146 Pekerjaan-pekerjaan di luar pertanian ini umumnya merupakan pekerjaan-
pekerjaan yang tidak melibatkan aspek upah, tetapi lebih merupakan usaha mandiri yang dikelola responden dengan keterbatasan modal dan pengetahuan.
Dengan demikian, hasil yang diperoleh juga sangat ditentukan oleh besar- kecilnya modal yang ditanamkan dan kemampuan manajerial dari responden.
Pekerjaan-pekerjaan upahan seperti menjadi Satpam dan guru mengaji sangat jarang dan memerlukan persyaratan yang umumnya tidak dimiliki responden.
6.2. Alokasi Waktu Berdasar Gender
Dalam rumahtangga petani, disamping lahan sebagai aset paling berharga, juga waktu 24 jam yang dimiliki masing-masing perempuan dan laki-laki
merupakan sumberdaya keluarga yang dapat dialokasikan pada berbagai aktivitas, baik untuk pekerjaan di dalam rumahtangga, di usahatani maupun pada berbagai
kegiatan di luar usahatani. Alokasi waktu pada berbagai kegiatan tersebut, disamping untuk tujuan ekonomi, kepentingan sosial, dan leisure.
Dengan menghitung dan membandingkan pola curahan kerja waktu antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktivitas produktif dan
reproduktif, maupun leisure, akan dapat diketahui gambaran mengenai posisi dan status sosial perempuan dan laki-laki dalam perekonomian rumahtangga. Ini akan
mempertajam konsepsi peran masing-masing gender dalam rumahtangga, serta dalam masyarakat secara lebih luas. Ini sesuai dengan pendapat Doyle, 1985
dalam Sajiharjo, 1990 bahwa analisis gender merupakan suatu analisis tentang hubungan relasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial. Dengan
demikian, analisis gender dapat digunakan untuk mengamati hubungan perempuan dan laki-laki melalui hubungan suami-isteri dalam keluarganya.
147 Untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini, akan dilakukan
pengamatan terhadap jenis kegiatan dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif, dan leisure, yang akan dianalisis secara
deskriptif kualitatif berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Ellis 1988. Analisis yang dilakukan adalah dengan membandingkan alokasi waktu dari semua
kegiatan yang dilakukan perempuan dan laki-laki selama 24 jam, yang dipilah menurut kegiatan 1 dalam usahatani keluarga, 2 pertanian di luar usahatani
keluarga, 3 kerja di luar pertanian, 4 pekerjaan rumahtangga, 5 waktu luang, dan 6 istirahat. Hasil analisis secara ringkas mengenai aktivitas perempuan dan
laki-laki yang dilakukan selama 24 jam terakhir disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 12. Perbandingan Alokasi Waktu menurut Gender dalam Berbagai Aktivitas
24 Jam Lalu di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Kategori Desa
Kelurahan Kelompok Aktivitas
Perempuan Laki – Laki
Jumlah Jam
Kerja Persentase
Jumlah Jam
Kerja Persentase
Rawan Pangan
n=136 Kerja di usahatani kel.
Kerja diluar usahatani kel. Kerja diluar pertanian
Pekerjaan rumahtangga Waktu luang
Istirahat
Jumlah
1.63 0.04
0.74 5.38
6.26 9.96
24.00
6.79 0.17
3.08 22.42
26.08 41.50
100.00
5.65 0.68
1.51 0.63
6.39 9.14
24.00
23.54 2.83
6.29 2.63
26.63 38.08
100.00
Tahan Pangan
n=49 Kerja di usaha tani kel.
Kerja diluar usahatani kel. Kerja diluar pertanian
Pekerjaan rumahtangga Waktu luang
Istirahat
Jumlah
3.81 0.35
1.48 3.81
5.13 9.42
24.00
15.88 1.46
6.17 15.88
21.38 39.25
100.00
7.31 0.20
0.37 1.37
5.35 9.41
24.00
30.46 0.83
1.54 5.71
22.29 39.21
100.00
148
6.2.1. Aktivitas dalam Usahatani Keluarga
Pada tabel di atas tampak untuk daerah rawan pangan, besar alokasi waktu
perempuan untuk kegiatan dalam usahatani keluarga on-farm activities rata-rata
hanya sebesar 1.63 jam atau hanya 6.79 persen dari total 24 jam yang dimiliki. Sedangkan laki-laki mengalokasikan 5.65 jam dari waktunya untuk mengelola
usahatani keluarga, atau sekitar 23.54 persen dari 24 jam yang dimilikinya. Hasil ini menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani keluarga secara langsung masih
didominasi oleh suami, sedangkan isteri perannya lebih kecil. Hasil penelitian Soepriati 2006 memper-kuat hal ini bahwa peran istri pada usahatani lebih
kecil dibandingkan suami. Hasil analisis menunjukkan keadaan yang agak berbeda untuk desa tahan
pangan, dimana alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam usahatani keluarga lebih tinggi dibandingkan di desa rawan pangan, yaitu mencapai 3.81 jam 15.88
persen untuk perempuan dan 7.31 jam 30.46 persen untuk laki-laki. Ini menun- jukkan bahwa di desa tahan pangan, para responden memberi perhatian yang be-
sar terhadap usahatani keluarga, dan usahatani ini bisa diandalkan sebagai sumber penghidupan yang utama dalam pemenuhan kebutuhan anggota rumahtangga.
