Pembagian Tenaga Kerja Berdasar Gender

139

6.1. Pembagian Tenaga Kerja Berdasar Gender

Konsep pemisahan tenaga kerja gender division of labor digunakan untuk menjelaskan alokasi aktivitas antara perempuan dan laki-laki dalam ekonomi pertanian. Pemisahan ini tidak secara alamiah disebabkan adanya perbedaan biologis diantara keduanya, namun lebih mengacu pada adat istiadat, kebiasaan sosial, norma, dan kepercayaan yang merupakan ruang lingkup perilaku individual Ellis, 1988. Oleh karena itu, dengan anggapan bahwa pembedaan tenaga kerja perempuan dan laki-laki cenderung ditetapkan secara sosial bukan biologis, konsep gender digunakan sebagai rujukan makna sosial untuk mengenali aturan yang berlaku dalam berbagai karakteristik masyarakat.

6.1.1. Pembagian Kerja dalam Usahatani Keluarga

Seperti juga di daerah lain, dalam rumahtangga pertanian di Kabupaten Konawe Selatan, melakukan pekerjaan di dalam usahatani keluarga merupakan aktivitas penting yang dilakukan petani dan keluarganya, baik itu dalam usahatani pangan padi, jagung, sayuran, perkebunan maupun perikanan darat dan laut. Suami dan isteri yang menjadi fokus dalam penelitian ini, melakukan pekerjaan- pekerjaan dalam usahatani dengan aktivitas yang relatif berbeda. FAO Undated menjelaskan bahwa di pertanian, perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang bervariasi, baik antar wilayah maupun negara. Pada beberapa kasus, perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang saling melengkapi, berbagi tugas dalam produksi hasil panen, peningkatan peternakan, perikanan, dan pemanfaatan hutan. Pada kasus lain, perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berbeda dalam pemanenan dan peternakan, perikanan, dan kehutanan. Walaupun pemanenan langsung dalam skala besar telah diperkenalkan namun 140 keterlibatan laki-laki lebih diutamakan, khususnya dalam pertanian dengan mekanisasi tinggi. Tanggung jawab perempuan meningkat terhadap produksi pangan dalam skala rumahtangga dan pemanenan langsung dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi rendah. Hasil wawancara terhadap responden di lokasi penelitian menunjukkan bahwa umumnya laki-laki melakukan pekerjaan yang relatif banyak membutuhkan curahan tenaga yang besar, sebaliknya perempuan melakukan pekerjaan yang relatif sedikit membutuhkan curahan fisik. Misalnya dalam usahatani pangan, umumnya laki-laki melakukan pekerjaan mengolah lahan, memperbaiki pematang, memupuk dan memberantas hama penyakit, sedangkan perempuan lebih banyak melakukan kegiatan penanaman padi, penyiangan gulma pada usahatani pangan, dan pemanenan. Pada usahatani kebun, laki-laki merupakan pihak yang umumnya melakukan pembuatan lubang untuk penanaman bibit tanaman, penyiapan lahan, membuat ajir untuk tanaman merica, melakukan pemangkasan dahan pohon kakao, dan pembersihan gulma. Sedangkan perempuan lebih banyak melakukan pemanenan dan penanganan pasca panen, hingga pemasaran hasil. Dalam rumahtangga nelayan, laki-laki umumnya melakukan kegiatan penyiapan peralatan tangkap ikan, penangkapan dan atau pemancingan ikan, baik di laut maupun di danau, lalu juga melakukan pemasaran hasil yang diperoleh. Perempuan umumnya menyiapkan bekal makanan untuk suami, juga melakukan pemasaran terhadap hasil ikan yang diperoleh, dan penanganan pasca panen. Hasil di atas secara umum menunjukkan bahwa suami merupakan pelaku utama dalam melakukan aktivitas usahatani keluarga. Hasil ini sesuai dengan 141 temuan Sitepu 2007 dan Hendratno 2006 bahwa kegiatan usahatani didominasi laki-laki. Demikian juga Mangkuprawira 1985 berpendapat bahwa dilihat dari aspek budaya, peran untuk mencari nafkah dalam rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh suami, sedangkan pekerjaan rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh perempuan isteri. Todaro 1998 mengemukakan perempuan memegang peran penting dalam sektor produksi pertanian disamping fungsi lainnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sering terabaikan. Keragaman tugas perempuan menyulitkan dalam perhitungan porsi sumbangan mereka dalam produksi pertanian, apalagi untuk menaksir nilai ekonominya. Terlebih karena mereka tidak menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. Untuk melihat lebih jauh mengenai peran perempuan dalam aktivitas di rumahtangga, pada bagian di bawah ini akan disajikan analisis terkait alokasi waktu gender perempuan dan laki-laki dalam melakukan pekerjaan rumahtangga.

