Analisis peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani di kabupaten Konawe Selatan provinsi Sulawesi Tenggara

(1)

ANALISIS PERAN GENDER DALAM PENCAPAIAN

KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

DI KABUPATEN KONAWE SELATAN

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

DISERTASI

SITTI AIDA ADHA TARIDALA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul “ANALISIS PERAN GENDER DALAM PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2010

SITTI AIDA ADHA TARIDALA NRP. A161050041


(3)

iii

ABSTRACT

SITTI AIDA ADHA TARIDALA. The Analysis of Gender Roles in the Achievement of Food Security in Farm Household Levels at South Konawe District, South East Sulawesi (HARIANTO as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARDINSYAH as members of the Advisory Committee).

Two of the eight goals of the Millennium Development are to eradicate extreme poverty and hunger and to promote gender equality and empower women. Mostly in developing countries both women and men are responsible for family food availability, and it is determined by their roles in the family which can be revealed from their working time allocation both in productive and reproductive (domestic) activities.

The high rate of malnutrition problems in South Konawe indicated food insecurity at the household level. Since food is the basic human right, its fulfillment should be considered. The objectives of this study were (1) to analyze gender roles in the achievement of family food security, (2) to analyze factors determining working decision making on working on non-farm and off-farm in farm household level, and (3) to analyze determining factors of food security at household levels.

Descriptive-qualitative analysis were employed to examine the objectives while econometric approaches were used to analyze the second and the last objectives. Since the dependent variable was a biner, a logit model was employed, and since the cumulative distribution of dependent variable was nonlinear, the maximum likelihood was employed to estimate the parameter.

There are three results. First, gender roles in the achievement of household’s food security were determined by their working time allocation and their income. Most of women’s time, except for leisure, was allocated for their domestic works, while most of men’s time was allocated for their farming activities. Men contribute more income from non-farm activities compared to women. Second, decisions on working on non-farm and off-farm by both genders were determined by economic variables such as gender income, on-farm income, human resources capability, such as education and skills, and job opportunity. Three, the determinant factors of household food security were economic variables, such as gender income and farm income, and family size.

Key words: Farm households, gender roles, food security, logit model, income, South East Sulawesi


(4)

iv SITTI AIDA ADHA TARIDALA. Analisis Peran Gender dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (HARIANTO sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan HARDINSYAH sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Dua diantara delapan Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium

Development Goals, MDGs) adalah memerangi kelaparan dan memperbaiki

ketimpangan gender. Ketahanan pangan menjadi semakin penting, karena pangan bukan hanya merupakan kebutuhan dasar (basic need), tetapi juga merupakan hak dasar (basic right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi (Hariyadi, 2009). Dilihat dari aspek gender, pentingnya pencapaian kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai suatu negara, serta membaiknya kesejahteraan masyarakat. Leadbetter (2008) menegaskan bahwa manfaat ekonomi dari kesamaan gender akan meningkatkan output dan mengembangkan kapasitas masyarakat.

Fenomena tingginya kasus gizi buruk di Kabupaten Konawe Selatan merupakan indikasi terjadinya ketidaktahanan pangan (food insecurity) di tingkat rumahtangga. Pencapaian ketahanan pangan dalam rumahtangga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan laki-laki, yang merupakan fihak paling bertanggung jawab dalam penyediaan pangan bagi seluruh anggota rumahtangganya. Peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki, dapat dilihat dari alokasi waktu yang mereka curahkan terutama dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam rumahtangga. Dari kegiatan-kegiatan tersebut akan dihasilkan produk natura dan atau pendapatan tunai yang akan meningkatkan kepemilikan sumberdaya, sehingga dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam penyediaan pangan bagi seluruh anggotanya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis peran perempuan dan laki-laki dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga, dan (3) menganalisis faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dalam penelitian ini analisis dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif dan kuantitatif dengan model logit. Model logit merupakan pendekatan yang digunakan untuk model ekonometrik yang variabel dependennya bersifat biner (dikotomi). Untuk mengestimasi model logit yang distribusi kumulatifnya tidak linier, digunakan maximum likelihood estimation (MLE).

Karakteristik sosiodemografi responden secara umum adalah berumur pro-duktif (42.49 tahun untuk laki-laki dan 36.70 tahun untuk perempuan) dengan rata-rata pendidikan tertinggi hanya mencapai 7.68 tahun untuk laki-laki dan 6.77 tahun untuk perempuan. Rata-rata umur laki-laki ketika menikah adalah 23.73 tahun dan perempuan adalah 19.53 tahun. Rata-rata ukuran rumahtangga adalah 4-5 orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa dilihat dari tingkat pendidikan


(5)

v responden, terjadi ketimpangan gender, dimana rata-rata tingkat pendidikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Berdasarkan data usia suami dan isteri saat penelitian, serta usia saat menikah, dimana usia laki-laki lebih tua daripada perempuan, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan tidak berbeda dengan di daerah lain di Indonesia. Ukuran rumahtangga yang lebih besar di desa-desa rawan pangan dan lebih tingginya jumlah anak yang berusia dibawah 10 tahun dalam rumahtangga, dapat berdampak negatif dalam pencapaian ketahanan pangan, serta juga dapat menjadi penyebab kurangnya alokasi waktu perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang bernilai ekonomis.

Rata-rata luas lahan yang dikuasai responden di desa tahan pangan lebih tinggi daripada responden di desa rawan pangan. Disini dapat dikatakan bahwa rata-rata kepemilikan lahan pertanian cukup tinggi, yaitu di atas 1 hektar dengan pendapatan per kapita rata-rata berada di bawah batas garis kemiskinan (kurang dari Rp. 182 000). Sumber pendapatan keluarga terbesar berasal dari usahatani keluarga. Dibanding laki-laki, pangsa pendapatan perempuan dari bekerja di luar usahatani keluarga adalah lebih kecil. Secara umum nampak bahwa pendapatan total rumahtangga di desa tahan pangan mencapai lebih dari dua kali lipat pendapatan rumahtangga responden di desa rawan pangan. Dari data mengenai luas lahan yang dikuasai responden yang lebih dari satu hektar per keluarga, sebenarnya ini merupakan aset sangat penting, yang bila dimanfaatkan seoptimal mungkin bisa menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga. Dengan demikian ada harapan untuk meningkatkan pendapatan/kapita yang saat ini rata-rata berada di bawah garis kemiskinan nasional, yaitu kurang dari Rp. 182 000/bulan.

Untuk menambah pendapatan keluarga, perempuan dan laki-laki bekerja dan atau berusaha di luar usahatani keluarga, baik di usahatani tetangga, maupun di luar sektor pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang umumnya dilakukan laki-laki adalah menjadi buruh mengolah lahan, memperbaiki pematang dan buruh panjat kelapa di usahatani tetangga, sedangkan perempuan menjadi buruh menanam atau buruh panen. Di luar pertanian, laki-laki melakukan berbagai pekerjaan seperti menjadi buruh bangunan, tukang ojek, menambang emas, dan berdagang, sedangkan perempuan umumnya berdagang di pasar dan di rumah, ada juga yang menjadi guru, dan tukang pijat.

Dari analisis alokasi waktu gender diketahui bahwa laki-laki lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga, yaitu sebesar 23.54 persen untuk responden di desa rawan pangan dan 30.46 persen untuk responden di desa tahan pangan. Sebaliknya, perempuan lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan dalam rumahtangga, yaitu 22.42 persen untuk responden di desa rawan pangan dan 15.88 persen untuk responden di desa tahan pangan.

Alokasi waktu kerja gender untuk aktivitas pertanian di luar usahatani keluarga sangatlah kecil. Responden perempuan di desa rawan pangan hanya mengalokasikan 0.17 persen dari waktunya dan di desa tahan pangan sebesar 1.46 persen. Responden laki-laki di desa rawan pangan mengalokasikan waktunya sebesar 2.83 persen dan di desa tahan pangan hanya sebesar 0.83 persen. Ini menjadi gambaran kurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian di perdesaan.

Selain untuk kegiatan reproduksi dan produksi, responden juga mengalokasikan waktunya untuk aktivitas waktu luang dan istrahat. Nampaknya,


(6)

vi dari alokasi waktu perempuan dan laki-laki. Alokasi waktu untuk aktivitas waktu luang perempuan dan laki-laki di desa rawan pangan jauh lebih tinggi daripada responden di desa tahan pangan, yaitu sekitar 26 persen di desa rawan pangan dan 22 persen di desa tahan pangan.

Dalam hal kontrol terhadap sumberdaya, khususnya usahatani keluarga, hasil analisis menunjukkan bahwa laki-laki merupakan penanggung jawab utama untuk kedua lokasi penelitian, yaitu mencapai 86 persen. Meskipun dengan dominasi yang berkurang, namun dalam hal pengambilan keputusan terkait hasil produksi usahatani keluarga, suami tetap merupakan pengambil keputusan utama, terutama di desa rawan pangan yang mencapai 51.43 persen dari responden.

Terkait pengambil keputusan dalam proses penjualan hasil produksi, terdapat keseimbangan dalam hubungan suami isteri, yaitu lebih menekankan pada kompromi, tidak didominasi oleh salah satu gender. Dalam hal penggunaan pendapatan usahatani, perempuan di desa rawan pangan lebih dominan sebagai penentu keputusan (40 persen), sedangkan di desa tahan pangan, kompromi bersama suami isteri lebih dominan, yaitu 59.46 persen dari responden rumahtangga.

