III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Input Produksi dan Pasar Tenaga Kerja
Salah satu aspek yang digunakan dalam mengukur kinerja ekonomi adalah seberapa efektif suatu perekonomian menggunakan sumberdaya.
Tenaga kerja, baik perempuan dan laki-laki, di suatu perekonomian adalah sumberdaya utama. Oleh karena itu, menjaga agar para pekerja tetap dapat
bekerja menjadi pusat perhatian para pembuat kebijakan Mankiw, 2003. Dua faktor produksi penting yang digunakan dalam proses produksi
adalah modal K dan tenaga kerja L. Untuk menghasilkan output Y dari penggunaan modal dan tenaga kerja, digunakan teknologi produksi yang
digambarkan dengan ’fungsi produksi’, seperti berikut ini : Y = F K, L ....................................................................... 1
Perekonomian dalam keadaan full employment adalah kondisi dimana seluruh sumberdaya digunakan sepenuhnya, tidak ada yang menganggur.
Dalam kenyataannya sebagian dari sumberdaya tidak sepenuhnya digunakan dalam proses produksi, termasuk tenaga kerja. Henderson dan Quandt
1980; Bellante dan Jackson 1990 menjelaskan bahwa permintaan tenaga kerja sebagai input merupakan permintaan turunan derived demand dari
produk yang dihasilkan perusahaan. Dengan demikian, permintaan terhadap tenaga kerja tergantung pada permintaan konsumen akan produk tersebut.
Dalam pasar tenaga kerja, permintaan dan penawaran tenaga kerja secara bersama-sama menentukan jumlah yang akan diperkerjakan serta
upah yang akan diterima. Pasar tenaga kerja memiliki kekhasan tersendiri,
60 dimana peran pelaku pasar dibalik, yaitu rumahtangga menjadi pemilik
faktor-faktor produksi, sedangkan perusahaan berperan sebagai pihak pembeli tenaga kerja Bellante dan Jackson, 1990.
Gambaran mengenai keadaan pasar tenaga kerja, yang menunjukkan hubungan antara jumlah tenaga kerja dengan tingkat upah ditunjukkan dalam
Gambar 4. Bila pasar tenaga kerja berada dalam keseimbangan, maka permintaan tenaga kerja oleh perusahaan akan sama dengan penawaran
tenaga kerja oleh rumahtangga titik A. Kondisi ini sering tidak tercapai, bila penawaran tenaga kerja lebih besar daripada jumlah yang diminta oleh
perusahaan, maka akan terjadi pengangguran sebesar U.
Sumber : Nicholson, 2000 dimodifikasi
Gambar 4. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
dimana : D
L
= Permintaan tenaga kerja 0-L
1
; S
L
= Penawaran tenaga kerja 0- L
2
L = Jumlah tenaga kerja dalam keseimbangan
L
1
= Jumlah permintaan tenaga kerja setelah kenaikan upah L
2
= Jumlah penawaran tenaga kerja setelah kenaikan upah U = L
2
-L
1
Jumlah tenaga kerja yang menganggur W = Tingkat upah; W
= Upah awal; W
1
Terdapat hubungan antara pengangguran dan GDP riil. Para pekerja = Upah meningkat
S
L
W
1
D
L
A W
U
L
2
L L
L
1
61 adalah pihak yang memproduksi barang dan jasa, sedangkan para
penganggur tidak. Oleh karena itu, jika terjadi peningkatan pengangguran, maka akan terjadi penurunan output GDP riil. Hubungan negatif ini disebut
sebagai Hukum Okun Mankiw, 2003. Branson 1979 mengemukakan bahwa kurva tenaga kerja memiliki
kemiringan garis menurun, yang menunjukkan bahwa perusahaan yang ingin mencapai keuntungan maksimum dapat memilih jumlah tenaga kerja yang
optimal. Kondisi ini dicapai saat nilai produk marjinal dari tenaga kerja MP
L
Dalam jangka pendek perubahan dalam partisipasi angkatan kerja sangat ditentukan oleh perubahan yang terjadi pada kelompok dalam masyarakat yang
berusia layak kerja. Misalnya bila terjadi kenaikan upah dan kondisi pasar prospeknya cerah, maka sejumlah kaum wanita yang telah menikah dan
mahasiswa, akan memasuki angkatan kerja; sebaliknya ketika kondisi pasar tenaga kerja terbalik keadaannya, mereka akan meninggalkan pasar tenaga kerja.
