toko beras langganannya di Kota Purwakarta. Dalam kegiatan kemasyarakatan, Mus juga aktif di desa, dan saat ini menjabat sebagai kepala dusun Kadus Pasir Muncang.
Menurut pengakuan Mus, penghasilan dia sebagai pedagang beras hanya cukup untuk makan sehari-hari, dan ongkos anak-anaknya bersekolah. Harapan Mus dan istrinya, keempat
orang anaknya bisa bersekolah tinggi, agar kehidupannya lebih baik, tidak seperti dirinya yang mengaku harus banting tulang untuk bisa menghidupi keluarga. Untuk itu, Mus merencanakan
memasukan anakanya yang masih bersekolah di SMA Kelas 2 untuk kuliah di PGSD UPI yang terdapat di Kota Purwakarta. Berikut penuturan Mus mengenai masa lalu dia yang tidak sempat
bersekolah tinggi dan pentingnya pendidikan untuk anak-anaknya: Peupeuriheun, abdi mah sakola ge mung ukur tamat SD, sanes teu hoyong neraskeun ka
SMP jiga batur, dalah di kumahakeun, tong bujeng-bujeng kanggo biaya sakola, kanggo emam sapopoe oge repot, maklum sepuh abdi ngan saukur tukang buburuh di sawah
batur. Nya ari kanggo putra mah sugan tiasa sakola luhur ulah bodo jiga bapana. Ari gaduh ijasah sakola luhur mah, panginten hirupna moal ripuh teuing. Wawancara, 3
Desember 2010.
Artinya kurang lebih bahwa: Saya hanya sekolah tamat SD, bukan tidak mau melanjutkan ke SMP seperti orang lain,
jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah, maklum orang tua saya hanya sebagai buruh di sawah milik orang lain. Kalau untuk anak, barangkali bisa
sekolah tinggi, jangan bodoh seperti bapaknya. Kalau memiliki ijasah sekolah tinggi, mungkin kehidupnya tidak terlalu repot. Wawancara, 3 Desember, 2010.
6.3. Rapuhnya Ikatan Keluarga: Resiko Pilihan Bekerja
Konsekuensi terberat yang dialami sebuah keluarga sebagai akibat kepergian istri bekerja di luar negeri adalah terancamnya keutuhan rumahtangga. Beberapa suami yang ditinggalkan
istri mengaku bahwa “kesepian dan kehilangan” ditinggal istri seringkali mendorong mereka
untuk sekedar “main”, agar bisa melepaskan kesepian. Namun demikian, beberapa suami yang ditinggalkan istrinya bekerja di Arab mengak
u bahwa kondisi keluarga mereka “baik-baik saja. Hal ini misalnya dialami oleh Rah 36 tahun yang sudah dua kali ditinggal istri bekerja di Arab
Saudi. Sudah 4 tahun ini, istri Rah menjadi tenaga kerja sebagai salah seorang staf agensi pada kantor PPTKIPJTKI di Kuwait. Istri Rah termasuk salah seorang migran perempuan yang
cukup beruntung, dengan berbekal ijazah SMK, sejak masih gadis sudah menjadi tenaga kerja di Timur Tengah. Dua kali ditinggal istri dan harus mengasuh anak yang baru berumur empat
tahun menurutnya sangat berat, tetapi karena sudah menjadi kesepakatan mereka bersama, istri
Rah masih akan terus bulak-balik bekerja di luar negeri selama berbagai kebutuhan rumahtangga mereka belum terpenuhi. Kiat Rah untuk mengatasi kesepian adalah bekerja dan
aktif dalam organisasi kepemudaan di desa antara lain ikut dalam klub bola voli. Kadang- kadang dia mengaku kerepotan juga menghadapi sifat anaknya yang cenderung manja, untuk
mengasuh anaknya, Rah sering meminta bantuan mertua, adik dan kakak perempuannya yang tinggal berdekatan. Keluarga yang mengalami masalah mulai dari yang dianggap ringan seperti
suami memiliki pacar, sampai yang berat seperti melakukan perselingkuhan, bahkan sampai kawin lagi biasanya berakhir dengan bubarnya ikatan perkawinan atau perceraian.
