Tinjauan Studi Terdahulu 1. Studi di Mancanegara

31 2 prevalensi anak kurang gizi, dan 3 angka kematian bayi BAPPENAS, 2002. Gervais 2004 dalam Edralin dan Collado 2005 mengadopsi definisi bank dunia dan menggunakan indikator untuk mengukur ketahanan pangan yaitu : 1 ketersediaan pangan – cukupnya ketersediaan pangan secara fisik, 2 akses pangan – akses secara fisik dan ekonomi oleh seluruh rumahtangga dan individu, dan 3 pemanfaatan pangan – penggunaan pangan yang layak secara biologis yang tersedia bagi rumahtangga dan individu yang sesuai dengan pola makan dan kebutuhannya. Indikator ketahanan pangan alternatif menurut Ilham 2006 adalah pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran. 2.3. Tinjauan Studi Terdahulu 2.3.1. Studi di Mancanegara Pada bagian ini dikemukakan beberapa hasil kajian terkait aspek gender dan ketahanan pangan, juga terkait partisipasi angkatan kerja dan pembagian kerja gender dalam rumahtangga yang dilakukan oleh beberapa peneliti di mancanegara. Beberapa literatur yang dirujuk dalam penelitian ini, ringkasannya disajikan dalam Lampiran 4.

2.3.1.1. Gender dan Ketahanan Pangan

Gender dan ketahanan pangan saling berhubungan. Penelitian FAO Undated memberikan gambaran mengenai perubahan dan peranan mutakhir perempuan dalam ketahanan pangan pada wilayah yang berbeda di dunia, khususnya produsen pangan pada konteks global dan kecenderungan pertanian wilayah. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Keadaan yang tidak merata mengenai informasi pada wilayah dan negara disebabkan adanya gap atau kemiskinan data gender yang tidak terkumpul. Hal ini mengindikasikan perlunya 32 informasi lebih lanjut dan koleksi data dibutuhkan mengenai hal tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan memegang peranan penting sebagai produsen pangan. Menurut perkiraan FAO Undated, perempuan meng- hasilkan lebih dari 50 persen pangan yang tumbuh di dunia secara keseluruhan. Peranan perempuan di bidang pertanian bervariasi, baik antar wilayah maupun negara. Perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang saling melengkapi, berbagi tugas dalam produksi hasil panen, peningkatan peternakan, dan perikanan. Pada kasus lain, perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berbeda dalam pemanenan dan peternakan, perikanan, dan kehutanan. Walaupun pemanenan langsung dalam skala besar telah diperkenalkan namun keterlibatan laki-laki lebih diutamakan, khususnya dalam pertanian dengan mekanisasi tinggi. Tanggung jawab perempuan meningkat terhadap produksi pangan dalam skala rumahtangga dan pemanenan langsung dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi rendah. Kontribusi perempuan lainnya adalah 1 pemelihara biodiversity, serta 2 pengolah dan penyaji makanan. Peran lain perempuan adalah dalam pengolahan pangan yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan melalui penurunan kehilangan pangan, penganekara- gaman diet, dan mensuplai vitamin penting bagi tubuh. Perempuan juga bertanggung jawab terhadap waktu konsumsi, penggilingan, pengasapan ikan dan daging, mengolah dan memelihara buah dan sayur yang dihasilkan dari pekarangan rumah, bertanggung jawab secara universal dalam penyiapan makanan keluarga, dan menjamin kualitas gizi seluruh anggota keluarga. Sebagai penerima gaji, perempuan bertanggung jawab dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Jika tidak sebagai penghasil, maka sebagai penerima 33 penghasilan, perempuan tetap berkewajiban membeli pangan. Pada perempuan desa dan kota, proporsi terbesar dari upah mereka digunakan untuk membeli makanan bagi anggota keluarga. Selain itu perempuan desa dan kota memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam penyediaan makanan. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan keluarga mereka. Ketika perempuan mempunyai kontrol terhadap kelebihan penghasilan, maka mereka dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan keluarga, khususnya pada perbaikan kualitas gizi anggota keluarga. Faktor yang mempengaruhi ketidakleluasaan peranan perempuan dalam ketahanan pangan adalah ’kebutaan gender dan ketidakmampuan melihat peranan perempuan dalam ketahanan pangan’. Kurangnya kesadaran terhadap peran spesifik yang berbeda pada laki-laki dan perempuan dalam produksi pertanian dan ketahanan pangan menghasilkan ’kebutaan gender’. Ketidaksadaran terhadap adanya perbedaan ini menyebabkan adanya persepsi bahwa kebutuhan petani laki- laki dan perempuan sama, sehingga mereka lebih memilih petani laki-laki daripada perempuan. Secara khusus Horenstein 1989 melakukan penelitian tentang perempuan dan ketahanan pangan di Kenya. Tujuannya adalah mempelajari hubungan kritis melalui penilaian beberapa pengaruh ketahanan pangan rumahtangga dan juga peran spesifik perempuan dan kendalanya di Kenya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas perempuan Kenya 9 dari 10 orang tinggal di daerah perdesaan. Mereka melakukan peran penting dan menyangkut berbagai bidang di sektor perdesaan sebagai petani kecil, penerima pendapatan, dan sebagai kepala rumahtangga, karena pria berpindah atau 34 merantau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan. Hal ini meningkatkan komitmen dan tanggung jawab seorang perempuan. Berhubungan dengan peran mereka sebagai petani, perempuan terlibat dalam memasarkan hasil pertanian. Sebagai penyedia makanan untuk keluarga, perempuan mempunyai peran ganda, yaitu sebagai pembeli dan penjual. Peran lainnya adalah dalam penyimpanan hasil panen, dimana ini sangat mempengaruhi pencapaian ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Perempuan merupakan penghasil pendapatan income earners, baik yang diperoleh dari hasil usahatani maupun non usahatani, juga dari kiriman keluarga mereka yang bekerja di luar daerah. Perempuan mempunyai tanggung jawab utama dalam pembelian makanan, kemampuan mereka dalam mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan pangan. Perempuan memegang peranan kritis sebagai penyedia makanan : memilih jenis makanan yang tersedia di pasar atau yang dihasilkan dari kebun, mengaloka- sikan jumlah makanan untuk anggota keluarga, mempersiapkan makanan, dan membuat variasi pada setiap makanan Clark, 1985 dalam Horenstein, 1989. Gambar 3 di bawah ini menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Rumahtangga pertanian menyumbangkan berbagai bahan pangan. Penghasilan pangan domestik makanan yang menjalani proses secara umum, penyiapan, dan penyimpanan dapat dikonsumsi oleh rumahtangga dan sebagaian lagi dijual ke pasar atau keseluruhan hasil panen langsung dijual. Penghasilan yang diperoleh dari hasil penjualan makanan atau hasil panen dapat juga digunakan untuk membeli bahan makanan yang lain. Sumber penghasilan lain 35 kiriman, dari pekerjaan sambilan di luar pertanian, upah sebagai tenaga kerja musiman juga dapat digunakan untuk membeli makanan atau untuk meningkatkan produksi domestik. Sumber : Horenstein, 1989 Gambar 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Akses informasi mengenai gizi dan kesehatan serta pelayanannya, status gizi, dan kesehatan masing-masing individu akan berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian penghasilan keluarga untuk membeli makanan danatau memperoleh manfaat dari makanan yang dikonsumsi. Ketersediaan waktu untuk melakukan berbagai tugas yang berhubungan dengan produksi dan konsumsi makanan akan mempengaruhi tingkat ketahanan pangan dalam skala rumahtangga. Oleh karena itu diperlukan penghematan teknologi pada beberapa titik dalam siklus makanan. Adanya hubungan antara semua faktor menjadi hal Kebijakan Pangan Nasional dan Pertanian harga, pemasaran, insentif produksi, bantuan pangan, subsidi, input, dll Akses terhadap lahan, tenaga kerja, pelayanan, input, dan pemasaran Pengolahan, Penyiapan, Penyimpanan Produksi Pertanian Rumahtangga Dijual Kerja di Luar Pertanian Konsumsi Ketahanan Pangan Rumahtangga Pendapatan Uang Kiriman Akses Intra-Rumahtangga Kontrol dan Alokasi Sumberdaya Belanja Pangan Belanja Non Pangan Informasi Nutrisi dan Pelayanan Informasi Kesehatan dan Pelayanan 36 yang kritis dan dinamis terhadap pencapaian ketahanan pangan pada skala rumahtangga. Hal ini terkait dengan pengetahuan dan pemahaman para pelaku rumahtangga yang diperlukan oleh pelaku rumahtangga terkait bagaimana cara mendapatkan, mengawasi, mengalokasikan, dan menggunakan sumberdaya secara proporsional. Fokusnya adalah apa dan berapa banyak tanaman yang dialokasikan untuk dijual dan dibeli, seiring dengan penambahan pengetahuan mengenai siapa yang memperoleh penghasilan dan bagaimana penghasilan tersebut digunakan merupakan variabel kunci untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangga.