Terdapat tiga kesimpulan yang dapat diambil dari analisis yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama, perempuan dan laki-laki memegang peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, karena disamping mengalokasikan waktunya dalam pengelolaan usahatani keluarga dan dalam kegiatan reproduktif di dalam rumah, juga dari sumbangan pendapatan masing-masing gender dari pekerjaan di luar usahatani keluarga terhadap total pendapatan keluarga. Laki-laki lebih banyak berperan dalam pengelolaan usahatani keluarga dan perempuan lebih besar peranannya dalam pelaksanaan aktivitas domestik. Sumbangan pendapatan laki-laki terhadap pendapatan total keluarga lebih besar daripada sumbangan pendapatan perempuan. Kedua, keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi, yaitu pendapatan gender dan pendapatan usahatani, kapabilitas dari human resources, yaitu pendidikan dan keterampilan, serta aspek di luar gender, yaitu kesempatan kerja. Ketiga, pencapaian ketahanan pangan rumahtangga terutama ditentukan oleh variabel-variabel ekonomi, yaitu pendapatan gender dan pendapatan usahatani, serta variabel ukuran rumahtangga.

Untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga, selain aspek ekonomi juga perlu mempertimbangkan segi non ekonomi seperti besarnya ukuran rumahtangga. Dalam hal in pemerintah dapat membantu rumahtangga menahan laju peningkatan jumlah anggota rumahtangga dengan kebijakan di bidang demografi, yaitu berupa menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB). Disamping itu, karena perdagangan menjadi salah satu bidang usaha ekonomi yang banyak digeluti perempuan dan laki-laki, dan memberikan sumbangan signifikan terhadap pendapatan keluarga, maka kemudahan dalam memperoleh modal dengan syarat ringan dan adanya pelatihan yang dapat memberi keterampilan terkait usaha-usaha produktif yang sesuai dengan sumberdaya lokal, akan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penelitian. Seiring dengan upaya itu, pembangunan infrastruktur yang mendukung jalannya roda perekonomian, seperti jalan, jembatan, dan pasar penting dilakukan.


(7)

ANALISIS PERAN GENDER DALAM PENCAPAIAN

KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

DI KABUPATEN KONAWE SELATAN

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Oleh :

SITTI AIDA ADHA TARIDALA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya imiah, penyusunan

laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karyatulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(9)

Judul Disertasi : Analisis Peran Gender dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe

Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa : Sitti Aida Adha Taridala Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Nomor Pokok : A161050041

Menyetujui, Komisi Pembimbing :

Dr. Ir. Harianto, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S. Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana,

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis Dr. Ir. Handewi P.S. Rahman


(11)

KATA PENGANTAR

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan kasih dan hidayah-Nya, sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi llmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dua diantara delapan tujuan Pembangunan Milenium (Millennium

Development Goals, MDGs) adalah terkait aspek penanggulangan kelaparan dan

mendorong pencapaian kesetaraan gender. Pentingnya pemenuhan pangan bagi setiap individu telah disadari oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai pertemuan tingkat dunia telah diselenggarakan untuk menyatukan komitmen bersama. Salah satunya adalah KTT Milenium yang diselenggarakan pada Tahun 2000, dimana tujuan pertama adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Pada Tahun 2002

juga dilaksanakan Pertemuan Puncak Pangan Dunia di Roma yang disebut World

for Summit, yang semakin mempertegas tentang pentingnya masalah pangan dan

keharusan mencapai ketahanan pangan demi memenuhi hak paling mendasar bagi manusia, yaitu hak akan pangan. Disisi lain, pentingnya pencapaian kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai suatu negara, serta membaiknya kesejahteraan masyarakat.

Terselesaikannya seluruh proses pendidikan doktor ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :


(12)

1. Dr. Ir. Harianto, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan arahan, masukan dan bimbingan sejak tahap awal penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir.Hermanto Siregar, M.Ec. sebagai Anggota Komis i Pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan penulis disela-sela kesibukan beliau yang sangat padat. Banyak koreksi, arahan, masukan dan bimbingan yang telah diberikan, terutama dalam

’focussing’ topik penelitian ini, mensinergikan antara masalah, tujuan dan

simpulan penelitian, pemahaman mengenai alat analisis ekonometrik yang digunakan, penyusunan sintesis hasil penelitian dan kesimpulan.

3. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan koreksi, arahan, masukan dan bimbingan terutama terkait berbagai hal mengenai ketahanan pangan, penyusunan sintesis hasil penelitian dan implikasi kebijakan.

4. Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira selaku Penguji Luar Komisi saat Ujian Prelim Lisan dan Ujian Tertutup yang telah memberikan apresiasi dan banyak masukan, pertanyaan, dan kritik atas tulisan yang telah disusun. 5. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S. sebagai Moderator pada Seminar Hasil

Penelitian, reviewer Jurnal Forum Pascasarjana, dan sebagai Penguji Luar

Komisi pada Ujian Tertutup atas pertanyaan, masukan, dan kritik untuk per-baikan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para peser-ta apeser-tas perpeser-tanyaan, masukan dan kritik pada saat seminar hasil penelitian.


(13)

xii

6. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas pertanyaan dan saran-saran untuk perbaikan pada Ujian Tertutup, Ujian Terbuka, dan atas ilmu-ilmu yang telah diwariskan kepada penulis selama perkuliahan serta atas layanan administrasi dan akademik selama ini. Bapak adalah salah seorang dosen yang patut diteladani, atas komitmen dalam proses belajar mengajar, untuk memperoleh lulusan yang berkualitas baik.

7. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri selaku Wakil Dekan FEM dan Ketua Sidang pada Ujian Tertutup atas pertanyaan, masukan dan saran-saran perbaikan yang diberikan.

8. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis yang telah memberi pemahaman terkait gender dalam Mata Kuliah Komunikasi Gender dan atas apresiasi, kritik, masukan, dan pertanyaan-pertanyaan pada waktu Ujian Terbuka Doktor.

9. Dr. Handewi P.S. Rahman atas apresiasi, kritik, masukan, dan pertanyaan-pertanyaan pada Ujian Terbuka Doktor, juga diskusi yang sangat berharga terkait gender dan ketahanan pangan.

10. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, Ir. Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc., dan Ir. Rita Nursuhaeti, M.S. atas diskusi terkait gender dan ketahanan pangan, juga drg. Dian Hayati atas data dan beberapa referensi kesehatan yang diberikan, serta diskusi terkait permasalahan gender dan gizi di Kabupaten Konawe Selatan.

11. Rektor Universitas Haluoleo dan Ir. Taane La Ola, M.P. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo atas izin yang telah diberikan


(14)

kepada penulis untuk menempuh Program Doktor.

12. Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Indonesia atas beasiswa BPPS yang telah diberikan kepada penulis pada penyelesaian studi Program Doktor.

13. Bapak Nur Alam, S.E. (Gubernur Sulawesi Tenggara) dan Bapak Drs. Imran, M.Si (Bupati Konawe Selatan) atas bantuan biaya pendidikan yang diberikan.

14. PROGRAM MITRA BAHARI–COREMAP II TAHUN 2009 atas Beasiswa Bantuan Penulisan Disertasi yang telah diberikan.

15. Pimpinan dan Karyawan BPS Pusat Jakarta, BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan, dan Kantor BP3KP Kabupaten Konawe Selatan yang telah banyak membantu penulis dalam pencarian dan penelusuran data-data sekunder, serta informasi lainnya terkait aspek gender dan ketahanan pangan.

16. Para Kepala Desa/Kelurahan dan responden di Desa Sandarsi Jaya, Lamooso, Andinete, Matandahi dan Ngapawali, serta Kelurahan Punggaluku dan Rambu-Rambu atas data-data dan informasi yang diberikan. 17. Enumerator yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan :

Awaluddin Hamsah, M.Si., La Ode Alwi, M.Si., Gufirlan, S.P., Agustono Slamet, S.P., Bastian Bahrun, S.P., La Ode Jabuddin, S.P., Arus Sondang, S.P., Sugeng, S.P. dan Imran Moita, S.P.

18. Rekan yang telah membantu dalam diskusi-diskusi yang sangat bermanfaat, antara lain Dr. Rasidin Sitepu, Dr. Darsono, M.Si., Ir.


(15)

Hali-xiv

matus Sa’diyah, M.Sc., dan Iwan Hermawan, M.Si. yang juga banyak

membantu dalam pembuatan power point.

19. Rekan I Gusti Ayu Putu Mahendri, M.Si. dan Mbak Rina (Statistic

Centre) yang membantu dalam pengolahan dan analisis data, serta

membagi ilmu tentang Model Logit dan Maximum Likelihood Estimator,

serta Nia yang banyak membantu antara lain dalam pengetikan dan pembuatan gambar data-data penelitian.

20. Kedua orang tua penulis Papa Dr. M. Taridala dan Mama Hanami L. atas asuhan, bimbingan, kasih sayang, dan didikan yang penuh disiplin, serta penanaman nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai harganya. Mertua penulis Papa (Alm) Bongga Sitau dan Mama Riti, yang dalam keyakinan yang berbeda, menjadi orang tua yang selalu penuh perhatian, kasih, dan cinta.

