Tujuan Manfaat Lingkup dan Keterbatasan

9 fasilitas kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lingkungan yang saniter. Hal ini menjelaskan bahwa hak atas pangan berkorelasi kuat antara lain dengan hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Terkait pemenuhan kebutuhan pangan, menarik untuk dikaji mengenai kapabilitas masyarakat perempuan dan laki-laki, serta peran gender dalam memenuhi kebutuhan tersebut dalam rangka mencapai ketahanan pangan setiap anggota rumahtangganya. Menurut Saliem et al. 2002, memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Berdasarkan kenyataan yang ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan gender dan belum tercapainya ketahanan pangan di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, maka menarik untuk dipertanyakan yaitu : 1. Bagaimana peran perempuan dan laki-laki dalam mencapai ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga? 3. Faktor-faktor apakah yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara?

1.3. Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengalisis peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Konawe Selatan. Secara spesifik, beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut. 10 1. Menganalisis peran perempuan dan laki-laki dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. Menganalisis faktor-faktor penentu keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. 3. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut. 1. Sebagai rujukan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, da- lam rangka pencapaian kesetaraan gender dan ketahanan pangan di Indonesia. 2. Sebagai bahan pembanding dan referensi untuk studi-studi dengan isu yang relevan. 3. Bagi penulis, di samping untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam penyelesaian studi doktor, penelitian ini juga merupakan latihan dalam penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.

1.5. Lingkup dan Keterbatasan

Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Dari berbagai kajian diketahui bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional ataupun wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya, terutama pangan, laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga akan melakukan aktivitas baik di dalam usahataninya, di luar usahataninya ataupun di luar sektor pertanian. 11 Rumahtangga petani merupakan fokus utama penelitian ini, karena pertanian merupakan sektor penting di Sulawesi Tenggara yang melibatkan curahan kerja perempuan dan laki-laki serta penyedia pangan bagi masyarakat. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kerawanan pangan terjadi di daerah perdesaan yang menjadi basis sektor pertanian. Ketahanan pangan nasional akan tercapai bila setiap individu dalam rumahtangga sebagai unit sosial terkecil telah mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan diukur dari : 1 penda- patan yang diperoleh masing-masing gender dari aktivitas produktif di luar usahatani keluarga, dan 2 alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif dan reproduktif dalam rumahtangga. Dalam rumahtangga petani, terdapat bermacam-macam jenis usahatani yang dikelola petani dan keluarganya, baik pertanian tanaman pangan, pertanian non pangan, maupun kombinasi keduanya. Di Sulawesi Tenggara, di samping terdapat rumahtangga petani yang menanam komoditas pangan seperti padi, jagung, singkong, juga terdapat petani yang hanya menanam komoditas perkebunan seperti kakao dan lada, ataupun kombinasi keduanya, ataupun petani yang mengelola usaha perikanan nelayan dan petambak. Dalam penelitian ini, rumahtangga contoh yang diambil meliputi petani tanaman pangan, pekebun dan nelayan. Untuk menangkap perbedaan perilaku yang mungkin ada antara rumahtangga yang tinggal di daerah yang masuk kategori rawan pangan dan tahan pangan, maka diambil rumahtangga sebagai contoh pada beberapa desakelurahan di daerah rawan pangan dan tahan pangan. Perlu disampaikan bahwa di desa yang masuk kriteria rawan pangan, di samping terdapat rumahtangga yang rawan 12 pangan, juga terdapat rumahtangga yang tahan pangan. Demikian juga di desa tahan pangan, di samping terdapat rumahtangga tahan pangan, juga terdapat rumahtangga rawan pangan. Dalam penelitian ini akan dianalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja dan atau berusaha di luar usahatani keluarganya. Dalam analisis gender, keputusan seorang perempuan atau laki-laki juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi, misalnya aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam analisis keputusan gender untuk bekerja, kajian dibatasi hanya untuk keputusan perempuan isteri dan laki-laki suami dalam melakukan aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga. Terdapat dua alasan utama yang mendasari hal ini, yaitu 1 sebagai petani dipastikan bahwa melakukan berbagai aktivitas di dalam usahatani, merupakan kegiatan utama petani dan keluarganya, dan 2 meskipun kegiatan dalam usahatani keluarga merupakan hal yang penting, tetapi dari berbagai studi diketahui bahwa sumber pendapatan utama masyarakat petani dan keluarganya sebagian besar berasal dari luar usahatani. Fenomena ini juga terjadi di lokasi penelitian. Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan rumahtangga dapat digunakan banyak ukuran. Indikator yang digunakan dalam penelitian adalah frekuensi makan anggota dalam sehari. Ukuran ini merupakan ’indikator langsung’ yang menggambarkan kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggotanya. Dalam keadaan normal, sesuai dengan kebiasaan makan masyarakat di Indonesia termasuk pada masyarakat Kabupaten Konawe Selatan, dalam sehari frekuensi makan adalah tiga kali sarapan, makan 13 siang dan makan malam. Bila kebiasaan makan tersebut berubah, misalnya menjadi dua kali sehari, ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk penyesuaian yang dilakukan rumahtangga untuk tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan pangan seluruh anggota rumahtangga. Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah 1 indikator ketahanan pangan yang digunakan adalah ukuran kualitatif, yaitu frekuensi makan anggota rumahtangga, bukan intake konsumsi energi dan protein, dan 2 meskipun dalam penelitian ini unit analisisnya adalah rumahtangga, namun fokus kajian hanya pada peran suami dan isteri saja, tidak untuk anggota keluarga lainnya. Keterbatasan ini terjadi karena 1 mengukur kandungan gizi yang dikandung keseluruhan jenis pangan yang dikonsumsi dalam sebuah rumahtangga di samping merupakan pekerjaan yang memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit, juga diperlukan tenaga pencacah dengan keahlian yang memadai, dan 2 dari pengamatan di lapangan nampak bahwa suami dan isteri merupakan pihak yang paling berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga, baik dari sisi sumbangan pendapatan, maupun dari alokasi waktu.

1.6. Kebaruan Penelitian