Individu-individu seperti ini yang partisipasinya dalam angkatan kerja terputus- putus dikenal dengan istilah ’pekerja sekunder’. Sedangkan mereka yang tetap
berada dalam angkatan kerja, tanpa mengikuti kecenderungan perubahan upah dan kondisi pasar tenaga kerja, dikenal sebagai ’pekerja primer’. Umumnya mereka
sama dengan tingkat upah, yang merupakan biaya marjinal untuk setiap unit tenaga kerja. Karena itu, perusahaan akan menyesuaikan
penggunaan tenaga kerja dengan upah yang berlaku. Bila terjadi kenaikan upah, maka perusahaan akan mengurangi penggunaan tenaga kerja, yang
akan menyebabkan penurunan permintaan jumlah tenaga kerja.
3.1.2. Keputusan Angkatan Kerja dan Utilitas Tenaga Kerja
62 adalah suami atau perempuan yang merupakan kepala rumahtangga Bellante dan
Jackson, 1990. Selanjutnya dijelaskan bahwa dengan selera dan preferensi serta upah
yang dihadapi individu dalam pasar tenaga kerja tertentu, maka jumlah tenaga kerja terbaik yang dapat disediakan kemungkinan adalah nol jam.
Gambar 5 mengilustrasikan hal tersebut. Seorang individu yang ingin memaksimalkan utilitasnya memilih kombinasi di titik T, yang mencakup
OX untuk waktu non pasar dan nol untuk barang-barang pasar. Kondisi ini disebut sebagai ’corner solution’, karena individu memilih menggunakan
semua waktunya sebagai waktu non pasar. Berarti individu tersebut tidak berada dalam angkatan kerja.
Barang-barang pasar
Y IC
1
IC
2
IC
3
Gambar 5 juga dapat membantu memberi penjelasan mengenai hubungan antara tingkat upah dengan perubahan dalam angkatan kerja. Pada
tingkat upah yang berlaku, individu tersebut memilih untuk tidak menjadi peserta dalam angkatan kerja, tetapi ketika terjadi sedikit saja peningkatan
T
0 X Waktu non pasar Sumber : Bellante dan Jackson, 1990.
Gambar 5. Utilitas Individu Bukan Peserta Angkatan Kerja
63 tingkat upah dalam gambar tidak diperlihatkan, dapat mendorong individu
tersebut untuk masuk angkatan kerja. Hal ini dapat terjadi, jika biaya waktu untuk kegiatan non pasar individu tersebut meningkat ketika upah pasar
naik. Hal ini akan menarik individu-individu untuk masuk angkatan kerja. Perilaku individu-individu sangat berbeda, baik dalam menilai
kegiatan yang dilakukan di luar angkatan kerja maupun terkait upah di pasar tenaga kerja. Individu yang termasuk dalam ‘pekerja primer’ cenderung
menghasilkan produktivitas rendah dalam produksi non pasar bila diban- dingkan dengan upah yang dapat diperoleh di pasar. Contohnya kepala
rumahtangga laki-laki. Sebaliknya, ’pekerja sekunder’ lebih cenderung mempunyai penghasilan bernilai tinggi di luar angkatan kerja dibandingkan
dengan upah yang dapat diperoleh di pasar tenaga kerja. Contohnya perem- puan yang sudah menikah dan mempunyai anak, dimana mereka cenderung
memberi nilai tinggi untuk pekerjaan di dalam rumah. Ini selaras dengan anak sekolah yang memberi nilai tinggi untuk kegiatan pendidikan dan kaum
pensiunan yang memberi nilai tinggi untuk waktu senggang mereka. Dengan demikian, bila upah pasar yang berlaku dinilai lebih rendah
dari nilai kegiatan non pasar, maka mereka akan memilih tidak masuk angkatan kerja. Ini merupakan pilihan yang memaksimalkan utilitas.
