22 obyektif, adalah 1 gender division of labor pemisahan tenaga kerja
berdasar gender, 2 dampak pemisahan tenaga kerja terhadap alokasi waktu perempuan dan laki-laki, 3 kekakuan dalam pemisahan tenaga kerja,
4 kontrol terhadap sumberdaya, dan 5 dampak dari faktor-faktor di atas terhadap hubungan produktivitas, hasil tenaga kerja, dan distribusi
pendapatan rumahtangga pertanian.
2.2. Pangan, Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan yang sangat azasi, yang bila tidak dipenuhi dapat menyebabkan seseorang tidak dapat beraktivitas dan berprestasi, bahkan
bila kekurangan pangan terus berlanjut dapat menyebabkan kematian Taridala, 1999. Di Indonesia, aturan tentang pangan dituangkan di dalam Undang-Undang
No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang antara lain menyebutkan bahwa hak atas pangan dilaksanakan secara bersama-sama oleh negara dan masyarakat dalam
konteks pembangunan ketahanan pangan. Berdasar pertimbangan bahwa 1 keta- hanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan
nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu,
bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan 2 sebagai pelaksanaan Pasal 50
Undang-Undang tentang pangan tersebut, telah diundangkan Peraturan Pemerintah PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
2.2.1. Peranan Pangan Dalam Pembangunan
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi
23 karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air menjadi landasan utama
bagi manusia untuk mencapi kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus hidup. Janin dalam kandungan, bayi, balita, anak remaja, dewasa maupun usia lanjut
membutuhkan pangan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang, serta mencapai prestasi kerja Karsin, 2004.
Dari kondisi di atas menunjukkan bahwa pangan dan gizi merupakan indikator hidup masyarakat yang berkelanjutan, yang memungkinkan anggotanya
mencapai mutu kehidupan melalui cara yang secara ekologi berkelanjutan, antara lain melalui pembangunan pertanian berkelanjutan. Dengan demikian, setiap
pemerintah suatu negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi kebutuhan pangan dan gizi tersebut. Kegagalan pemerintah
memenuhi kewajiban tersebut berarti melanggar hak asasi. Hubungan antara pangan gizi dengan pembangunan memiliki kaitan
yang erat. Berg 1986 menunjukkan hubungan tersebut dalam Gambar 1. Pangan dan gizi yang memadai merupakan kebutuhan penting untuk menurunkan angka
kematian bayi dan Balita, menurunkan angka kesakitan, meningkatkan kemampuan belajar anak sekolah, dan daya tahan fisik orang dewasa. Dengan
demikian akan dicapai kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dari Gambar 1 tersebut dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan di suatu negara sangat
ditentukan oleh ketersediaan pangan yang bergizi, yang dapat dikonsumsi oleh setiap warga negara yang membutuhkannya.
24
Angka kematian Mendorong
Bayi dan balita KB
Angka kesakitan Hari kerja
Gizi yang Memadai
Kualitas Produktivitas Kemampuan belajar
hidup Anak sekolah
Prestasi kerja Pembangunan
Daya tahan fisik berhasil
Orang dewasa
Sumber : Berg, 1986
Gambar 1. Hubungan antara Gizi dan Pembangunan 2.2.2. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
Kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian.
Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesempatan kerja guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses
terhadap pangan menjadi lebih baik, merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan Saliem et al., 2003. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara adalah bagaimana menyediakan pangan bagi rakyatnya. Negara yang
berhasil memenuhi kebutuhan pangan bagi seluruh rakyatnya atau telah mencapai kondisi ’tahan pangan’ food security adalah negara yang berhasil
dalam pembangunan nasionalnya.
25 Sesuai Undang-Undang No 71996 tentang pangan bahwa pangan
mencakup pangan dan minuman hasil tanaman dan ternak serta ikan, baik produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat
ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan protein, dimana pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkalkapitahari dan 80 gr
proteinkapita hari. Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi tahun 2000 yang masing-masing sebesar 2500 Kkalkapitahari dan 55 gr proteinkapitahari.