2.3.1.2. Perempuan, Ketahanan Pangan dan Pembangunan

Untuk menguji peran perempuan dalam pembangunan terhadap kelaparan dan kematian anak-anak, Scanlan 2004 menggunakan Ordinary Least Square OLS dan data cross-sectional tahun 2000. Untuk mengukur partisipasi perempuan dalam pembangunan digunakan Gender-Related Development Index GDI atau Indeks Pembangunan Gender IPG, untuk membangun dua ukuran ’pendekatan bagi kesetaraan gender’ dalam masyarakat di tahun 2000. Dalam penelitian ini diukur gap antara GDI dan HDI, yang mengindikasikan adanya perbedaan rasio atau skor antara keduanya. Tujuannya adalah untuk mengisolasi komponen gender dari HDI HDI mengukur kualitas pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan menggunakan perbedaan nilai antara GDI dan HDI dapat dipastikan bahwa dampak pembangunan yang ada menimbulkan ketimpangan gender dan bukan disebabkan oleh pembangunan ekonomi yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan memberi kontribusi yang sangat besar atas pencapaian kesejahteraan manusia dalam pembangunan 37 masyarakat dan oleh karena itu harus dimasukkan ke dalam program dan kebijak- an untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan, khususnya yang terkait dengan kelaparan dan kematian anak-anak keduanya memiliki keterkaitan spesifik. Peran perempuan yang sangat vital dalam pembangunan di negara-negara less-industrialized, dapat dilihat dari level pembangunan ekonomi, tekanan populasi, demokratisasi, globalisasi atau wilayah. Pemberdayaan perempuan dan menginkorporasikan gender ke dalam program pembangunan tidak hanya akan meningkatkan kesempatan hidup perempuan, tetapi juga memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, khususnya bagi kelompok yang paling rawan dari populasi dunia, yaitu anak-anak. Hasil analisis yang diperoleh merupakan evaluasi empiris atas kontribusi perempuan terkait aspek kelaparan dan kematian anak-anak. Pemahaman mengenai ketahanan pangan dan pembangunan terkait aspek perempuan dalam perspektif pembangunan, harus secara terus menerus diinkorporasikan dalam inisiatif penelitian dan kebijakan. Negara-negara yang mengintegrasikan gender ke dalam pertimbangan kebijakan dan program akan memperoleh manfaat dalam bentuk outcomes pembangunan dalam bidang sosial dan ekonomi. Temuan lain adalah dengan memasukkan aspek gender ke dalam analisis maka akan dapat menangkap dinamika pembangunan ekonomi yang penting. 2.3.1.3. Gender, Pembagian Tenaga Kerja, Penggunaan Waktu dan Partisipasi di Pasar Tenaga Kerja Survei mengenai penggunaan waktu anggota rumahtangga merupakan input penting ditujukan untuk keluarga dan sikapnya terkait gender, juga tentang informasi bagi analisis kebijakan, karena memberikan informasi tentang alokasi waktu rumahtangga untuk kegiatan produksi rumahtangga sebagai substitusi 38 output pasar, juga informasi atas alokasi kegiatan santai leisure. Sudah jelas bahwa analisis ekonomi dari kebijakan yang didasarkan pada model perilaku individu dan rumahtangga menunjukkan bahwa kesejahteraan tergantung pada konsumsi dan leisure Apps, 2004. Lewin-Epstein dan Stier 2006 menggunakan bagian dari data Program Survey Sosial Internasional tahun 2002, di mana respondennya berusia di atas 18 tahun. Dalam kuesioner yang diajukan kepada responden terutama mengenai pembagian tenaga kerja rumahtangga dan curahan waktu atas pekerjaan di rumah. Variabel dependen yang digunakan, yaitu pembagian tenaga kerja keluarga, yang dalam hal ini menunjukkan adanya pemisahan dalam tenaga kerja rumahtangga, atau sebaliknya adanya sharing pasangan dalam tugas rumahtangga, diukur sebagai respon rata-rata untuk 4 empat item yang merepresentasikan tugas utama harian rumahtangga, yaitu mencuci, membersihkan, menyiapkan makan, dan belanja. Skala untuk setiap item adalah 1 bila hanya isteri yang bertanggung jawab untuk aktivitas tersebut dan 5 lima bila hanya suami yang bertanggung jawab. Rendahnya skor total menunjukkan bahwa perempuan merupakan pengatur utama pekerjaan di rumah. Sebaliknya, nilai skor yang tinggi menggambarkan bahwa laki-laki lebih bertanggung jawab atas pekerjaan sehari- hari yang dilakukan oleh rumahtangga tradisional. Bila nilainya intermediate, berarti bahwa pembagian tenaga kerja dalam rumahtangga lebih egalitarian. Hasil penelitian adalah perempuan dan laki-laki Israel mencurahkan waktu yang lebih sedikit dalam pekerjaan rumahtangga dan pekerjaan rumahtangga di Jerman lebih terpisah. Hal ini disebabkan karena kedua negara berbeda dalam karakteristik demografi penting yang selalu mempengaruhi pekerjaan 39 rumahtangga, yaitu umur, pendidikan istri, pendidikan suami, isteri dalam angkatan kerja, suami dalam angkatan kerja, jam kerja mingguan isteri di pasar, jam kerja mingguan suami di pasar, anak 6 tahun, anak 6-17 tahun, ketergantungan pendapatan, ideologi gender, dan outsourcing housework. Keputusan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara umum dimodelkan sebagai maksimisasi individu atas lifetime utility happiness dengan kendala anggaran dan waktu yang tersedia. Bila utilitas dari upah marjinal harapan lebih tinggi daripada jam marjinal pada pekerjaan non pasar, maka individu akan memasuki angkatan kerja Cunningham, 2001. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat variabel non ekonomi yang berpengaruh. Misalnya variabel yang terkait dengan agama atau kepercayaan. Glass dan Nath 2006 menguji pengaruh dari konservatisme agama terhadap perilaku angkatan kerja perempuan yang menikah atau menambah anak terhadap rumahtangganya. Data yang digunakan adalah Survei Nasional Keluarga dan Rumahtangga. Paper ini fokus pada pengaruh ideologi agama konservatif dan afiliasi agama terhadap pekerjaan dan penghasilan perempuan seperti transisi me- reka dalam peran keluarga isteri, ibu dimana partisipasi tenaga kerja sangat dila- rang. Dalam hal ini diukur peran agama dan kepercayaan dalam keputusan perem- puan untuk mengurangi keterlibatan mereka di pasar setelah menikah dan mela- hirkan. Ukuran yang digunakan dengan 3 tiga indikator adalah perubahan dalam jam kerja, komposisi gender dari pekerjaan yang dilakukan dan upah per jam. Pada saat ini, perkembangan peran perempuan di pasar tenaga kerja terus berkembang, meskipun tetap saja terjadi ketimpangan gender pada beberapa aspek. Maume 2006 menyebutkan bahwa dalam keluarga yang egalitarian, 40 diharapkan perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan pekerjaan prioritas dan kewajiban keluarga. Penelitian Maume 2006 menganalisis faktor-faktor penentu dari kendala tempat atas usaha kerja misalnya mengurangi jam kerja, menolak untuk perjalanan untuk kepentingan kehidupan keluarga. Fokus penelitian ini adalah untuk mengukur apakah laki-laki akan lebih fokus atas kehidupan keluarga ketika perempuan mengejar karirnya. Data yang digunakan adalah dua sampel dari pekerja penuh-waktu yang telah menikah studi nasional perubahan angkatan kerja. Hasil menunjukkan bahwa perempuan lebih memilih menukar pekerjaan dalam merespon usaha kerja suami, dimana kendala pekerjaan laki-laki tidak responsif terhadap karakteristik keluarga. Disimpulkan bahwa pekerjaan prioritas dan kewajiban keluarga adalah lebih dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme. Binswanger dan Rosenzweig 1981 menemukan bahwa peran perempuan di pasar tenaga kerja perdesaan juga memperoleh sedikit perhatian. Aspek menarik adalah terkait pertanyaan ‘mengapa pola pekerjaan dan tingkat upah perempuan, dalam tugas atau jabatan tertentu, berbeda dengan laki-laki?’ Bardhan 1979 dan Rosenzweig 1979 dalam Binswanger dan Rosenzweig 1981 menguji perbe- daan perilaku penawaran tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa penelitian yang dikutip Binswanger dan Rosenzweig 1981 adalah bahwa di negara-negara berkembang seperti juga di negara-negara maju, pasar tenaga kerja perdesaan menunjukkan perbedaan pola antara pekerjaan dan penghasilan laki-laki dan perempuan. Upah perempuan secara umum lebih rendah dan tingkat pengangguran lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan juga sering tidak mendapat tempat pada segmen tertentu di pasar tenaga kerja. Di 41 Banglades, perempuan tidak berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan secara keseluruhan, karena hambatan sosial dari sisi agama tetapi di Indonesia, perempuan muslim berpartisipasi pada berbagai lapangan pekerjaan, sehingga agama secara sendiri tidak cukup untuk menjelaskan tak adanya partisipasi perempuan Banglades. Pada banyak lokasi di India, adanya fakta bahwa perempuan kelas atas tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja adalah berhubungan dengan larangan terkait kasta. Pola-pola yang ada di berbagai negara dengan corak sosial budaya yang berbeda, tidak mudah dijelaskan, baik dengan pembagian tenaga kerja division of labor terkait kemampuan melahirkan anak dan produksi rumahtangga, ataupun dengan perbedaan produktivitas pasar. Fakta bahwa terdapat keterbatasan pekerjaan dan mobilitas dari usahatani ke usahatani oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki berimplikasi pada efisiensi produksi dan menciptakan kesulitan dalam mengevaluasi kesejahteraan dari mekanisme pasar tenaga kerja perdesaan.