Terkait aspek gender, Becker 1981 menjelaskan hubungan antara umur dengan nilai waktu upah perempuan dan laki-laki, juga hubungan
antara umur dengan produktivitas perempuan bila seluruh waktunya dialokasikan untuk mengurus rumahtangga. Hubungan tersebut dijelaskan
dalam Gambar 6.
64
Sumber : Becker, 1981
Gambar 6. Variasi Siklus Hidup dalam Bentuk Nilai Waktu Perempuan dan Laki-Laki
Gambar 6 menunjukkan bahwa perempuan berada di sektor publik sebelum
berumur t
1
dan sesudah t
2
, yaitu pada periode dimana tingkat upah perempuan melebihi nilai produksi marjinal rumahtangga. Pada periode usia tersebut,
perempuan mengalokasikan waktunya di sektor publik lebih panjang, karena harus mengganti nilai produksi marjinal rumahtangga ditambah dengan nilai upah
yang mereka terima. Dengan demikian, nilai waktu perempuan di sektor publik lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan tidak bekerja di sektor publik pada
usia antara t
1
dan t
2
karena nilai waktunya lebih tinggi apabila digunakan dalam rumahtangga. Terlebih pada usia antara t
3
t
1
dan t
4
t
2
Oleh karena itu, nilai waktu perempuan selama hidupnya secara agregat tidak lebih rendah dibandingkan dengan nilai waktu laki-laki, tetapi nilai
waktu perempuan menjadi lebih rendah daripada laki-laki apabila mereka masuk ke pasar tenaga kerja.
, waktu di rumah nilainya lebih tinggi dibandingkan nilai waktu laki-laki di sektor publik.
Nilai waktu laki-laki dan
perempuan Produk marjinal untuk perempuan bila seluruh
waktu untuk kegiatan rumahtangga
Tingkat upah laki-laki
Tingkat upah perempuan
t
1
t
3
t
4
t
2
Umur
65
3.1.3. Konsep Analisis Peran Gender dalam Rumahtangga
Perempuan memainkan banyak peran di dalam rumahtangga. Menurut Sajogyo 1979 peran perempuan ada dua, yaitu 1 sebagai isteri, ibu, ibu
rumahtangga, dan 2 sebagai pencari nafkah. Ellis 1988 menyebut perempuan sebagai the invisible peasant.
Dalam masyarakat pertanian, perempuan berkontribusi dalam pekerjaan fisik produksi pertanian, sekaligus menyangga kehidupan rumahtangga pertanian
dalam banyak hal. Meskipun peran perempuan sangat besar, namun analisis ekonomi yang ada belum mampu meliput kontribusi tersebut secara tepat.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar data aktivitas ekonomi perdesaan yang dipublikasikan, diperoleh dari sensus dengan laki-laki kepala rumah-
tangga sebagai sumberdata utama. Karena itu, peran perempuan dalam pekerjaan usahatani, pengolahan pangan dan banyak kegiatan produktif
lainnnya adalah underestimate. Dalam hal ini, asumsi neoklasik menganggap rumahtangga sebagai satu unit analisis, dimana keputusan perilaku ekonomi
berlaku bagi seluruh anggota rumahtangga tanpa diferensiasi. Beberapa konsep yang relevan untuk bisa melihat peran perempuan
secara lebih obyektif, agar menjadi lebih visible to peasant economic analysis adalah 1 gender division of labor konsep pemisahan tenaga kerja
berdasar gender, 2 dampak pemisahan tenaga kerja terhadap alokasi waktu perempuan dan laki-laki, 3 kekakuan dalam pemisahan tenaga kerja,
4 kontrol terhadap sumberdaya yang sering dipegang laki-laki sebagai kepala rumahtangga, efeknya terhadap kebebasan ekonomi, akses terhadap
sumberdaya dan bagian pendapatan perempuan, dan 5 dampak dari faktor-
66 faktor di atas terhadap hubungan produktivitas, hasil tenaga kerja, dan
distribusi pendapatan rumahtangga pertanian.
