Lahan dan TradisiNgamumule - Mulasara

selain sudah mampu membeli lahan sawah, membantu memperbaiki rumah orang tuanya, juga menggadai kendaraan roda dua yang dipakai adiknya untuk mengojeg Alasan berat meninggalkan anak yang masih kecil seringkali menjadi pertimbangan utama mengapa migran perempuan harus menangguhkan kepergian berikutnya. Menurut mereka, pengasuhan anak, apalagi anak yang sudah mulai besar dan hanya diasuh oleh suami dan anggota keluarga terdekat, seperti kakek dan neneknya sangat berbeda jika dibandingkan di asuh sendiri oleh ibu. Dalam beberapa kasus, seorang anak yang bertahun-tahun ditinggalkan bekerja oleh ibunya, seringkali memanggil ibu dengan sebutan ”Teteh”, mereka juga menunjukkan gejala psikologis yang kurang nyaman, canggung dengan kehadiran ibu mereka sendiri, meskipun itu terjadi hanya pada beberapa bulan pertama, ketika seorang migran perempuan baru pulang ke desanya. Alasan lain yang menjadi pertimbangan adalah perilaku suami yang seringkali menunjukkan sikap yang ”macam-macam” ketika lama ditinggal bekerja di luar negeri.

5.3. Lahan dan TradisiNgamumule - Mulasara

Kematian yang merupakan siklus akhir dari kehidupan seorang manusia dalam prakteknya di masyarakat di lakukan berbeda-beda tergantung kepada latar belakang etnik- budaya, agama yang di anut, dan yang tidak kalah penting status sosial ekonomi keluarga yang mengalami kematian. Praktek ini jelas terlihat di Desa Panyingkiran dan Ciherang pada saat ada anggota keluarga yang meninggal. Hal pertama yang dilakukan anggota keluarga ketika ada yang meninggal dunia adalah menghubungi Amil desa,yaitu seorang tokoh agama Islam yang diberi amanah oleh warga dan disetujui pihak pemerintah - saat ini jabatan amil desa di formalkan melalui SK Camat – yang bertugas antara lain mengurus jenazah mulai memandikan, memimpin sholat jenazah, menguburkan, memimpin tahlilan, pengajian di kuburan, dan selametan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari. Selain itu, amil dalam beberapa hal bisa menjadi wakil Kantor Urusan Agama KUA kecamatan untuk mengawinkan pasangan yang dengan alasan suatu dan lain hal tidak mendaftarkan perkawinan tersebut secara resmi ke KUA. Pemahaman terhadap ajaran agama, dalam hal ini Islam yang bercampur dengan tradisi warisan leluhur menjadi dasar dalam praktek-praktek menyelenggarakan serangkaian acara kematian di Desa Panyingkiran maupun Ciherang. Tradisi ini merupakan praktek terjadinya sinkretisme 92 antara unsur-unsur budaya India-Islam dan unsur-unsur pribumi Asia Tenggara Geertz, 1992. Lebih lanjut Geertz 1992 menjelaskan bahwa bentuk ritual inti dalam sebuah perayaan bersama yang disebut selametan yang pada dasarnya merupakan cara-cara suatu masyarakat mempertahankan keseimbangan antara dunia nyata dengan dunia ghoib, dan secara s osiologis sebagai perwujudan ”menyetel sikap-sikap nilai yang terakhir” yang diperlukan untuk integrasi yang efektif dari struktur sosial yang didasarkan atas wilayah, maupun untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis bagi koherensi intelektual dan stabilitas emosional yang karakteristik bagi penduduk tani. Dalam kasus tertentu, keluarga yang mengalami musibah kematian memaksa diri untuk ”gagade, nyarande, bari anjuk hutang”, yang artinya mereka memaksa meminjam uang bahkan menggadaikan barang-barang yang dimiliki, misalnya sawah untuk membiayai serangkaian acara kematian. Sikap ini dilakukan karena keluarga yang ditinggal kematian salah seorang anggota keluarganya merasa bahwa ngamumule dan mulasara merupakan kewajiban terakhir untuk menyempurnakan prosesi kematian seseorang untuk mengantarkan ke alam akhirat. Pandangan ini berasal karena manusia memiliki martabat yang berbeda dengan makhluk lain seperti hewan. Menurut pandangan kelompok ini, karena manusia bukan hewan, maka sudah sewajarnya, ketika meninggal harus diadakan pengurusan yang layak, agar arwah meninggal dengan tenang dan diterima oleh Allah Yang Maha Kuasa, melalui do‟a-do‟a bersama yang dilakukan pada saat tahlilan, pengajian, pembacaan do‟a pada waktu selametan. Mengenai pentingnya lahan, terutama sawah yang bisa menjadi sandaran keluarga migran ketika salah satu anggota keluarga mengalami musibah, contohnya kematian, dialami keluarga Cas 53 tahun. Cas adalah seorang petani yang memiliki sawah 2,5 hektar, hampir setengahnya merupakan hasil jerih payah ketiga orang anaknya yang menjadi