapnya mereka di sektor tersebut. Hal ini kemudian menjadi motif pendorong untuk memilih migrasi ke luar negeri. Ketiga, kurangnya pekerjaan di pedesaan terutama jika sedang tidak musim bertani, mendorong penduduk untuk bekerja diluar sektor pertanian. Hal ini terlihat dengan semakin bertambahnya penduduk di kedua desa yang bermata pencaharian di luar pertanian seperti berdagang, buruh bangunan, berbagai jasa ojeg, penjahit, service. Keempat, pendidikan yang rendah serta keterampilan yang kurang, menjadikan migran perempuan dari Desa Panyingkiran dan Ciherang sebagai pekerja yang menempati pekerjaan rendah yang dikenal sebagai 3 D dirty, dangerous and dificultyyang sudah tidak diminati lagi oleh pekerja lokal dan rawan dieksploitasi. Migrasi perempuan dari Desa Panyingkiran dan Ciherang terjadi sejak tahun 1980-an, dimana perempuan yang pertama berangkat menjadi PRT di luar negeri saat itu dianggap sebagai ”awewe minculak, tur wanian” atau berani melawan tradisi yang kala itu pergi merantau jauh terlebih ke luar negeri masih sangat jarang dilakukan oleh seorang perempuan pedesaan. Fenomena ini terkait dengan tradisi masyarakat Sunda sebagai etnik yang dikenal tidak suka merantau jauh dari kampung halamannya. Beberapa ungkapan yang menunjukkan keengganan etnik Sunda untuk merantau misalnya: ”bengkung ngariung, bongkok ngaronyok”; ”awewe mah pondok lengkahna”; ”awewe tara cari ka Batawi, awewe mah jiga dulang tinande”, yang Hasan-Husein, serta kisah dari salah seorang tokoh sufi dalam agama Islam yang mendekati wali yaitu Syeh Abdul Qodir Jaelani. Karena pembacaan ini memakan waktu yang cukup lama, yaitu antara 2-3 jam, maka pihak pemangku hajat selalu menyediakan konsumsi yang cukup untuk undangan yang hadir. Satu hal lagi adalah menyediakan “amplop” untuk ajengan dan para santri yang bertugas sebagai pembaca Al-Barjanzi tersebut. artinya kurang lebih bahwa citra ideal perempuan Sunda - pada jaman dulu- , adalah mereka yang tetap berada di rumah untuk mengurus keluarga dan rumahtangga, karena untuk mencari nafkah adalah urusan laki-laki yang menjadi suami sekaligus sebagai kepala keluarga. Terdapat tiga periode migran perempuan dari Desa Panyingkiran-Ciherang taitu: migran perintis atau ngabaladah , pengikut atau nuturkeun, dan penerus atau neruskeun. Migran perintis atau ngabaladah adalah mereka yang berangkat pada tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. Keberangkatan mereka pada awalnya dianggap langkah nekad dan berani, karena sebelumnya tidak pernah ada perempuan pedesaan yang berani bekerja jauh sampai ke luar negeri. Berkat keuletan, ketabahan bekerja di ”nagri Arab”, mereka berhasil memperbaiki ekonomi keluarga dengan cara mampu merenovasi dan membangun rumah, membeli tanah darat dan sawah. Kelebihan migran perintis terletak dalam hal sikap ulet, tabah, dan betah bekerja sampai belasan bahkan puluhan tahun tanpa berganti-ganti majikan. Kemampuan beradaptasi dengan keluarga majikan, budaya negara tujuan bekerja merupakan kunci keberhasilan sehingga mereka mudah diterima keluarga majikan. Berkat kerja kerasnya, beberapa migran perintis bisa melaksanakan haji dengan dana sendiri atau ada yang sepenuhnya ditanggung majikan. Migran pengikut 75 atau migran nuturkeun adalah mereka yang berangkat ke Arab Saudi karena melihat keberhasilan tetangga, saudara yang bekerja di luar negeri dan berhasil memperbaiki kondisi perekonomian keluarganya. Era ini ditandai dengan semakin mudahnya akses untuk bekerja ke luar negeri, berkat kehadiran sponsor atau calo perwakilan PJTKI yang beroperasi ke pelosok pedesaan. Meskipun migran yang berangkat pada tahun 1990-an sampai tahun 2000-an harus mengeluarkan biaya yang cukup besar, tetapi animo perempuan dari kedua desa untuk bekerja sebagai PRT di luar negeri tetap tinggi. Migran pengikut umumnya berasal dari keluarga utuh dan berstatus sebagai anak atau istriibu rumahtangga. Hal ini berbeda dengan migran generasi perintis yang antara lain ada yang berstatus sebagai orangtua tunggal, baik yang 75 Beberapa migran perintis di Desa Panyingkiran dan Ciherang yang memiliki anak menjadi migran penerus