3.1.3.1. Pemisahan Tenaga Kerja Berdasarkan Gender
Konsep pemisahan tenaga kerja division of labor digunakan untuk menjelaskan alokasi aktivitas antara perempuan dan laki-laki dalam ekonomi
pertanian. Pemisahan ini tidak secara alamiah disebabkan adanya perbedaan biologis di antara keduanya, namun lebih mengacu pada adat istiadat, kebiasaan so-
sial, norma, dan kepercayaan yang merupakan ruang lingkup perilaku individual.
Dengan anggapan bahwa pembedaan tenaga kerja perempuan dan laki-laki cenderung ditetapkan secara sosial bukan biologis, konsep gender digunakan
sebagai rujukan makna sosial untuk mengenali aturan yang berlaku dalam berbagai karakteristik masyarakat.
3.1.3.2. Reproduksi dan Produksi 1. Aktivitas Reproduksi Sosial
Reproduksi sosial adalah cara suatu masyarakat, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi, untuk memperbaharui diri sepanjang waktu. Dimensi
reproduksi yang penting tentu saja berkaitan dengan reproduksi masyarakat dengan berbagai kepentingan yang antara lain meliputi : 1 reproduksi
biologis, yaitu aktivitas perawatan dan pemberian nutrisi awal pada anak hamil dan menyusui, 2 reproduksi generasional: yaitu aktivitas yang
meliputi pemeliharaan anak, membesarkan, mensosialisasikan, serta mendi- dik anak, dan 3 reproduksi harian, yaitu aktivitas perempuan terkait dengan
penyelenggaran kelangsungan rumahtangga, seperti memasak, mencari air dan
67 kayu bakar, menjahit dan mencuci pakaian, serta membersihkan rumah.
2. Aktivitas Produksi
Perempuan di perdesaan umumnya juga berpartisipasi dalam aktivitas produks i yang dapat diklasifikasikan menjadi : 1 produksi langsung produk akhir
untuk konsumsi keluarga, meliputi pengolahan makanan seperti menumbuk padi, mengasin telur atau ikan dan sebagainya; menganyam tikar, membuat
gerabah, dan membuat pakaian, 2 aktivitas non-farm income earning, yaitu produksi rumahtangga berupa kerajinan tangan atau produk-produk lain
beserta pemasarannya di luar aktivitas pertanian, 3 aktivitas usahatani keluarga, antara lain menyiapkan lahan, menyemai, memupuk, memanen, dan
4 aktivitas off-farm wage labor, yaitu berburuh tani di usahatani milik tetangga, sebagai pembantu dalam kegiatan domestik para pemilik lahan,
sebagai pekerja penuh di pabrik penggilingan lokal atau industri, dan menjadi TKI atau tenaga kerja migran ke luar daerah asalnya.
3. Aktivitas Waktu Luang
Dalam hal ini meliput i semua aktivitas pribadi mulai dari konsumsi nutrisi, perawatan kesehatan, peranan sosial, dan sebagainya.
3.1.3.3. Alokasi Waktu
Alokasi waktu merupakan konsep operasional yang menjadi dasar bagi penelitian diferensiasi gender. Konsep ini merujuk pada jumlah waktu rata-rata
yang dicurahkan anggota rumahtangga secara individual untuk kategori aktivitas yang berbeda. Alokasi waktu telah menjadi bahan kajian yang secara eksplisit
membuka perbedaan lelaki-perempuan dalam hal produktivitas, jam kerja, dan penerimaan. Hal ini merupakan langkah awal untuk mengenal lingkup kerjasama,
68 konflik, kemandirian serta peranan dalam po la kerja lelaki-perempuan.
