Permasalahan Analisis peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani di kabupaten Konawe Selatan provinsi Sulawesi Tenggara

4 perempuan yang meninggal jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan anak laki-laki yang meninggal. Penyebab utamanya adalah kurang gizi dan penyakit- penyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Demikian juga pada perempuan dewasa, jumlah yang menderita malnutrisi dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki Esterlianawati, 2008. Pentingnya pemenuhan pangan bagi setiap individu telah disadari oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai pertemuan tingkat dunia telah diselenggarakan untuk menyatukan komitmen bersama. Salah satunya adalah KTT Milenium yang diselenggarakan pada Tahun 2000, dimana tujuan pertama adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Pada Tahun 2002 juga dilaksanakan Pertemuan Puncak Pangan Dunia di Roma yang disebut World for Summit, yang semakin mempertegas tentang pentingnya masalah pangan dan keharusan mencapai ketahanan pangan demi memenuhi hak paling mendasar bagi manusia, yaitu hak akan pangan. Ketahanan pangan menjadi semakin penting, karena pangan bukan hanya merupakan kebutuhan dasar basic need, tetapi juga merupakan hak dasar basic right bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi Hariyadi, 2009.

1.2. Permasalahan

International Labor Organization 1999 dalam Adioetomo et al. 2000 menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah bagian dari perekonomian, merupakan konsumen sekaligus pekerja, sebagai anggota rumahtangga dan anggota masyarakat. Nilai-nilai tradisional Indonesia menempatkan laki-laki sebagai pekerja dan perempuan di rumah hingga beberapa waktu terakhir, bahkan di perdesaan nilai-nilai ini masih dipegang. Kondisi ini juga direfleksikan di 5 dalam pasar tenaga kerja, dimana perempuan Indonesia masih dianggap sebagai pekerja kelas dua. Sektor pertanian yang meskipun pangsanya terhadap GNP nasional cenderung menurun, tetapi tetap memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran perempuan di pertanian sangatlah besar karena perempuan terlibat hampir di seluruh sub sistem agribisnis. Namun fakta menunjukkan bahwa upah yang dibayarkan pada perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perempuan menerima penghargaan lebih rendah daripada laki-laki walaupun untuk pekerjaan dan tanggung jawab yang sama. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan gender di sektor pertanian. Beberapa masalah gender yang menonjol terjadi di Indonesia Timur di antaranya adalah rendahnya status kesehatan dan pendidikan perempuan dibandingkan laki-laki. Di Sulawesi Tenggara, tingkat buta aksara lebih banyak dialami perempuan daripada laki-laki. Data BPS dan BPM Sulawesi Tenggara 2006 menunjukkan bahwa pada tingkat universitas angka partisipasi sekolah perempuan di Sulawesi Tenggara lebih rendah daripada laki-laki, tetapi tidak berbeda untuk pendidikan dasar. Angka rata-rata putus sekolah perempuan juga lebih tinggi dari pada laki-laki. Sedangkan di bidang ketenagakerjaan jumlah perempuan usia produktif lebih banyak daripada laki-laki, tetapi lebih banyak laki-laki yang memasuki pasar kerja. Pada periode tahun 2002-2005, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK perempuan di Sulawesi Tenggara selalu lebih rendah 30-46 persen daripada TPAK laki-laki 70-76 persen. Menurut Meier 1995, diskriminasi pekerja berkaitan dengan gender dapat dikurangi dengan mempertinggi tingkat pendidikan. 6 Indikasi ketimpangan gender di Sulawesi Tenggara dapat juga dilihat dari rendahnya nilai Indeks Pembangunan Gender IPG. Data Tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 30 provinsi di Indonesia, nilai IPG Sulawesi Tenggara adalah sebesar 56.8 yang berada diurutan ke-13, sedangkan nilai IPG rata-rata Indonesia sebesar 59.2. Nilai IPG tertinggi di Indonesia adalah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebesar 66.7 BPS, BAPPENAS dan UNDP, 2004. Venny 2004 menegaskan bahwa diskriminasi yang terjadi antara perempuan dan laki-laki menunjukkan adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dan pembangunan tanpa keadilan gender berakibat pada hasil yang dicapai sampai kapanpun tidak akan pernah maksimal. Sektor pertanian memberikan sumbangan terbesar 1 Meskipun pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan di Indonesia, namun sampai saat ini upaya itu belum memberikan hasil yang optimal. Banyaknya kasus kelaparan, kekurangan pangan, dan kasus busung lapar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara, menjadi indikasi kuat belum berhasilnya pemerintah memenuhi salah satu hak paling asasi dari seorang manusia, yaitu hak atas pangan. Terlebih lagi terhadap PDRB Sulawesi Tenggara yaitu sebesar 42.37 persen BPS Sulawesi Tenggara, 2007a. Perempuan juga banyak terlibat di sektor pertanian sebagai tenaga kerja yaitu sebesar 54.25 persen dari total penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Meskipun demikian lebih dari separuhnya berstatus sebagai pekerja yang tidak dibayar. Sementara laki-laki bekerja dengan status berusaha dan dibantu oleh tenaga kerja tak dibayar BPS dan BPM Sulawesi Tenggara, 2006. 