2.3.2. Studi di Indonesia

Dalam bagian berikut disajikan hasil-hasil penelitian terkait aspek ketahanan pangan, kesempatan kerja dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki berdasar gender yang dilakukan oleh peneliti-peneliti di Indonesia. Literatur- literatur yang dilakukan di Indonesia yang dirujuk dalam penelitian ini, ringkasannya disajikan dalam Lampiran 5. 2.3.2.1. Faktor-Faktor Penentu Partisipasi Perempuan dalam Sektor Ekonomi Keputusan seorang perempuan atau laki-laki untuk bekerja atau tidak bekerja di sektor produktif, merupakan hak individu tersebut. Dilihat dari aspek 42 gender, keputusan seseorang untuk masuk ke pasar tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor ekonomi maupun non ekonomi. Dengan demikian, ketika seorang perempuan atau laki-laki mengambil keputusan untuk bekerja atau tidak bekerja di sektor produksi, maka perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusannya tersebut. Widarti 1998 melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja sisi penawaran. Analisis didasarkan pada data SUPAS Jakarta Tahun 1985. Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan analisis multivariat, dimana variabel dependennya bersifat dikotomi, sehingga digunakan model logit. Diasumsikan bahwa perempuan dapat memilih satu dari dua alternatif ekslusif mutualisme, yaitu berpartisipasi atau tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja. Probabilitas untuk memilih ditentukan oleh karakteristik individual dan karakteristik keluarga, yang dalam studi ini dikelompokkan menjadi : 1 variabel sosiodemografi, yaitu umur, umur ketika pertama menikah, pendidikan, etnis, lama bermigrasi, adanya anak, dan 2 variabel status ekonomi, yaitu pendidikan suami, pekerjaan suami, pengeluaran rumahtangga, indeks rumah, dan status pekerjaan suami. Variabel upah tidak dimasukkan, karena tidak terdapat di dalam data SUPAS. Juga data pendapatan, penggantinya digunakan data pengeluaran rumahtangga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keputusan perempuan menikah di Jakarta untuk bekerja atau tidak bekerja ditentukan oleh tingkat pendidikannya. Variabel lain yang juga berpengaruh pada semua kelompok pendidikan adalah adanya anak berumur di bawah lima tahun. Variabel ini berpengaruh negatif terhadap partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja. 43 Senada dengan itu, Rachman et al. 1988 melakukan penelitian tentang faktor-faktor penentu curahan kerja ibu rumahtangga di perdesaan. Dengan menggunakan data Patanas, disusun model regresi linear berganda untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curahan kerja ibu rumahtangga di sektor ekonomi perdesaan dipengaruhi oleh umur ibu rumahtangga, jumlah anggota keluarga, total jam kerja dalam keluarga, dan luas lahan garapan. Hasil penelitian Koesoemowidjojo 2000 menunjukkan bahwa alokasi waktu isteri di sektor publik dipengaruhi secara signifikan oleh besar penerimaan rumahtangga, pendapatan suami, kehadiran Balita, dan pola perkreditan Kredit Usaha Mandiri, KUM. Variabel penerimaan rumahtangga berpengaruh positif, sedangkan variabel lainnya berpengaruh negatif.

