Kabupaten Karawang-Purwakarta: Representasi Kultur Sunda Pantai Utara

IV. SETING SOSIAL EKONOMI DAN KARAKTERISTIK MIGRAN PEREMPUAN DESA PANYINGKIRAN DAN CIHERANG

Seting atau latar dalam sebuah penelitian adalah kontekstualitas yang dapat mengantarkan kepada kebermaknaan sebuah penelitian. Selain itu, seting juga menjadi penanda dan karekteristik yang membedakan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Dalam penelitian ini, setting Panyingkiran, Karawang dan Ciherang, Purwakarta memberi warna baru dalam riset migrasi. Pertama, seting komunitas desa-sawah di kedua wilayah menjadi penanda bahwa migrasi perempuan di kedua lokasi ini didominasi oleh ketiadaan akses keluarga lapisan terbawah di pedesaan terhadap lahan. Migrasi akhirnya menjadi instrumen dan spirit mereka untuk bisa membeli lahan pasca kepulangan dari luar negeri. Narasi inilah yang kemudian mengantarkan bahwa migrasi dan penguasaan lahan pedesaan saling berkaitan satu sama lain. Kedua, dalam penguasaan lahan oleh perempuan pedesaan yang berbasis komunitas desa sawah, pemilikan lahan, terutama sawah menjadi instrumen penting dan penanda perubahan struktur lapisan sosial masyarakat pedesaan, karena mereka yang berasal dari lapisan bawah mampu memperbaiki status sosialnya. Ketiga, seting komunitas sawah dan penguasaan atas lahan oleh perempuan menjadi pengantar terbentuknya kesetaraan gender pada rumahtangga dan komunitas pedesaan, yang tentunya akan sangat berbeda, dengan kondisi migran di tempat riset lainnya. Pembahasan tentang seting kedua lokasi penelitian berikut ini akan mengantarkan kepada pemahaman pembahasan berikutnya. Bab ini akan menjelaskan, 1 Kabupaten Karawang dan Purwakarta: representasi kultur Sunda pantai utara Pantura Jawa Barat; 2 kondisi sosio- geografis dan kependudukan Desa Panyingkiran-Ciherang; 3 penguasaan lahan Desa Panyingkiran-Ciherang: potret ketimpangan dan kemiskinan di pedesaan; 4 sejarah migrasi dan kondisi migran Desa Panyingkiran-Ciherang yang dibagi menjadi dua bahasan yaitu: antara migran perintis-pengikut-penerus, dan pendidikan-keterampilan migran Desa Panyingkiran- Ciherang; 5 ikhtisar yang merupakan rangkuman dari bab ini.

4.1. Kabupaten Karawang-Purwakarta: Representasi Kultur Sunda Pantai Utara

Pantura Jawa Barat Kabupaten Karawang dan Purwakarta merupakan dua kabupaten bagian dari Propinsi Jawa Barat, secara geografis sangat strategis karena terletak di antara jalur jalan yang menghubungkan Ibu Kota Jakarta dengan Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat, sekaligus menjadi lintasan utama menuju kota-kota besar di Pulau Jawa melalui jalur pantai Utara Pantura. Jawa Barat sendiri merupakan salah satu propinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu 43.021,8 juta jiwa BPS, 2010, dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 2000-2010 sebesar 1,89 persen. Propinsi yang memiliki 17 kabupaten dan 9 kota, sebagian besar dihuni oleh etnik Sunda, yang merupakan etnik terbesar ke dua di Indonesia setelah Jawa, selain itu terdapat etnik Jawa, Betawi, Tionghoa, yang umumnya tersebar di kawasan perkotaan seperti Bandung, Cirebon, sekitar Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Bodetabek dan kota kabupaten lainnya. Sebagai wilayah yang memiliki letak strategis dan aksesibiltas yang tinggi, Kabupaten Karawang dan Purwakarta merupakan kabupaten sejak lama memiliki mobilitas penduduk cukup tinggi. Berdasarkan catatan arsip Kolonial Belanda, Karesidenan Karawang yang di dalamnya termasuk Kabupaten