3.1.3.4. Perempuan sebagai Pekerja yang Tidak Diupah
Gambaran umum yang harus dipahami tentang perempuan tani adalah posisinya dalam usahatani keluarga sebagai tenaga kerja yang tidak dibayar. Hal
ini berkaitan erat dengan kategori aktivitas reproduktif yang diperaninya. Istilah kerja tanpa upah muncul, karena aktivitas domestik perempuan tidak dihadapkan
secara langsung dengan harga pasar, dimana sebagian besar aktivitas tersebut digunakan secara langsung, dan tidak dipertukarkan.
3.1.3.5. Subordinasi Perempuan
Masih dalam kaitannya dengan konsep pembedaan gender dan kerja tanpa upah, ada satu hal yang harus disadari yaitu besarnya kontrol lelaki terhadap
kehidupan perempuan, sebagaimana alokasi aktivitas rumahtangga. Konsep ini berusaha menjelaskan status sosial inferior perempuan dalam berbagai
manifestasi subordinasi perempuan oleh lelaki. Salah satunya dapat dilihat dalam bentuk masyarakat patrilineal, dimana hubungan lelaki-perempuan dicerminkan
oleh kontrol lelaki atas harta, sumberdaya dan pendapatan rumahtangga perta- nian, juga atas waktu kerja, kebebasan gerak, dan tingkat konsumsi perempuan.
3.1.4. Pasar Tenaga Kerja sebagai Kelembagaan Gender
Pasar tenaga kerja sebagai kelembagaan gender bekerja pada perpotongan intersection antara ekonomi produktif dan reproduktif, yaitu
pasar yang terbentuk oleh praktek, persepsi, norma, dan jaringan, yang merupakan bearers of gender. Pada waktu yang bersamaan, praktek, persepsi,
norma, dan jaringan tersebut merupakan aspek dari proses yang dinamis, yang mengandung elemen kontinyuitas dan transformasi Elson, 1999.
69 Selanjutnya dipaparkan bahwa para ahli ekonomi cenderung mendekati
pasar tenaga kerja sebagai arena yang netral, dimana pembeli dan penjual berinteraksi. Pembeli dan penjual mungkin berbeda berdasarkan jenis kelamin dan
berbeda dalam faktor bawaan endowment, serta preferensinya. Terdapat pengakuan dalam diskriminasi jenis kelamin pada pasar tenaga kerja, yaitu terkait
perbedaan penghasilan per waktu yang tidak dapat ‘dibukukan’ dalam variabel, seperti pendidikan dan pengalaman kerja pada pekerjaan tersebut.
Di samping itu terdapat cara yang berbeda dalam pendekatan pasar tenaga kerja, yang tidak dimulai dari premis arena yang netral, yaitu bahwa pasar tenaga
kerja adalah kelembagaan yang ‘membawa pesan gender’, dalam pengertian adanya stereotip sosial yang berhubungan dengan sifat laki-laki maskulin yang
mempunyai kekuasaan atas mereka di tempat bekerja menjadi bos dan stereotype sosial tentang apa ‘pekerjaan laki-laki’ dan ‘pekerjaan perempuan’.