1 Dua lapangan usaha menyumbang 13-14 persen, sedangkan lima lapangan usaha lainnya sumbangannya di bawah 10 persen terhadap PDRB total Sulawesi Tenggara 7 kondisi akhir-akhir ini, ketika harga BBM dunia yang terus meningkat yang juga diikuti oleh meningkatnya harga-harga bahan pangan domestik, memungkinkan terjadinya kerawanan pangan di masyarakat semakin besar dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial ekonomi dan politik. Kondisi tersebut dapat membahayakan ketahanan nasional, karena ketahanan pangan sangat mempengaruhi ketahanan dan stabilitas nasional. Terdapat beberapa indikator yang menggambarkan kondisi belum tercapainya ketahanan pangan yang terjadi dalam masyarakat, antara lain dapat dilihat dari kondisi status gizi balita usia dibawah lima tahun, anak usia sekolah usia 6-15 tahun dan status gizi penduduk umur 15 tahun ke atas. Dilihat dari Persentase Balita Menurut Status Gizi, dari 10 kabupatenkota di Sulawesi Tenggara, Konawe Selatan Konsel merupakan kabupaten dengan jumlah kasus gizi buruk tertinggi Lampiran 1-3. Berdasarkan Kategori Status Gizi BBU 2 Untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangganya, perempuan dan laki-laki melakukan berbagai aktivitas untuk memperoleh penghasilan, baik berupa produk natura yang dapat dijadikan bahan pangan bagi anggotanya, atau produk lainnya yang dapat dijual, maupun penghasilan berupa uang tunai yang dapat digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan terutama bahan makanan , kasus gizi buruk di Konsel mencapai 11.4 persen. Dilihat dari Kategori Status Gizi TBU, di Konsel terdapat sebanyak 28.8 persen kasus gizi buruk. Demikian juga bila dilihat dari Persentase Balita Menurut Status Gizi BBTB, kasus gizi buruk di Konsel mencapai 10 persen Departemen Kesehatan, 2008. 2 Status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan BB dan tinggi badan TB. Variabel BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur BBU, tinggi badan menurut umur TBU dan berat badan menurut tinggi badan BBTB 8 yang diperlukan seluruh anggota rumahtangga. Upaya-upaya memperoleh penghasilan tersebut dilakukan dengan mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga on-farm, atau bekerja di luar usahatani keluarga off-farm, bahkan di luar sektor pertanian non-farm. Sebagian besar petani di Sulawesi Tenggara bukanlah petani pangan, yang hasil produksinya dapat langsung dikonsumsi sebagai bahan pangan bagi seluruh anggota rumahtangga. Sebagian petani mengusahakan padi sawah, padi ladang, ubi kayu, jagung, sagu, sayuran, dan nelayanpetambak, namun umumnya petani di daerah ini mengusahakan tanaman perkebunan seperti kakao, jambu mete, dan lada. Komoditas ini harus dijual terlebih dahulu untuk memperoleh penghasilan. Dengan demikian, akses ekonomi menjadi syarat penting untuk memenuhi kebutuhan terhadap pangan. Kenapa ini menjadi penting, karena mereka umumnya harus membeli komoditas pangan yang diperlukan, karena umumnya tidak tersedia di dalam usahataninya. Bila usahatani mereka tidak memberikan pendapatan yang memadai, maka rumahtangga akan menghadapi kerentanan pangan . Upaya apa yang dilakukan dalam menghadapi kondisi seperti ini? Apakah pendapatan yang diperoleh dari usahatani non pangan tersebut cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumahtangga mereka, terutama kebutuhan akan pangan? Ketahanan pangan juga sangat terkait dengan beberapa aspek lain di luar ketersediaan pangan itu sendiri. Nainggolan 2007 3 3 Harian Suara Pembaruan 2007 menyebutkan bahwa masalah kelaparan dan kurang gizi disebabkan bukan hanya oleh kekurangan pangan, tetapi kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan kurangnya akses terhadap 9 fasilitas kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lingkungan yang saniter. Hal ini menjelaskan bahwa hak atas pangan berkorelasi kuat antara lain dengan hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Terkait pemenuhan kebutuhan pangan, menarik untuk dikaji mengenai kapabilitas masyarakat perempuan dan laki-laki, serta peran gender dalam memenuhi kebutuhan tersebut dalam rangka mencapai ketahanan pangan setiap anggota rumahtangganya. Menurut Saliem et al. 2002, memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Berdasarkan kenyataan yang ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan gender dan belum tercapainya ketahanan pangan di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, maka menarik untuk dipertanyakan yaitu : 1. Bagaimana peran perempuan dan laki-laki dalam mencapai ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga? 3. Faktor-faktor apakah yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara?

1.3. Tujuan