Purwakarta sekarang ini, merupakan satu dari lima karesidenan di Jawa Barat 25 , yang dijadikan pemerintah kolonial sebagai penghasil utama penyediaan pangan terutama beras dan hasil perkebunan berupa teh dan karet. Jauh sebelum kedatangan pemerintah kolonial ke kepulauan Nusantara, wilayah Karawang sudah menjadi pelabuhan yang ramai berkat keberadaan Sungai Citarum sebagai urat nadi perekonomian Kerajaan Pajajaran. Pluralitas dan keterbukaan masyarakat Karawang-Purwakarta ditandai dengan kehadiran etnik Jawa, Betawi, Jawa, Eropa, Cina, dan Arab yang mendiami beberapa wilayah dari kedua daerah ini, sehingga salah satu karakter yang sering kali dijadikan penanda bahwa mereka memiliki ciri khas sebagai orang Sunda yang memiliki karakter terbuka, blak-blakan, bahkan serin gkali di cap sebagai ”agak kasar” khas pantai utara Pantura dan berbeda dari orang Sunda Priangan yang dianggap lebih halus dan ”mriyayi” 26 . Representasi keterbukaan ini misalnya terungkap dalam bentuk gaya bicara dengan dialek bahasa Sunda khas pesisiran dengan ”lentong” yang dianggap lebih ”kasar”, representasi dan ekspresi dinamika masyarakat Karawang-Purwakarta diekspresikan dalam bentuk kesenian tradisional ”Jaipongan”, yang dianggap modifikasi dari tarian tradisional Sunda ”Ketuk Tilu” yang memiliki gaya lebih sopan dan halus. Seni tari ”Jaipongan” seringkali diidentikkan dengan unsur 3 G, alias goyang, gitek, 25 Lihat Ekadjati. 1995 yang mencatat bahwa berdasarkan arsip Holle, tahun 1895, di Jawa Barat terdapat lima karesidenan, yaitu: Karawang, Cirebon, Banten, Priangan. Sementara itu, wilayah lain yang berdekatan dengan Jakarta seperti Bekasi, Tangerang termasuk dalam Karesiden Batavia-Mr. Cornellis. 26 Bahasa Sunda yang awalnya merupakan bahasa yang bersifat demokratis berubah menjadi mengenal tingkat- tingkat kasar-sedeng-lemes yang melambangkan ciri-ciri masyarakat feodalis, sebagai pengaruh budaya Mataram yang pernah menaklukan wilayah Priangan pada Abad ke-17 dibawah Sultan Agung. Soetarto, 1999 hal 66 geol. Sampai saat ini, seni tari Jaipongan terkenal dengan salah satu sempalan gaya menari ”Goyang Karawangan” 27 . Media massa sempat mengekspos polemik seputar unsur 3 G dalam seni tari Jaipongan, yang bersumber dari himbauan para pejabat Jawa Barat untuk mengurangi unsur 3 G dan menggunakan pakaian yang lebih sopan bagi penarinya. Kelompok yang setuju memiliki argumen bahwa tari Jaipongan mengandung unsur erotis yang mengarah kepada porno- aksi, sedangkan untuk kelompok yang menentangnya menganggap bahwa larangan pemerintah Jawa Barat terlalu berlebihan, karena seni sifatnya netral dan merupakan refleksi dari sebuah kedinamisan masyarakat pantai utara dimana seni tersebut berasal. Sebagai daerah penghasil beras nasional, sampai saat ini, pertanian sawah masih menjadi unggulan kabupaten Karawang. Hal ini terlihat dari luas wilayah Kabupaten Karawang yaitu 1.753,27 Km 2 , luas sawah 94.311 ha merupakan lahan sawah beririgasi, dengan produksi padi pada tahun 2008 1.244.070 ton. Namun sebagai akibat pembangunan kawasan industri, perumahan, beberapa wilayah mengalami konversi lahan pertanian kepada peruntukkan non- pertanian yang semakin intensif. Pembangunan prasarana pengangkutan yang baik dan letak Karawang diantara dua kota besar yang merupakan ”urban consumption center” yaitu Jakarta dan Bandung, rendahnya penguasaan lahan oleh petani, serta tingginya petani tunakisma, ikut mendorong penduduk Karawang dan Purwakarta melakukan migrasi ke kota-kota besar, terutama Jakarta sebagai tujuan utama bekerja. Mengenai besarnya angka ketimpangan pemilikan lahan dan menyebabkan tingginya petani tunakisma yang mendorong migrasi keluar, diungkap oleh Tim Peneliti IPB 28 yang menemukan bahwa pada tahun 1970, penduduk Karawang yang waktu itu masih 982.648 orang, terdiri dari 228.940 KK, 60 persen petani pemilik dan penggarap, pemilikan lahan rata-rata setiap KK petani hanya 0,8 hasawah, petani tunakisma sebagai buruhtani sekitar 39 persen. 