Kasus yang menimpa Anh 32 tahun migran asal Panyingkiran merupakan salahsatu pengorbanan sebagai bentuk sebuah resiko yang harus dihadapi akibat pilihan bekerja di luar
negeri. Anh yang menikah dengan laki-laki yang berasal dari desa tetangga selama bekerja enam tahun lebih berhasil mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan dipakai untuk membeli
tanah sawah dari mertua. Suami Anh dibelikan motor untuk ngojeg dan hasilnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menurut Anh, pada awalnya kelakuan suami wajar-wajar
saja, tetapi beberapa tahun sebelum bercerai dia sering dilapori keluarganya bahwa suami Anh memiliki pacar dan bahkan akan menikah lagi. Perselisihan antara Anh dan suaminya terjadi
melalui telepon dan surat-surat, yang intinya Anh meminta suaminya memilih untuk mempertahankan rumahtangga atau bercerai. Setelah Anh habis kontrak yang ketiga kali, Anh
pulang ke Panyingkiran, keluarga besar Anh mendukung untuk meminta cerai. Proses perceraian berbuntut panjang karena melibatkan keluarga besar Anh dan keluarga
besar suaminya. Salah satu penyebab adalah masalah sawah yang dibeli Anh dari orangtua suami mertua, dan pengasuh anak hasil perkawinan. Menurut pengakuan suami dan
keluarganya, sawah yang dibeli Anh harganya jauh dibawah pasaran, oleh sebab itu, suami Anh berhak untuk memperoleh bagian berupa setengah dari luas sawah tersebut, tetapi keluarga
besar Anh bersikukuh bahwa sawah tersebut sepenuhnya mutlak hak Anh yang dibeli atas nama Anh dengan menggunakan sepenuhnya uang hasil keringat Anh bekerja di Arab Saudi. Konflik
antara dua keluarga besar besan tersebut tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan karena kedua belah pihak ngotot terhadap tuntutan masing-masing, dan bisa diselesaikan setelah pihak
aparat desa turun tangan. Kejadian yang sama dialami juga oleh migran lain, misalnya Nyt 42 tahun, Mmh 50
tahun, Rmy 42 tahun, Nng 36 tahun, mereka harus merelakan rumahtangganya tidak bisa
dipertahankan karena suami mereka memilih kawin lagi dengan perempuan lain, dengan alasan yang hampir sama yaitu ketidakhadiran mereka sebagai istri dan ibu rumahtangga akibat bekerja
di luar negeri dalam jangka waktu yang relatif lama. Di bawah ini disajikan beberapa kasus yang dihadapi keluarga migran perempuan Desa
Panyingkiran dan Desa Ciherang disarikan dalam tabel 6.4. di bawah ini.
Tabel 6.4. Kasus yang Dialami Keluarga Migran Perempuan Desa Panyingkiran dan Ciherang
Jenis Kasus Permasalahan keluarga
1. Ringan istri masih mentolerir tindakan suami,
dengan alasan merasa bersalah meninggalkan suami, dan demi masa depan anak
2. Sedang istri mulai mempermasalahkan
perbuatan suami, bahkan memiliki ”keinginan balas dendam” terhadap tindakan suami. Menurut
ungkapan beberapa responden ”lamun salaki bisa
bobogohan deui jeung awewe lain, pamajikan oge bisa
98
. Maksudnya, yang bisa mencari pacar bukan hanya suami saja, kalau mau seorang istri
juga bisa melakukan hal yang sama dengan suaminya.
3. Berat istri dan pihak keluarganya menuntut
perceraian. Dalam kasus terjadi perceraian, beberapa jenis perceraian di kedua desa bisa
berup; a hanya didasarkan kepada sehelai kertas surat talak yang dikirimkan seorang suami kepada
istrinya; b melalui omongan langsung oleh suami dihadapan istri dan keluarganya; c cerai
resmi
melalui pengadilan
agama. Dalam
prakteknya, nomor a dan b yang paling banyak terjadi di Panyingkiran dan Ciherang. Menurut
informasi dari pihak Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan Rawamerta, kesadaran warga
masyarakat di wilayahnya terhadap hukum perkawinan, talak, rujuk NTR masih sangat
rendah dan seringkali tidak tercatat secara resmi pada instansi terkait yaitu KUA.
Kecurigaan pasangan baik istri yang bekerja di Arab, maupun suami di kampung halaman
melakukan perselingkuhan Suami melakukan perselingkuhan diam-diam
maupun secara terbuka Gugatan perceraian dari pihak istri dan didukung
keluarga istri. Perceraian yang berujung dengan konflik antara keluarga besar dari pihak istri dan
suami. Dalam kondisi seperti ini, permasalahan biasanya semakin rumit dan panjang karena
seringkali keluarga besar laki-laki juga ikut terlibat dengan alasan membela hak anak laki-laki
yang kurang dihargai istrinya
Pembagian harta gono-gini yang melibatklan keluarga besar orang tua istri dan suami.