Stereotip seperti itu tidak menjadi masalah dalam preferensi individu, tetapi tertulis dalam kelembagaan. Peraturan formal dan informal dalam struktur operasi
pasar tenaga kerja merupakan hubungan gender dalam masyarakat, yang merefleksikan masalah yang ada dari dominasi gender dan subordinasi, dan juga
ketegangan, kontradiksi dan potensi untuk merubah karakteristik berbagai pola hubungan gender, tidak menjadi soal bagaimana kekuatan yang tidak sama
tersebut didistribusikan. Adanya legislasi tenaga kerja, pemeriksa standar tenaga kerja pemerintah, serikat buruh, jaringan bisnis dan profesional, sistem evaluasi
kerja, sistem organisasi kerja, struktur penentuan bayaran, semua itu membawa pesan gender, meskipun tidak ada referensi yang jelas dibuat dalam ‘buku
peraturan’ terhadap perbedaan gender dan ketidaksamaan gender. Analisis di atas
70 menunjukkan bahwa kelembagaan pasar tenaga kerja tidak hanya membawa
’pesan gender”, tetapi juga menguatkan adanya ketidaksamaan gender.
3.1.5. Ketidaksetaraan Gender, Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Sumberdaya manusia yang terdiri atas perempuan dan laki-laki merupakan sumberdaya yang sangat penting dalam proses produksi maupun kegiatan
reproduktif. Menurut Jhingan 2004 proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi
antara lain : sumber alam, akumulasi modal, organisasi, dan kemajuan teknologi. Sedangkan faktor non ekonomi antara lain : faktor sosial, manusia, serta politik
dan administrasi. Sumberdaya manusia merupakan faktor terpenting dalam
proses pertumbuhan ekonomi yang tidak semata-mata jumlahnya tetapi lebih ditekankan pada efisiensi sumberdaya manusia tersebut. Peningkatan GNP per
kapita erat kaitannya dengan pengembangan faktor manusia, yang meliputi peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seluruh penduduk
negara tersebut. Proses peningkatan itu mencakup kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial pada umumnya.
Pada saat ini statistik pasar tenaga kerja di banyak negara menunjukkan penurunan gap gender dalam partisipasi angkatan kerja. Gap berkurang karena
meningkatnya partisipasi perempuan dan menurunkannya partisipasi laki-laki. Pengurangan gap ini diintrepretasikan dengan adanya lebih sedikit pekerjaan pada
ekonomi yang produktif yang dibayar untuk laki-laki dan lebih banyak pekerjaan dalam ekonomi produktif yang dibayar untuk perempuan Elson, 1999.
Meskipun terjadi kemajuan survei statistik, namun sebagian besar aktivitas ekonomi perempuan masih tersembunyi. Statistik status angkatan kerja cenderung
71 mempunyai proporsi yang lebih tinggi untuk perempuan daripada laki-laki dengan
status ’tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar’. Pada tahun 1991 Sensus di Uganda mengindikasikan bahwa sekitar 69 persen angkatan kerja laki-laki di
sektor pertanian bekerja untuk diri sendiri, 1 persen sebagai tenaga kerja orang lain, dan hampir 30 persen sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar. Tenaga
kerja perempuan di pertanian hampir 27 persen bekerja sendiri, persentase yang dapat diabaikan untuk yang bekerja dan di atas 73 persen sebagai pekerja yang
dibayar. Sama halnya di Pakistan, diperkirakan bahwa 65 persen pekerja perempuan desa adalah tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar, dibandingkan 20
persen dengan laki-laki. Ini sejalan dengan Todaro 1998 bahwa PAK perempuan meningkat tetapi pada pekerjaan yang tidak banyak menghasilkan pendapatan.
Perluasan dalam pertumbuhan ekonomi akan mengurangi ketimpangan gender. Ini terlihat pada negara-negara di Selatan-Timur dan Asia timur, bahwa
pertumbuhan pada tahun 1970an dan 1980an yang meningkat dengan cepat mendorong pertumbuhan partisipasi laki-laki dan perempuan di pasar tenaga kerja
Horton, 1996 dalam Elson, 1999. Fenomena ini akan sangat berarti bagi perem- puan jika persamaan gender lebih besar dalam pasar tenaga kerja. Todaro 1998
mengemukakan perempuan memegang peran penting dalam sektor produksi pertanian disamping fungsi lainnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sering
terabaikan. Keragaman tugas perempuan menyulitkan dalam perhitungan porsi sumbangan mereka dalam produksi pertanian, apalagi untuk menaksir nilai
ekonominya. Terlebih karena mereka tidak menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan di Asia dan
Afrika menyediakan sekitar 60-80 persen waktunya untuk produksi pertanian.