PRT di Arab Saudi. Anak pertama Cas, dua tahun lalu pulang kampung karena sakit. Setelah dibawa berobat di rumah sakit 92 Geertz 1992 lebih lanjut memaparkan bahwa timbulnya kerajaan –kerajaan besar dan militeristis di daerah sumber-sumber beras Jawa di pedalaman pada abad-abad pertama masa kekristenan dihubungkan dengan penyebaran pola kebudayaan Hindu dan Budha ke Pulau itu Jawa. Ekspansi perdagangan internasional lewat laut ke kota-kota pelabuhan di pantai Utara dalam abad kelima belas dan keenam belas dihubungkan dengan pola-pola budaya Islam. Setelah menemukan jalan ke massa petani, kedua agama dunia ini menjadi tergabung dengan tradisi- tradisi animistis yang mendasarinya yang khas bagi seluruh wilayah kebudayaan Melayu. Hasilnya adalah sebuah sinkretisme yang selaras dari mitos dan ritus yang di dalamnya dewa-dewi Hindu, nabi-nabi Muslim dan para Santo, dan roh-roh dan makhluk-makhluk halus setempat semuanya mendapat tempat yang layak. Bentuk ritual inti dalam sinkretisme ini dinamakan selametan. Selametan memiliki bentuk dan isi dengan hanya sedikit variasi pada segala kesempatan yang memiliki makna religious seperti; peralihan daur hidup, hari-hari suci menurut penanggalan, tahap-tahap tertentu daur panen, pada waktu pindah rumah. Maksud selametan adalah memberikan persembahan bagi roh-roh maupun mekanisme-mekanisme bersama bagi keutuhan hidup bersama. dan pengobatan alkternatif selama hampir satu tahun, anak Cas meninggal dunia. Sebelum meninggal anak Cas meminta agar jika dia meninggal di kuburannya diadakan pengajian selama tujuh hari tujuh malam. Cas menyanggupinya, terlebih anaknya memiliki peninggalan berupa sawah yang luasnya kurang lebih setengah hektar, hasil bekerja bertahun-tahun di Arab Saudi. Untuk biaya pengajian, tahlilan, acara tiga, hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seratus hari, Cas menggadaikan sawah milik anaknya seharga Rp 24 juta. Bagi Cas dan keluarganya, menggadaikan sawah untuk biaya ngamumule-mulasara almarhum anak perempuannya menjadi kewajiban dia sebagai orangtua, apalagi almarhum anaknya belum berkeluarga dan meninggalkan warisan sawah. Mempertahankan prestise, meskipun tidak dilakukan secara terang-terangan antara lain terlihat pada saat salah seorang anggota keluarga di Desa Panyingkiran dan Ciherang meninggal dunia. Hal ini bisa diukur melalui materi yang dikeluarkan untuk: 1 orang yang ikut menyolatkan jenazah di rumah atau di Mesjid; 2 uang untuk penggali kubur; 3 membayar kelompok kecil yang ngaosngaji di kuburan selama tujuh hari tujuh malam; 4 memberi sedekah kepada semua jamaah yang hadir pada saat terakhir tahlilan yaitu hari ketujuh. Pelaksanaan ngamumule-mulasara memiliki makna ambigu bagi masyarakat pedesaan. Makna pertama dari serangkaian ngamumule dan mulasara adalah bahwa monetisasi yang sudah merasuk ke pede saan menjadikan kematian menjadi lebih bersifat ritual ”materil-komersil” dan makna kedua, bahwa serangkaian acara tersebut menegasikan pencitraan status sosial ekonomi seseorang dalam komunitas di pedesaan. 5.4.Ikhtisar Hasil penelitian menunjukkan bahwa migrasi internasional perempuan dan penguasaan lahan di Desa Panyingkiran dan Ciherang setidaknya telah mengantarkan kepada pemahaman baru kajian migrasi. Pertama, lahan yang memang faktor produksi penting di pedesaan saat ini sudah menjadi instrumen komodifikasi oleh perempuan pedesaan. Kedua, penguasaan migran perempuan atas lahan menjadi indikasi bahwa telah terjadi dinamika agraria di pedesaan dan mengubah peta ekonomi pedesaan. Ketiga, munculnya penguasaaan lahan oleh migran perempuan dapat dijadikan parameter proses pembentukkan simbolisasi kekuasaan yang berimbang antara laki-laki dan perempuan yang kemudian membangun prestise, status sosial di masyarakat. Migrasi internasional perempuan yang dilakukan penduduk Desa Panyingkiran dan Desa Ciherang memiliki dimensi luas dan terkait dengan berbagai aspek secara teoritis, maupun aksiologis. Secara teoritis paling tidak ditemukan bahwa ukuran-ukuran yang selama ini dipakai para ahli - khususnya ekonomi – bahwa motif dari bermigrasi adalah karena mengejar kebutuhan ekonomi keluarga meskipun pada kenyataannya sebagian besar dari migran internasional perempuan dari kedua desa baru sampai pada tataran pemenuhan kebutuhan paling mendasar yaitu kebutuhan terhadap makanan, pakaian dan sekedar membangun rumah. Namun demikian, beberapa