Hal ini diperkuat dengan data bahwa dari keseluruhan responden penelitian n=190, hanya 75 orang isteri 39.47 persen yang bekerja atau
membantu suami secara langsung dalam usahatani keluarga. Jumlah responden perempuan yang tidak ikut bekerja dalam usahatani keluarga mencapai 60.53
persen. Temuan Kimhi dan Rapaport 2004 sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa penawaran tenaga kerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki, baik di
dalam usahatani maupun di luar usahatani.
149 Bila dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, hasil di atas
mirip keadaannya dengan responden di desa rawan pangan, dimana hanya sekitar 31.43 persen dari 140 responden perempuan yang bekerja langsung dalam
usahatani keluarga. Bandingkan dengan responden di desa tahan pangan n=50, yang persentase partisipasi perempuan dalam usahatani keluarga mencapai 62
persen. Rendahnya curahan waktu perempuan dalam usahatani keluarga adalah karena responden perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk
pekerjaan domestik dalam rumahtangga, seperti mengurus keperluan anak dan suami, memasak, dan kegiatan lainnya, termasuk menyiapkan berbagai keperluan
suami untuk bekerja di usahatani, misalnya untuk bekal makan siang. Hasil-hasil yang diperoleh di atas sesuai dengan temuan Sitepu 2007 yang
menunjukkan pola relasi gender yang umumnya didominasi oleh laki-laki dan Hendratno 2006 yang hasil penelitiannya membuktikan adanya dominasi suami
dalam kegiatan produksi.
6.2.2. Aktivitas Pertanian di Luar Usahatani Keluarga
Alokasi waktu perempuan dan laki-laki untuk kegiatan pertanian di luar
usahatani keluarga off-farm activities merupakan curahan waktu paling kecil
diantara keenam kelompok aktivitas, baik di daerah rawan pangan maupun di daerah tahan pangan. Di desa rawan pangan, alokasi waktu perempuan hanya
sebesar 0.04 jam 0.17 persen, sedangkan laki-laki adalah 0.68 jam 2.83 persen. Alokasi waktu perempuan di desa tahan pangan lebih tinggi dibandingkan
responden di desa rawan pangan, yaitu mencapai 0.35 jam 1.46 persen, sedangkan laki-laki lebih rendah, yaitu 0.20 jam 0.83 persen. Hasil ini juga
mengindikasikan kecilnya kesempatan kerja di sektor pertanian di luar usahatani
150 keluarga. Hal ini memang fenomena yang umum terjadi di perdesaan, dimana
kesempatan kerja yang tersedia sangat terbatas. Inilah salah satu yang mendorong arus urbanisasi ke kota-kota besar, dalam rangka mendapatkan alternatif
pendapatan dari berbagai kegiatan informal di perkotaan. Padahal sebenarnya, alokasi waktu di luar usahatani keluarga sebenarnya
bisa menjadi alternatif penting dalam perolehan pendapatan, seperti yang dikemukakan oleh Newman dan Canagarajah 2000 bahwa aktivitas di luar
usahatani penting karena dapat menyebabkan penurunan kemiskinan rumahtangga petani di Ghana dan Uganda.
6.2.3. Aktivitas Ekonomi di Luar Pertanian
Seperti juga di sektor pertanian, sektor non pertanian di desa juga tidak cukup menyediakan kesempatan bagi para responden untuk bekerja, baik di desa-
desa rawan pangan maupun tahan pangan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya alo- kasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan ekonomi non pertanian non-
farm activities. Dalam hal ini, perempuan mengalokasikan waktunya hanya sebe- sar 0.74 jam 3.08 persen, sedangkan laki-laki mencapai 1.51 jam 6.29 persen.
Keadaannya agak lebih baik bagi perempuan di daerah tahan pangan, dimana alokasi waktu perempuan dalam kegiatan non pertanian mencapai 1.48
jam 6.17 persen. Kebalikannya bagi para suami, alokasi waktunya hanya mencapai 0.37 jam atau hanya 1.54 persen dari total waktu yang dimilikinya.