21. Suami penulis Demianus alias Hilmy Syaddad dan putra-putri penulis Arifiana Shima Ekaputri, si kembar Noor Moh. Anwary dan Noor Moh. Asy’ari, Moh. Nabil, Sitti Nabilah dan Sitti Ramadhanti atas pengertian, bantuan, dukungan, motivasi dan pengorbannya selama ini. Juga untuk Mama Dua (Kak Sarah), Mama Etti, dan Kak Ade yang telah dengan setia merawat, mengasuh, dan menemani anak-anak Penulis.

22. Kakak-kakak dan adik-adik penulis, serta Om, Tante, sepupu, dan keluarga lainnya atas bantuan, dukungan, motivasi, dan perhatiannya selama ini, termasuk membantu dalam mengasuh anak-anak Penulis.

23. Rekan-rekan penulis di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya Angkatan 2004, 2005, dan 2006, yang menjadi sahabat dalam suka duka


(16)

pada masa perkuliahan dan belajar bersama dalam menghadapi ujian prelim, antara lain Elys Fauziah, M.Si., Ir. Halimatus Sa’diyah, M.Sc. sekeluarga, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc sekeluarga, yang telah menjadi teman terbaik dalam banyak hal.

24. Rekan-rekan penulis lainnya, baik yang tergabung dalam Hiwacana Sultra di Bogor, teman-teman satu kos di jalan Raya Darmaga Km.7 No.4 Bogor, teman-teman Alumni SMAN Mandonga Kendari, teman-teman Alumni

Sosek IPB, teman-teman di jaringan sosial facebook atas perhatian,

dukungan dan motivasinya.

25. Rekan-rekan di Sekretariat EPN : Ruby Sunaryani, Suryani, Aam Amelia, Anggraini, Teh Kokom, dan Pak Husen atas semua perhatian, bantuan adminsitrasi, dan layanan lainnya.

26. Pada semua kerabat, teman dan sahabat yang senantiasa melimpahkan kasih, perhatian, dan motivasi, serta pihak-pihak lain yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu selama masa kuliah hingga saat proses pembuatan proposal, pengambilan data lapang, analisis data, penulisan laporan sampai pada tahap akhir penyelesaian studi ini.

Bogor, Maret 2010


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada Tanggal 9 Maret 1968 dari pasangan Bapak Drs. H. Marhum Taridala dan Ibu Hj. Hanami L. Penulis bersuamikan Demianus alias Hilmy Syaddad dan dikaruniai enam orang putera-puteri, yaitu Arifiana Shima Ekaputri, si kembar Noor Moh. Anwary dan Noor Moh. Asy’ari, Moh. Nabil, Sitti Nabilah dan Sitti Ramadhanti.

Pendidikan penulis sejak dari pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas di selesaikan di Kota Kendari, yaitu masing-masing pada SDN I Wua-Wua, SMPN III Wua-Wua dan SMAN I Mandonga, Pada Tahun 1986 atas undangan khusus yang dikirimkan Rektor IPB Yang Terhormat Bapak (Alm.) Andi Hakim Nasution, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama di Institut Pertanian Bogor. Pendidikan sarjana pada PS Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian diselesaikan pada Bulan Januari 1991. Pada Tahun 1994 penulis diterima sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo (Unhalu) di Kendari. Pendidikan magister yang juga ditempuh di Institut Pertanian Bogor diselesaikan pada Tahun 1999.

Tahun 2002-2003 penulis menjabat sebagai Sekretaris Perpustakaan Fakultas Pertanian Unhalu. Pada Tahun 2003 penulis diangkat sebagai Ketua Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian Unhalu. Pada Tahun 2005 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan mendapatkan beasiswa dari Program BPPS Dirjen Dikti. Pada tahun 2009 penulis terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana asal Sulawesi Tenggara (Hiwacana-Sultra) di Bogor.


(18)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 4

1.3. Tujuan ... 9

1.4. Manfaat ... 10

1.5. Lingkup dan Keterbatasan ... 10

1.6. Kebaruan Penelitian ... 13

II. KAJIAN PUSTAKA ... 15

2.1. Seks, Gender dan Analisis Gender ... 15

2.1.1. Seks ... 16

2.1.2. Gender ... 17

2.1.3. Analisis Gender ... 19

2.2. Pangan, Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan ... 22

2.2.1. Peranan Pangan dalam Pembangunan ... 22

2.2.2. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan ... 24

2.2.3. Sistem Ketahanan Pangan ... 26

2.2.4. Indikator Ketahanan Pangan ... 29

2.3. Tinjauan Studi Terdahulu ... 31

2.3.1. Studi di Mancanegara ... 31

2.3.1.1 Gender dan Ketahanan Pangan ... 31

2.3.1.2 Perempuan, Ketahanan Pangan dan Pembangunan . 36 2.3.1.3 Gender, Pembagian Tenaga Kerja, Penggunaan Waktu dan Partisipasi di Pasar Tenaga Kerja ... 37

2.3.2. Studi di Indonesia ... 41

2.3.2.1 Faktor-Faktor Penentu Partisipasi Perempuan dalam Sektor Ekonomi ... 41


(19)

xviii

2.3.2.2 Analisis Pasar Tenaga Kerja ... 43

2.3.2.3 Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga ... 45

2.3.2.4 Gender dan Sistem Usahatani ... 49

2.3.2.5 Analisis Faktor Penentu Ketahanan Pangan dan Ekonomi Rumahtangga Pertanian ... 51

2.3.2.6 Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumahtangga .. 55

2.4. Sintesis Hasil Studi Terdahulu ... 56

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 59

3.1. Kerangka Teoritis ... 59

3.1.1. Input Produksi dan Pasar Tenaga Kerja ... 59

3.1.2. Keputusan Angkatan Kerja dan Utilitas Tenaga Kerja .. 61

3.1.3. Konsep Analisis Peran Gender dalam Rumahtangga ... 65

3.1.3.1 Pemisahan Tenaga Kerja Berdasar Gender... 66

3.1.3.2 Reproduksi dan Produksi ... 66

3.1.3.3 Alokasi Waktu ... 67

3.1.3.4 Perempuan sebagai Pekerja yang Tidak Diupah ... 68

3.1.3.5 Subordinasi Perempuan ... 68

3.1.4 Pasar Tenaga Kerja sebagai Kelembagaan Gender ... 68

3.1.5 Ketidaksetaraan Gender, Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 70

3.2. Kerangka Konseptual Penelitian ... 74

3.3. Hipotesis ... 79

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 81

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 81

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 81

4.3. Metode Pengambilan Contoh ... 82

4.4. Metode Analisis ... 88

4.4.1. Peran Gender, Kegiatan, dan Alokasi Waktu ... 93

4.4.2. Analisis Keputusan Gender dalam Pasar Tenaga Kerja ... 94

4.4.3. Pencapaian Ketahanan Pangan Rumahtangga dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ... 97


(20)

V. KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN, USAHATANI DAN

LATAR BELAKANG SOSIODEMOGRAFI PETANI... 106

5.1. Karakteristik Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara ... 107

5.1.1. Situasi Kerawanan Pangan ... 109

5.1.2. Penduduk Berdasar Gender, Umur, Pendidikan dan Ketenagakerjaan ... 111

5.1.3. Pembangunan Sektor Pertanian di Sultra ... 112

5.2. Karakteristik Wilayah Kabupaten Konsel ... 114

5.2.1. Penduduk Berdasar Gender, Umur, dan Lapangan Kerja.... 114

5.2.2. Pembangunan Sektor Pertanian di Konsel ... 115

5.3. Karakteristik Kecamatan Contoh ... 116

5.3.1. Kecamatan Kolono ... 116

5.3.2. Kecamatan Angata ... 118

5.3.3. Kecamatan Laeya ... 119

5.4. Karakteristik Sosiodemografi dan Usahatani Responden ... 120

5.4.1. Karakteristik Sosiodemografi Responden ... 121

5.4.2. Penguasaan Lahan Pertanian ... 127

5.4.3. Pendapatan Rumahtangga ... 130

VI. ANALISIS PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN GENDER UNTUK BEKERJA DI LUAR USAHATANI KELUARGA 138

6.1. Pembagian Tenaga Kerja Berdasar Gender ... 139

6.1.1. Pembagian Kerja dalam Usahatani Keluarga ... 139

6.1.2. Pembagian Kerja dalam Keluarga ... 141

6.1.3. Pembagian Kerja di Luar Usahatani Keluarga ... 145

6.1.4. Pembagian Kerja di Luar Pertanian ... 145

6.2. Alokasi Waktu Berdasar Gender ... 146

6.2.1. Aktivitas dalam Usahatani Keluarga ... 148

6.2.2. Aktivitas Pertanian di Luar usahatani Keluarga... 149

6.2.3. Aktivitas Ekonomi di Luar Pertanian ... 150

6.2.4. Aktivitas dalam Rumahtangga ... 151

6.2.5. Aktivitas Waktu Luang ... 154


(21)

xx

6.3. Kontrol terhadap Sumberdaya dan Pendapatan Rumahtangga ... 155

6.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Gender untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga ... 160

6.4.1. Analisis Keputusan Kerja Perempuan ... 161

6.4.2. Analisis Keputusan Kerja Laki-Laki ... 167

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI ... 173

7.1. Pengaruh Variabel Sosiodemografi Gender ... 179

7.1.1. Ukuran Rumahtangga ... 180

7.1.2. Pendapatan Gender ... 182

7.2. Pengaruh Variabel Karakteristik Usahatani ... 184

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS ... 187

8.1. Ringkasan ... 187

8.2. Sintesis ... 192

IX. SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN PENELITIAN LANJUTAN ... 198

9.1. Simpulan ... 198

9.2. Implikasi Kebijakan ... 199

9.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 200

DAFTAR PUSTAKA ... 201


(22)