2.3.2.2. Analisis Pasar Tenaga Kerja

Kajian mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia telah dilakukan para peneliti, hal ini karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor krusial yang mempengaruhi peningkatan output atau Produk Domestik Bruto PDB. Perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri berdampak antara lain terhadap peningkatan output, penyerapan tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, dan kesejahteraan tenaga kerja. Penelitan Margono 2005 bertujuan menganalisis produktivitas dan ketenagakerjaan. Untuk analisis makro ekonomi digunakan data time series tahun 1972-2002, sedangkan untuk analisis mikro digunakan data SAKERNAS tahun 2002, SUSENAS tahun 2002, dan data hasil survei penulis. Hasil penelitiannya adalah bahwa peningkatan output antara lain dipengaruhi secara 44 signifikan oleh tenaga kerja dan barang modal. Tenaga kerja sendiri dipengaruhi oleh upah riil, investasi, dan output. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja di wilayah JABODETABEK adalah usia, jam kerja, jenis kelamin, pengalaman, tingkat pendidikan, dan wilayah kota-desa. Kesejah- teraan tenaga kerja dipengaruhi oleh pendapatan, wilayah kota-desa dan ting- kat pendidikan. Mobilitas antar sektor di wilayah JABODETABEK dipengaruhi oleh jenis kelamin, pengalaman kerja, dan tingkat upah di bawah Rp 1 satu juta. Menurunnya kinerja pasar tenaga kerja akan berpengaruh terhadap meningkatnya pengangguran, bila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan berbagai masalah sosial. Sukwika 2003 tertarik mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan pasar tenaga kerja dan migrasi, dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan. Data yang digunakan adalah pooled data. Dalam peneli-tian ini dilakukan analisis kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor yang secara langsung dapat mempengaruhi variabel eksogen, yaitu kesempatan kerja, pengangguran, dan migasi. Hasil penelitian antara lain adalah 1 upah bukan merupakan faktor pendorong utama peningkatan angkatan kerja dan 2 pening- katan kesempatan kerja sektor pertanian lebih responsif terhadap perubahan upah riil sektor pertanian, investasi sektor pertanian, dan jumlah pengangguran. Untuk mencapai tingkat kesempatan kerja yang tinggi, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan di sektor ketenagakerjaan. Kebijakan tersebut secara langsung mempengaruhi pasar tenaga kerja dan kondisi perekonomian makro. Lisna 2007 menggunakan model sistem persamaan simultan berdasarkan data time series tahun 1980-2004 untuk meneliti dampak kebijakan 45 ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia. Hasil penelitiannya antara lain adalah meskipun upah minimum ditargetkan bagi buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh di semua tingkatan, mendorong tingkat pengangguran, dan inflasi yang pada akhirnya menurunkan GDP.