Walaupun secara nasional ketersediaan pangan telah melebihi standar kecukupan energi dan protein, namun tidak menjamin kecukupan konsumsi di
tingkat individu. Ini sejalan dengan Stamoulis et al. 2003 yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan sektor pertanian tidak selalu memiliki dampak besar terhadap
ketahanan pangan. Potensi pertanian dan pembangunan pertanian untuk mendorong ketahanan pangan bervariasi berdasarkan relatif pentingnya pertanian
dalam matapencaharian masyarakat. Seperti diketahui bahwa tingkat konsumsi rata-rata per kapita per hari
penduduk Indonesia pada tahun 1999 adalah sebesar 1849 Kkal atau 82.2 persen dari standar kecukupan. Ketidakcukupan pangan ini mencerminkan pula fakta
bahwa 1 prevalensi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk masing- masing 24.9 persen dan 7.7 persen pada tahun 1999, dan 2 proporsi rumah-
tangga rawan pangan di lndonesia yang diukur dengan indikator silang antara tingkat konsumsi energi
≤ 80 persen dari standar kecukupan dan pangsa pengeluaran pangan 60 persen dari total pengeluaran mencapai sekitar 30
26 persen, serta 3 jumlah penduduk miskin di Indonesia yang juga dapat
diidentikkan dengan penduduk yang tidak atau kurang tahan pangan pada tahun 1998 sebesar 24.23 persen Jayawinata, 2005. Keadaan ini menunjukkan
bahwa Indonesia belum sepenuhnya berhasil dalam pembangunan nasionalnya, karena belum berhasil memenuhi kebutuhan pangan seluruh warga negaranya.
2.2.3. Sistem Ketahanan Pangan
Pada tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi isu internasional. Pada tahap ini, konsep ketahanan pangan food security difokuskan pada
ketersediaan pangan di tingkat nasional maupun internasional, terutama padi- padian, karena adanya krisis pangan dunia tahun 1972-1974. Oleh karena itu
sejak awal orde baru kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan pangan yang dikenal sebagai FAA food availability
approach. Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan akses terhadap pangan. Asumsi yang mendasarinya adalah jika pasokan pangan
tersedia, maka para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara efisien. Selain itu harga pangan akan tetap stabil pada tingkat
yang wajar, sehingga dapat dijangkau oleh seluruh keluarga Setiawan, 2004. Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang masih menderita
kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan. Fenomena ini disebut sebagai hunger paradoks. Hal seperti itulah yang menyebabkan
pendekatan ketersediaan pangan gagal mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di beberapa negara.
Pada tahun 1980-an terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan di tingkat rumahtangga dan individu. Dimana
27 kerangka ketahanan pangan berada dalam suatu jenjang, yaitu ketahanan pangan
wilayah, rumahtangga, dan individu. Ketahanan pangan wilayah tidak menjamin ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga tidak akan
menjamin ketahanan pangan individu. Ketahanan pangan individu akan menjamin ketahanan pangan di semua jenjang.
Setiawan 2004 mengemukakan definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas oleh praktisi maupun akademisi adalah acces for all people
at all times to enough food for an active and healthy life. Makna yang terkandung dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat
memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat.
Dalam konteks rumahtangga, definisi tersebut didasarkan pada konsep entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan.
Indonesia telah mengadopsi rumusan ketahanan pangan tersebut dan dituangkan dalam UU RI Nomor 71996 tentang Pangan. Ketahanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya,
aman, merata, dan terjangkau. Implementasi dari Undang-Undang tersebut ditindaklanjuti dengan mengkristalkan konsep ketahanan pangan sebagai suatu
sistem seperti terdapat pada Gambar 2 Dewan Ketahanan Pangan [DKP], 2006. Kinerja dari ketiga subsistem ketahanan pangan akan terlihat pada status gizi
masyarakat dan dapat dideteksi antara lain dari status gizi anak Balita bawah lima tahun. Apabila salah satu atau lebih dari ke tiga subsistem tersebut tidak berfungsi
dengan baik maka akan terjadi masalah kerawanan pangan yang berdampak pada
28 peningkatan kasus gizi kurang danatau gizi buruk. Dalam kondisi demikian negara
atau daerah dapat dikatakan belum mampu mewujudkan ketahanan pangan.
Sumber : DKP, 2006
Gambar 2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan
Setiawan 2004 menyatakan bahwa sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu: 1 ketersediaan dan stabilitas
pangan food availability
,
and stability,2 kemudahan memperoleh pangan food accessibility, dan 3 pemanfaatan pangan food utilization. Dengan
demikian faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah faktor- faktor yang mempengaruhi ketiga komponen ketahanan pangan tersebut.