Nomor Halaman 1. Jumlah Rumahtangga Contoh Menurut Desa/Kelurahan Rawan Pangan

dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 ... 86 2. Distribusi Rumahtangga Contoh menurut Kriteria Tidak Tahan Pangan

dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009... 87

3. Kategori Tingkat Kerawanan Pangan Kabupaten di Sulawesi

Tenggara Tahun 2007 ... 110 4. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan

Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Kolono Tahun 2009 ... 117 5. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan

Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Angata Tahun 2009 ... 119 6. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan

Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Laeya Tahun

2009 ... 120

7. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi, dan P-Value Beberapa

Karakteristik Responden di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 .. 121

8. Nilai Rata-Rata Beberapa Karakteristik Responden di Desa Rawan

Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 123

9. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi, dan P-Value Penguasaan Sumberdaya

Lahan Responden di Desa Rawan Pangan dan Tahan Pangan

di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 ... 127

10. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi dan P-Value Pendapatan Rumahtangga

di Desa Rawan pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan

Tahun 2009... 132 11. Sumber-Sumber Pendapatan dan Pangsanya terhadap Total Pendapatan

Rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan (Rp/tahun) Tahun 2009 .... 134

12. Perbandingan Alokasi Waktu menurut Gender dalam Berbagai Aktivitas

24 Jam Lalu di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 ... 147

13. Penanggung Jawab Kegiatan Usahatani dan Pengambil Keputusan terhadap


(23)

xxii

14. Pihak Penentu dalam Proses Penjualan Hasil dan Alokasi Pendapatan

Usahatani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009... 158

15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Perempuan untuk Bekerja

di Luar Usahatani Keluarga di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 163

16. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja

di Luar Usahatani Keluarga di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 169

17. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga


(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Hubungan antara Gizi dan Pembangunan ... 24 2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan ... 28 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga ... 35 4. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja ... 60 5. Utilitas Individu Bukan Peserta Angkatan Kerja ... 62 6. Variasi Siklus Hidup dalam Bentuk Nilai Waktu Perempuan dan

Laki-Laki... 64 7. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 77 8. Keterkaitan Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani

Keluarga dengan Variabel yang Mempengaruhinya ... 78 9. Keterkaitan Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di Luar Usahatani

Keluarga dengan Variabel yang Mempengaruhinya ... 78 10. Keterkaitan Variabel Ketahanan Pangan dengan Variabel yang

Mempengaruhinya... 79 11. Kurva Logistik P(Z) ... 92


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara bertujuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin. Dalam rangka mencapai tujuan luhur tersebut, pembangunan dilakukan pada seluruh bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan, serta ideologi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia (KPP RI) menegaskan bahwa pembangunan di berbagai bidang tersebut ditujukan untuk seluruh penduduk, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, namun kenyataannya hasil pembangunan ini belum dirasakan sama antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender masih terjadi di berbagai bidang pembangunan. Kondisi ini dapat ditunjukkan dari adanya perbedaan akses, kontrol, dan manfaat pembangunan di berbagai bidang antara laki-laki dan perempuan (KPP RI, 2007a).

Ketimpangan gender merupakan masalah global. Hal ini dapat dilihat dari

nilai indeks pembangunan yang berkaitan dengan gender, yaitu gender-related

development index (GDI) yang dibandingkan dengan nilai human development

index (HDI). Indeks ini menangkap ketidaksetaraan pencapaian dalam

pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Semakin besar kesenjangan gender dalam pembangunan manusia dasar, semakin rendah GDI sebuah negara secara relatif terhadap HDI negara tersebut. Nilai GDI Indonesia, yaitu 0.704 harus diperbandingkan dengan nilai HDI Indonesia, yaitu 0.771. Disini nampak bahwa


(26)

nilai GDI Indonesia adalah 99 persen dari nilai HDI-nya. Dari 136 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 80 negara mempunyai rasio yang lebih baik daripada

Indonesia (UNDP, Undated).

Ketimpangan gender tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, namun juga ditemui di negara-negara maju seperti Jepang. Yoshio (2000) menyebutkan bahwa meskipun Jepang telah memiliki konstitusi (dideklarasikan pada 3 November 1946) yang di dalamnya secara tegas menetapkan persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun setengah abad setelah pengumuman kon-stitusi tersebut, realita dalam masyarakat Jepang menunjukkan bahwa persamaan gender yang ideal seperti yang diungkapkan dalam konstitusi, belum tercapai.

Pentingnya pencapaian kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai suatu negara, serta membaiknya kesejahteraan masyarakat. Leadbetter (2008) menegaskan bahwa manfaat ekonomi dari kesamaan gender akan meningkatkan output dan mengembangkan kapasitas masyarakat. Pemberdayaan ekonomi perempuan memberikan kemungkinan bagi semua negara untuk mempunyai beberapa kombinasi dari peningkatan poduktivitas, lebih sedikit tekanan, dan kesehatan yang lebih baik.

Oleh sebab itu pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang dilandaskan pada Pasal 27 UUD tahun 1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi

terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of

Discrimination Against Woman, CEDAW) ke dalam UU No. 7 tahun 1984, serta


(27)

3

Keempat di Beijing pada Tahun 1995 (KPP RI, 2000). Untuk lebih memberi ketegasan pada pentingnya pengarusutamaan gender di Indonesia, pada tahun 2000 lahir Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini lalu diikuti dengan terbitnya aturan-aturan yang lebih rendah dan lebih operasional, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 050/1232/SJ Tanggal 26 Juni 2001 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Sebagai panduannya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah menerbitkan Panduan Pelaksanaan Inpres No.9 Tahun 2000.

Perempuan memiliki peran yang besar dalam pembangunan, khususnya dalam sektor pertanian yang merupakan penghasil pangan bagi keperluan manusia. Meier (1995) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 3 (tiga) kontribusi penting perempuan di negara berkembang, yaitu (1) sebagai penyumbang pendapatan dalam rumahtangga, (2) menjaga status nutrisi anak, dan (3) berperan penting ketika terjadi krisis ekonomi.

Gender dan ketahanan pangan saling berhubungan. Penelitian FAO

(Undated) memberikan gambaran umum mengenai perubahan dan peranan

mutakhir perempuan dalam ketahanan pangan pada wilayah yang berbeda di dunia, khususnya dalam produsen pangan dan wilayah pertanian.

Dalam hal tidak terpenuhinya hak atas pangan yang layak, perempuan dan anak perempuan adalah kelompok yang paling menderita. Dalam kondisi pangan tersedia dan dapat diperoleh sekalipun, belum tentu perempuan dapat


(28)

perempuan yang meninggal jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan anak laki-laki yang meninggal. Penyebab utamanya adalah kurang gizi dan penyakit-penyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Demikian juga pada perempuan dewasa, jumlah yang menderita malnutrisi dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki (Esterlianawati, 2008).

Pentingnya pemenuhan pangan bagi setiap individu telah disadari oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai pertemuan tingkat dunia telah diselenggarakan untuk menyatukan komitmen bersama. Salah satunya adalah KTT Milenium yang diselenggarakan pada Tahun 2000, dimana tujuan pertama adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Pada Tahun 2002 juga dilaksanakan Pertemuan

Puncak Pangan Dunia di Roma yang disebut World for Summit, yang semakin

mempertegas tentang pentingnya masalah pangan dan keharusan mencapai ketahanan pangan demi memenuhi hak paling mendasar bagi manusia, yaitu hak akan pangan.

Ketahanan pangan menjadi semakin penting, karena pangan bukan hanya

merupakan kebutuhan dasar (basic need), tetapi juga merupakan hak dasar (basic

right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi (Hariyadi, 2009).

1.2. Permasalahan

International Labor Organization (1999) dalam Adioetomo et al. (2000)

menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah bagian dari perekonomian, merupakan konsumen sekaligus pekerja, sebagai anggota rumahtangga dan anggota masyarakat. Nilai-nilai tradisional Indonesia menempatkan laki-laki sebagai pekerja dan perempuan di rumah hingga beberapa waktu terakhir, bahkan di perdesaan nilai-nilai ini masih dipegang. Kondisi ini juga direfleksikan di


(29)

5

dalam pasar tenaga kerja, dimana perempuan Indonesia masih dianggap sebagai pekerja kelas dua.

Sektor pertanian yang meskipun pangsanya terhadap GNP nasional cenderung menurun, tetapi tetap memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran perempuan di pertanian sangatlah besar karena perempuan terlibat hampir di seluruh sub sistem agribisnis. Namun fakta menunjukkan bahwa upah yang dibayarkan pada perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perempuan menerima penghargaan lebih rendah daripada laki-laki walaupun untuk pekerjaan dan tanggung jawab yang sama. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan gender di sektor pertanian.

