Gender dan Akses Perempuan Terhadap Lahan

nasional GNP atau statistik sosial ekonomi dan dapat dilakukan oleh gender laki-laki maupun perempuan dan dibayar dengan uang secara tunai atau natura. Peran masyarakat atau sosial adalah peran yang terkait dengan kegiatan jasa dan partisipasi politik. Peran masyarakat seringkali dilekatkan dan dilakukan oleh perempuan. Misalnya ikut membantu kegiatan Posyandu, aktif dalam kegiatan PKK, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, membantu menyiapkan konsumsi dalam kegiatan yang dilakukan atau momen tertentu. Peran politik biasanya peran yang terkait dengan status atau kekuasaan seseorang pada organisasi pada berabagai tingkatan mulai tingkat desa sampai pemerintahan pusat, dimana sebagian besar peran politik masih dilakukan dan didominasi laki-laki. 12 Diferensiasi peran dalam keluarga dan rumahtangga berdasarkan jenis kelamin dan alokasi ekonomi seringkali mengarah kepada adanya peranan yang lebih besar atau menyeluruh yang mengarah kepada perempuan dalam pekerjaan yang bersifat reproduksi, dan pekerjaan laki- laki dalam pekerjaan produktif yang langsung menghasilkan atau pekerjaan mencari nafkah Sajogyo, 1985. Pandangan tersebut saat ini sudah banyak berubah seiring dengan semakin banyaknya perempuan yang masuk kedalam pekerjaan produktif-publik, termasuk mereka yang memilih bekerja sebagai PRT di negara Arab yang meskipun masih termasuk sektor domestik, tetapi memiliki pengaruh terhadap pembagian peranan antara laki-laki dan perempuan pada aras keluarga dan rumahtangga.

2.3.3. Gender dan Akses Perempuan Terhadap Lahan

Mengenai bagaimana gender berperan dalam masyarakat, bisa ditelusuri dalam kajian peran perempuan pedesaan. Penelitian Boserup1970; Mintz, 1971; White, 1976; Cernea, 1970; Sajogyo, 1985 menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan yang juga mempunyai 12 Mengenai masih rendahnya partisipasi perempuan didalam peran politik di Indonesia, Hubeis 2010 mencatat secara detail bahwa keterlibatan perempuan dalam perpolitikan di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggota DPR RI periode 2004-2009, hanya terdapat 62 orang atau 11.3 persen perempuan dari 550 orang anggota DPR; 89 orang anggota MPR atau 12,97 persen dari 590 angota MPR; terdapat 27 orang atau 21,09 persen anggota DPA; 7 orang atau 14,89 persen anggota MA; 4 orang atau 12,12 persen menteri anggota cabinet RI; 1 orang gubernur dari 33 orang gubernurpropinsi; 10 orang bupatiwalikota, dan hanya terdapat 16 orang perempuan yang menjadi wakil bupati dan wakil walikota. Keterlibatan perempuan Indonesia dalam politik yang diukur berdasarkan Gender Empowerment Measurement GEM masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negaraAsean lainnya, yaitu 0.546 dengan peringkat ke-33 dari 71 negara yang diukur HDR 2004. Selain itu, HDI Indonesia 0,711 dan menempati peringkat ke-108 dari 177 negara. Indeks GDI, yang merupakan gambaran kesenjangan antara laki-laki dan perempuan adalah 0.704 yang menempati ranking ke-81 dari 140 negara yang diukur. Selisih indeks HDI dan GDI, menunjukkan adanya kesenjangan gender yang masih tinggi di Indonesia. peranan dalam pekerjaan yang memberikan nafkah dalam bidang pertanian, perdagangan kecil, kerajinan tangan bahkan di bidang industri kecil dan besar.Aspek yang paling penting dalam struktur keluarga adalah posisi anggota keluarga karena distribusi dan alokasi kekuasaan, kemudian sebagai aspek berikutnya yang juga penting adalah pembagian kerja dalam keluarga. Untuk mengerti sebaik-baiknya woman place dalam kebudayaan dan masyarakat tertentu yaitu dengan cara mempelajari hubungan antara kedua kelompok jenis kelamin - laki-laki – perempuan- berupa distribusi kekuasaan, dan konsepsional. Terdapat dua macam pola hubungan, pertama, hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat dikaji dalam distribusi kekuasaan dengan mengukur sampai berapa jauh masing-masing jenis kelamin menguasai sumber-sumber berhargaberupa tanah, tenaga kerja, bahan makanan, uang, tapi juga bisa pengetahuan dalam “ritual”, keterampilan, informasi, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Kedua, hubungan secara konsepsional antara laki-laki-perempuan atau sifat dari perbedaan jenis kelamin dapat dipelajari dengan menganalisa ada atau tidaknya diferensiasi dalam perilaku dalam ideologi. Studi tentang gender serta aksesnya terhadap lahan di Afrika dari Childreas dan Cornkiel 2009 menunjukkan bahwa penguasaan sumberdaya alam seperti lahan, air dan pohon-pohonan dipengaruhi oleh gender. Pemilikan dan penguasaan lahan, perempuan termarjinalkan, karena perempuan hanya memiliki akses yang sangat terbatas bahkan hampir-hampir tertutup, sehingga tidak memiliki kontrol terhadap lahan keluarganya. Marjinalisasi perempuan Indonesia terhadap lahan pertanian sangat terlihat setelah penerapan revolusi hijau, dimana perempuan semakin dijauhkan dari hak-hak dan akses terhadap layanan pertanian, termasuk penyuluhan, input produksi dan kredit White dan Wiradi, 2009. Dalam hal mendapatkan kredit, perempuan menderita ganda, yaitu ada diskriminasi langsung berdasarkan jenis kelamin, dan diskriminasi tidak langsung berdasarkan fakta bahwa perempuan cenderung tidak memiliki hak atas tanah keluarga yang didaftar atas nama mereka White dan Wiradi, 2009. Studi lain mengenai akses perempuan terhadap lahan pertanian dilakukan Stoler 1977 menunjukkan bahwa tipe tenaga kerja, pengaturan tenaga kerja, dan kesempatan pendapatan akan sangat bervariasi antara suatu rumahtangga kaya, rumahtangga miskin, dan rumahtangga tanpa tanah. Sementara itu, Boserup 1970, 13 Dove 1980 meneliti peran serta perempuan pada 13 Brigitte Holzner. 2000. Perempuan dalam Ekonomi Pedesaan dalam ”Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Ratna Saptari dan Brigitte Holzner. Jakarta: Grafiti Pers-Kalyanamitra. masyarakat ladang berpindah, dimana akses perempuan terhadap lahan dan proses produksi pertanian sangat tinggi, mulai dalam proses penanaman bibit, menyiangi, sampai memanen. Studi Savitri dan Fremerey 2008 tentang pergeseran peran dan akses perempuan petani Bolapapu di Sekitar Kawasan Taman Nasonal Lore-Lindu menunjukkan terjadi pergeseran pertanian dari subsistensi ke pertanian produksi komersial kakao pada masyarakat Bolapapumemarjinalkan tenaga kerja perempuan. Kontrol dan akses perempuan yang relatif dominan dalam pertanian padi yang memiliki “wajah” pengetahuan perempuan tergeser dengan masuknya tanaman komersial berupa kakao yang menyebabkan kontrol dan akses laki-laki begitu dominan. Dominasi dan akses laki-laki terlihat sejak menentukan penanaman, perekrutan tenaga kerja, pemupukan, sampai pemanenan, sedangkan perempuan hanya terlibat dalam pemanenan, pengeringan dan pemasaran. Penelitian Hartomo 2007 mengenai kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender memperkuat temuan sebelumnya bahwa akses dan kontrol perempuan terhadap usahatani masih rendah, dan menunjukkan laki-laki masih mendominasi akses dan kontrol terhadap lahan, komoditas yang diusahakan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian, modal, kredit, peralatan, penyemaian atau pembibitan, pemupukan, pola tanam, pengendalian hama dan penyakit. Perempuan lebih dominan dalam pengolahan hasil panen, pemasaran, dan hasil penjualan panen. Hal yang sama diungkapkan Sitepu 2007 bahwa pola relasi gender pada disain sistem pengelolan lahan kering berkelanjutan berbasis gender menunjukkan pola relasi gender berdimensi ekologi dan sosial umumnya didominasi laki-laki. Kesetaraan gender terjadi pada saat menikmati hasil panen dan penetapan harga hasil panen. Sistem pemilikan lahan di Kabupaten Karawang dan Purwakarta mengikuti apa yang umum terjadi di Jawa Barat, bahwa seseorang bisa memiliki lahan, baik berupa tanah darat maupun tanah sawah melalui dua cara, yaitu: 1 pewarisan dari orang tua; dan 2 pembelian. Dalam hal pewarisan, terdapat dua pola yang berbeda. Pola pertama adalah pewarisan dimana semua anak tidak dibedakan jenis kelaminnya, setiap anak mendapat bagian lahan yang sama dari orang tua. Pewarisan kedua adalah yang mengikuti hukum Islam, dimana anak laki-laki diberi hak waris dua