107
5.1. Karakteristik Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara
Dilihat dari indikator ekonomimakro, pembangunan di Sulawesi Tenggara menunjukkan pertumbuhan yang positif, dimana nilai PDRB daerah ini dari tahun
2002-2006 menunjukkan peningkatan sebesar rata-rata 7.26 persen per tahun.
PDRB per kapita juga menunjukkan kenaikan, dimana pada tahun 2004 mencapai Rp 5 340 427.95 dan pada tahun 2005 mencapai angka 6 627 398.90 atau naik
24.10 persen BPS Sultra, 2007a. Pertumbuhan PDRB positif tidak bermakna banyak bila di tingkat mikro masyarakat banyak yang tidak memenuhi kebutuhan
yang paling mendasar sekalipun. Nainggolan 2008 menyebutkan bahwa aspek ketersediaan pangan di tingkat makro saja tidak cukup, yang paling penting adalah
pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat mikro untuk setiap anggota rumahtangga untuk dapat hidup sehat dan aktif.
Dalam pemenuhan pangan masyarakat Sultra, khususnya beras, sebagian besar masih didatangkan dari luar daerah, terutama dari Sulawesi Selatan. Daerah
ini belum berswasembada padi beras. Selain tanaman pangan, tanaman lain yang umumnya diusahakan oleh para petani di daerah ini merupakan komoditas
perkebunan, seperti kakao, jambu mete, dan lada. Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan daerah ‘net impor’ untuk beras. Meskipun terdapat sumber makanan
lain selain beras yang umumnya dihasilkan dan dikonsumsi oleh masyarakat di daerah ini, seperti ubi, jagung, dan sagu, namun permintaan yang semakin
meningkat akan komoditas beras, menuntut kesiapan berbagai pihak terkait dalam pengadaannya. Terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat dari
mengkonsumsi pangan lokal beralih ke beras, akibat kebijakan pemerintah selama ini yang terlalu bias ke komoditas beras, menambah beratnya beban pemerintah
108 untuk mampu menyediakan beras yang cukup bagi seluruh warganya. Bila
pemerintah tidak mampu mengambil langkah-langkah konkrit di lapangan, akan membawa masyarakat di daerah ini pada kondisi rawan pangan. Sesuatu yang
tentu saja sangat tidak diharapkan terjadi. Kerawanan pangan merupakan masalah multi-dimensional dan secara
umum dapat diartikan sebagai kondisi suatu masyarakat atau rumahtangga di suatu daerahwilayah yang tingkat ketersediaan pangannya tidak cukup
untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat. Kondisi tersebut dapat terjadi pada daerahwilayah atau
rumahtangga yang terganggu aksesnya terhadap pangan baik dilihat dari aspek produksi, aspek distribusi maupun aspek konsumsi. Kejadian kerawanan
pangan dapat bersifat kronis maupun sementara transien diupayakan agar dapat dideteksi sedini mungkin sehingga dapat diketahui faktor penyebab
terjadinya kerawanan pangan tersebut dan selanjutnya dapat ditetapkan langkah-langkah penanganannya Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2007. Kerawanan pangan dapat terjadi pada individu dimana sejak janin
mengalami kurang gizi dapat berupa bayi yang lahir dengan berat badan kurang, anak dan orang dewasa. Jadi kerawanan pangan merupakan
manifestasi dan kombinasi dimensi atau faktor-faktor ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan penghasilan, pemanfaatan atau penyerapan pangan
serta kerentanan pangan. Interaksi dari keempat dimensi atau faktor-faktor tersebut pada akhirnya menentukan apakah suatu daerahwilayah atau
individu tersebut rawan pangan atau tidak.
109
5. 1. 1. Situasi K erawanan Pangan
Salah satu kebutuhan manusia yang sangat asasi adalah pemenuhan pangan. Pada saat ini, seperti juga banyak dialami oleh negara-negara di dunia,
Indonesia masih berkutat pada permasalahan kebutuhan pokok yang masih belum terpenuhi secara adil, merata dan cukup bagi seluruh masyarakat, perempuan dan
laki-laki, serta anak-anak. Terlebih dengan semakin meningkatnya harga BBM dunia, yang diikuti dengan semakin mahalnya harga pangan disamping barang
kebutuhan masyarakat lainnya, fenomena kekurangan pangan dan kelaparan telah menjadi fakta nyata. Hal ini akan semakin mengancam ketahanan pangan
nasional. Ini sesuai dengan kekhawatiran Rosegrant dan Ringler 2000 bahwa krisis ekonomi pada tahun 1997 akan mempunyai efek yang sangat besar terhadap
ketahanan pangan negara-negara di Asia. Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat krusial, Hardinsyah 1999
dalam Saliem 2002 menegaskan bahwa krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Ini terjadi di beberapa negara berkembang.