Beberapa masalah gender yang menonjol terjadi di Indonesia Timur di antaranya adalah rendahnya status kesehatan dan pendidikan perempuan dibandingkan laki-laki. Di Sulawesi Tenggara, tingkat buta aksara lebih banyak dialami perempuan daripada laki-laki. Data BPS dan BPM Sulawesi Tenggara (2006) menunjukkan bahwa pada tingkat universitas angka partisipasi sekolah perempuan di Sulawesi Tenggara lebih rendah daripada laki-laki, tetapi tidak berbeda untuk pendidikan dasar. Angka rata-rata putus sekolah perempuan juga lebih tinggi dari pada laki-laki. Sedangkan di bidang ketenagakerjaan jumlah perempuan usia produktif lebih banyak daripada laki-laki, tetapi lebih banyak laki-laki yang memasuki pasar kerja. Pada periode tahun 2002-2005, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Sulawesi Tenggara selalu lebih rendah (30-46 persen) daripada TPAK laki-laki (70-76 persen). Menurut Meier (1995), diskriminasi pekerja berkaitan dengan gender dapat dikurangi dengan mempertinggi tingkat pendidikan.


(30)

Indikasi ketimpangan gender di Sulawesi Tenggara dapat juga dilihat dari rendahnya nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG). Data Tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 30 provinsi di Indonesia, nilai IPG Sulawesi Tenggara adalah sebesar 56.8 yang berada diurutan ke-13, sedangkan nilai IPG rata-rata Indonesia sebesar 59.2. Nilai IPG tertinggi di Indonesia adalah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebesar 66.7 (BPS, BAPPENAS dan UNDP, 2004). Venny (2004) menegaskan bahwa diskriminasi yang terjadi antara perempuan dan laki-laki menunjukkan adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dan pembangunan tanpa keadilan gender berakibat pada hasil yang dicapai sampai kapanpun tidak akan pernah maksimal.

Sektor pertanian memberikan sumbangan terbesar1

Meskipun pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan di Indonesia, namun sampai saat ini upaya itu belum memberikan hasil yang optimal. Banyaknya kasus kelaparan, kekurangan pangan, dan kasus busung lapar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara, menjadi indikasi kuat belum berhasilnya pemerintah memenuhi salah satu hak paling asasi dari seorang manusia, yaitu hak atas pangan. Terlebih lagi terhadap PDRB Sulawesi Tenggara yaitu sebesar 42.37 persen (BPS Sulawesi Tenggara, 2007a). Perempuan juga banyak terlibat di sektor pertanian sebagai tenaga kerja yaitu sebesar 54.25 persen dari total penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Meskipun demikian lebih dari separuhnya berstatus sebagai pekerja yang tidak dibayar. Sementara laki-laki bekerja dengan status berusaha dan dibantu oleh tenaga kerja tak dibayar (BPS dan BPM Sulawesi Tenggara, 2006).

1

Dua lapangan usaha menyumbang 13-14 persen, sedangkan lima lapangan usaha lainnya sumbangannya di bawah 10 persen terhadap PDRB total Sulawesi Tenggara


(31)

7

kondisi akhir-akhir ini, ketika harga BBM dunia yang terus meningkat yang juga diikuti oleh meningkatnya harga-harga bahan pangan domestik, memungkinkan terjadinya kerawanan pangan di masyarakat semakin besar dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial ekonomi dan politik. Kondisi tersebut dapat membahayakan ketahanan nasional, karena ketahanan pangan sangat mempengaruhi ketahanan dan stabilitas nasional.

Terdapat beberapa indikator yang menggambarkan kondisi belum tercapainya ketahanan pangan yang terjadi dalam masyarakat, antara lain dapat dilihat dari kondisi status gizi balita (usia dibawah lima tahun), anak usia sekolah (usia 6-15 tahun) dan status gizi penduduk umur 15 tahun ke atas. Dilihat dari Persentase Balita Menurut Status Gizi, dari 10 kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, Konawe Selatan (Konsel) merupakan kabupaten dengan jumlah kasus

gizi buruk tertinggi (Lampiran 1-3). Berdasarkan Kategori Status Gizi BB/U2

Untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangganya, perempuan dan laki-laki melakukan berbagai aktivitas untuk memperoleh penghasilan, baik berupa produk (natura) yang dapat dijadikan bahan pangan bagi anggotanya, atau produk lainnya yang dapat dijual, maupun penghasilan berupa uang tunai yang dapat digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan terutama bahan makanan

, kasus gizi buruk di Konsel mencapai 11.4 persen. Dilihat dari Kategori Status Gizi TB/U, di Konsel terdapat sebanyak 28.8 persen kasus gizi buruk. Demikian juga bila dilihat dari Persentase Balita Menurut Status Gizi BB/TB, kasus gizi buruk di Konsel mencapai 10 persen (Departemen Kesehatan, 2008).

2

Status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)


(32)

yang diperlukan seluruh anggota rumahtangga. Upaya-upaya memperoleh penghasilan tersebut dilakukan dengan mengalokasikan waktunya untuk bekerja

di dalam usahatani keluarga (on-farm), atau bekerja di luar usahatani keluarga

(off-farm), bahkan di luar sektor pertanian (non-farm).

Sebagian besar petani di Sulawesi Tenggara bukanlah petani pangan, yang hasil produksinya dapat langsung dikonsumsi sebagai bahan pangan bagi seluruh anggota rumahtangga. Sebagian petani mengusahakan padi sawah, padi ladang, ubi kayu, jagung, sagu, sayuran, dan nelayan/petambak, namun umumnya petani di daerah ini mengusahakan tanaman perkebunan seperti kakao, jambu mete, dan lada. Komoditas ini harus dijual terlebih dahulu untuk memperoleh penghasilan. Dengan demikian, akses ekonomi menjadi syarat penting untuk memenuhi kebutuhan terhadap pangan. Kenapa ini menjadi penting, karena mereka umumnya harus membeli komoditas pangan yang diperlukan, karena umumnya tidak tersedia di dalam usahataninya. Bila usahatani mereka tidak memberikan

pendapatan yang memadai, maka rumahtangga akan menghadapi kerentanan

pangan. Upaya apa yang dilakukan dalam menghadapi kondisi seperti ini?

Apakah pendapatan yang diperoleh dari usahatani non pangan tersebut cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumahtangga mereka, terutama kebutuhan akan pangan?

Ketahanan pangan juga sangat terkait dengan beberapa aspek lain di luar

ketersediaan pangan itu sendiri. Nainggolan (2007)3

3

Harian Suara Pembaruan (2007)

menyebutkan bahwa masalah kelaparan dan kurang gizi disebabkan bukan hanya oleh kekurangan pangan, tetapi kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan kurangnya akses terhadap


(33)

9

fasilitas kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lingkungan yang saniter. Hal ini menjelaskan bahwa hak atas pangan berkorelasi kuat antara lain dengan hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan.

Terkait pemenuhan kebutuhan pangan, menarik untuk dikaji mengenai kapabilitas masyarakat (perempuan dan laki-laki), serta peran gender dalam memenuhi kebutuhan tersebut dalam rangka mencapai ketahanan pangan setiap

anggota rumahtangganya. Menurut Saliem et al. (2002), memantapkan ketahanan

pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa.

Berdasarkan kenyataan yang ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan gender dan belum tercapainya ketahanan pangan di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, maka menarik untuk dipertanyakan yaitu :

1. Bagaimana peran perempuan dan laki-laki dalam mencapai ketahanan pangan

rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara?

2. Faktor-faktor apa yang menentukan keputusan perempuan dan laki-laki untuk

bekerja di luar usahatani keluarga?

3. Faktor-faktor apakah yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di

Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara?

1.3. Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengalisis peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Konawe Selatan. Secara spesifik, beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.


(34)

1. Menganalisis peran perempuan dan laki-laki dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Menganalisis faktor-faktor penentu keputusan perempuan dan laki-laki untuk

bekerja di luar usahatani keluarga.

3. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga

di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut.

1. Sebagai rujukan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, da-lam rangka pencapaian kesetaraan gender dan ketahanan pangan di Indonesia. 2. Sebagai bahan pembanding dan referensi untuk studi-studi dengan isu yang

relevan.

3. Bagi penulis, di samping untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam penyelesaian studi doktor, penelitian ini juga merupakan latihan dalam penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.

1.5. Lingkup dan Keterbatasan

Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Dari berbagai kajian diketahui bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional ataupun wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya, terutama pangan, laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga akan melakukan aktivitas baik di dalam usahataninya, di luar usahataninya ataupun di luar sektor pertanian.


(35)

11

Rumahtangga petani merupakan fokus utama penelitian ini, karena pertanian merupakan sektor penting di Sulawesi Tenggara yang melibatkan curahan kerja perempuan dan laki-laki serta penyedia pangan bagi masyarakat. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kerawanan pangan terjadi di daerah perdesaan yang menjadi basis sektor pertanian. Ketahanan pangan nasional akan tercapai bila setiap individu dalam rumahtangga sebagai unit sosial terkecil telah mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan diukur dari : (1) penda-patan yang diperoleh masing-masing gender dari aktivitas produktif di luar usahatani keluarga, dan (2) alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif dan reproduktif dalam rumahtangga.

Dalam rumahtangga petani, terdapat bermacam-macam jenis usahatani yang dikelola petani dan keluarganya, baik pertanian tanaman pangan, pertanian non pangan, maupun kombinasi keduanya. Di Sulawesi Tenggara, di samping terdapat rumahtangga petani yang menanam komoditas pangan seperti padi, jagung, singkong, juga terdapat petani yang hanya menanam komoditas perkebunan seperti kakao dan lada, ataupun kombinasi keduanya, ataupun petani yang mengelola usaha perikanan (nelayan dan petambak). Dalam penelitian ini, rumahtangga contoh yang diambil meliputi petani tanaman pangan, pekebun dan nelayan. Untuk menangkap perbedaan perilaku yang mungkin ada antara rumahtangga yang tinggal di daerah yang masuk kategori rawan pangan dan tahan pangan, maka diambil rumahtangga sebagai contoh pada beberapa desa/kelurahan di daerah rawan pangan dan tahan pangan. Perlu disampaikan bahwa di desa yang masuk kriteria rawan pangan, di samping terdapat rumahtangga yang rawan


(36)

pangan, juga terdapat rumahtangga yang tahan pangan. Demikian juga di desa tahan pangan, di samping terdapat rumahtangga tahan pangan, juga terdapat rumahtangga rawan pangan.

