Ikhtisar MIGRASI INTERNASIONAL PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER

Boks 3: Resiko Migrasi dan Hancurnya Rumahtangga

6.4. Ikhtisar

Implikasi dari kepergian perempuan yang menjadi ibu rumahtangga ke luar negeri telah merubah kondisi sosial ekonomi rumahtangga, sehingga keluarga mereka naik status dari ”jelema malarat” alias orang miskin menjadi ”jelema aya”atauorang berada. Melalui remitan yang dihasilkan, sebagian migran perempuan dan keluarganya mampu menguasai lahan. Penguasaan lahan di pedesaan oleh migran perempuan adalah bentuk dari mulai munculnya relasi gender yang lebih mengarah kepada keseimbangan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Proses kesetaraan gender dimulai dengan terjadinya interaksi budaya antara perempuan yang menjadi pelaku migran dengan budaya majikan di negara tempat bekerja. Pada sisi yang lain, ketidakhadiran perempuan sebagai sosok ibu- istri di dalam sebuah keluarga telah Melihat keberhasilan keponakannya yang lebih dulu bekrja di Arab, dan terdorong oleh kebutuhan ekonomi, Nng 38 tahun pada tahun 2006, memutuskan bekerja ke Arab Saudi. Nng mendatangi salah seorang sponsor yaitu H. Dad, ketika berangkat, meninggalkan 2 orang anak yang masih berumur 11 dan 7 tahun dan suami yaitu Nar 65 tahun. Anak pertama yang yang merupakan hasil perkawinannya terdahulu, sudah berkeluarga dan ikut suaminya di Rengasdengklok. H. Dad, menyalurkan Nng kepada PT Prima Duta Persada di Jakarta, untuk berbagai persyaratan semuanya diurus H.Dadang, Nng tidak mengeluarkan uang sama sekali, bahkan dibekali uang saku sebesar Rp 1 juta. Uang tersebut Rp 700.000 diberikan kepada suami sebesar Rp 300.000 dibawa ke Arab, sebagai bekal sebelum mendapat gaji. Dengan gaji 600 real per bulan, Nng beberapa kali mengirim uang hasil jerih payahnya kepada suami di kampung. Bahkan setelah dua tahun bekerja, Nng berhasil membeli tanah darat dari saudara seluas 100 meter, seharga Rp. 8.5 juta. Tanah tersebut kemudian dibangun rumah sederhana dengan cara bertahap selama satu setengah tahun. Pada tahun ketiga, Nng mendengar kabar bahwa suaminya selingkuh dengan perempuan tetangganya, setiap uang yang dikirimkan selalu dipakai untuk main perempuan, sehingga anaknya terlantar. Setelah habis kontrak selama 2 tahun, Nng pulang ke kampung, rumahtangga Nng terancam perceraian karena suaminya menikah lagi. Merasa tidak tahan tinggal berdekatan dengan istri muda suaminya, Nng nekad menjual rumah yang belum selesai dibangun, dan membawa pulang kedua anaknya ke rumah bibi Nng di Karajan I. Setelah beberapa bulan tinggal di kampung, pada bulan April 2010 Nng berangkat lagi ke luar negeri, kali ini bekerja di Bahrain.Pulang dari Arab, uang yang di bawa habis untuk membayar hutang bekas makan sehari-hari dan hutang suami. Untuk makan dan menambah modal, Nng meminjam uang kepada Yyt sponsorcalo sebesar rp 150.000, pinjaman tersebut akan dibayar manakala Nng berhasil berangkat ke Arab. Menurut Nng, di Kampungnya sudah biasa meminta uang terlebih dulu kepada sponsor atau istilahnya ngijonkeun tanaga. Berikut penuturan Nng tentang kehidupannya yang belum membaik setelah dua kali bekerja di Arab Saudi……” ah nasib abdi mah meni teungteuingeun, ku salaki di nyenyeri, cape digawe di nagri deungeun taya hasilna, tapi panginten tos resiko buburuh di nagri deungeun…..”