pertiga lebih banyak dari anak perempuan. Pemilikan lahan diluar pewarisan dari kedua orang tua adalah melalui pembelian, yang tidak diatur berdasarkan jenis kelamin, tertapi mengikuti kepada hukum jual beli. Seorang perempuan atau laki-laki yang sudah dewasa dan mampu membeli lahan, maka mereka bisa membeli lahan tersebut dengan atas nama mereka sendiri. Kondisi ini banyak terjadi di Desa Panyingkiran dan Desa Ciherang sebagai desa yang memiliki perempuan yang bekerja menjadi PRT di luar negeri khususnya di Negara Arab Saudi. Perempuan migran baik yang berstatus belum kawin maupun sudah kawin banyak yang membeli tanah darat dan tanah sawah dengan atas nama sendiri. Keputusan tersebut didasarkan kepada berbagai pertimbangan rasional bahwa lahan yang dibeli seorang perempuan merupakan hasil jerih payah mereka bekerja yang tidak tercampur dengan uang dari pihak lain. Meskipun demikian, dalam praktek sehari-hari terkadang muncul kasus yang terkait dengan pembagian lahan yang melibatkan pihak lain, dalam hal ini laki-laki yang menjadi suami, ketika terjadi perceraian. 14 Tabel di bawah ini menggambarkan ringkasan mengenai akses perempuan pedesaan terhadap sumberdaya termasuk lahan pertanian. Tabel 2.2. Akses Perempuan Pedesaan Terhadap Sumberdaya. No. Peneliti dan Tahun Lokasi dan Bentuk Akses Perempuan 1. Childreas Cornkiel 2009 Perempuan di negara Gambia memiliki akses sangat terbatas, bahkann tertutup terhadap lahan. Lahan pertanian hanya diwariskan kepada anak laki-laki. Jika perempuan mampu membeli lahan, maka harus atas nama suami atau anak laki-laki 2. White Wiradi 2009 Revolusi hijau di Pulau Jawa telah memarjinalkan hak-hak perempuan terhadap berbagai layanan pertanian seperti penyuluhan, input produksi dan kredit. Padahal hasil beberapa studi menunjukkan bahwa dengan melibatkan perempuan dalam setiap program yang ditawarkan menunjukkan bahwa tingkat keberhasilannya lebih terlihat nyata. 3. Savitri Fremerey 2008 Masuknya pertanian komersial kakao menggantikan pertanian padi telah menggeser kontrol dan akses pertanian perempuan masyarakat Bolapapu. Pertanian komersial melalui perkebunan kakao,telah merubah pertanian menjadi sesuatu yang “berwajah laki-laki” 4. Hartomo 2007 Akses dan kontrol perempuan terhadap usahatani lahan kering di Jogjakarta masih rendah, laki-laki masih mendominasi dalam akses dan kontrol terhadap lahan, komoditas yang diusahakan, pendidikan, pelatihan, penyukluhan pertanian, modal, kredit, peralatan, penyemaian atau pembibitan, pemupukan, pola tanam, pengendalian hama dan penyakit. 5. Sitepu 2007 Relasi gender pada disain sistem pengelolan lahan kering berkelanjutan berbasis gender di Karanganyar Jawa Tengah 14 Kasus yang dimaksud antara lain dialami oleh salah seorang migran perempuan dari Desa Panyingkiran yang menjadi responden dalam penelitian ini, dimana ketika terjadi perceraian, suami dan pihak keluarganyamempermasalahkan tanah sawah yang dibeli migran perempuan dari hasilnya bekerja di Arab Saudi. Pihak laki-laki merasa berhak mendapat bagian sawah, karena sawah dibeli dari orangtua laki-laki dengan harga dibawah harga umum di pasaran. Dalam kasus yang lain, misalnya ketika migran perempuan yang belum menikah, mempercayakan pembelian lahan kepada orang tua mereka, dalam hal ini ayahnya. Lahan yang dibeli atas nama migran tersebut, dengan pertimbangan yang sangat jelas bahwa uang tersebut hasil jerih payah mereka dan pertimbangan lain untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi diantara anggota keluarga lain adik, kakak apabila pembelian lahan dengan mengatasnamakan orang tua. menunjukkan hasil tentang pola relasi gender berdimensi ekologi dan sosial umumnya didominasi laki-laki Kesetaraan gender terjadi pada saat menikmati hasil panen dan penetapan harga hasil panen 6. Stoller 1997 Terdapat keterkaitan antara jender dan kelas. Hal ini nampak dari perbedaan antara rumahtangga petani kaya dengan rumahtangga miskin dalam hal pengaturan tenaga kerja dan kesempatan pendapatan 7. Boserup 1970 dan Dove 1980 Keterlibatan tenaga kerja perempuan pada masyarakat dengan