2.3.2.3. Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga

Produksi usahatani merupakan sumber pendapatan tunai cash income dan sekaligus menjadi sumber ketersediaan pangan natura bagi rumahtangga pertanian. Soepriati 2006 melakukan penelitian tentang peranan produksi usahatani dan gender dalam ekonomi rumahtangga petani lahan sawah di Kabupaten Bogor. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer yang diperoleh dari wawancara dengan petani contoh terpilih dan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik BPS. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Metode pendugaan perilaku ekonomi rumahtangga petani adalah model ekonometrika. Metode pendugaan model persamaan digunakan Two Stage Least Squares 2 SLS. Hasil analisis menunjukkan bahwa peran anggota rumahtangga yang terdiri dari suami, istri, anak laki- laki, dan perempuan memberikan kontribusi curahan kerja bagi keluarga pada kegiatan usahatani. Kontribusi curahan kerja istri pada usahatani lebih kecil dibandingkan suami dan anak laki-laki. Peran istri dalam kegiatan reproduktif lebih tinggi dari pada suami, karena istri melakukan pekerjaan rumahtangga, kegiatan sosial dan kegiatan pribadi termasuk mengurus anak, memasak, pengaturan konsumsi pangan, 46 dan non pangan. Hal yang sama juga berlaku bagi anak perempuan dewasa yang dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik. Alokasi waktu reproduktif suami dan anak laki-laki lebih banyak untuk kegiatan sosial dan waktu luang. Pendapatan rumahtangga merupakan kontribusi pendapatan suami, istri, anak laki, dan anak perempuan. Sitorus 1994 menyebutkan bahwa peran ekonomi perempuan pada rumahtangga nelayan miskin di Indonesia sangat besar. Terdapat dua peran, yaitu 1 berpartisipasi secara substansial dalam bentuk strategi nafkah ganda dan strategi ekonomi rumahtangga, dan 2 partisipasinya dalam lembaga kesejahteraan asli, dimana rumahtangga mereka memperoleh beberapa penyelesaian untuk kesulitan ekonomi dan jaminan nafkah. Meskipun belum seperti di pedesaan sawah, untuk memenuhi kebutuhan hidup, rumahtangga miskin menerapkan strategi nafkah ganda, yaitu suami, isteri dan anak-anak usia kerja terlibat mencari nafkah di dalam dan di luar perikananpertanian sekaligus. Kalau pada rumahtangga menetap, peran suami dan isteri relatif tegas, namun tidak demikian pada rumahtangga sirkulator. Pada rumahtangga yang lelakinya merupakan sirkulator, pembagian peran tidak setegas keluarga menetap, banyak pekerjaan produktif yang ditangani perempuan, sebaliknya laki-laki sirkulator mau melakukan pekerjaan rumahtangga. Pada musim hujan, sebagian pendapatan dihasilkan dari kerja bersama dalam bidang pertanian. Pada musim kemarau, pendapatan keluarga berasal dari suami sendiri dan isteri sendiri Sajiharjo, 1990. Koesoemowidjojo 2000 meneliti peran gender dalam rumahtangga penerima kredit peningkatan pendapatan petani kecil di Bogor. Data primer 47 yang digunakan dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, yaitu menggunakan model regresi berganda. Hasil penelitian antara lain adalah 1 rata-rata lama pendidikan istri 5.9 tahun lebih rendah daripada suami 7.3 tahun, 2 sekitar 29 persen isteri sepenuhnya hanya mengurus rumahtangga, selebihnya bekerja di sektor publik, dan 3 rumahtangga dengan keadaan ekonomi minim, isteri yang hanya mengurus rumahtangga mencapai 36 persen. Sedangkan rumahtangga yang lebih mampu, isteri yang mengurus rumahtangga hanya mencapai 16.7 persen. Ini merupakan indikasi bahwa adanya usaha industri rumahtangga mendorong isteri mengalokasikan waktunya untuk bekerja memperoleh pendapatan. Untuk menganalisis pengaruh dari variabel-variabel dependen, Setyawati 2008 menggunakan Model Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan peran yang dilakukan perempuan adalah selain aktivitas domestik, di luar rumah juga mengerjakan aktivitas produktif bekerja dan juga melakukan pekerjaan sosial kemasyarakatan. Peran perempuan dalam ekonomi rumahtangga diukur dari sumbangan pendapatan yang diperoleh perempuan, kontribusi perempuan berupa keputusannya dalam kegiatan rumahtangga, kegiatan sosial dan koperasi. Sedangkan kaum laki-laki, hanya melakukan aktivitas produktif dan sosial kemasyarakatan. Penelitian Soenarno 2007 dengan menggunakan data primer dan menganalisis data dengan mengkombinasikan analisis SWOT Strenghts, Weakness, Opportunities, Threats dan AHP Analytical Hierarchy Process. Hasil penelitian antara lain adalah isteri bertanggung jawab dan lebih dominan sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga dan keuangan, 48 sedangkan suami lebih dominan dalam pengambilan keputusan terkait kegiatan produksi dan urusan kemasyarakatan. Hasil penelitian Ariyanto 2004 tentang ‘alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja pada sektor industri formal’ menunjukkan bahwa dalam hal mencari nafkah, suami merupakan pemegang kendali yang dominan, namun peran isteri dalam mencari nafkah sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangganya terutama ketika pendapatan suami menurun. Selanjutnya ditemukan bahwa perempuan yang bekerja di sektor publik memiliki beban kerja yang sangat berat, karena disamping harus bekerja di luar rumah, juga masih harus menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Meskipun suami turut membantu pekerjaan domestik, tetapi waktu yang dicurahkan suami untuk pekerjaan rumahtangga relatif lebih sedikit dibanding perempuan. Dengan demikian, waktu senggang isteri cenderung lebih sedikit dibandingkan suami. Hasil analisis Ariyanto 2004 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dominan mempengaruhi alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja laki- laki adalah umur anak terkecil, gaji pokok, jenis industri, alokasi waktu suami untuk bekerja di luar industri, jenis pekerjaan isteri, pendapatan disposibel, konsumsi pangan, konsumsi selain pangan, jumlah anak yang sekolah, dan tabungan rumahtangga. Sedangkan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja perempuan adalah pendapatan isteri dari luar industri, umur anak terkecil, gaji pokok, jam lembur, alokasi waktu isteri untuk bekerja di luar industri, pendidikan suami, total pendapatan rumahtangga, ukuran rumahtangga, pendapatan disposibel, tabungan rumahtangga, dan konsumsi rumahtangga. 49 Peran gender dalam pengolahan dan pemasaran hasil perikanan menunjukkan bahwa kegiatan produktif masih didominasi oleh laki-laki. Sedangkan untuk kegiatan reproduktif, perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya dibandingkan laki-laki. Bias gender pada beban kerja ini terjadi karena adanya pandangan masyarakat bahwa semua pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan, sehingga sejak dini perempuan terisolasi untuk melakukan peran domestik. Profil akses dan kontrol menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasi pada tiga macam keputusan, yaitu pada peralatan nelayan, hasil tangkapan, dan hasil penjualan Munaf, 2004. Subordinasi yang dialami perempuan pada beberapa aspek kehidupan tidak mengurangi peran pentingnya dalam pencapaian kesejahteraan rumahtangga. Prihatini 2006 menganalisis peran pendapatan perempuan secara deskriptif dan analisis statistik chi-squares dan korelasi. Hasil analisis menun- jukkan : 1 pendapatan ibu rumahtangga memiliki kaitan positif yang sangat signifikan dengan kesehatan dan kesejahteraan keluarga, dan 2 adanya kredit dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan ibu rumahtangga.