Meskipun belum seperti itu, tetapi di Indonesia masalah panganpun khususnya beras telah menjadi komoditas politik yang dapat mempengaruhi pamor penguasa
yang sedang berkuasa. Menurut Nainggolan
1
1
Harian Suara Pembaruan 2007
2007, masalah kerawanan pangan, kemiskinan dan kurang gizi umumnya terkosentrasi di perdesaan. Sekitar 75 persen penduduk
miskin di dunia berada di perdesaan yang tidak memiliki akses terhadap sumber- daya produktif seperti lahan, jalan, air dan listrik. Jadi peluang pengembangan
kapasitas individu dan kolektif sangat terbatas. Ini berarti bahwa penurunan
110 angka kekurangan pangan tidak mungkin terjadi tanpa perhatian khusus terhadap
pembangunan pertanian dan perdesaan. Pengalaman menunjukkan bahwa pertanian merupakan sektor kunci mencapai kemajuan ekonomi dan penurunan
prevalensi kurang gizi. Investasi di sektor pertanian dan pedesaaan dalam arti luas merupakan syarat utama untuk percepatan pengurangan rawan pangan. Sektor
pertanian merupakan mesin pertumbuhan bagi ekonomi pedesaaan dan pening- katan produktivitas akan meningkatkan pasokan pangan dengan harga terjangkau,
meningkatkan pendapatan petani dan memicu ekonomi lokal secara keseluruhan. Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara 2007 telah
melakukan pemetaan kerawanan pangan terhadap delapan kabupaten di Sulawesi Tenggara. Dari analisis tersebut, terdapat daerah yang masuk kategori tahan
pangan, cukup tahan pangan, dan agak rawan pangan. Berdasarkan indeks komposit kerawanan pangan, maka penggolongan tingkat kerawanan untuk
delapan 8 kabupaten di Sulawesi Tenggara disajikan dalam tabel berikut : Tabel 3. Kategori Tingkat Kerawanan Pangan Kabupaten di Sulawesi
Tenggara Tahun 2007
Kabupaten Indeks Persen
Kategori Buton
Muna Konawe
Kolaka Kolaka Utara
Konawe Selatan Bombana
Wakatobi 0.26
0.52 0.37
0.29 0.36
0.27 0.21
0.48 Tahan Pangan
Agak rawan pangan Cukup tahan pangan
Tahan pangan Cukup tahan pangan
Tahan pangan Tahan pangan
Agak rawan pangan Sumber : Dimodifikasi dari Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara 2007
111 Berdasarkan Analisis Kerawanan Pangan diperoleh Peta Rawan pangan
Sultra, dimana dua 2 Kabupaten yakni Kabupaten Muna dan Wakatobi
masuk kategori Agak Rawan Pangan dan Kabupaten Buton, Konsel, Kolaka dan Bombana dengan kategori Tahan Pangan sedangkan Kabupaten Konawe
dan Kolaka Utara Cukup Tahan Pangan. Meskipun demikian bukan berarti
di Kabupaten Muna dan Wakatobi sudah kesulitan bahan pangan bahkan kelaparan, namun perlu diwaspadai mungkin saja bisa terjadi apabila terjadi
perubahan musim atau gejolak sosial atau bencana alam lainnya berpeluang terjadi kerawanan pangan karena daerah tersebut sangat rentan.
5.1.2. Penduduk Berdasar Gender, Umur, Pendidikan, dan Ketenagakerjaan
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS Tahun 2007, jumlah penduduk Provinsi Sultra berjumlah 2 029 656 jiwa,
terdiri dari laki-laki sebesar 1 009 858 jiwa dan perempuan 1 019 798 jiwa. Dilihat dari struktur umur, proporsi penduduk usia muda di bawah 15 tahun
sebesar 40.01 persen, proporsi penduduk tua usia di atas 65 tahun kurang dari 5 persen 4.09 persen. Sementara proporsi penduduk dewasa usia produktif
yang berumur 15-64 tahun sebesar 59.9 persen BPS Sulawesi Tenggara, 2008. Hasil SUSENAS Tahun 2007 juga menunjukkan masih ada sekitar 8
persen penduduk Sultra usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah bersekolah, yang sementara sekolah sekitar 24 persen, dan yang tidak seko-
lah lagi sebanyak 67 persen. Berdasar pendidikan yang ditamatkan, jumlah penduduk yang tidak atau belum tamat SD dan yang sederajat berjumlah 29
persen, tamat SD sekitar 27 persen, tamat SLTP dan SMU masing-masing
sekitar 18 persen, dan yang tamat Diploma ke atas sekitar 5 persen.
112
5.1. 3. Pembangunan Sektor Pertanian di Sultra