sistem pertanian ladang sangat tinggi. Perempuan terlibat sejak pengeringan tebangan, pembakaran, penanaman bibit, penyiangan, dan pemanenan. Sejalan dengan diberlakukannya pajak hasil hutan dan masuknya tanaman komersial, maka akses perempuan mulai tergeser Sumber : Diolah dari berbagai sumber 2.4.Migrasi Internasional: Dari Narasi Struktur Agraria ke Penguasaan Lahan Struktur agraria diartikan sebagai suatu tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah. 15 Lebih jelasnya, Wiradi 2009 menjelaskan bahwa hakikat struktur agraria menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Dalam struktur agraria terdapat dua konsep penting yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure diartikan sebagai suatu hak atas tanah atau penguasaan tanah dan menyangkut status hukum dari penguasaan tanah seperti; hak milik, gadai, bagi hasil, sewa menyewa, dan kedudukan buruh tani. Dengan demikian, land tenure menunjukkan pada pendekatan yuridis. Sedangkan land tenancy biasanya menunjuk kepada pendekatan ekonomis, telaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah seperti pembagian bagi hasil antara pemilik dengan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi dan besarnya nilai sewa. Permasalahan yang muncul adalah bahwa luas tanah tidak pernah bertambahzero sums, sementara kebutuhan terhadap tanah terus meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk yang memerlukan berbagai penambahan fasilitas terbangun. Alasanmengenai perlunya pengelolaan tanah, dikemukakan Setiawan, 2002 bahwa paling tidak terdapat empat alasan mengapa persoalan tanah menjadi fundamental dalam pengelolaan lingkungan. Pertama, tanah merupakan media lingkungan utama yang tak bergerak sehingga nilai keberadaannya tak tergantikan. Kedua, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengandalkan tanah sebagai aset utama produksi, 15 Gunawan Wiradi 2009:109 menyebutkan bahwa secara etimologis land tenancy adalah saudara kembar dari land tenure, sebab kata tenant mempunyai arti; orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. baik di sektor pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perikanan. Ketiga, sebagian besar masyarakat Indonesia belum mempunyai skill yang cukup untuk bekerja di sektor-sektor sekunder dan tersier yang relatif tidak tergantung pada tanah sebagai faktor utama produksi. Keempat, perbandingan antara luas tanah dan jumlah manusia di Indonesia yang semakin mengecil yang mengakibatkan semakin krusialnya persoalan tanah. Keempat alasan ini memberi dasar bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan akan ditentukan oleh keberhasilan pengelolaan pertanahan. Fokus dari analisis sosiologi agraria adalah struktur agraria dan dinamikanya, yaitu hubungan ”sosio-agraria” antargolongan penguasaan tanah dan perubahan-perubahan dalam hubungan tersebut, baik yang direncanakan atau tidak. Realita yang muncul sebagai akibat dari transformasi hubungan sosial agraria akan terlihat dengan adanya gejala penajaman diferensiasi kelas berdasar akses atau penguasaan terhadap sumberdaya agraria. Kondisi ini sudah lama terjadi pada masyarakat pedesaan di Pulau Jawa termasuk di pedesaan Jawa Barat. Ketimpangan penguasaan tanah di Pulau Jawa umumnya, dan di Jawa Barat terlihat dari kajian Husken dan White 1989 yang menjelaskan bahwa ketimpangan penguasaan lahan di pedesaan telah terjadi jauh sebelum adanya penguasa asing masuk ke Indonesia. Penguasaan luas lahan garapan di Jawa dan Madura menurut Sensus Pertanian Tahun 1963, 1973, dan 1983 memperlihatkan pengurangan luas tanah garapan. 16 Soetarto 2004 menjelaskan bahwa permasalahan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa bersumber dari struktur agraria yang feodalistis-kapitalistis sebagai akibat dari kebijakan agraris sejak masa kolonial. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya diferensiasi sosial dan proletarisasi 17 . Bentuk diferensiasi tersebut terlihat antara lain dalam penggolongan petani Jawa ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1 kelompok besar petani tunakisma; 16 Sensus Pertanian tahun 1963 jumlah petani 7,95 juta, rata-rata penguasaan tanah 0,71 ha. Tahun 1973 terdapat petani 8.27 juta dengan rata-rata penguasaan tanah 0,60 ha, dan pada tahun 1983 terdapat 10,27 juta petani dengan rata-rata penguasaan tanah hanya 0.30 ha. Sedangkan data Sensus Pertanian tahun 1993 menunjukkan angka ketimpangan yang cukup tajam, dimana jumlah penduduk yang bermata pencaharian di bidang pertanian 15,4 juta jiwa, yang memilik tanah pertanian kurang dari 0,5 ha sebanyak 6,5 juta jiwa, yang memiliki tanah sangat sempit, sehingga harus mencari makan di luar pertanian sebanyak 1,6 juta jiwa, dan buruh tani penuh 2,6 juta jiwa Faryadi, 1997. 17 Lebih lanjut Soetarto menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan diferensiasi sosial adalah proses penggolongan di dalam masyarakat berdasarkan penguasaan terhadap alat-alat produksi dan modal, khusunya tanah. Sedangkan proletarisasi adalah proses pemisahan petani dari alat produksinya, yaitu tanah, menuju terbentuknya buruh tani. Kondisi ini dipicu oleh berbagai program pertanian masa colonial Belanda di Indonesia yang antara lain menerapkan tanam paksa, agroindustri perkebunan besar milik swasta, pemerintah colonial, dan modernisasi pertanian yang secara tidak terelakkan telah menghasilkan proses penggolongan dan pemisahan di dalam masyarakat dalam skala massif. 2 kelompok mayoritas petani sikep, yakni mereka yang memiliki hak atas tanah dengan kewajiban membayar upeti yang besar jumlahnya; dan 3 kelas pamong desa yang memiliki tanah pribadi dan tanah bengkok sebagai upah mengatur pemerintahan. Di Pulau Jawa, hampir 60 persen penduduk petani tidak memiliki lahan pertanian, sedangkan rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan kering hanya 0,62 ha pada Sensus Pertanian tahun 1973 dan mengalami penurunan yaitu 0,61 ha menurut Sensus Pertanian tahun 1983. Petani dengan pemilikan tanah pertanian kurang dari 0,5 ha oleh Bank Dunia dikelompokan sebagai “small farmers”, yang hanya bermodal lahan pertanian yang sempit bahkan banyak petani yang dikategorikan sebagai petani gurem, yaitu petani yang tidak memiliki tanah pertanian sama sekali landless. Selain sempitnya luas usaha tani, ciri pokok permasalahan pertanian di Jawa, adalah tingginya angka tunakisma 18 yang merupakan warisan sejarah panjang Bangsa Indonesia Suhendar, 1997. Kondisi ketimpangan penguasaan lahan pertanian, kurangnya lapangan pekerjaan di pedesaan dan kemiskinan yang banyak dialami rumahtangga petani di pedesaan menimbulkan respon yang berbeda-beda pada setiap rumahtangga. Upaya untuk bisa keluar dari berbagai kesulitan penghidupan di pedesaan tersebut oleh Ellis 2000, Owusu 2007 disebut sebagai ”survival strategy” dan ”coping strategy”sebagai suatu tindakan ekonomi yang dilakukan sebuah rumahtanggauntuk bisa terus melanjutkan kehidupan. Salah satu strategi yang banyak dilakukan anggota keluarga miskin di pedesaan adalah melakukan pilihan terakhir yaitu dengan cara mengirim salah seorang anggota keluarga, biasanya anak perempuan atau yang sudah berstatus sebagai istriibu rumahtangga untuk menjadi tenaga kerja internasional ke luar negeri. Pemenuhan berbagai kebutuhan ekonomi dasar pada awalnya menjadi alasan migran perempuan untuk bermigrasi, melalui remitan yang dikirimkan kepada keluarga, mereka bisa mencukupi – meskipun hanya dalam jangka pendek – karena dalam jangka panjang, mereka banyak yang memikirkan pengelolaan remitan kedalam bentuk yang lebih produktif, antara lain dengan cara membeli lahan, berupa tanah darat dan sawah. 18 Walaupun tidak terdapat data lengkap mengenai angka ketunakismaan, data mikro dari laporan Collier 1993 mengemukakan angka tunakisma di beberapa desa di Jawa yang mengalami peningkatan pesat. Sebagai contoh, di Desa Wargabinangun- Jawa Barat, angka tunakisma yang semula 73 persen pada tahun 1981, meningkat menjadi 82 persen pada tahun 1993. Kemudian di desa Sukaambit, pada tahun 1981 angka tunakisma hanya 23 persen, tetapi pada tahun 1993 meningkat menjadi 66 persen.

2.5. Penelusuran Terhadap Penelitian Sejenis dan Posisi Peneliti