2.3.2.4. Gender dan Sistem Usahatani

Perempuan dan laki-laki masing-masing memegang peranan penting dalam setiap usahatani yang dikelola oleh rumahtangga petani. Peran tersebut dipengaruhi oleh persepsi, pengetahuan, sikap dan tindakan. Hasil penelitian Mugniesyah et al. 2002 pada petani lahan kering di Desa Kemang Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa perempuan maupun laki-laki memiliki akses terhadap lahan usahatani sawah dan lahan kering. Namun demikian, meskipun perempuan memiliki lahan sawah yang lebih luas daripada laki-laki, status perempuan tetap dikategorikan sebagai 50 pekerja keluarga. Ini terkait dengan sistem nilai yang dianut masyarakat, bahwa suamilah yang menjadi kepala keluarga, sedangkan anggota keluarga lainnya berstatus sebagai pekerja keluarga. Meskipun demikian, Hendratno 2006 menemu- kan bahwa dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan produksi dan konsumsi dalam rumahtangga, selalu ada kompromi kooperatif antara suami dan isteri. Meskipun dalam kegiatan produksi secara umum suami lebih dominan. Hasil temuan Mugniesyah et al. 2002 menunjukkan setidaknya terdapat enam siklus tahapan suksesi lahan kering yang telah dikembangkan rumahtangga pertanian di desa ini, dimana pemilihan pola tersebut oleh suami-isteri sangat tergantung pada luasan lahan usahatani yang dimiliki, dukungan pendapatan non pertanian dan kebutuhan akan padi huma ladang. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat perilaku merusak hutan oleh petani berlahan sempit atau tidak tidak memiliki lahan, yang dilakukan karena kebutuhan mendesak untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Ini tentu saja tidak diharapkan. Penelitian Fausia dan Nasyiah 2005 menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang berakibat pada kerusakan lingkungan ternyata sangat dirasakan oleh kaum perempuan, yaitu menyebabkan meningkatkan beban kerja perempuan di sektor reproduktif. Karena sebagian besar pekerjaan rumahtangga sangat terkait dengan sumberdaya alam, seperti air dan kayu bakar untuk memasak. Sebaliknya, peran domestik perempuan tersebut juga dapat berpengaruh terhadap kerusakan atau menurunnya kualitas alam. Terkait pembangunan yang berkelanjutan, dimana petani perlu mengelola usahatani yang memperhatikan aspek lingkungan di samping aspek sosial dan ekonomi, Hartomo 2007 dan Sitepu 2007 melakukan penelitian tentang sistem 51 usahatani berkelanjutan yang responsif gender. Hartomo 2007 menggunakan data primer yang digunakan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan instrumen Socio Economic and Gender Analysis SEAGA, AHP serta Indeks Kesetaraan dan Keadilan gender IKKG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengembangkan sistem usahatani yang berkelanjutan, maka faktor yang paling menentukan adalah aspek sosial kelembagaan, lingkungan jenis komoditas, dan aspek ekonomi produksi. Dari enam pola usahatani yang diteliti, yang paling memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan responsif gender adalah pola usahatani tanaman hias, dilihat dari bobotnya yang paling besar dibandingkan bobot pola usahatani lainnya. Hasil penelitian Sitepu 2007 menunjukkan bahwa pola relasi gender pada dimensi ekologi dan sosial umumnya didominasi oleh laki-laki. Pada dimensi ekonomi, karena terbatasnya air pada pengelolaan lahan kering, sehingga mendorong laki-laki mencari pekerjaan lain di kota. Pada kondisi demikian, perempuan dominan perannya pada seluruh atribut dimensi ekonomi.