antara lain Rmy, Asyh. Menurut penuturan mereka, mereka memiliki keinginan anak-anak atau adik mereka untuk sebisa mungkin bekerja di Indonesia, mengingat bekerja di luar negeri sangat berat dan banyak sekali godaannya. Mereka menceritakan kisah suka duka bekerja di Arab Saudi kepada anggota keluarga dengan harapan mereka tidak mengalami pengalaman pahit tersebut, tetapi karena kondisi ekonomi mereka yang serba pas-pasan ditambah dengan pendidikan yang rendah, menyebabkan adik atau anak mereka meniru jejak mereka “buburuh di Nagri Arab”. Sebagai contoh, dua orang anak perempuan dan satu anak laki-laki Asyh saat ini bekerja di Arab Saudi, sementara itu Asyh di kampungnya mengasuh cucu yang ditinggalkan orangtua mereka. Bahkan anak laki-laki Asyh menjadi TKI dengan istrinya. Fenomena ini tentu meninggalkan berbagai permasalahan antara lain bagaimana pola pengasuhan anak-anak yang ditinggalkan ibunya bekerja di luar negeri, hubungan antara ibu dengan anak yang ditinggal bekerja di luar negeri. berstatus sebagai janda mati atau janda bercerai. Keinginan kuat untuk membekali anak-anak mereka agar memiliki masa depan yang lebih baik menjadi motivasi yang mendorong migran generasi perintis pada umumnya cukup berhasil. Terakhir adalah migran penerus atau neruskeun, yaitu mereka yang berangkat dalam dekade tahun 2000 sampai saat ini. Dikatakan sebagai migran penerus karena beberapa di antara mereka merupakan anak atau adik dari para migran sebelumnya yang pernah bekerja di luar negeri. Temuan penelitian sebelumnya yang berpendapat bahwa migran perempuan akan mereproduksi generasi migran berikutnya sangat tepat untuk menggambarkan kondisi migran penerus di Desa Panyingkiran dan Ciherang. Di bawah ini disajikan matrik keterkaitan antara seting sosial ekonomi Desa Panyingkiran dan Ciherang, dengan basis ekonomi yang ikut mendorong terjadinya migrasi internasional, peta kultural migran Jawa Barat, serta migrasi internasional perempuan dari kedua desa penelitian sebagai upaya keluar dari berbagai kesulitan penghidupan di pedesaan. Tabel 4.20. Keterkaitan Antara Setting Sosial Ekonomi Pedesaan dengan Dorongan Melakukan Migrasi Internasional Dari Desa Panyingkiran-Ciherang Desa Basis Perekonomian dan Mata Pencaharian Peta Kultural Migran Alternatif jalan keluar dari berbagai kesulitan hidup di Pedesaan Desa Panyingkiran  Pertanian sawah  Ketimpangan penguasaan lahan sangat tinggi, sebesar 69 persen atau 1.108 rumahtangga pertanian merupakan petani tunakisma, ditambah tingginya pemilik tanah guntai in- absentee  Mata pencaharian sebagian penduduk sebagai buruh tani, dan mulai bergeser kepada usaha non-pertanian  Pandangan lama masyarakat Desa Panyingkiran tentang perempuan sama dengan pandangan umum Etnik Sunda bahwa citra ideal perempuan adalah yang tetap berada di rumah sebagai ibu rumahtangga alias ”awewe kudu jiga dulang tinande”, ”awewe pondok lengkahna”  Pendidikan dan keterampilan perempuan masih rendah  Migrasi internasional ke negara-negara Timur Tengah, khususnya negara Arab Saudi  Melahirkan migran perintis-penerus- pengikut  Mulai terbukanya peluang bekerja dan berusaha di pedesaan bidang pertanian, dan non pertanian yang saling embedded secara khas Desa Ciherang  Pertanian sawah dan lahan kering campuran  Ketimpangan penguasaan lahan ”relatif” rendah, terdapat 233 rumahtangga atau 35 persen merupakan petani tunakisma  Mata pencaharian  Pandangan lama masyarakat Desa Panyingkiran tentang perempuan sama dengan pandangan umum Etnik Sunda bahwa citra ideal perempuan adalah yang tetap berada di rumah sebagai ibu rumahtangga  Migrasi internasional ke negara-negara Timur Tengah, khususnya negara Arab Saudi  Melahirkan migran perintis-penerus- pengikut  Mulai terbukanya sebagian penduduk sebagai buruh tani, dan mulai bergeser kepada usaha non-pertanian alias ”awewe kudu jiga dulang tinande”, ”awewe pondok lengkahna”  Pendidikan dan keterampilan perempuan masih rendah, sebagian besar hanya tamat SD, bahkan beberapa orang yang tidak tamat SD peluang bekerja dan berusaha di pedesaan bidang pertanian, dan non pertanian yang saling embedded secara khas Sumber: Penelitian, tahun 2009-2011 Negara-negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi masih menjadi tujuan yang paling banyak dipilih migran perempuan dari pedesaan Jawa Barat, termasuk dari Desa Panyingkiran dan Ciherang, hal ini dikarenaklan faktor mudahnya jaringan PPTKISPJTKIS yang mengkhususkan diri dalam mengirim calon tenaga kerja ke Arab Saudi, mudahnya berbagai persyaratan untuk bekerja di Arab Saudi, dan terdapat keinginan dari sebagian migran perempuan untuk bisa melaksanakan ibadah haji. Meskipun migran perempuan sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari majikan, namun mereka tidak pernah kapok, bahkan terdapat gejala sebaliknya. Mereka akan terus pergi dan pergi lagi yo-yo migration seperti dikonsepsikan Margolis 1994, selama ketimpangan antara daerah – termasuk negara - asal migran masih mengalami ketimpangan dengan negara tujuan bekerja. Berbagai perlakuan tidak manusiawi yang dialami migran perempuan seringkali berawal dari kurang nyambungnya komunikasi antara migran perempuan dengan majikan. Hal ini dikarenakan rendahnya pendidikan dan keterampilan migran perempuan asal Indonesia. Keberhasilan beberapa migran dalam memperbaiki kondisi sosial-ekonomi rumahtangga mereka tidak selamanya sejalan dengan menguatnya berbagai nilai dan norma dalam masyarakat. Gejala sebaliknya menunjukkan bahwa pengaruh tidak langsung dari migrasi internasional perempuan adalah semakin melonggarnya nilai dan norma yang dianut masyarakat pedesaan, atau apa yang dinamakan anomie. Salah satu contoh adalah munculnya fenomena “ anak binbinti Ghoib”, “anak Arab”, semakin longgarnya ikatan perkawinan yang ditandai dengan perselingkuhan, perceraian di kalangan keluarga migran di pedesaan.

V. MIGRASI INTERNASIONAL PEREMPUAN DAN PENGUASAAN LAHAN PEDESAAN

Memiliki lahan, berupa tanah darat, terlebih-lebih tanah sawah, bagi penduduk pedesaan yang bermata pencaharian sebagai petani saat ini merupakan keinginan yang sulit diwujudkan, hal ini karena harga lahan di pedesaan terus mengalami kenaikan yang hampir-hampir tidak terjangkau oleh mereka yang umumnya merupakan petani tunakisma. Salah satu jalan keluar yang paling memungkinkan adalah melalui pengiriman anggota keluarga untuk menjadi pembantu rumahtangga PRT di Arab Saudi. Fenomena yang terjadi di Desa Panyingkiran dan Ciherang, melalui remitan yang dihasilkan dari ”Nagri Arab”, beberapa keluarga migran perempuan mampu membeli, dan menggadai lahan, meskipun lahan yang mampu dibeli rata-rata berukuran sempit. Bagaimana rasionalitas penguasaan lahan dan makna lahan bagi keluarga migran perempuan, akan dibahas pada sub bab 5.1, sub bab 5.2 membahas pemanfaatan remitan: antara konsumtif, produktif dan sosial-keagamaan, sub bab 5.3. membahas lahan dan tradisi ngamumule-mulasara, serta bagian terakhir 5.4 berupa ikhtisar. 5.1.Rasionalitas dan Makna Lahan Lahan – berupa tanah darat dan sawah –bagi seseorang atau entitas masyarakat memiliki makna rasional dan emosional, karena lahan bisa menjadi alat untuk menegasikan jati diri, dan asal seseorang. Dengan lahan yang dimiliki, seseorang bisa membangun rumah, berkeluarga, memiliki tempat untuk „pulang kampung dan pulang ke Sang-Pemilik‟. Siapa yang menguasai lahan, terutama dalam bentuk tanah produktif dan terletak di daerah yang strategis, maka memiliki peluang untuk memperoleh keuntungan ekonomis dan bargaining position yang tinggi. Oleh karena itu, tanah seringkali menjadi sumber konflik dan rebutan berbagai pihak, baik antara orang per orang, antar warga kelompok komunitas tertentu dengan warga dari komunitas yang lain, atau antara warga suatu komunitas dengan pihak swasta yang seringkali didukung penguasa baca: pemerintah dengan dukungan aparat keamanan-militer. Konflik dalam memperebutkan tanah bahkan seringkali menyebabkan hilangnya nyawa akibat digunakannya cara-cara represif dari kelompok tertentu yang memegang kekuasaan. Sebagai sebuah modal dasar bagi petani, lahan tanah memiliki fungsi produksi dan fungsi non produksi. Fungsi produksi diartikan bernilai ekonomis, antara lain karena tanah sebagai penghasil bahan pangan, sedangkan fungsi