72 Peran penting perempuan lainnya adalah dalam penyediaan makanan
untuk keluarga. Meskipun terkesan sederhana, banyak waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk mencari membeli, memasak serta menghidangkan
makanan. Oleh karena itu pemenuhan gizi keluarga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan juga ditopang oleh penghasilan yang diperolehnya. Para ibu rela
menghabiskan lebih banyak pendapatannya untuk kesejahteraan keluarganya daripada yang disediakan oleh suami mereka. Ketika terjadi kemerosotan status
ekonomi perempuan maka tingkat kesejahteraan keluarga juga bisa menurun. Dalam hal ini pemerintah harus lebih jeli dalam merumuskan program-
programnya, khususnya dalam melibatkan peranan perempuan. Kesenjangan gender dalam bidang pendidikan merupakan fakta yang
menyolok di negara-negara miskin. Padahal pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan produktivitas pekerja, terutama perempuan. Todaro
1998 mengemukakan alasan mengapa pendidikan bagi perempuan sangat penting. Terjadinya diskriminasi tersebut turut menjadi sebab terhambatnya
pembangunan ekonomi yang memperburuk ketimpangan kesejahteraan sosial. Data-data statistik menunjukkan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi yang
tinggi di negara-negara barat, bukan dipacu oleh pengembangan modal fisik, tetapi pengembangan sumberdaya manusia.
Menurut Chen 2003, terdapat asosiasi positif yang secara statistik signifikan mengenai hubungan antara kesetaraan gender dengan pendidikan dan
pembangunan ekonomi. Beberapa penelitian yang dikutip Chen 2003 berikut ini memperkuat argumen tersebut. Abu-Ghaida dan Klasen 2002 dalam Chen
2003 mengemukakan bahwa negara yang gagal mengurangi kesenjangan gender
73 dalam pendidikan akan dapat menurunkan pendapatan per kapita sebesar 0.1-0.3
persen. Klasen 1999 dalam Chen 2003 juga mendapatkan bahwa jika negara- negara Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara serta Middle East dan Afrika Utara dapat
meningkatkan kesetaraan gender dalam kesempatan sekolah selama tahun 1960- 1992 secepat yang dilakukan negara-negara di Asia Timur, maka pendapatan per
kapita negara-negara tersebut akan tumbuh dengan tambahan sebesar 0.5-0.9 persen per tahun. Dollar dan Gatti 1999 juga menemukan bahwa pencapaian
pendidikan menengah yang lebih besar bagi perempuan akan membawa pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, ketika pencapaian pendidikan laki-laki
cenderung menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. Hill dan King 1993 dalam Chen 2003 menemukan bahwa ketidaksetaraan gender dalam pendidikan
memiliki efek terhadap output agregat, yaitu rendahnya rasio pendidikan dasar dan menengah perempuan-lelaki berhubungan dengan GNP yang lebih rendah.
United Nations 2002 dalam Chen 2003 menyebutkan bahwa rendahnya pemberdayaan perempuan merupakan satu faktor yang secara serius menghambat
pembangunan sumberdaya manusia di beberapa wilayah pada beberapa waktu terakhir.
Pentingnya pendidikan juga terkait dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Ariani et al. 2003 menemukan bahwa salah satu karakteristik
yang sangat menyolok pada rumahtangga rawan pangan adalah tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki yang rendah. Ini menjadi petunjuk pentingnya
pendidikan dalam mempengaruhi berbagai aspek penting dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam pencapaian ketahanan pangan.
74
3.2. Kerangka Konseptual Penelitian