Komponen ketersediaan dan stabilitas pangan dipengaruhi oleh sumberdaya alam, manusia, dan sosial dan produksi pangan on-farm and off-farm. Akses
pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai
NASIONAL
,
PROPINSI
,
KABUPATEN RUMAH TANGGA
INDIVIDU
PENDAPATAN DAN
AKSES PANGAN PENGELOLAAN
KONSUMSI POLA ASUH
KELUARGA
SANITASI KESEHATAN
KETERSEDIAAN
DISTRIBUSI
KONSUMSI
KONSUMSI SESUAI
KEBUTUHAN GIZI
PEMANFAATAN OLEH TUBUH
S T
A T
U S
G I
Z I
INPUT Kebijakan dan Kinerja
Sektor Ekonomi, Sosial, Politik
Ekonomi -
Pertanian ,
Perikanan, Kehutanan
- Perdagangan
Jasa -
Industri
Prasarana Sarana -
Lahanpertanahan -
Sumber daya air, Irigasi
- Perhubungan
transportasi -
Permoda lan
Kesra -
Kependudukan -
Pendidikan -
Kesehatan
Stabilitas dan Keamanan
Nasional
OUTPUT
Pemenuhan Hak Atas
Pangan
Sumber-
daya Manusia
Berkualitas
Ketahanan
Nasional
29 dengan norma gizi. Kondisi tersebut tercermin dari kemampuan rumahtangga
untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga dan produksi pangan. Hal ini tergantung pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya yang terdapat dalam
keluarga, yaitu meliputi tenaga kerja labor dan modal capital. Ketersediaan tenaga kerja merupakan dimensi fisik dari sumberdaya keluarga yang diperlukan
untuk proses produksi. Se1ain itu juga tergantung pada pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia human capital, serta sumberdaya sosial. Pemanfaatan
pangan mencerminkan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya ke dalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan
aktivitas sehari-hari atau disimpan. Dimensi pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi.
Keluaran yang diharapkan dari pembangunan sistem ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak atas pangan food entitlement dan berkembangnya
sumberdaya manusia yang berkualitas serta meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional, dimana hal tersebut akan berdampak pada manusia Indonesia
yang sehat Setiawan, 2004.
2.2.4. Indikator Ketahanan Pangan
Ukuran keberhasilan pembangunan ketahanan pangan, baik di tingkat makro maupun mikro, dapat dilihat dari beberapa indikator berikut : 1 pro-
duksi pangan, baik di tingkat rumahtangga, wilayah, regional, dan nasional, 2 tingkat ketersediaan pangan di rumahtangga, wilayah, regional, dan
nasional, 3 proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah- tangga, 4 fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumahtangga,
5 keadaan konsumsi pangan, 6 status gizi, 7 angka indeks ketahanan
30 pangan rumahtangga, 8 angka rasio antara stok dengan konsumsi pada
berbagai tingkatan wilayah, 9 skor Pola Pangan Harapan PPH untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, 10 kondisi keamanan pangan, 11 keadaan
kelembagaan cadangan pangan masyarakat, 12 tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan, 13 kemampuan untuk melakukan
stok pangan, 14 indeks diversifikasi pangan, dan 15 indeks kemandirian pangan Saliem et al., 2002.
Maxwell dan Frankenberger 1992 yang dikutip Setiawan 2004 menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai
indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi
pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung.
Selanjutnya dijelaskan bahwa indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek
pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan keru- suhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan
dan akses terhadap kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumahtangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal
sebagai coping ability indicator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak secara tidak langsung
meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Untuk menganalisis ketahanan pangan, FAO merekomendasikan
penggunaan indikator outcome yang meliputi : 1 umur harapan hidup UHH,
31 2 prevalensi anak kurang gizi, dan 3 angka kematian bayi BAPPENAS,
2002. Gervais 2004 dalam Edralin dan Collado 2005 mengadopsi definisi bank dunia dan menggunakan indikator untuk mengukur ketahanan pangan yaitu :
1 ketersediaan pangan – cukupnya ketersediaan pangan secara fisik, 2 akses pangan – akses secara fisik dan ekonomi oleh seluruh rumahtangga dan individu,
dan 3 pemanfaatan pangan – penggunaan pangan yang layak secara biologis yang tersedia bagi rumahtangga dan individu yang sesuai dengan pola makan dan
kebutuhannya. Indikator ketahanan pangan alternatif menurut Ilham 2006 adalah pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran.
2.3. Tinjauan Studi Terdahulu 2.3.1. Studi di Mancanegara