Dalam penelitian ini akan dianalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja dan atau berusaha di luar usahatani keluarganya. Dalam analisis gender, keputusan seorang perempuan atau laki-laki juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi, misalnya aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam analisis keputusan gender untuk bekerja, kajian dibatasi hanya untuk keputusan perempuan (isteri) dan laki-laki (suami) dalam melakukan aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga. Terdapat dua alasan utama yang mendasari hal ini, yaitu (1) sebagai petani dipastikan bahwa melakukan berbagai aktivitas di dalam usahatani, merupakan kegiatan utama petani dan keluarganya, dan (2) meskipun kegiatan dalam usahatani keluarga merupakan hal yang penting, tetapi dari berbagai studi diketahui bahwa sumber pendapatan utama masyarakat petani dan keluarganya sebagian besar berasal dari luar usahatani. Fenomena ini juga terjadi di lokasi penelitian.

Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan rumahtangga dapat digunakan banyak ukuran. Indikator yang digunakan dalam penelitian adalah frekuensi makan anggota dalam sehari. Ukuran ini merupakan ’indikator langsung’ yang menggambarkan kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggotanya. Dalam keadaan normal, sesuai dengan kebiasaan makan masyarakat di Indonesia (termasuk pada masyarakat Kabupaten Konawe Selatan), dalam sehari frekuensi makan adalah tiga kali (sarapan, makan


(37)

13

siang dan makan malam). Bila kebiasaan makan tersebut berubah, misalnya menjadi dua kali sehari, ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk penyesuaian yang dilakukan rumahtangga untuk tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan pangan seluruh anggota rumahtangga.

Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah (1) indikator ketahanan pangan yang digunakan adalah ukuran kualitatif, yaitu frekuensi makan anggota

rumahtangga, bukan intake (konsumsi) energi dan protein, dan (2) meskipun

dalam penelitian ini unit analisisnya adalah rumahtangga, namun fokus kajian hanya pada peran suami dan isteri saja, tidak untuk anggota keluarga lainnya. Keterbatasan ini terjadi karena (1) mengukur kandungan gizi yang dikandung keseluruhan jenis pangan yang dikonsumsi dalam sebuah rumahtangga di samping merupakan pekerjaan yang memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit, juga diperlukan tenaga pencacah dengan keahlian yang memadai, dan (2) dari pengamatan di lapangan nampak bahwa suami dan isteri merupakan pihak yang paling berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga, baik dari sisi sumbangan pendapatan, maupun dari alokasi waktu.

1.6. Kebaruan Penelitian

Analisis gender merupakan suatu analisis sosial yang memfokuskan perhatian pada relasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan rumahtangga dan masyarakat secara lebih luas, yaitu terkait peran dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian nampak bahwa analisis seharusnya dilakukan secara seimbang terhadap kedua pihak tersebut. Dari analisis gender yang dilakukan beberapa peneliti nampak bahwa pembahasan lebih difokuskan pada perempuan saja. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa fenomena ketimpangan


(38)

gender yang terjadi dalam rumahtangga dan masyarakat, lebih banyak dialami kaum perempuan.

Dalam penelitian ini, pembahasan yang dilakukan difokuskan untuk kedua pihak, yaitu perempuan dan laki-laki secara seimbang tentang peran mereka dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Dengan demikian, analisis peran masing-masing gender akan dilihat secara lebih adil dan obyektif. Penelitian yang menganalisis peran gender yang mengaitkannya dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani, merupakan penelitian yang masih langka dilakukan.

Analisis peran yang dilakukan masing-masing gender dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, disamping menggunakan analisis kualitatif, juga dilakukan analisis kuantitatif dengan menggunakan model logit. Dari kajian beberapa literatur nampak bahwa pada penelitian peran gender sebelumnya, analisis yang dilakukan lebih cenderung bersifat deskriptif-kualitatif.


(39)

II. KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa konsep penting dan aspek-aspek lain seperti seks, gender, analisis gender, pangan, peran pangan dalam pembangunan, ketahanan pangan dan indikatornya, serta kaitan antara gender dan ketahanan pangan. Disamping itu juga dipaparkan mengenai kajian pustaka yang dilakukan, baik oleh peneliti di mancanegara maupun di dalam negeri. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh pemahaman yang lebih baik terkait aspek gender dan ketahanan pangan dalam rumahtangga.

2.1. Seks, Gender dan Analisis Gender

Menurut Sumiarni (2004) istilah gender sudah dikenal sejak tahun 1977 di

London, dimana kaum feminis tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal

atau sexist, tetapi menggantinya dengan istilah gender. Sedangkan di Indonesia

istilah ini mulai banyak dipergunakan dan dikaji pada dekade tahun 90-an. Hal ini dapat dilihat pada penelitian Sajogyo (1983) tentang Peranan Perempuan dalam Perkembangan Masyarakat Desa yang belum menggunakan istilah gender, meskipun penelitian tersebut telah meneliti secara mendalam tentang peran perempuan (bersama pria) di perdesaan.

Menurut Fakih (1999) konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep jenis kelamin dan gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Terdapat kaitan

yang erat antara perbedaan gender (gender differents) dan ketidakadilan gender


(40)

Menurut Lindsey (1990) yang dikutip Sumiarni (2004), gender digunakan untuk mengindentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, sementara seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, seperti perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, dan reproduksi. Sedangkan gender lebih banyak terkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.

2.1.1. Seks

Pengertian jenis kelamin atau seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, misalnya manusia jenis laki-laki adalah manusia yang

memiliki penis, jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Adapun

manusia jenis perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat (Fakih, 1999).

Sumiarni (2004) menjelaskan bahwa perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak menimbulkan perbedaan pendapat, tetapi efek dari perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan pada perilaku manusia, khususnya


(41)

17

dalam relasi gender. Kalangan feminis berpendapat bahwa perbedaan peran gender bukan karena kodrat atau biologis, tetapi karena faktor budaya.

2.1.2. Gender

Dalam membahas persoalan pembangunan, gender sebagai suatu konsep

lebih tepat digunakan daripada istilah ‘jenis kelamin’ (sex) wanita dan pria

(Achmad, 1991). Konsep gender merujuk pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun budaya. Keadaan ini akan berubah-ubah menurut waktu, lokasi, dan lingkungan sosial budaya yang berbeda pula. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Perubahan juga bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Pada suku tertentu perempuan kelas bawah di perdesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Selama 1980-1990, perhatian terhadap isu gender dalam pembangunan ditandai dengan pergeseran teoritis dari pendekatan struktural ke penggunaan isu gender sebagai kategori sentral yang merupakan faktor kunci dalam formulasi teoritikal baru pembangunan (Beneria, 2003). Pengertian gender terkait dengan


(42)

peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial, sebagai lawan dari

karakteristik biologi dan fisik (Bouta et al., 2005). Gender adalah perbedaan

peran, fungsi dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman (KPP RI, 2006).

Mosse (1996) menjelaskan bahwa secara mendasar gender berbeda dari pengertian jenis kelamin (biologis). Setiap masyarakat memiliki ’naskah’ untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita bayi hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Perangkat perilaku seperti penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumahtangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga secara bersama-sama memoles ’peran gender’.

Sadli (2000) yang dikutip Sumiarni (2004) mengatakan bahwa gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seseorang. Gender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap, dan perilaku yang dipelajari seseorang. Hal-hal yang dipelajari biasanya berkaitan dengan sifat dan perilaku yang dianggap pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki.

Selanjutnya Sumiarni (2004) menjelaskan bahwa di Inggris abad ke sembilan belas ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah, khususnya bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Sedangkan kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai

pembantu (servants) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja


(43)

19

Di Bangladesh banyak perempuan muslim yang menganggap bahwa tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan kerja yang dibayar. Namun ada banyak perempuan muslim lainnya terpaksa bekerja, seringkali sebagai pembantu rumahtangga.

Dengan kata lain, kelas (class) nyaris selalu berkaitan dengan urusan memutuskan

peran gender yang pantas karena memiliki jenis kelamin (seks) biologis tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa gender seseorang diperoleh melalui suatu proses yang panjang, sebagai hasil belajar sejak usia dini. Gender juga merupakan hasil interaksi faktor internal (apa yang secara biologis tersedia) dan faktor eksternal (apa yang diajarkan oleh lingkungannya, termasuk tujuan dan harapan lingkungan terhadapnya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki). Gender dapat juga berubah walaupun sulit karena telah mengalami proses yang panjang dalam perkembangan seseorang.

2.1.3. Analisis Gender

Memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Dari berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin yang belum pernah disinggung oleh teori-teori sebelumnya, yaitu analisis gender (Fakih, 1999).