6.1.2. Pembagian Kerja dalam Rumahtangga

Selain melakukan pekerjaan dalam usahatani keluarga, perempuan dan laki-laki juga melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduktif di dalam rumahtangga, demi keberlangsungan kehidupan keluarga. Meskipun pekerjaan rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh perempuan isteri, namun suami juga terlibat dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, meski dengan alokasi waktu yang lebih sedikit. Seperti juga di daerah lain, nilai-nilai budaya yang berlaku di daerah ini memang memberi tanggung jawab yang besar kepada isteri dalam penyelesaian pekerjaan-pekerjaan reproduksi dalam rumahtangga. Sedangkan suami hanyalah membantu sekedarnya saja. Hasil penelitian Ariyanto 2004 menguatkan hal ini, yaitu bahwa perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan 142 reproduksi dibandingkan laki-laki. Bahkan Setyawati 2008 menegaskan bahwa laki-laki hanya melakukan aktivitas produksi dan sosial kemasyarakatan. Terkait hal ini, Maume 2006 menyatakan bahwa kewajiban terhadap keluarga lebih dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme. Hasil di atas bertentangan dengan temuan Lewin-Epstein dan Stier 2006, dimana perempuan dan laki-laki Israel mencurahkan waktu yang lebih sedikit dalam pekerjaan rumahtangga, sedangkan pekerjaan rumahtangga di Jerman lebih terpisah, mirip di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kedua negara berbeda dalam karakteristik demografi. Hasil studi Binswanger dan Rosenzweig 1981 menyimpulkan bahwa pola-pola yang ada di berbagai negara dengan corak sosial budaya yang berbeda, tidak mudah dijelaskan, baik dengan pembagian tenaga kerja division of labor, ataupun dengan perbedaan produktivitas pasar. Temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan responden dalam rumahtangga antara lain adalah mencuci pakaian, memasak, mengurus anak, menyiapkan bekal untuk ke kebun, mengambil air, membersihkan pekarangan, mencari sayur ke kebun, ke warung, dan menyetrika. Dari wawancara dengan responden diketahui bahwa suami juga melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut meski dengan porsi waktu yang jauh lebih sedikit, kecuali mencari sayur ke kebun. Memasak, mengurus anak, mencuci, dan membersihkan pekarangan merupakan kegiatan utama yang dilakukan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, disamping pekerjaan- pekerjaan domestik lainnya. Disini nampak besarnya peran perempuan dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, terkait dengan penyiapan pangan yang akan dikonsumsi 143 seluruh anggota rumahtangga. Mulai dari mencari bahan pangan di kebun, menyiapkannya, dan menghidangkan makanan. Keseluruhan proses tersebut sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Dengan alokasi waktu dan tenaganya, perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, karena secara tradisional perempuan memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan pangan seluruh anggota rumahtangga. Peran tersebut sesuai dengan pendapat Todaro 1998 bahwa peran penting perempuan lainnya adalah dalam penyediaan makanan untuk keluarga. Meskipun terkesan sederhana, banyak waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk mencari membeli, memasak, serta menghidangkan makanan. Oleh karena itu pemenuhan gizi keluarga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan juga ditopang oleh penghasilan yang diperolehnya. Ini sesuai dengan FAO Undated bahwa peran perempuan lainnya adalah dalam pengolahan pangan yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan melalui penurunan kehilangan pangan, penganekaragaman diet, dan mensuplai vitamin penting bagi tubuh. Perempuan juga bertanggung jawab terhadap waktu konsumsi, penggilingan, pengasapan ikan dan daging, mengolah, dan memelihara buah dan sayur yang dihasilkan dari pekarangan rumah, bertanggung jawab secara universal dalam penyiapan makanan keluarga, dan menjamin kualitas gizi seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagai penerima gaji, perempuan bertanggung jawab dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Jika tidak sebagai penghasil, maka sebagai penerima penghasilan, perempuan tetap berkewajiban membeli pangan. Pada perempuan desa dan kota, proporsi terbesar dari upah 144 mereka digunakan untuk membeli makanan bagi anggota keluarga. Ketika perempuan mempunyai kontrol terhadap kelebihan penghasilan, maka mereka dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan keluarga, khususnya pada perbaikan kualitas gizi anggota keluarga FAO, Undated. Perempuan merupakan penghasil pendapatan income earners, baik yang diperoleh dari hasil usahatani maupun non usahatani. Perempuan mempunyai tanggung jawab utama dalam pembelian makanan, kemampuan mereka dalam mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan pangan. Perempuan memegang peranan kritis sebagai penyedia makanan, yaitu dalam memilih jenis makanan yang tersedia di pasar atau yang dihasilkan dari kebun, mengalokasikan jumlah makanan untuk anggota keluarga, mempersiapkan makanan, dan membuat variasi pada setiap makanan Horenstein, 1989. Dengan pembahasan yang dilakukan di atas dapat dikatakan bahwa peran perempuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga, nampaknya sepele dan tidak bernilai ekonomis, namun ternyata sangatlah menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani. Dengan ditunjang oleh penghasilan yang diperolehnya sendiri dan dari suami, serta kemampuan mengelola pendapatan tersebut, dibarengi dengan curahan fikiran dan tenaga dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, maka kemungkinan untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga akan lebih besar. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa peran perempuan tersebut sangat menentukan kualitas kehidupan anak dan anggota keluarga secara keseluruhan. Peran yang dilakukan saat ini akan memberi dampak pada kehidupan seluruh anggota keluarga saat ini dan dimasa yang akan datang. 145