27 Wawancara USS46 tahun sebagai informan kunci dan merupakan Guru senior SMA Negeri 1 Telukjambe Karawang. Menurut USS ciri orang Karawang dan juga Purwakarta yang memiliki perberbedaan dengan orang Sunda lainnya dalam beberapa unsur, sebagai akibat terbukanya akses kedua daerah ini dari pengaruh luar, sehingga akulturasi sangat mudah terjadi, sebagai bukti, bahwa di Kabupaten Karawang terdapat beberapa desa seperti Cibuaya, Rengasdengklok, yang menunjukkan ciri-ciri multikultur, karena desa-desa tersebut sejak jaman Hindia Belanda sudah banyak diisi oleh etnik non-Sunda seperti Jawa, Tionghoa, bahkan Arab. Sikap egaliter masyarakat Karawang-Purwakarta dimaknai oleh mereka sendiri sebagai kuat memegang prinsip, meskipun bagi orang luar bisa dimaknai sebagi “murugul, jeung keukeuh pateukeuh”. 28 Lihat laporan penelitian Tim Survei Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi. Faperta.IPB 19711972, dan ”Pengaruh Kredit Terhadap Perataan Pendapatan dan Kesempatan Kerja Di Satu Wilayah Unit Desa. Telaah Kasus di Kec. Rengasdengklok Kab. Karawang. Depdikbud dan Kerjasama IPB. 1978. Tidak diterbitkan. Data lain menunjukkan, pada tahun 1977 di Desa Amansari dan Kutagandok kecamatan Rengasdengklok Karawang menunjukkan, bahwa sejak tahun1964 banyak penduduk laki-laki Desa Amansari berusia 20-34 tahun pindah keluar desa untuk mencari pekerjaan. Pada waktu itu penduduk laki-laki berumur 15-54 tahun ada sekitar 25,09 persen dari jumlah jiwa, tahun 1971 turun menjadi 17,98 persen dan tahun 1977 tinggal 11,50 persen saja. Berarti laju migrasi keluar 1,08 persen setahun dalam kurun waktu 19711977. Petani pemilikpenggarap 45 persen, buruh tani 55,9 persen, pedagang 14 persen, buruh bangunan 1,1 persen. Hal yang sama terjadi juga di Di Desa Kutagandok, dimana petani 3.980 orang 26,1 persen, buruh tani 3.980 orang 36,7 persen buruh bangunan 1.326 12,2 persen, pedagang biasa 137 orang 1,3 persen, pedagang kecil 1.147 orang 10,6 persen. Kesulitan memperoleh ”pangupa jiwa” terutama bagi keluarga yang berasal dari lapisan ”jelema malarat” 29 atau golongan miskin sebagai upaya untuk mencukupi berbagai kebutuhan keluarga mendorong banyak laki-laki dan perempuan berusia produktif bermigrasi ke kota besar. Jika penduduk laki-laki banyak terserap kedalam pekerjaan buruh bangunan, tenaga kerja perempuan banyak yang bekerja sebagai buruh pada berbagai industri dan pembantu rumahtangga di sekitar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang dan Bekasi Jabodetabek. Salah satu tradisi penduduk petani yang masih ditemukan di beberapa tempat di Karawang dan Purwakarta, adalah untuk membeli perhiasan emas, sepeda motor pada musim panen, dan menjualnya kembali pada musim paceklik, merupakan salah satu ciri yang menonjol dengan motif sederhana yaitu ”demonstration effect” 30 yang menyangkut status sosial atau menaikkan martabat selama mempunyai barang-barang berharga dan mewah itu. Ciri khusus lain 29 Di pedesaan Jawa Barat misalnya Sumedang golongan lemah miskin dijuluki dengan sebutan “jelema malarat”. Istilah seperti ini biasanya diukur” lewat penampilan fisik, antara lain seperti bentuk rumah, isi perabotan, penguasaan tanah, sumber mata pencaharian, dan yang paling jelas adalah mereka bebas dari pungutan pancen. Golongan sosial yang menjadi lapisan di atas mereka biasanya masih dikategorikan berturut-turut sebagai jelema biasa mayoritas warga dan jelema beunghar minoritas, orang kaya. Selengkapnya, lihat Soetarto, Endriatmo. 