Latar Belakang Analisis peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani di kabupaten Konawe Selatan provinsi Sulawesi Tenggara

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara bertujuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin. Dalam rangka mencapai tujuan luhur tersebut, pembangunan dilakukan pada seluruh bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan, serta ideologi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia KPP RI menegaskan bahwa pembangunan di berbagai bidang tersebut ditujukan untuk seluruh penduduk, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, namun kenyataannya hasil pembangunan ini belum dirasakan sama antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender masih terjadi di berbagai bidang pembangunan. Kondisi ini dapat ditunjukkan dari adanya perbedaan akses, kontrol, dan manfaat pembangunan di berbagai bidang antara laki-laki dan perempuan KPP RI, 2007a. Ketimpangan gender merupakan masalah global. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks pembangunan yang berkaitan dengan gender, yaitu gender-related development index GDI yang dibandingkan dengan nilai human development index HDI. Indeks ini menangkap ketidaksetaraan pencapaian dalam pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Semakin besar kesenjangan gender dalam pembangunan manusia dasar, semakin rendah GDI sebuah negara secara relatif terhadap HDI negara tersebut. Nilai GDI Indonesia, yaitu 0.704 harus diperbandingkan dengan nilai HDI Indonesia, yaitu 0.771. Disini nampak bahwa 2 nilai GDI Indonesia adalah 99 persen dari nilai HDI-nya. Dari 136 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 80 negara mempunyai rasio yang lebih baik daripada Indonesia UNDP, Undated. Ketimpangan gender tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, namun juga ditemui di negara-negara maju seperti Jepang. Yoshio 2000 menyebutkan bahwa meskipun Jepang telah memiliki konstitusi dideklarasikan pada 3 November 1946 yang di dalamnya secara tegas menetapkan persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun setengah abad setelah pengumuman kon- stitusi tersebut, realita dalam masyarakat Jepang menunjukkan bahwa persamaan gender yang ideal seperti yang diungkapkan dalam konstitusi, belum tercapai. Pentingnya pencapaian kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai suatu negara, serta membaiknya kesejahteraan masyarakat. Leadbetter 2008 menegaskan bahwa manfaat ekonomi dari kesamaan gender akan meningkatkan output dan mengembangkan kapasitas masyarakat. Pemberdayaan ekonomi perempuan memberikan kemungkinan bagi semua negara untuk mempunyai beberapa kombinasi dari peningkatan poduktivitas, lebih sedikit tekanan, dan kesehatan yang lebih baik. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang dilandaskan pada Pasal 27 UUD tahun 1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman, CEDAW ke dalam UU No. 7 tahun 1984, serta Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil Konferensi Dunia tentang Perempuan 3 Keempat di Beijing pada Tahun 1995 KPP RI, 2000. Untuk lebih memberi ketegasan pada pentingnya pengarusutamaan gender di Indonesia, pada tahun 2000 lahir Instruksi Presiden Inpres No. 9 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini lalu diikuti dengan terbitnya aturan- aturan yang lebih rendah dan lebih operasional, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 0501232SJ Tanggal 26 Juni 2001 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Sebagai panduannya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah menerbitkan Panduan Pelaksanaan Inpres No.9 Tahun 2000. Perempuan memiliki peran yang besar dalam pembangunan, khususnya dalam sektor pertanian yang merupakan penghasil pangan bagi keperluan manusia. Meier 1995 mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 3 tiga kontribusi penting perempuan di negara berkembang, yaitu 1 sebagai penyumbang pendapatan dalam rumahtangga, 2 menjaga status nutrisi anak, dan 3 berperan penting ketika terjadi krisis ekonomi. Gender dan ketahanan pangan saling berhubungan. Penelitian FAO Undated memberikan gambaran umum mengenai perubahan dan peranan mutakhir perempuan dalam ketahanan pangan pada wilayah yang berbeda di dunia, khususnya dalam produsen pangan dan wilayah pertanian. Dalam hal tidak terpenuhinya hak atas pangan yang layak, perempuan dan anak perempuan adalah kelompok yang paling menderita. Dalam kondisi pangan tersedia dan dapat diperoleh sekalipun, belum tentu perempuan dapat mengguna- kannya. Data FAO Undated menunjukkan bahwa di banyak negara, anak 4 perempuan yang meninggal jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan anak laki-laki yang meninggal. Penyebab utamanya adalah kurang gizi dan penyakit- penyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Demikian juga pada perempuan dewasa, jumlah yang menderita malnutrisi dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki Esterlianawati, 2008. Pentingnya pemenuhan pangan bagi setiap individu telah disadari oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai pertemuan tingkat dunia telah diselenggarakan untuk menyatukan komitmen bersama. Salah satunya adalah KTT Milenium yang diselenggarakan pada Tahun 2000, dimana tujuan pertama adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Pada Tahun 2002 juga dilaksanakan Pertemuan Puncak Pangan Dunia di Roma yang disebut World for Summit, yang semakin mempertegas tentang pentingnya masalah pangan dan keharusan mencapai ketahanan pangan demi memenuhi hak paling mendasar bagi manusia, yaitu hak akan pangan. Ketahanan pangan menjadi semakin penting, karena pangan bukan hanya merupakan kebutuhan dasar basic need, tetapi juga merupakan hak dasar basic right bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi Hariyadi, 2009.

1.2. Permasalahan