6.1.3. Pembagian Kerja di Luar Usahatani Keluarga

Karena kebutuhan keluarga yang meningkat, sementara pendapatan dari usahatani keluarga tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh keperluan dalam rumahtangga, mendorong perempuan dan laki-laki untuk bekerja lebih giat Suprihatin, 1986. Karena kesempatan kerja di sektor pertanian yang sangat terbatas di perdesaan, sehingga perempuan hanya bisa menjadi buruh tanam atau panen di usahatani tetangga. Kesempatan kerja ini menjadi semakin langka, karena masa tanam dan panen paling tidak hanya dapat dilakukan dua kali dalam setahun, yaitu sesuai dengan musim tanam untuk tanaman pangan. Laki-laki nampaknya mempunyai kesempatan kerja yang lebih beragam, karena dapat memperoleh upah dari pekerjaan-pekerjaan, seperti buruh cangkul, buruh nelayan, memperbaiki pematang, dan buruh panjat kelapa. Karena pertimbangan fisik, maka suami tidak hanya dapat bekerja di usahatani pangan, namun juga di perkebunan atau menjadi buruh nelayan, dimana pekerjaan- pekerjaan ini relatif lebih sering dilakukan.

6.1.4. Pembagian Kerja di Luar Pertanian

Karena dorongan untuk memperoleh pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga dan didorong oleh kurangnya kesempatan kerja dan atau berusaha di sektor pertanian, maka perempuan dan laki-laki beru- paya mencarinya di luar sektor pertanian. Untuk itu, perempuan menjadi pedagang, baik di rumah maupun di pasar menjual sayur dan sembako, menjadi guru, tukang pijat, guru mengaji, bahkan ada yang ikut mendulang emas. Di sisi lain, responden laki-laki umumnya menjadi tukang ojek, membuat atap, buruh bangunan, guru mengaji, pedagang, mendulang emas, Satpam, dan tukang pijit. 146 Pekerjaan-pekerjaan di luar pertanian ini umumnya merupakan pekerjaan- pekerjaan yang tidak melibatkan aspek upah, tetapi lebih merupakan usaha mandiri yang dikelola responden dengan keterbatasan modal dan pengetahuan. Dengan demikian, hasil yang diperoleh juga sangat ditentukan oleh besar- kecilnya modal yang ditanamkan dan kemampuan manajerial dari responden. Pekerjaan-pekerjaan upahan seperti menjadi Satpam dan guru mengaji sangat jarang dan memerlukan persyaratan yang umumnya tidak dimiliki responden.

6.2. Alokasi Waktu Berdasar Gender