1999. Dialog Kritis Antara Golongan Elit dan Warga Desa Dalam Pembangunan Masyarakat Desa. Program Studi Sosiologi Pedesaan. PPS- IPB. 30 Wawancara dengan tokoh adat di lokasi penelitian diperoleh keterangan, meskipun kebiasaan penduduk melaksanakan hajatan secara jor-joran sudah mulai berkurang, tetapi belum sepenuhnya hilang dari wilayah Karawang dan sekitarnya. Hal ini selain terkait dengan tradisi yang sudah turun temurun, juga terkait dengan usaha untuk menunjukkan posisi keluarga di dalam masyarakat. Misalnya ketika ada keluarga yang menyelenggarakan hajatan dengan tanpa menanggap Jaipongan dengan harga yang mencapai belasan juta rupiah, maka keluarga tersebut akan dianggap kalah “kelas” oleh tetangga lain yang melaksanakan hajat secara besar-besaran. Salah satu indikator hajatan termasuk kategori besar-besaran adalah apabila dalam hajatan yang dimaksud selain enyelenggarakan hiburan dengan cara mendatangkan kelompok Jaipongan, Wayang Goleki, atau cukup organ tunggal, juga seringkali keluarga terpandang di desa menyelenggarakan pengajian dengan mendatangkan Ustadustadzah terkenal dari kota, yang tarifnya bisa jutaan. yaitu adanya kebiasaan sebagian penduduk penduduk yang melakukan selamatan-selamatan pesta perkawinan, sunatan dan lain-lain pada musim panen, serta masih terdapatnya kawin cerai waktu musim paceklik, terutama di kalangan lapisan bawah pedesaan. Berbagai kesulitan dalam memperoleh sumber kehidupan yang layak yang dihadapi penduduk pedesaan di Kabupaten Karawang dan Purwakarta yang dialami sejak lama, saat ini memperoleh alternatif jalan keluar yaitu menjadi tenaga kerja internasional di negara kawasan Asia Pasifik. Kesempatan yang terbuka lebar untuk menjadi pembantu rumahtangga PRT terbuka untuk perempuan berusia muda, baik yang masih berstatus gadis maupun sebagai ibu rumahtangga. Data yang tersedia pada kantor tenaga kerja dan transmigrasi Kemenakertrans Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta menunjukkan bahwa pada tahun 2007, terdapat 11.887 orang perempuan dari Kab.Karawang dan Purwakarta yang memilih bekerja sebagai PRT di luar negeri, terutama di Arab Saudi. Remitan yang berhasil migran perempuan dari kedua kabupaten sangat besar. Sebagai ilustrasi, jumlah dan nilai yang dikirim melalui Western Union Kantor Pos di kedua kabupaten pada tahun 2007 sebesar Rp. 3.997.826.727 untuk Kabupaten Purwakarta, sedangkan untuk Kabupaten Karawang angkanya lebih besar lagi yaitu Rp. 93.864.666,864. Tabel 4.1. di bawah menyajikan negara tujuan bekerja dan jumlah tenga kerja dari kedua kabupaten. Tabel. 4.1. Negara Tujuan Bekerja Migran Perempuan Asal Kab.Karawang dan Purwakarta Negara Tujuan Bekerja Jumlah orang Persentase Malaysia 366 3,11 Singapura 90 0,76 Brunei Darussalam 1 0,008 Hongkong 33 0,28 Taiwan 125 1,06 Saudi Arabia 10.912 92,77 UEA 90 0,76 Kuwait 58 0,49 Bahrain 51 0,43 Qatar 29 0,24 Yordan 7 0,05 Jumlah 11.762 100 Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2007. BPS Jawa Barat

4.2. Kondisi Sosio-Geografis dan Kependudukan Desa Panyingkiran - Ciherang