Sebagaimana layaknya teori sosial lainnya seperti analisis kelas, kultural dan diskursus, analisis gender bermaksud memahami realitas sosial. Sebagai teori,


(44)

tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi, dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan, serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, dan kultural), yang belum dianalisis oleh teori ataupun alat analisis sosial lainnya (Fakih, 1999).

Terdapat beberapa sumber terjadinya ketimpangan gender dalam masyarakat. KPP RI (2005) menyebutkan sumber bias gender berasal dari faktor (1) sosial atau lingkungan, (2) agama, (3) adat istiadat, (4) ekonomi, (5) pera-turan peundang-undangan, (6) kebijakan, dan lain-lain.

Pada saat ini analisis gender (Gender-Based Analysis) sudah diterapkan

dalam penyusunan kebijakan dan perundang-undangan di beberapa negara. Status

of Woman Canada (1996) memaparkan bahwa pada tahun 1995 pemerintah

federal mengadopsi analisis gender untuk kebijakan dan perundang-undangan yang akan diambil. Analisis berdasarkan gender adalah sebuah proses yang menilai dampak yang berbeda dari yang diusulkan dan/atau kebijakan yang ada, program dan perundang-undangan terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini memungkinan kebijakan yang diambil memberi penghargaan atas perbedaan gender, dari hubungan alami antara laki-laki dan perempuan dan dari kenyataan

perbedaan sosial mereka, harapan hidup, dan keadaan ekonomi.

Dengan analisis gender dapat dibandingkan bagaimana dan mengapa perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh isu kebijakan. Analisis ini menentang asumsi bahwa setiap orang dipengaruhi oleh kebijakan, program, dan perundang-undangan dalam cara yang sama tanpa memperhatikan gender, atau sering dikenal sebagai ‘kebijakan netral gender’.


(45)

21

KPP RI (2005) menjelaskan bahwa dalam melakukan analisis atau perencanaan anggaran berbasis gender, para perencana dapat menggunakan berbagai metode yang tersedia. Setiap metode memiliki keunggulan dan keku-rangan masing-masing. Penggunaannya tergantung pada kebutuhan dan kecocok-an dengkecocok-an situasi ykecocok-ang dihadapi. Terdapat beberapa model teknik kecocok-analisis gender yang pernah dikembangkan oleh para ahli, antara lain (1) Model Harvard, (2)

Mo-del Moser, (3) MoMo-del GAP (Gender Analysis Pathway), dan (4) Model Pro BA

(Problem Based Approach). Metode Harvard yang dikembangkan oleh Harvard

Institute didasarkan pada pendekatan efisiensi WID (women in development) yang

merupakan kerangka analisis gender dan perencanaan gender yang paling awal.

Model Mosher merupakan tehnis analisis yang didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender bersifat ‘tehnis’ dan ‘politik’. Kerangka ini mengasumsikan adanya konflik dalam proses perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu ‘debat’.

Menurut Ellis (1988), peran perempuan dalam aktivitas pertanian

sangat besar, namun analisis ekonomi yang ada belum mampu meliput kontribusi tersebut secara tepat. Oleh karena itu, beberapa konsep yang relevan digunakan untuk bisa melihat peran perempuan secara lebih

Metode GAP bertujuan untuk mengetahui ada-tidaknya kesenjangan gender, dengan melihat aspek akses, peran, manfaat, dan kontrol yang diperoleh perempuan dan laki-laki dalam program pembangunan. Metode ini telah banyak digunakan di Indonesia, terutama dalam proses perencanaan program-program responsif gender. Analisis model PROBA didasarkan pada masalah yang ada di setiap instansi atau wilayah, lalu membandingkan dengan rencana yang dicanangkan.


(46)

obyektif, adalah (1) gender division of labor (pemisahan tenaga kerja berdasar gender), (2) dampak pemisahan tenaga kerja terhadap alokasi waktu perempuan dan laki-laki, (3) kekakuan dalam pemisahan tenaga kerja, (4) kontrol terhadap sumberdaya, dan (5) dampak dari faktor-faktor di atas terhadap hubungan produktivitas, hasil tenaga kerja, dan distribusi pendapatan rumahtangga pertanian.

2.2. Pangan, Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan yang sangat azasi, yang bila tidak dipenuhi dapat menyebabkan seseorang tidak dapat beraktivitas dan berprestasi, bahkan bila kekurangan pangan terus berlanjut dapat menyebabkan kematian (Taridala, 1999). Di Indonesia, aturan tentang pangan dituangkan di dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang antara lain menyebutkan bahwa hak atas pangan dilaksanakan secara bersama-sama oleh negara dan masyarakat dalam konteks pembangunan ketahanan pangan. Berdasar pertimbangan bahwa (1) keta-hanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan (2) sebagai pelaksanaan Pasal 50 Undang-Undang tentang pangan tersebut, telah diundangkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

2.2.1. Peranan Pangan Dalam Pembangunan

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi


(47)

23

(karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air) menjadi landasan utama bagi manusia untuk mencapi kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus hidup. Janin dalam kandungan, bayi, balita, anak remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan pangan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang, serta mencapai prestasi kerja (Karsin, 2004).

Dari kondisi di atas menunjukkan bahwa pangan (dan gizi) merupakan indikator hidup masyarakat yang berkelanjutan, yang memungkinkan anggotanya mencapai mutu kehidupan melalui cara yang secara ekologi berkelanjutan, antara lain melalui pembangunan pertanian berkelanjutan. Dengan demikian, setiap pemerintah suatu negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi kebutuhan pangan (dan gizi) tersebut. Kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban tersebut berarti melanggar hak asasi.

Hubungan antara pangan (gizi) dengan pembangunan memiliki kaitan yang erat. Berg (1986) menunjukkan hubungan tersebut dalam Gambar 1. Pangan (dan gizi) yang memadai merupakan kebutuhan penting untuk menurunkan angka kematian bayi dan Balita, menurunkan angka kesakitan, meningkatkan kemampuan belajar anak sekolah, dan daya tahan fisik orang dewasa. Dengan demikian akan dicapai kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dari Gambar 1 tersebut dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan di suatu negara sangat ditentukan oleh ketersediaan pangan yang bergizi, yang dapat dikonsumsi oleh setiap warga negara yang membutuhkannya.


(48)

Angka kematian Mendorong Bayi dan balita KB

Angka kesakitan Hari kerja Gizi yang

Memadai Kualitas Produktivitas Kemampuan belajar hidup

Anak sekolah

Prestasi kerja Pembangunan Daya tahan fisik berhasil Orang dewasa

Sumber : Berg, 1986

Gambar 1. Hubungan antara Gizi dan Pembangunan

2.2.2. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesempatan kerja guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan menjadi lebih baik, merupakan dua komponen utama dalam

perwujudan ketahanan pangan (Saliem et al., 2003). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara adalah bagaimana menyediakan pangan bagi rakyatnya. Negara yang berhasil memenuhi kebutuhan pangan bagi seluruh rakyatnya atau telah

mencapai kondisi ’tahan pangan’ (food security) adalah negara yang berhasil


(49)

25

Sesuai Undang-Undang No 7/1996 tentang pangan bahwa pangan mencakup pangan dan minuman hasil tanaman dan ternak serta ikan, baik produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan protein, dimana pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkal/kapita/hari dan 80 gr protein/kapita/ hari. Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2000 yang masing-masing sebesar 2500 Kkal/kapita/hari dan 55 gr protein/kapita/hari.

Walaupun secara nasional ketersediaan pangan telah melebihi standar kecukupan energi dan protein, namun tidak menjamin kecukupan konsumsi di

tingkat individu. Ini sejalan dengan Stamoulis et al. (2003) yang mengindikasikan

bahwa pertumbuhan sektor pertanian tidak selalu memiliki dampak besar terhadap ketahanan pangan. Potensi pertanian dan pembangunan pertanian untuk mendorong ketahanan pangan bervariasi berdasarkan relatif pentingnya pertanian dalam matapencaharian masyarakat.

Seperti diketahui bahwa tingkat konsumsi rata-rata per kapita per hari penduduk Indonesia pada tahun 1999 adalah sebesar 1849 Kkal atau 82.2 persen dari standar kecukupan. Ketidakcukupan pangan ini mencerminkan pula fakta bahwa (1) prevalensi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk masing-masing 24.9 persen dan 7.7 persen pada tahun 1999, dan (2) proporsi rumah-tangga rawan pangan di lndonesia yang diukur dengan indikator silang antara

tingkat konsumsi energi ≤ 80 persen dari standar kecukupan dan pangsa


(50)

persen, serta (3) jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang juga dapat diidentikkan dengan penduduk yang tidak atau kurang tahan pangan) pada tahun 1998 sebesar 24.23 persen (Jayawinata, 2005). Keadaan ini menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya berhasil dalam pembangunan nasionalnya, karena belum berhasil memenuhi kebutuhan pangan seluruh warga negaranya.

2.2.3. Sistem Ketahanan Pangan

Pada tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi isu internasional.

Pada tahap ini, konsep ketahanan pangan (food security) difokuskan pada

ketersediaan pangan di tingkat nasional maupun internasional, terutama padi-padian, karena adanya krisis pangan dunia tahun 1972-1974. Oleh karena itu sejak awal orde baru kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada

pendekatan penyediaan pangan yang dikenal sebagai FAA (food availability

approach). Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan akses

terhadap pangan. Asumsi yang mendasarinya adalah jika pasokan pangan tersedia, maka para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara efisien. Selain itu harga pangan akan tetap stabil pada tingkat yang wajar, sehingga dapat dijangkau oleh seluruh keluarga (Setiawan, 2004).

Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan. Fenomena ini

disebut sebagai hunger paradoks. Hal seperti itulah yang menyebabkan

pendekatan ketersediaan pangan gagal mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di beberapa negara.

Pada tahun 1980-an terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan di tingkat rumahtangga dan individu. Dimana


(51)

27

kerangka ketahanan pangan berada dalam suatu jenjang, yaitu ketahanan pangan wilayah, rumahtangga, dan individu. Ketahanan pangan wilayah tidak menjamin ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga tidak akan menjamin ketahanan pangan individu. Ketahanan pangan individu akan menjamin ketahanan pangan di semua jenjang.

Setiawan (2004) mengemukakan definisi ketahanan pangan yang telah

diterima secara luas oleh praktisi maupun akademisi adalah acces for all people

at all times to enough food for an active and healthy life. Makna yang

terkandung dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Dalam konteks rumahtangga, definisi tersebut didasarkan pada konsep

entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan.

Indonesia telah mengadopsi rumusan ketahanan pangan tersebut dan dituangkan dalam UU RI Nomor 7/1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Implementasi dari Undang-Undang tersebut ditindaklanjuti dengan mengkristalkan konsep ketahanan pangan sebagai suatu sistem seperti terdapat pada Gambar 2 (Dewan Ketahanan Pangan [DKP], 2006). Kinerja dari ketiga subsistem ketahanan pangan akan terlihat pada status gizi masyarakat dan dapat dideteksi antara lain dari status gizi anak Balita (bawah lima tahun). Apabila salah satu atau lebih dari ke tiga subsistem tersebut tidak berfungsi dengan baik maka akan terjadi masalah kerawanan pangan yang berdampak pada


(52)

peningkatan kasus gizi kurang dan/atau gizi buruk. Dalam kondisi demikian negara atau daerah dapat dikatakan belum mampu mewujudkan ketahanan pangan.

Sumber : DKP, 2006

Gambar 2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan

Setiawan (2004) menyatakan bahwa sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu: (1) ketersediaan dan stabilitas

pangan (food availability,

and stability),(2) kemudahan memperoleh pangan

(food accessibility, dan (3) pemanfaatan pangan (food utilization). Dengan

demikian faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi ketiga komponen ketahanan pangan tersebut. Komponen ketersediaan dan stabilitas pangan dipengaruhi oleh sumberdaya

(alam, manusia, dan sosial) dan produksi pangan (on-farm and off-farm). Akses

pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai

NASIONAL PROPINSI, KABUPATEN, RUMAH TANGGA INDIVIDU

PENDAPATAN DAN AKSES PANGAN

PENGELOLAAN KONSUMSI & POLA

ASUHKELUARGA SANITASI & KESEHATAN KETERSEDIAAN DISTRIBUSI KONSUMSI KONSUMSI SESUAI KEBUTUHAN GIZI PEMANFAATAN OLEH TUBUH S T A T U S G I Z I INPUT Kebijakan dan Kinerja Sektor Ekonomi, Sosial, Politik

Ekonomi -Pertanian,

Perikanan, Kehutanan - Perdagangan /

Jasa - Industri

Prasarana / Sarana -Lahan/pertanahan -Sumber daya air,

Irigasi -Perhubungan/ transportasi Permodalan Kesra -Kependudukan -Pendidikan - Kesehatan

Stabilitas dan Keamanan Nasional

OUTPUT

Pemenuhan

Hak Atas Pangan

Sumber- daya Manusia Berkualitas

Ketahanan

Nasional


(1)

Lampiran 11. Hasil Estimasi Model Logit Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di- Luar Usahatani Keluarga dengan Metode MLE, Prosedur Logistic

The SAS System The LOGISTIC Procedure Model Information

Data Set : WORK.KETAHANAN1

Response Variable : Kln (keputusan laki-laki untuk bekerja) Number of Response Levels : 2

Model : Binary logit Optimization Technique : Fisher's scoring Number of Observations Read : 194

Number of Observations Used : 194 Response Profile

Ordered Total Value Kln Frequency 1 1 67 2 0 127 Probability modeled is Kln=1. Model Convergence Status

Convergence criterion (GCONV=1E-8) satisfied. Model Fit Statistics

Criterion Intercept Only Intercept and Covariates AIC 252.077 130.269

SC 255.344 153.144 -2 Log L 250.077 116.269 Testing Global Null Hypothesis : BETA=0

Test Chi-Square DF Pr > ChiSq Likelihood Ratio 133.8079 6 <.0001 Score 105.6860 6 <.0001 Wald 34.1122 6 <.0001


(2)

The SAS System The LOGISTIC Procedure

Analysis of Maximum Likelihood Estimates Standard Wald

Parameter DF Estimate Error Chi-Square Pr > ChiSq Intercept 1 -5.4333 1.9604 7.6811 0.0056 Ykap 1 -2.57E-7 1.396E-7 3.3873 0.0657 Uln 1 -0.0268 0.0230 1.3584 0.2438 UMln 1 0.0710 0.0611 1.3530 0.2447 DKKln 1 5.5445 1.0752 26.5934 <.0001 KETln 1 1.0523 0.5188 4.1139 0.0425 D 1 1.7981 0.6768 7.0576 0.0079 Odds Ratio Estimates

Point 95% Wald Effect Estimate Confidence Limits Ykap 1.000 1.000 1.000 Uln 0.974 0.931 1.018 UMln 1.074 0.953 1.210 DKKln 255.825 31.100 >999.999 KETln 2.864 1.036 7.918 D 6.038 1.602 22.752

Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Percent Concordant : 92.9 ; Somers' D : 0.860

Percent Discordant : 7.0 ; Gamma : 0.860 Percent Tied : 0.1 ; Tau-a : 0.391 Pairs : 8509 ; c : 0.930


(3)

Lampiran 12. Program Estimasi Model Logit Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani dengan Metode MLE, Prosedur Logistic

option ls=133 nodate nonumber;

PROC IMPORT OUT= WORK.ketahanan

DATAFILE= "D:\Disertasi_AIDA\Terbaru Oktober 2009\olah data.xls" DBMS=EXCEL REPLACE;

SHEET="Data gabung"; GETNAMES=YES; MIXED=NO; SCANTEXT=YES; USEDATE=YES; SCANTIME=YES; data work.ketahanan1; set work.ketahanan; /* create data */

/*membuat deskripsi variabel */

label KTP = 'ketahanan pangan rumahtangga petani' PddL = 'pendidikan laki-laki'

PddP = 'pendidikan perempuan' URT = 'ukuran rumahtangga'

Elnutkel = 'pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga' Epnutkel = 'pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga' Eplnutkel = 'pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga'

YUT = 'pendapatan usahatani keluarga' D = 'dummy desa'

run;

proc logistic descending data=work.ketahanan1;

model KTP = PddL PddP URT Elnutkel Epnutkel Eplnutkel YUT D; run;


(4)

Lampiran 13. Hasil Estimasi Model Logit Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani dengan Metode MLE, Prosedur Logistic

The SAS System The LOGISTIC Procedure Model Information

Data Set : WORK.KETAHANAN1 Response Variable : KTPn (ketahanan pangan RT) Number of Response Levels : 2

Model : Binary logit Optimization Technique : Fisher's scoring Number of Observations Read : 194

Number of Observations Used : 194 Response Profile

Ordered Total Value KPn Frequency 1 1 112 2 0 82 Probability modeled is KTPn=1.

Model Convergence Status : Convergence criterion (GCONV=1E-8) satisfied.

Model Fit Statistics

Criterion Intercept Only Intercept and Covariates AIC 266.283 133.789

SC 269.551 163.199 -2 Log L 264.283 115.789 Testing Global Null Hypothesis: BETA=0

Test Chi-Square DF Pr > ChiSq Likelihood Ratio 148.4947 8 <.0001 Score 69.3391 8 <.0001 Wald 44.7376 8 <.0001


(5)

The SAS System The LOGISTIC Procedure

Analysis of Maximum Likelihood Estimates Standard Wald

Parameter DF Estimate Error Chi-Square Pr > ChiSq ChiSq

Intercept 1 -3.3923 0.9893 11.7581 0.0006 PddL 1 0.1094 0.0839 1.6998 0.1923 PddP 1 -0.00232 0.0940 0.0006 0.9803 URT 1 -0.5131 0.1761 8.4930 0.0036 Elnutkel 1 4.932E-7 9.885E-8 24.8884 <.0001 Epnutkel 1 6.792E-7 2.113E-7 10.3370 0.0013 Eplnutkel 1 7.33E-7 2.396E-7 9.3582 0.0022 YUT 1 7.286E-7 1.265E-7 33.1556 <.0001 D 1 0.9179 0.8768 1.0959 0.2952 Odds Ratio Estimates

Point 95% Wald

Effect Estimate Confidence Limits PddL 1.116 0.946 1.315 PddP 0.998 0.830 1.200 URT 0.599 0.424 0.845 Elnutkel 1.000 1.000 1.000 Epnutkel 1.000 1.000 1.000 Eplnutkel 1.000 1.000 1.000 YUT 1.000 1.000 1.000 D 2.504 0.449 13.963

Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Percent Concordant : 94.0 ; Somers' D : 0.881

Percent Discordant : 5.9 ; Gamma : 0.882 Percent Tied : 0.1 ; Tau-a : 0.432 Pairs : 9184 ; c : 0.941


(6)