migran sudah mampu melewati tahapan tersebut dan mampu mengelola remitan untuk membelanjakannya ke dalam hal-hal yang lebih produktif berupa modal untuk berusaha, seperti membuka warung, toko sarana produksi pertanian, menabung dalam bentuk perhiasan mas, menggadai dan membeli sawah, membeli tanah darat, dan membaiayai pendidikan anggota keluarga. Meskipun demikian, keberhasilan sebagian migran perempuan secara ekonomi masih menyisakan sisi gelap dari migrasi internasional yaitu terjadi gejala family disruption, berupa keretakan rumahtangga yang seringkali berakhir dengan perceraian sebagai jalan terakhir ketika sebuah rumahtangga tidak bisa lagi dipertahankan. Selain pengeluaran untuk berbagai pemenuhan kebutuhan keluarga mereka, migran perempuan juga mengeluarkan berbagai sumbangan untuk perayaan yang diselenggarakan disekitar tempat tinggal mereka. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagai warga masyarakat pedesaan yang masih menunjukan sikap kolektifitas yang relatif guyub Gemmeinschaft, para migran juga merasa memiliki kewajiban untuk mengeluarkan ”social cost” seperti untuk: sambungan pada hajatan saudara, biaya hajatan keluarga, sumbangan untuk berbagai perayaan hari besar keagamaan dan hari besar kenegaraan, sumbangan pembangunan sarana peribadatan mesjid, musholah, majlis taklim, dan yang tidak kalah pentingnya adalah biaya untuk ”ngamumule atau mulasara” ketika ada salah seorang anggota keluarga yang meninggal dunia. Dalam pelaksanaannya, ngamumule atau mulasara yang merupakan sinkretisme antara ajaran agama Islam dengan tradisi, menjadi arena untuk semakin menegasika n ”status sosial” keluarga. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan keluarga yang mengalami kematian dan terkadang harus menggadaikan bahkan menjual sawah. Ukuran yang masih sering kurang mendapatkan perhatian adalah aspek sosio-psikologis keputusan bermigrasi dari perempuan pedesaan. Pada tataran ini, pendidikan, keterampilan, yang dimiliki migran ditambah dengan informasi tentang bahasa, budaya negara tujuan bekerja, kondisi kerja ternyata sangat mempengaruhi keputusan individu untuk melakukan bermigrasi. Pemanfaatan remitan merupakan aspek penting lain dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memutuskan ketergantungan kepada migrasi internasional. Terdapat dua tipe migran perempuan dan keluarganya dalam menafaatkan remitan. Tipe pertama adalah keluarga rikrik- gemi bari dagdag-degdeg, yaitu mereka yang memanfaatkan remitan untuk berbagai kepentingan produktif dan jangka panjang antara lain membeli lahan pertanian, modal berusaha, modal melanjutkan pendidikan anggota keluarga. Sedangkan keluarga tipe kedua adalah mereka yang mangpang meungpeung alias aji mumpung dalam memanfaatkan uang kiriman anggota keluarga yang bekerja di luar negeri. Keluarga tipe ini lebih sering membelanjakan uang kiriman untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif seperti membeli berbagai perabotan rumahtangga, membeli pakaian, rekreasi keluarga, dan kebutuhan konsumtif lainnya. Rasionalitas penguasaan lahan oleh migran perempuan antara lain didasarkan kepada pertimbangan; 1 sebagai bekal makan sehari-hari; 2 saving ketika suatu saat tidak bisa bekerja lagi di luar negeri; 3persiapan membangun rumah, atau kios untuk berusaha; 4 bekal ”ngamumule-mulasara‟ ketika ada anggota keluarga yang meninggal 5 biaya pendidikan anggota keluarga; 6 modal berusaha-berdagang; 7 supaya tidak lagi menjadi buruh tani, dan 8 menaikkan status sosial keluarga dalam komunitas masyarakat pedesaan. Berdasarkan rasionalitas di atas, maka keinginan migran perempuan untuk menguasai lahan – berupa tanah darat maupun sawah – akan terus bertambah. Secara kuantitatif jumlah lahan yang mampu dibeli migran beserta keluarganyamemang masih relatif sedikit, tetapi di balik angka-angka tersebut hal ini menunjukkan bahwa telah terjadipenguasaan lahan di pedesaan oleh perempuan migran yang sebelumnya mereka seringkali di posisikan sebagai kelompok yang tidak atau kurang diperhitungkan secara sosial ekonomi bahkan cenderung termarjinalkan pada masyarakat yang masih di dominasi nilai budaya patriarkhi. Perempuan migran dari Desa Panyingkiran dan Ciherang mampu meningkatkan posisi mereka dan meningkatkan status sosial keluarga mereka ke dalam status sosial baru.

VI. MIGRASI INTERNASIONAL PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER