Pengaruh Variabel Sosiodemografi Gender

179 negara agraris seperti Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam pendukung pertanian, juga tidak lepas dari persoalan krisis pangan.

7.1. Pengaruh Variabel Sosiodemografi Gender

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari seluruh rumahtangga responden n=194, sekitar 42.27 persen 82 rumahtangga masuk kategori tidak tahan pangan. Artinya, hampir separuh rumahtangga di daerah penelitian hanya makan dua kali dalam sehari. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, mengingat bahwa kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar pemenuhannya. Bila keadaan ini terus berlanjut, artinya keadaan kekurangan pangan ini bukanlah sementara, tetapi berlangsung terus menerus, maka dampaknya akan sangat besar terhadap keseluruhan proses biologis dalam tubuh, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan prestasi seseorang. Adi et al. 1999 menyebutkan bahwa frekuensi makan secara langsung akan mempengaruhi asupan zat gizi melalui konsumsi makan. Sedangkan menurut Martorell 1995 dalam Pranadji et al. 2001 bahwa konsumsi makanan itu sendiri merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Hasil yang ditemukan Harefa et al. 2001 dalam penelitiannya menunjuk- kan bahwa 75 persen rumahtangga di dua desa penelitiannya di Kabupaten Cianjur Jawa Barat frekuensi makannya hanya dua kali dalam sehari. Ini merupakan salah satu penyesuaian yang dilakukan rumahtangga akibat kekurangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan yang normal. Maxwell 1996 juga sependapat bahwa mengurangi konsumsi pangan merupakan 180 salah satu strategi yang dilakukan rumahtangga agar bisa tetap memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga. Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, maka hasil analisis menunjukkan bahwa di desa rawan pangan n=144 terdapat 79 rumahtangga 54.86 persen yang masuk kategori tidak tahan pangan. Sebaliknya di desa tahan pangan n=50, sebanyak 47 responden rumahtangga 94 persen masuk kategori tahan pangan. Kondisi di kedua daerah penelitian menunjukkan situasi ketahanan pangan rumahtangga yang sangat berbeda. Nampaknya, faktor potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan ketersediaan berbagai infrastuktur di desakelurahan tahan pangan, merupakan hal yang mendorong pencapaian ketahanan pangan di daerah tersebut dibandingkan dengan desa-desa rawan pangan. Variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pencapaian ketahanan pangan rumahtangga adalah ukuran rumahtangga dan penghasilan masing-masing gender, serta penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan bersama oleh suami-isteri. Hasil ini sesuai dengan pendapat Berg 1986 bahwa pendapatan dan ukuran rumahtangga merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas pangan.

7.1.1. Ukuran Rumahtangga

Informasi dalam Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa variabel ukuran rumahtangga URT atau jumlah anggota rumahtangga berpengaruh signifikan terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga di perdesaan dengan tanda negatif. Nilai ME dari variabel ukuran rumahtangga adalah sebesar -0.12, ini berarti bahwa jika anggota rumahtangga bertambah satu 181 orang, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan akan berkurang sebesar 0.12. Hasil ini berarti bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka peluang untuk mencapai ketahanan pangan akan semakin kecil. Madanijah et al. 2006 dan Yuliana et al. 2002 juga menemukan hasil yang sama, bahwa jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi status gizi anggota rumahtangga, yang merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Hasil penelitian Asmarantaka 2007 juga menunjukkan bahwa konsumsi pangan di tiga desa, yaitu desa pangan padi dan ubi kayu dan bukan pangan desa perkebunan kopi sangat dipengaruhi oleh jumlah keluarga. Ini sangat logis terjadi. Bila terjadi penambahan jumlah anggota keluarga tanpa dibarengi dengan peningkatan penghasilan rumahtangga, baik itu dari usahatani maupun dari luar usahatani, maka akan menyebabkan rumahtangga menghadapi resiko kekurangan pangan. Karena sejumlah sumberdaya yang dimiliki rumahtangga, harus dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang lebih banyak, akibatnya jumlah pangan yang dapat disediakan tidak akan mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga untuk dapat hidup sehat dan berprestasi. Temuan ini sesuai dengan Suhardjo 1996 dalam Pranadji et al. 2001 yang mengemukakan bahwa tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih baik dalam jumlah maupun jenis makanan, sedangkan besar keluarga berhubungan erat dengan distribusi dalam jumlah maupun ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga. Terkait dengan hasil ini, nampaknya perlu upaya-upaya membatasi besar keluarga, agar ketahanan pangan rumahtangga lebih terjamin. Program yang dijalankan pemerintah selama ini, seperti Keluarga Berencana merupakan salah 182 satu alternatif yang dapat ditempuh dan digalakkan kembali. Program seperti ini sangat sesuai dengan hasil temuan dalam penelitian ini, yaitu perlunya upaya pembatasan jumlah anggota keluarga.

7.1.2. Pendapatan Gender

Dari hasil analisis nampak bahwa pendapatan gender gender income dari luar usahatani keluarga, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri perempuan saja atau laki-laki saja, maupun hasil dari usahapekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama berpengaruh signifikan dan positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Ini berarti bahwa bila penghasilan gender dari luar usahatani keluarga meningkat, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan semakin besar. Temuan ini sesuai dengan hasil-hasil studi terdahulu yang dilakukan di beberapa negara berkembang lainnya, dimana masing-masing gender memiliki peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga pertanian FAO, Undated; Horenstein, 1989. Nilai ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga Elnutkel adalah sebesar 0.0000001, yang berarti bahwa jika pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.1. Nilai ini sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Nilai ME variabel pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga Epnutkel adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan 183 perempuan dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.2. Meskipun nilai ini lebih tinggi dari ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani, namun seperti juga nilai ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, nilai ini sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Tabel 17 di atas juga menunjukkan nilai ME variabel pendapatan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga Eplnutkel adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.2. Seperti juga nilai ME variabel pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, nilai ME variabel Eplnutkel sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Seperti diketahui bahwa untuk meningkatkan pendapatan keluarganya, maka 34.54 persen dari responden laki-laki dan 12.89 persen dari responden perempuan bekerja di luar usahatani untuk memperoleh tambahan penghasilan rumahtangga. Pendapatan merupakan sumberdaya yang dapat meningkatkan daya beli rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga. Ini menunjukkan bahwa di lokasi penelitian, faktor ekonomi tetap merupakan 184 variabel yang sangat penting yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga. Ini sejalan dengan Sauqi 2002 dan Horenstein 1989 bahwa daya beli pendapatan rumahtangga merupakan salah satu faktor yang signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Bahkan Hardinsyah 1996 secara eksplisit menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, maka semakin tinggi mutu gizi makanan MGM keluarga, yang merupakan salah satu aspek penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Sementara itu, di negara-negara maju yang tingkat pendapatannya sudah tinggi, penentu utama pencapaian ketahanan pangan bukan lagi terutama pada aspek pendapatan. Hayami 2000 menegaskan bahwa setidaknya terdapat empat krisis yang dapat menyebabkan masyarakat di suatu negara mengalami kerawanan pangan, yaitu : 1 krisis kontingen, 2 krisis siklikal, 3 krisis politik, dan 4 krisis Malthusian. Yang pertama adalah krisis yang terjadi karena adanya gangguan impor pangan secara tiba-tiba akibat adanya perang atau bencana. Yang kedua dapat terjadi ketika berkurangnya suplai pangan dan meningkatnya harga akibat hasil panen yang kurang di seluruh dunia sepanjang siklus cuaca. Yang ketiga berupa embargo dari ekportir pangan karena alasan politik dunia. Yang keempat adalah penurunan suplai pangan sementara jumlah populasi meningkat, yang dapat menyebabkan terjadinya kelaparan pada skala dunia.

7.2. Pengaruh Variabel Karakteristik Usahatani