Sastra Koran: Melihat Gaya Bahasa Cerpen dan Puisi dalam Surat Kabar Harian

11

4.3 Sastra Koran: Melihat Gaya Bahasa Cerpen dan Puisi dalam Surat Kabar Harian

Bali Post Di Indonesia, istilah “sastra koran” sudah biasa didengar dan dibaca kemunculannya. Akan tetapi, istilah “sastra koran” ini masih menimbulkan tanda tanya bagi pembaca umumnya. Pada koran yang terbit hari Minggu terdapat halaman sastra atau apresiasi—seperti Bali Post —juga terdapat istilah tersebut. Konsep sastra koran di luar Indonesia tidak ada atau ditemukan di koran luar negeri. Bahkan, karya sastra—cerpen dan puisi—tidak ditemukan di koran luar negeri Bandel, 2009: 45—46. Lebih lanjut Bandel 2009: 46 berpendapat bahwa koran hanya salah satu tempat membaca karya sastra, bahkan sepertinya tempat membaca yang tidak begitu penting. Namun, setelah bergaul dengan sastrawan Indonesia, ia menyadari betapa pentingnya koran bagi mereka. Sastrawan Indonesia banyak mengirim karyanya ke Koran. Persoalan karya sastra siapa yang terbit atau tidak terbit di koran adalah hal yang begitu sering dipertanyakan dan dibicarakan; isi tulisan di koran, terutama esai, cerpen, dan puisi menjadi bahan diskusi yang menarik. Posisi cerpen dan puisi dalam koran di Bali Post, ditulis untuk siapa dan dibaca oleh siapa, hal ini menjadi sebuah pertanyaan. Misalnya, para pelanggan koran yang umumnya pembaca awam tidak mengetahui secara khusus sastra. Jika dibandingkan: hadirnya esai, cerpen, dan puisi, lebih ditujukan kepada pembaca yang menggemari, mencintai, dan mengkritisi dunia sastra. Artinya, masyarakat umum belum tentu membaca halaman sastra di koran terbitan Mingguan seperti Bali Post, lebih khusus pembacanya adalah komunitas sastra. Menurut Bandel 2009: 48—49 tidak jarang dalam esai pada halaman “Sastra” dan “Apresiasi” di media massa di Indonesia, termasuk Bali Post terlihat gejala “pamer pengetahuan”. Nama- nama pengarang atau filsuf asing disebut-sebut walaupun kadang tidak jelas apa relevansinya dalam konteks esai tersebut. Persoalan lain yang cukup penting adalah halaman “Sastra” dan “Apresiasi” Bali Post, setelah dilakukan penelitian dari tiap terbitan dari bulan November 2009—Desember 2010, rupanya redaktur Bali Post mempunyai kebebasan penuh untuk menerbitkan cerpen atau puisi sesuai dengan seleranya. Kadang redakturnya berasal dari kalangan sastrawan sendiri. Bahkan, kriteria cerpen dan puisi seperti apa dapat terbit dalam halaman “Sastra” dan “Apresiasi” harian Bali Post. Menurut Bandel 2009: 51 di Indonesia, redaktur, penulis, dan pembaca ternyata orangnya sama. Walaupun halaman “Sastra” dan “Apresiasi” terdapat di koran—terkesan merakyat—halaman tersebut sebenarnya lebih merupakan alat komunikasi dalam dunia sastra 12 sendiri, antarorang sastra itu sendiri. Koran merupakan media informasi tentang berbagai bidang untuk orang awamrakyat, tetapi di Indonesia menjadi media komunikasi antar-“orang sastra”, sekaligus media utama untuk sosialisasi karya, terutama bagi “sastrawan muda”. Seperti di Bali, sastra koran dan koran mengambil alih peran yang umumnya dimiliki jurnal sastrabudaya atau media lain yang lebih khusus. Namun, kekurangan dari halaman “Sastra” cerita pendek, cerbung, dan puisi Bali dan “Apresiasi” di koran adalah terbatasnya ruang halaman yang umumnya hanya setengah atau satu halaman untuk sastra cerpen dan puisi Indonesia. Hal ini menjadi permasalahan yang dirasakan oleh pengarang dalam kebebasan dan kreativitas seninya. Cerpen: ukuran panjang cerpen koran sepertinya sudah menjadi standar bagi cerpen Indonesia, jarang sekali terdapat cerpen yang lebih panjang atau pendek. Pandangan Bandel tersebut sangat relevan dengan kehadiran halaman “Sastra” dan “Apresiasi” jika dihubungkan dengan keberadaan sastra cerpen dan puisi di koran Bali Post. Terlebih gaya bahasa yang digunakan dalam surat kabar harian Bali Post menunjukan berbagai ungkapan yang