2.3.2.5. Analisis Faktor Penentu Ketahanan Pangan dan Ekonomi Rumahtangga Pertanian

Ketahanan pangan merupakan permasalahan lintas sektoral yang muncul sebagai isu nasional seiring dengan merebaknya berbagai kasus rawan pangan di sejumlah daerah di Indonesia Muflich, 2006. Upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga bukan persoalan yang sederhana. Sulitnya menanggulangi sumber-sumber distorsi akses terhadap pangan mengakibatkan kasus-kasus rawan pangan dalam bentuk Kekurangan Energi dan Protein KEP senantiasa terjadi dan bahkan menjadi salah satu masalah utama peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari aspek gizi Hardono, 2003. 52 Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian ketahanan pangan. Saliem et al. 2005 menguraikan beberapa karakteristik inheren pada tiap subsistem ketahanan pangan yang mempengaruhi pencapaiannya, yaitu : 1 ter- kait subsistem ketersediaan, diantaranya adalah bahwa produksi pangan tidak dapat dihasilkan sepanjang tahun, kapasitas produksi beras nasional cenderung stagnan, sedangkan kebutuhan masyarakat terus meningkat, dan harga gabah cenderung rendah dalam beberapa tahun terakhir, 2 pada subsistem distribusi, antara lain adalah konflik kepentingan antara konsumen dengan produsen berkenaan dengan harga, dan 3 karakteristik inheren dalam mewujudkan ketahanan pangan terkait aspek konsumsi, diantaranya adalah tingginya tingkat pengangguran dan daya beli masyarakat. Karakteristik sosial ekonomi keluarga sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Yuliana et al. 2002 menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi bayi di Kota Bogor. Hasil temuan dari studi ini adalah bahwa besar keluarga berpengaruh negatif terhadap status gizi. Artinya, semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka semakin besar resiko terjadinya gizi kurang. Karena semakin banyak anggota keluarga, maka semakin banyak makanan yang harus disediakan. Hardono 2003 menganalisis dampak perubahan faktor-faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian dengan metode simulasi menggunakan data PATANAS tahun 1999. Penelitian ini menggunakan pendekatan Model Rumahtangga Pertanian RTP. Dalam hal ini, skala produksi usahatani ditentukan oleh tingkat pemanfaatan sumberdaya seperti luas lahan garapan, tenaga kerja, maupun modal, disamping pengaruh faktor eksternal pasar input 53 dan output. Penerimaan usahatani dan usaha produktif lain secara bersama-sama akan menentukan tingkat pendapatan rumahtangga. Peningkatan kecukupan gizi atau energi berarti peningkatan terhadap derajat sehat. Semakin tinggi derajat sehat menunjukkan kualitas sumberdaya manusia yang makin baik, yang akan dapat mengurangi pengeluaran lain dalam rumahtangga, khususnya biaya kesehatan. Tabungan rumahtangga mempunyai beberapa peran, pada konteks ketahanan pangan, perannya adalah sebagai stabilisator konsumsi dalam menghadapi ancaman rawan pangan. Spesifikasi model menghubungkan dua subsistem, yaitu produksi dan pengeluaran konsumsi. Subsistem pertama mencakup keputusan usahatani dan usaha produktif lain pembentuk struktur pendapatan. Subsistem kedua mencakup keputusan penggunaan output produksi, pengeluaran rumahtangga pangan, tabungan dan investasi sumberdaya manusia, serta pembentukan modal rumahtangga. Dalam subsistem ini termasuk perilaku kecukupan energi sebagai proksi kecukupan gizi. Model disusun secara linear aditif. Hasil analisis menunjukkan kenaikan alokasi sumberdaya internal rumahtangga waktu berburuh dan luas garapan berdampak positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian. Dampak negatif akibat kenaikan harga-harga input pupuk dan upah buruh tani dapat dikompensasi bila kenaikan harga tersebut diikuti dengan kenaikan harga output secara proporsional. Model ekonomi rumahtangga juga digunakan oleh Asmarantaka 2007 dalam menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani di Provinsi Lampung. Karena terdapat perbedaan karakteristik rumahtangga yang spesifik antara pertanian tanaman pangan padi dan ubikayu dengan tanaman perkebunan kopi, maka 54 diduga akan memberi dampak yang berbeda terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani, terutama dalam curahan kerja, pendapatan, pengeluaran konsumsi, investasi maupun tabungan keluarga. Analisis ekonomi RTP mempergunakan tabulasi, uji beda, dan ekonometrika melalui persamaan simultan. Hasil analisis ekonomi antara lain menunjukkan pendapatan dari desa padi dan perkebunan terutama berasal dari pertanian, sedangkan desa ubikayu berasal dari non pertanian. Penggunaan tenaga kerja keluarga untuk mencari nafkah belum memenuhi kriteria waktu kerja penuh BPS, meskipun sudah memenuhi kriteria tahan pangan. Produksi padi tidak responsif terhadap perubahan harga kecuali di desa kebun, tetapi responsif terhadap penggunaan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja di desa pangan dipengaruhi oleh tingkat upah sedangkan desa kopi sangat dipengaruhi dan responsif terhadap nilai produksi kopi. Konsumsi pangan di tiga desa dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, meskipun hanya desa padi yang responsif. Di desa kebun, konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh nilai produksi kopi. Kenaikan penggunaan tenaga kerja keluarga yang diiringi dengan kenaikan harga input dan output, mempunyai dampak positif terhadap produktivitas usahatani dan pendapatan RTP terutama di desa pangan padi. Dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif regresi berganda, Sauqi 2002 meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi dan ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Kabupaten Lombok. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Hasil penelitiannya antara lain adalah faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga keluarga pra- sejahtera yaitu ketersediaan pangan dan daya beli rumahtangga. Ketiga penelitian di atas secara implisit berasumsi bahwa petani 55 menghadapi pasar bersaing sempurna, baik di pasar input maupun output. Hal yang berbeda dilakukan Kusnadi 2005 yang juga menggunakan model RTP, tetapi dengan asumsi bahwa petani menghadapi pasar yang bersaing tidak sempurna. Ketidaksempurnaan pasar ditangkap dengan penggunaan harga bayangan untuk tenaga kerja dalam keluarga dan lahan. Dalam kondisi ini, perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih responsif terhadap perubahan harga produk dibandingkan perubahan harga input. Rindayati 2009 melakukan studi tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat. Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan, digunakan enam indikator ketahanan pangan rumahtangga, yaitu : 1 jumlah konsumsi beras, 2 konsumsi energi, 3 kon- sumsi protein, 4 prevalensi anak gizi kurang, 5 Angka Kematian Bayi, dan 6 Usia Harapan Hidup. Salah satu hasil dari analisis yang dilakukan penulis adalah bahwa pendapatankapita merupakan variabel yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap jumlah konsumsi beras, konsumsi energi, konsumsi protein, dan prevalensi anak gizi kurang.

2.3.2.6. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumahtangga

Penelitian yang dilakukan oleh Baliwati 2001 ini didasari oleh pemikiran bahwa ketahanan pangan rumahtangga petani perlu mendapat perhatian serius karena mempunyai nilai strategis dalam mendukung terselenggaranya pembangunan nasional yang berkelanjutan serta merupakan indikator penting keberhasilan pembangunan karena mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi data primer dan 56 sekunder. Analisis secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui keragaan rumahtangga petani berdasarkan peubah pada setiap komponen ketahanan pangan. Hasil analisis validitas dan sensitivitas yang diperoleh merupakan justifikasi bahwa model konseptual dapat digunakan sebagai instrumen untuk menilai situasi ketahanan pangan rumahtangga petani. Hasil penerapan model tersebut pada kasus di desa hulu menunjukkan bahwa sebagian besar 82 persen rumahtangga petani berada pada kondisi ketidaktahanan pangan.

2.4. Sintesis Hasil Kajian Studi Terdahulu