Budaya Massa sebagai Hasil Komunikasi Memberikan Dampak terhadap

6

4. Pembahasan

4.1 Budaya Massa sebagai Hasil Komunikasi Memberikan Dampak terhadap

Masyarakat Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan kepada khalayak konsumen massa. Budaya massa dikenal juga dengan budaya populer, yang diproduksi untuk pasar massal. Pertumbuhan budaya ini berarti memberi ruang yang makin sempit bagi jenis kebudayaan yang tidak dapat menghasilkan uang, tidak dapat diproduksi secara massal bagi massa seperti halnya kesenian dan budaya rakyat Strinati, 2006: 36. Suatu fakta di masyarakat tentang strategi komunikasi dan kebiasan bertutur setiap masyarakat berbeda. Hal ini sesuai dengan pandangan Bonvillain 2003: 63 bahwa simbol budaya sebuah masyarakat terefleksi dari bahasanya. Misalnya, hampir semua orang meyakini adanya perbedaan yang mendasar antara strategi komunikasi masyarakat dunia Timur dan Barat. Hasil budaya massa juga berdampak pada masyarakat Bali yang notabene berinteraksi dengan budaya asing. Bahkan, budaya massa yang berpengaruh pada teknologi informasi seperti surat kabar Bali Post. Dalam konteks teks sastra cerpen dan puisi Bali Post, ada beberapa tokohnya sebagai pelaku budaya populer. Proses keratif cerpen dan puisi dalam Bali Post ini memberikan simulasi positif untuk memberikan hubungan produksi, komunikasi, dan konsumsi dalam masyarakat Bali yang dicirikan oleh overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi melalui media massa. Akan tetapi, istilah simulasi tersebut didasarkan pada pandangan mutakhir masyarakat kapitalis Barat yang disebut masyarakat posindustri atau masyarakat konsumer. Menurut Baudrillard dalam Pilliang, 2003: 131 di dalam masyarakat konsumer Barat, overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi adalah cara baru untuk memperoleh kekuasaan. Masyarakat consumer telah meninggalkan model kekuasaan Marxisme. Model kekuasaan yang dimaksudkan itu sebenarnya terkait dengan diskursus kekuasaan yang dikembangkan oleh Foucault. Kekuasaan itu tidak mengalir dari pusat penguasa ke pinggiran, tetapi dari kelompok sosial ekonomi ke massa yang lebih besar dan heterogen. Masyarakat tidak lagi dikuasai oleh kelas sosial yang tunggal, tetapi kelompok budaya yang heterogen, plural, dan saling bersaing untuk memperoleh hegemoni. Bahkan, Baudrillard dalam Pilliang, 2003: 131 berpendapat bahwa masyarakat kapitalis Barat kini berada dalam akhir massa. Massa ini menempatkan diri mereka di dalam diskursus “mayoritas yang diam”. Kebutuhan massa ini bukanlah kekuasaan untuk mendominasi, memperjuangkan ideologi leluhur, menguasai teritorial, tetapi kekuasaan untuk mengekspresikan seks, produk, 7 kesenangan, gaya penampilan, wajah, rambut, dan warna kuku. Dalam kaitannya dengan budaya massa sebagai hasil komunikasi budaya yang memengaruhi masyarakat pendukungnya—masyarakat Bali—seni di Bali sebagai tolok ukur untuk menciptakan budaya. Di Bali merupakan daerah dengan lingkungan kebudayaan yang luas, terutama seni sastra daerah. Dalam buku A LiteraryMirror: Balinese Reflection on Modernity and Identity in the Twentieth Century , tulisan I Nyoman Darma Putra mengungkapkan bahwa peran media massa memberikan dampak yang positif dan negatif. Buku ini pula menyampaikan kekayaan sastra daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Bali. Bahkan, buku ini berisi “melawan” atau “melengkapi” kecenderungan kajian sastra Indonesia yang berorientasi pada “pusat” yang subur pada era Orde Baru. Pengamat sastra Indonesia, baru mengakui peran dan kontrbusi Bali dalam pertumbuhan sastra Indonesia sejak tahun 1990-an. Secara historis, Putra dalam Hunter, 2011 berpendapat bahwa sastra Indonesia yang sering disebut lahir tahun 1920-an sudah berkembang luas di Bali. Jika kontribusi Bali hanya dihargai melalui karya A.A. Panji Tisna dan Putu Wijaya yang terbit di Jakarta, pada masa itu sudah banyak nama penting yang pantas dicatat dalam sejarah sastra Indonesia. Nama pengarang tersebut seperti Rasta Sindhu, IGB Arthanegara, Raka Santeri, dan nama baru seperti Oka Rusmini, Gde Aryantha Soethama, Alit S. Rini, Warih Wisatsana, Fajar Arcana, dan Cok Savitri. Dalam kajian budaya dan media selalu berargumen bahwa bahasa bukan sebuah medium yang netral tempat dibentuknya makna yang bersifat objektif dan independen. Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak. Dari bahasa tersebut bisa dipahami berbagai istilah-istilah dan simbol-simbol lainnya guna mereproduksi makna makna. Proses produksi makna ini disebut praktik penandaan signifying practices, mempelajari kajian budaya dan media sama halnya dengan meneliti bagaimana makna diproduksi secara simbolik dalam bahasa sebagai “sistem penandaan” dalam budaya popular. Media sebagai sebuah industri budaya modern yang di dalamnya mengandung makna komodifikasi ekonomi komersial sudah memenuhi katagori sebagai budaya popular pada lazimnya. Sebagai budaya popular, yang mendapat perhatian lebih dalam kajian budaya dan media, ”media” merupakan salah satu medan budaya popular itu terbentuk. Untuk memahami kekuasaan dan kesadaran terbentuknya budaya media, ada dua konsep yang sering digunakan dalam teks kajian budaya dan media. Kedua konsep yang sudah sering di gunakan itu adalah konsep ideologi dan hegemoni. Konsep ideologi lebih cenderung bertautan dengan peta-peta 8 makna yang berpretensi mengandung nilai kebenaran yang bersifat universal. Sebenarnya konsep ini lebih merupakan pengertian-pengertian yang spesifik yang menopengi atau melanggengkan kekuasaan. Misalnya, ”konstrusi berita media televisi yang bermakna menjelaskan dunia dalam kerangka bangsa-bangsa, dan dianggap sebagai objek secara “alami”, dengan mengaburkan pembagian-pembagian kelas dalam formasi sosial dan ketidakalamian kebangsaan Barker, 2000: 10. Lahirnya kesadaran untuk membebaskan kebudayaan dari hegemoni dan dominasi ideologis, telah memunculkan gugatan banyak pihak atas kategorisasi dikotomis kebudayaan tinggi high culture dan kebudayaan rendah low culture. Masyarakat mempunyai hak sendiri dan bebas menentukan pilihan kebudayaan yang akan dimasukinya. Representasi budaya massa yang merupakan objek masyarakat Bali sebagai pelaku yang ikut serta memainkan produk budaya, salah satunya seni sastra. Studi kebudayaan dan budaya populer sejauh ini belum banyak diperhatikan oleh para peneliti. Dengan melihat hubungan antara budaya massa dan wacana sastra dapat dipahami dinamika sosial budaya masyarakat Bali melalui karya sastra yang dihasilkan. Bahkan, termasuk budaya massa yang dihasilkan oleh masyarakat pendukungnya juga berdampak pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, bentuk komunikasi merupakan simbol budaya masyarakat dan refleksi dengan cerminan bahasanya.

4.2 Pengaruh Konstruksi Budaya terhadap Media Massa Surat Kabar Harian Bali Post