FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan, khususnya dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia Yulianti et al., 2002. Pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia merupakan indikator utama kesejahteraan sosial Khumaidi, 1989. Pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam mencerdaskan bangsa. Di Indonesia, munculnya masalah gizi buruk yang terjadi di masyarakat, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan merupakan masalah yang belum sepenuhnya tuntas. Munculnya hal ini sangat merugikan bangsa, karena dapat menyebabkan lahirnya generasi yang tidak berkualitas Fauzi, 2007. Banyak organisasi dunia seperti Bank Dunia, FAO, WFP dan Save the Children telah berkontribusi dalam pemahaman mengenai konsep ketahanan pangan di negara berkembang. Bank Dunia mendefinisikan ketahanan pangan sebagai ’akses bagi semua masyarakat di setiap waktu untuk memperoleh pangan yang cukup, bagi kehidupan yang aktif dan sehat’. Ini berarti bahwa rumahtangga dan individu harus memiliki ketersediaan pangan, akses ke pangan dan kemampuan untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan Edralin and Collado, 2005. Mendefinisikan dan menginterpretasikan ketahanan pangan, dan mengukurnya sehingga dapat dipercaya, valid, dan dengan biaya yang efektif ternyata telah menjadi masalah yang sulit yang dihadapi oleh para peneliti dan program yang berencana memonitor resiko ketahanan pangan Maxwell, 1996. 174 Untuk menganalisis masalah ketahanan pangan, terdapat sekitar 200 indikator. Rindayati 2009 menegaskan bahwa mana yang akan dipilih tergantung tujuan dan kepentingan penelitian, serta ketersediaan data. Indikator ketahanan pangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah frekuensi makan, yaitu bila anggota suatu rumahtangga bisa makan paling tidak tiga kali dalam sehari, maka masuk kriteria tahan pangan. Sedangkan rumahtangga yang anggotanya makan dua kali atau kurang dari itu, masuk kriteria tidak tahan pangan. Dalam bab ini akan didiskusikan mengenai faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga petani di Kabupaten Konawe Selatan Konsel, yang dikelompokkan sebagai variabel sosiodemografi gender, karakteristik rumahtangga, dan variabel usahatani. Pada awalnya diduga bahwa peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel-variabel jumlah produksi usahatani utama, jumlah produksi usahatani lainnya, biaya usahatani, penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, ukuran rumahtangga, harga pangan pokok, akses ke pasar, akses kredit, pengetahuan pangan dan gizi ibu rumahtangga, luas lahan milik, garapan, sewa, pinjam, lahan untuk pangan, lahan untuk kebun, dan dummy pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan. Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel tersebut dikeluarkan dari model persamaan, karena : 1 berkorelasi tinggi dengan paling tidak satu variabel independen lainnya, dan atau 2 performa variabel kurang bagus misalnya tanda yang tidak sesuai dengan teori. 175 Setelah re-spesifikasi yang dilakukan berkali-kali terhadap model persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel-variabel 1 pendidikan laki-laki, 2 pendidikan perempuan, 3 ukuran rumahtangga, 4 penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, 5 penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, 6 penghasilan laki-laki dan perempuan dari kerja bersama di luar usahatani keluarga, 7 pendapatan usahatani, dan 8 dummy pembeda desakelurahan tahan pangan dan rawan pangan. Program dan hasil estimasi model ketahanan pangan rumahtangga petani dengan menggunakan metode MLE, masing-masing disajikan dalam Lampiran 12 dan 13. Dari analisis yang dilakukan terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, dapat dikatakan bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya sebesar 94 1 Dari delapan variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat lima variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan pada taraf kepercayaan 95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir α sebesar 5 persen. Kelima variabel tersebut adalah 1 ukuran rumahtangga, 2 pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, 3 pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, 4 pendapatan laki-laki dan . Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1. 1 Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 konsisten pada Y=1 adalah sebesar 94 persen 176 perempuan dari kerja bersama di luar usahatani keluarga, dan 5 pendapatan usahatani. Sedangkan variabel : 1 pendidikan laki-laki, 2 pendidikan perem- puan, dan 3 dummy pembeda desakelurahan tahan pangan dan rawan pangan pengaruhnya tidak signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hasil analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga disajikan dalam Tabel 17 di bawah ini : Tabel 17. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 No. Variabel Parameter Estimasi P-Value Nilai Marginal Effect ME 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. PddL PddP URT Elnutkel Epnutkel Eplnutkel YUT D 3 0.1094 -0.0023 -0.5131 0.0000005 0.0000007 0.0000007 0.0000007 0.9179 0.1923 0.9803 0.0036 .0001 0.0013 0.0022 .0001 0.2952 0.0273 -0.0006 -0.1202 0.0000001 0.0000002 0.0000002 0.0000002 0.1872 Keterangan : Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05. dimana : PddL = Pendidikan laki-laki tahun PddP = Pendidikan perempuan tahun URT = Ukuran rumahtangga jiwa Elnutkel = Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga Rptahun Epnutkel = Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga Rptahun Eplnutkel = Pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga Rptahun YUT = Pendapatan usahatani keluarga Rptahun D 3 = Dummy pembeda desakelurahan tahan pangan dan rawan pangan 177 Variabel pendidikan perempuan dan laki-laki tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peluang keluarga untuk mencapai ketahanan pangan. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, namun jika pengetahuan yang diperoleh dalam proses pendidikan tersebut tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka pendidikan tetap saja menjadi sesuatu yang berdiri sendiri tanpa memiliki pengaruh terhadap peluang pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Variabel dummy pembeda desakelurahan tahan pangan dan rawan pangan pengaruhnya tidak signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Artinya, tidak ada perbedaan peluang bagi rumahtangga yang tinggal di desakelurahan yang masuk kriteria tahan pangan ataupun rawan pangan untuk mencapai tahan pangan atau rawan pangan. Hasil ini sebenarnya kurang diharapkan, karena dugaan semula adalah akan ada perbedaan peluang antara desakelurahan tahan pangan dengan rawan pangan, dimana rumahtangga di desakeluarahan tahan pangan akan lebih besar peluangnya untuk mencapai ketahanan pangan dibandingkan dengan rumahtangga yang ada di desa-desa rawan pangan. Namun hal tersebut di atas bisa saja terjadi, karena meskipun suatu daerah termasuk kategori tahan pangan, namun diantara warganya ada yang termasuk rawan pangan. Demikian juga sebaliknya, di daerah yang rawan pangan, tidak seluruh warganya termasuk kategori rawan pangan. Ini sesuai dengan pendapat Hayami 2000 yang menyatakan bahwa masalah kerawanan pangan dapat dialami oleh siapa saja, bahkan warga di negara-negara industri yang sudah maju dan mempunyai tingkat pendapatan yang tinggi, seperti Jepang dan Taiwan. Karena ketahanan pangan bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan, tetapi 178 oleh banyak faktor. Salah satu fakta dikemukakan oleh Republika Newsroom 2009 2 Benar apa yang dikemukakan Khumaidi 1989 bahwa adalah suatu ironi karena banyak rumahtangga di daerah perdesaan, yang sebenarnya merupakan produsen bahan pangan, mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan bahan makanan. Situasi yang sangat berat ini banyak dialami petani miskin di perdesaan. Hal ini juga didukung oleh Fauzi 2007 bahwa masalah rawan pangan juga bisa terjadi di daerah-daerah subur dan Kinseng 2009 yang menyebutkan bahwa di , dimana terdapat 3.5 juta orang atau sekitar 4.4 persen dari penduduk Italia hidup di bawah garis ’kemiskinan pangan’. Terlebih di Indonesia, dimana indikator dalam penentuan kategori suatu daerah termasuk tahan pangan atau rawan pangan masih menggunakan ukuran makro kurang spesifik, tentu saja kemungkinan adanya warga yang sebenarnya tahan pangan ditemukan di daerah rawan pangan sangat mungkin terjadi. Sebaliknya juga begitu, ada kemungkinan untuk menemukan warga tidak tahan pangan di daerah-daerah yang masuk kategori tahan pangan. Terkait hal ini, BKP 2007 menyatakan bahwa suatu daerah yang termasuk dalam kelompok rawan pangan tidak berarti bahwa semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan. Sebaliknya, daerah-daerah yang masuk dalam kelompok relatif tahan pangan, tidak berarti semua penduduknya bercukupan pangan. Pemetaan yang dilakukan hanya menggambarkan kecenderungan prevalensi kerawanan pangan secara relatif. Dengan perkataan lain, daerah-daerah yang rawan pangan cenderung memiliki tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah yang relatif tahan pangan. 2 Republika Newsroom, 09 Oktober 2009 : 3.5 Juta Rakyat Italia Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Pangan 179 negara agraris seperti Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam pendukung pertanian, juga tidak lepas dari persoalan krisis pangan.

7.1. Pengaruh Variabel Sosiodemografi Gender