Ini menunjukkan adanya kesempatan bekerja dan atau berusaha yang lebih besar bagi perempuan di daerah tahan pangan. Hal ini diindikasikan oleh
Setyawati 2008, yang menunjukkan peran yang dilakukan perempuan selain aktivitas domestik, adalah juga kegiatan di luar rumah dan mengerjakan
151 aktivitas produktif bekerja, serta melakukan pekerjaan sosial kemasyarakatan.
Sitorus 1994 menyebutkan bahwa peran ekonomi perempuan pada rumahtangga nelayan miskin sangatlah besar, yaitu disamping bekerja di dalam usahatani
keluarga dan atau usahatani tetangga, juga di luar sektor pertanian atau perikanan. Pentingnya aktivitas di luar pertanian sebagai sumber pendapatan bagi
rumahtangga telah banyak diketahui. Oleh karena itu, alokasi waktu responden yang ditujukan untuk kegiatan di luar pertanian merupakan upaya untuk
memperoleh pendapatan yang lebih besar bagi rumahtangganya. Mishra et al. 2002 dalam Goodwin dan Mishra 2004 menyatakan bahwa 92 persen
pendapatan petani di Amerika Serikat berasal dari non usahatani. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di luar pertanian adalah berjualan
di pasar, membuka kios sembako dan menjual makanan bagi perempuan, sedang- kan bagi laki-laki adalah mengojek, menjual di pasar dan menambang emas.
6.2.4. Aktivitas dalam Rumahtangga
Alokasi waktu perempuan yang rendah dalam usahatani keluarga, maupun dalam kegiatan ekonomi lainnya, ternyata karena perempuan lebih banyak
mengalokasikan waktunya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam rumah- tangga housework, or domestic activities, seperti memasak, mencuci, mengurus
anak, termasuk menyiapkan berbagai keperluan suami untuk ke kebun, misalnya untuk bekal makan siang. Waktu yang dialokasikan responden perempuan di desa
rawan pangan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga mencapai 5.38 jam atau 22.42 persen dari total waktunya, sedangkan laki-laki sangat sedikit,
yaitu hanya sebesar 0.63 jam 2.63 persen. Hasil ini sesuai temuan Soepriati 2006 bahwa peran isteri dalam kegiatan reproduktif di rumahtangga lebih tinggi
152 daripada suami, bahkan Koesoemowidjojo 2000 menyimpulkan bahwa sekitar
29 persen isteri sepenuhnya hanya mengurus rumahtangga, selebihnya bekerja di sektor publik.
Keadaan yang mirip terjadi juga di desa tahan pangan meski ada sedikit peningkatan dalam alokasi waktu suami dalam pekerjaan rumahtangga dan
menurunnya alokasi waktu perempuan dalam melakukan pekerjaan rumahtangga. Ini berarti bahwa di daerah tahan pangan, peran perempuan dan laki-laki dalam
penyelesaian pekerjaan rumahtangga lebih berimbang. Hasil ini sesuai dengan temuan Megawangi dan Sumarwan 1996, yaitu pada daerah yang berbeda peran
suami dalam rumahtangga bisa berbeda, di Sulawesi Utara suami lebih banyak terlibat dalam pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan suami pada rumah-
tangga di Jawa Timur. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dalam rumahtangga responden, para lelaki lebih banyak memusatkan kegiatannya pada pengelolaan
usahatani keluarga, sedangkan perempuan alokasi waktunya lebih pada tanggung jawab menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik di dalam rumahtangga.
Kurangnya responden laki-laki yang membantu melakukan pekerjaan dalam rumahtangga adalah karena mereka menganggap itu adalah pekerjaan
perempuan dan anak-anak di rumah. Terkecuali bila isteri dalam kondisi yang tidak mampu melakukannya, misalnya setelah melahirkan atau dalam keadaan
sakit, maka suami akan membantu pekerjaan rumahtangga. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat di Kabupaten
Konawe Selatan, pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga terutama masih menjadi tanggung jawab isteri. Sedangkan kegiatan mencari nafkah, terutama
masih menjadi tanggung jawab suami. Kalaupun isteri membantu, itu merupakan
153 inisiatif dan keinginan kuat dari isteri sendiri untuk menambah penghasilan.