Pola pengasuhan anak korban perceraian dan tanggung jawab membiayai anak anak ikut
keluarga suami, atau keluarga istri Migran pulang dari Arab dalam keadaan hamil
status berkeluarga atau tidak berkeluarga. Beberapa kasus seperti ini menjadi penanda
terjadinya pelonggaran norma dalam masyarakat pedesaan yang dikenal dengan gejala anomie
sebagai
akibat norma
lama yang
sudah ditinggalkan, biasanya oleh generasi muda,
karena norma lama dianggap sudah tidak sesuai dan ketinggalan jaman. Sementara di sisi lain,
norma baru belum sepenuhnya diterima warga
Sumber : Disarikan dari penelitian, tahun 2009-2011
Bercerai
99
, bagi keluarga migran merupakan jalan terakhir ketika ikatan perkawinan sudah tidak bisa dipertahankan lagi, dengan alasan-alasan yang selalu terkait dengan ketiadaan
98
Wawancara dengan Anh 32 tahun salah seorang migran perempuan yang mengalami perceraian karena suaminya sering berpacaran dengan perempuan lain, ketika Anh bekerja di Arab. Kasus yang sama dialami oleh Nyt
42 tahun; Mmh 50 tahun; Nng 36 tahun. Mereka merelakan rumahtangganya hancur, sebagai akibat pilihannya bekerja di Arab Saudi.
99
Bercerai bagi keluarga di Desa Panyingkiran dan Ciherang berarti pisah rumah antara seorang laki-laki dan perempuan seringkali tidak dilakukan melalui lembaga resmi yaitu Kantor Urusan Agama KUA, tetapi dilakukan
secara adat, misalnya cukup mendatangi orangtua perempuan, atau kadang cukup dengan selembar surat yang
seorang perempuan dalam keluarga karena mereka harus bekerja di luar negeri. Meskipun perceraian sudah menjadi fenomena
“umum”, artinya bisa menimpa siapa saja dan berbagai kalangan serta lapisan masyarakat mana saja, tetapi permasalahan menjadi sangat kompleks
ketika perceraian terjadi pada keluarga buruh migran perempuan. Hal ini karena masyarakat seringkali memandang bahwa perceraian seringkali ditimpakan kepada perempuan sebagai
akibat dari ketidakhadiran perempuan dan meninggalkan suami dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bentuk ketidakadilan ini merupakan salah satu bukti yang memperkuat bahwa budaya patriarkhi yang seringkali diperkuat dengan nilai-nilai agama
– dalam hal ini agama Islam – yang memposisikan perempuan sebagai pihak yang seringkali di salahkan ketika sebuah keluarga
dengan terpaksa mengalami perceraian. Padahal pada tataran keluarga dan rumahtangga, keberangkatan perempuan ke luar negeri telah mampu meningkatkan ekonomi dan status sosial
keluarga antara lain berupa pemilikan rumah permanen, pembelian tanah darat, sawah. Pada kondisi sulit seperti ini, niat bermigrasi yang awalnya untuk membantu menyelematkan ekonomi
keluarga dari berbagai kesulitan hidup atau survival strategy dan coping strategy seperti yang dikemukakan Ellis 2000, dan Owusu 2007 mendapat ujian, karena perjuangan perempuan
migran seringkali harus ditebus dengan social cost yang besar berupa family disruption, yang nampaknya menjadi fenomena umum dan bukan hanya terjadi di Desa Panyingkiran dan
Ciherang saja. Berikut disajikan kisah yang di alami migran perempuan yaitu Ngs yang harus menghadapi kenyataan pahit bahwa bekerja di Arab Saudi bukan meningkatkan perekonomian
keluarga, tetapi yang dialami adalah sebaliknya, yaitu hancurnya rumahtangga akibat perselingkuhan suami dan berakhir dengan perceraian.
dikirimkan kepada orangtua perempuan. Hal ini karena dalam pelaksanaan perkawinan pun banyak diantara pasangan yang melakukannya secara di bawah tangan alias menikan siri‟, sehingga pernikahan tidak terdaptar pada
KUA setempat. Dalam beberapa kasus, misalnya yang dialami Anh 32 tahun, perceraian sampai harus melibatkan aparat desa, karena perebutan harta gono-gini dan hak pengasuhan anak.
Boks 3: Resiko Migrasi dan Hancurnya Rumahtangga
6.4. Ikhtisar