Gender Sebagai Konstruksi Sosial

Massey 1990b; 1993 Cumulative causation Migrasi internasional merupakan tindakan individu untuk mengurangi resiko dalam keluarga Migrasi internasioanl memiliki penyebab kumulatif berupa enam faktor sosio-ekonomi yaitu; distribusi pendapatan, distribusi lahan, organisasi pertanian, kebudayaan, distribusi regional modal manusia, dan pelabelan sosial Anggota keluarga yang biasanya anak perempuan, atau yang berstatus sebagai istri “dikirim” untuk bekerja keluar negeri sebagai bentuk “survival strategy dan copyng strategy” Migran perempuan diharapkan mampu memberbaiki status sosial ekonomi keluarga antara lain berupa pemilikan rumah, lahan pertanian dan modal berusaha Sumber: Diolah dari berbagai sumber

2.3. Gender, Pembagian Peran Dalam Rumahtangga dan Akses Terhadap Lahan

2.3.1. Gender Sebagai Konstruksi Sosial

Mengacu kepada Instruksi Presiden No 92000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, pengertian gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.Gender adalah relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil pembelajaran sosial budaya yang membedakan peran, fungsi dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Pembedaan peran, fungsi dan tanggungjawab yang berbasis pada relasi gender seperti ini dapat mengalami perubahan dan berbeda antar-wilayah atau antar- daerah, antar-negara, antar-suku bangsa dan antar-bangsa yang dapat dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, ekonomi, politik, agama dan negara Hubeis, 2008. Mengacu kepada pengertian gender tersebut, tujuan yang ingin dicapai adalah kesetaraan gender adalah terdapat relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan berupa kondisi untuk memperoleh kesempatan dan hak- haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamana nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Mosse, 1996; Djohani, 1996 menjelaskan bahwa secara sederhana, gender dapat diartikan sebagai pembagian peran, kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan karakteristik perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Gender dibedakan dengan jenis kelamin Mosse, 1996, jika jenis kelamin lebih merujuk kepada perbedaan biologis antara laki-lakidengan perempuan, maka gender mengarah kepada seperangkat perilaku khusus yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumahtangga, seksualitas, dan tanggung jawab keluarga. Dalam hal ini, gender bukan hanya berbicara mengenai perempuan saja, namun juga membicarakan tentang laki-laki dalam kaitannya dengasn partnership dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai suatu tujuan Puspitawati, 2009. Pemahaman keliru mengenai gender dimulai dari persepsi yang salah mengenai sifat dan peran laki-laki dan perempuan. Masyarakat terlanjur memberi stereotipe bahwa laki-laki adalah makhluk kuat, tegas, rasional, pemimpin, dan maskulin. Sedangkan perempuan dipersepsikan sebagai makhluk yang lemah lembut, emosional, dan feminin. Kekeliruan ini bermula dari pemaknaan terhadap gender pada masyarakat yang masih di dominasi nilai budaya patriarkhi 8 . Secara teoritis, terdapat dua ideologi mengenai pengarus utamaan gender, yaitu woman in development WID dan gender and development GAD.Ideologi WID lebih meyakini bahwa permasalahan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan merupakan masalah yang bersumber dari perempuan yang selama ini termarginalkan, dengan demikian pemecahannya antara lain melalui penciptaan program yang melibatkan perempuan dalam pembangunan seperti meningkatkan produktivitas dan pendapatan perempuan melalui penciptaan lapangan kerja. Salah seorang pendukung ideologi pertama adalah Sajogyo 1985, menekankan kepada pentingnya mengikutsertakan perempuan dalam kegiatan produksi agar bisa mendukung pembangunan yang dilaksanakan. Dengan pendekatan WID, perempuan dilibatkan dalam kegiatan di luar rumah sebagai tenaga kerja produksi, tetapi perannya dalam rumahtangga tidak diusik. Menurut ideologi GAD, sumber permasalahan termarjinalkannya perempuan terletak pada ideologi pembangunan yang tidak adil dan menyebabkan ketidaksejajaran hubungan kekuasaan antara