Dengan adanya tambahan penghasilan, maka kebutuhan pangan dalam rumah- tangga akan lebih terjamin ketersediaannya. Namun terdapat juga beberapa orang
responden yang harus bekerja mencari nafkah sendiri, karena suaminya sakit. Meskipun kegiatan dalam rumahtangga tidak menghasilkan pendapatan
tunai, namun perempuan menganggap bahwa pekerjaan dalam rumahtangga merupakan pekerjaan yang penting, terutama ketika anak-anak masih berumur di
bawah 10 tahun. Temuan ini sesuai dengan teori Becker 1981 tentang nilai waktu perempuan, dimana pada saat tertentu nilai waktu perempuan lebih tinggi
daripada upah di pasar tenaga kerja atau penghasilan yang mungkin diperoleh bila
melakukan aktivitas di luar pekerjaan domestik, sehingga mereka lebih memilih mencurahkan waktunya dalam pekerjaan domestik, daripada bekerja di luar
rumah. Hal ini senada dengan Cunningham 2001, bahwa keputusan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara umum dimodelkan sebagai
maksimisasi individu atas lifetime utility happiness dengan kendala anggaran dan waktu yang tersedia. Bila utilitas dari upah marjinal harapan lebih tinggi
daripada jam marjinal pada pekerjaan non pasar pekerjaan rumahtangga, maka individu akan memasuki angkatan kerja Cunningham, 2001.
Terkait dengan alokasi waktu perempuan, Alvarez dan Miles Undated menyebutkan bahwa temuan-temuan empiris dari berbagai kajian di negara maju
secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan tetap merupakan penanggung jawab atas pekerjaan rumahtangga. Para responden perempuan di Kabupaten
Konsel juga menganggap bahwa pekerjaan rumahtangga merupakan kewajiban utama bagi perempuan, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab utama
154 sebagai pencari nafkah. Kecuali dalam kondisi suami sakit, maka isteri
mempunyai peran yang lebih berat, karena disamping tetap harus merawat suami dan mengerjakan berbagai pekerjaan domestik, juga tetap harus mencari nafkah
untuk keperluan keluarga. Terkait ketimpangan gender dalam rumahtangga di lokasi penelitian,
meskipun perempuan telah ikut mencari nafkah, namun tanggung jawab utama dalam penyelesaian berbagai pekerjaan rumahtangga tetap menjadi tugas isteri.
Ini adalah beban ganda yang harus ditanggung perempuan, karena faktor budaya yang masih kuat di kalangan masyarakat, yang beranggapan bahwa tugas utama
penyelesaian berbagai pekerjaan rumahtangga adalah tanggung jawab perempuan.
6.2.5. Aktivitas Waktu Luang
Kegiatan yang termasuk dalam aktivitas waktu luang leisure adalah sholat, menonton, mengunjungi tetangga yang sakit, dan ‘ngobrol’ dengan tamu
atau tetangga. Dalam hal ini, alokasi waktu perempuan dan laki-laki, baik di desa tahan pangan maupun di desa rawan pangan, tidak menunjukkan perbedaan yang
menyolok. Alokasi waktu perempuan di desa rawan pangan untuk aktivitas ini sebesar 6.26 jam 26.06 persen dan laki-laki sebesar 6.39 jam 26.63 persen. Di
desa tahan pangan, alokasi waktu perempuan untuk kegiatan ini adalah sebesar 5.13 jam 21.38 persen, sedangkan laki-laki sebesar 5.35 jam 22.29 persen.
Hasil ini menunjukkan bahwa waktu yang dialokasikan untuk kegiatan leisure cukup seimbang bagi seluruh responden di kedua wilayah penelitian, baik
laki-laki maupun perempuan. Menurut Apps 2004, disamping konsumsi, waktu yang dialokasikan untuk leisure merupakan salah satu indikator kesejahteraan.
Bila leisure dijadikan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan, maka seluruh
155 responden telah menikmati waktu yang cukup untuk aktivitas yang disukainya.
Nampaknya, tingginya alokasi waktu untuk leisure bagi responden di lokasi penelitian, tidak menunjukkan bahwa mereka telah sejahtera, namun lebih
disebabkan oleh kurangnya kesempatan kerja dan atau berusaha yang tersedia.
6.2.6. Istirahat
Istirahat merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap manusia. Secara normal, waktu yang cukup untuk istirahat adalah sekitar 13 dari total
waktu yang dimiliki, atau 8 jam. Nampaknya porsi waktu untuk istirahat merupakan alokasi waktu paling tinggi diantara seluruh kelompok aktivitas
responden. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa seluruh responden dikedua lokasi penelitian telah menikmati istirahat yang cukup, yang mencapai 9
jam lebih dalam sehari-semalam. Besarnya alokasi waktu untuk istirahat ini bisa saja bukan hal yang diinginkan oleh responden, namun disebabkan oleh ketiadaan
lapangan kerja dan atau berusaha yang umumnya terjadi di perdesaan. Dilihat dari aspek gender, tidak ada perbedaan menyolok antara waktu
istirahat yang dialokasikan oleh laki-laki dan perempuan dalam aktivitasnya selama 24 jam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam hal kesempatan
untuk menikmati istirahat, tidak ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
6.3. Kontrol terhadap Sumberdaya dan Pendapatan Rumahtangga