umum, ungkapan serius, perbandingan, metafora berlebihan, dan secara umum kecenderungan untuk menggunakan kosakata emosional. Bahasa seperti itu memang, pada kenyataannya, terdapat dalam suatu jurnalisme, bahkan dalam sastra sekaligus. Banyak gaya bahasa yang ditemukan dalam sastra: cerpen dan puisi terbitan Bali Post yang menunjukkan kekuatan tersendiri pada karya tersebut. Pada cerpen “Permainan Sunyi 1” karya Komang Widana Putra, ditemukan adanya gaya bunyi yang menciptakan efek keindahan, selain jenis gaya bahasa lain, juga memengaruhi keindahan cerpen. Misalnya, pada pilihan kata berikut: “… Layaknya sebuah mitos yang kami pahat sendiri di benak masing- masing bahwa siapa di antara kami yang duri-duri ikan yang disingkirkannya dari piring kami ... .” Gambaran umum berkaitan dengan gaya bahasa pada sastra cerpen dan puisi terbitan Bali Post, terlihat gaya kalimat dan wacana yang merupakan sarana retorika, misalnya hiperbola sebagai sarana untuk melebih-lebihkan suatu hal. Hal tersebut terlihat pada penggunaan kata- kata yang diulang-ulang. Fungsi lainnya adalah untuk membuat pembaca tertarik dan terbujuk dengan apa yang disampaikan oleh pengarang. Dalam cerpen-cerpen, seperti “Calon Guru” karya Made Ari Yuliati dan “Gek” karya Ketut Dewi Y., tampak bahwa pengarang sangat ekspresif dalam menggambarkan daerah yang menjadi ciri khas Bali. Tanpa disadari oleh para pengarang di Bali bahwa mereka telah menawarkan salah satu ciri dan kebanggaan daerahnya kepada pembaca. Pembicaraan lain, di samping cerpen, yang sama pentingnya dalam penelitian ini adalah puisi. Untuk mendapatkan kepuitisan ada satu unsur yang tidak kalah pentingnya, yaitu 13 bahasa kiasan figurative language. Bahasa kiasan menjadikan karya sastra menjadi lebih menarik, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan Pradopo, 2005: 61—62. Gaya bahasa, seperti metafora, simile, repetisi, personifikasi, hiperbola, sinekdok, dan alegori juga digunakan oleh pengarangnya. Bahkan, dalam penulisan puisi sekaligus, misalnya “Dermaga Terpilih” karya Alit S. Rini, pilihan diksi yang khas pun lahir dari sastrawan Bali tersebut. Perhatikan diksi-diksi puisi “Dermaga Terpilih” berikut: “… Jiwa yang liat merindukan belantara, lair menjelajah jalan-jalan setapak, dengan keyakinan berliku, ia tercuri dari kekasih, dari hati tua yang merintih, tanpa jejak, irama dukacita mendatangkan, kemarau sukma, memantulkan percik perapian, tak terendam …” . Puisi tersebut menimbulkan efek bunyi dan makna yang sarat dengan menggunakan komunikasi verbal dan noverbal. Puisi karya Budhi Setyawan juga menyajikan gambaran diksi, gaya bahasa, dan citraan sebagai ciri sastra dengan kekuatan imajinatif, seperti pilihan kata pada puisi “Sebuah Prasasti yang Kusimpan”, “… Ada sabana yang lapang di dalam rumahmu, burung-burung meletakkan jejak kepak dan nyanyiannya di dadamu …”. Puisi “Wisanggeni” pun memiliki kekuatan bahasa, “akulah api bagi rindu para pemimpi yang suka berkelana di panorama kata, meski hujan lebat mendera di taman sepi …” yang tidak kalah menarik, bahasa yang khas, dengan puisi Alit S. Rini. Jika analisis cerpen dan puisi diuraikan secara lebih detail akan diperoleh hasil yang lebih jelas menampakkan fenomena gaya bahasa yang beragam. Begitu pula jika dilakukan analisis gaya bahasa terhadap prosa-prosa lainnya tentu didapatkan hasil yang lebih beragam dan bercorak. Namun, terhadap cerpen Bali Post tersebut merupakan analisis yang memperlihatkan corak gaya bahasa prosa yang pada dasarnya mempunyai perbedaan dan persamaan dengan gaya bahasa pada puisi. Dalam konteks puisi, gaya bahasa adalah alat yang digunakan oleh penyair untuk memindahkan pengalaman jiwanya. Bahasa puisi perlu juga memperlihatkan kehalusan, kesempurnaan, dan keefektivan dalam pembentukan serta penyusunan syarat keindahan bahasa sastra.

4.4 Peran Media Massa—Bali Post—terhadap Tumbuh Kembang Sastra