kelompok kaya-miskin, pusat-daerah, kota-desa, dan lelaki-perempuan. Kondisi ini menyebabkan berlangsungnya pembangunan yang tidak adil dan tidak berperan 8 Patriarkhi bisa dimaknai sebagai sebuah sistem sosial di mana dalam tata kekeluargaan sang ayah sebagai laki-laki menguasai semua anggota keluarganya, semua harta milik dan sumber-sumber ekonomi, dan membuat semua keputusan penting. Dewasa ini sistem sosial yang patriarkhis mengalami perkembangan dalam hal lingkup institusi sosialnya, di antaranya lembaga perkawinan, institusi ketenagakerjaan, dan lain-lain. Pengertiannya pun berkembang menjadi semakin meluas dari „hukum Ayah‟ ke hukum suami, hukum bos laki-laki, dan hukum laki-laki secara umum pada hampir semua institusi sosial, politik, dan ekonomi . Penjelasan lebih jelas Baca Indrasari Tjandraningsih. “Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan “Jurnal Analisis Sosial, 1996. Bandung: Yayasan AKATIGA-Pusat Analisis Sosial. sertanya perempuan secara maksimal dan hanya menjadi subordinat dari berbagai program pembangunan yang sedang berlangsung. Sebagai sebuah konstruksi sosial, gender terkait erat dan selalu berbeda pada setiap masyarakat, dan peran gender dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis. Pada aras keluarga, peran gender antara lain akan terlihat dalam hal pembagian kerja antara suami- istri, peran anak laki- laki dengan anak perempuan, “siapa memutuskan apa”,“siapa melayani siapa”, dan “siapa melindungi siapa”, serta akses terhadap sumberdaya termasuk lahan dan mengatur bagaimana cara-cara berhubungan dengan pihak luar. Dengan demikian, peran yang harus dilakukan seorang perempuan dari kelas sosial atas akan berbeda dengan yang berasal dari kelas bawah, perempuan yang berada di perkotaan dengan yang berada di pedesaan akan memiliki peran gender yang berbeda, terlebih ketika perempuan kurang memiliki akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang akan mempengaruhi kiprahnya pada aras keluarga, rumahtangga dan komunitas sekitarnya. Perempuan dalam rumahtangga di pedesaan, terutama yang berasal dari keluarga miskin, harus berperan ganda yaitu selain sebagai pengurus rumahtangga juga sebagai pencari nafkah keluarga. Namun karena mereka memiliki pendidikan dan keterampilan rendah sehingga mereka perlu ditambah pendidikan dan keterampilannya agar dapat mengakses sumber mata pencaharian lain yang memiliki upah lebih baik demi kesejahteraan keluarga. Perempuan juga mempunyai peran yang setara dengan laki-laki, dalam hal ini sebagai suami-istri dalam setiap pengambilan keputusan dalam rumahtangga Wahyuni dan Kolopaking, 2010. Sajogyo 1985 menjelaskan bahwa peran perempuan dalam kegiatan produksi atau sumbangan terhadap pembangunan masih dianggap remeh. Masih terdapat ketidakadilan terhadap perempuan, apapun jenis pendidikan, keterampilan dan pekerjaan untuk perempuan harus disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat yang masih mengutamakan peran ganda perempuan yaitu sebagai istri, ibu, dan pengurus rumahtangga, selain sebagi pencari nafkah. Proses perubahan moda mencari nafkah dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa juga terus berlangsung. Menurunnya luas lahan pertanian untuk setiap keluarga petani juga terus meningkat yang mendorong pekerja dari desa bermigrasi ke kota atau ke luar negeri untuk mendapat pekerjaan, termasuk di antara mereka adalah para perempuan. Para perempuan yang terdorong ke luar desa untuk bekerja di sektor non-pertanian belum sempat dibekali dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga mereka hanya mampu masuk ke sektor-sektor pekerjaan dengan upah rendah, berat, dan berbahaya. Oleh karena pandangan tradisional masyarakat yang masih memandang perempuan bukan pekerja utama, membuat para pekerja perempuan itu berada dalam posisi termarjinalkan. Meskipun lokasi bekerja nafkah dan mengurus rumahtangga terkadang harus dipisahkan oleh ruang yang jauh, tetapi perempuan tetap dianggap harus bertanggungjawab terhadap urusan rumahtangga. Peran ganda perempuan seringkali masih dibebankan semata hanya kepada perempuan itu sendiri.

2.3.2. Pembagian Peran Dalam Rumahtangga