. Artinya: “nasib saya sangat mengenaskan, oleh suami disakiti, bekerja di negeri orang lain hanya dapat capainya saja, tapi tidak ada hasilnya, mungkin sudah resiko bekerja di negara orang lain”. Kondisi rumahtangga Nng saat ini serba pas- pasan, untuk mencukupi berbagai kebutuhan sehari-hari hanya mengandalkan dari hasil jualan makanan kecil dan mengandalkan hasil suaminya sebagai tukang cukur keliling. Nng saat ini edang menunggu panggilan dari sponsor untuk diberangkatkan ke Arab Saudi. Nng mengaku tidak kapok dan siap menerima resiko bekerja di Arab, menurutnya: ” Ah keun bae pa, pami caroge abdi macem-macem deui ke oge kapendak ieuh, sareng kalakuan teu bener da kanggo anjeuna ieuh, nu penting mah barudak abdi tiasa kaurus sareng tiasa emam sapopoe….:”. Artinya “Ah biarkan saja pa, kalau suami saya macem-macem lagi, nanti juga ketemu dengan sendirinya, yang penting anak-anak saya bisa terurus dan bisa makan sehari- hari”. menyebabkan sebuah “keterpaksaan” bagi laki-laki yang ditinggalkan untuk memulai memasuki wilayah urusan dan pekerjaan- pekerjaan yang selama ini dikategorikan sebagai “urusan dan pekerjaan perempuan”. Perubahan kearah kesetaraan gender yang terjadi pasca migrasi terlihat dalam beberapa peran dan pengambilan keputusan berikut; 1 pencari nafkah utama the bread winner tidak lagi di dominasi laki-laki; 2 pengambilan keputusan penting yang dilakukan istri, suami, istri dan suami, anak perempuan dan janda yang lebih seimbang; 3 suami mulai berbagi peran dalam hal pekerjaan reproduktif-domestik ketika istri bekerja di luar negeri, dan ketika kembali ke daerah asal pekerjaan tersebut diambil alih kembali oleh istri, kondisi ini tidak menjadi permasalahan serius karena istri tidak memiliki kegiatan-apa-apa dan didasarakan juga kepada sifat kepantasan yang berlaku pada komunitas pedesaan; 3 peran suami dalam menentukan beberapa keputusan penting tidak lagi dominanbahkan dalam beberapa hal peran istri cukup menentukan; 4 meskipun masih terbatas, istri mulai memasuki ranah publik, dan hal yang sebaliknya, suami mulai mau memasuki ranah domestik, paling tidak pada aras internal keluarga dan rumahtangga. Pergeseran lain yang terlihat pada keluarga migran yang tidak terjadi di dalam keluarga non-migran adalah dalam hal menjalankan beberapa fungsi keluarga. Misalnya dalam pengasuhan anak, pengembangan kepribadian anak, sosialisasi dan internalisasi nilai, norma yang kesemuanya penting karena menjadi dasar kehidupan bermasyarakat. Keseluruhan fungsi tersebut tidak bisa dijalankan sepenuhnya oleh migran perempuan yang harus bekerja bertahun- tahun di luar negeri dengan meninggalkan keluarga mereka, dan tugas tersebut diambil alih oleh suami dan dibantu anggota keluarga besar. Remitan yang dihasilkan migran perempuan telah terbukti meningkatkan posisi perempuan menjadi individu yang relatif lebih mandiri. Menguatnya ekonomi perempuan salahsatunya melahirkan apa yang dalam terminologi masyarakat setempat sebagai “lalaki nyalindung ka gelung ”, yaitu laki-lakisuami yang secara ekonomi mengandalkan kehidupannya kepada perempuan yang menjadi istrinya. Pada kondisi inilah perempuan yang sebelumnya dianggap sebagai kelompok yang tidak diperhitungkan secara ekonomi bahkan seringkali termarjinalkan secara sosial, menunjukkan kapasitas sebagai individu yang mampu meningkatkan derajat diri dan status sosial ekonomi keluarganya pada komunitas pedesaan. Keberhasilan sebagian migran perempuan di Desa Panyingkiran dan Ciherang secara ekonomi, harus dibayar mahal berupa social cost dengan munculnya fenomena family disruption. Fenomena tersebut berupa perselingkuhan yang dilakukan suami yang bisa berakibat pada perceraian. Ketika perceraian tidak bisa dielakkan, sebagian masyarakat seringkali membebankan kesalahan kepada pihak perempuan yang dianggap bersalah karena sebagai ibu rumahtangga yang memiliki tanggung jawab dalam mengurus rumahtanggaya meninggalkan suami dan anak-anak dalam waktu yang cukup lama.

VII. SIMPULAN DAN REKOMENDASI