Pengaruh Konstruksi Budaya terhadap Media Massa Surat Kabar Harian Bali Post

8 makna yang berpretensi mengandung nilai kebenaran yang bersifat universal. Sebenarnya konsep ini lebih merupakan pengertian-pengertian yang spesifik yang menopengi atau melanggengkan kekuasaan. Misalnya, ”konstrusi berita media televisi yang bermakna menjelaskan dunia dalam kerangka bangsa-bangsa, dan dianggap sebagai objek secara “alami”, dengan mengaburkan pembagian-pembagian kelas dalam formasi sosial dan ketidakalamian kebangsaan Barker, 2000: 10. Lahirnya kesadaran untuk membebaskan kebudayaan dari hegemoni dan dominasi ideologis, telah memunculkan gugatan banyak pihak atas kategorisasi dikotomis kebudayaan tinggi high culture dan kebudayaan rendah low culture. Masyarakat mempunyai hak sendiri dan bebas menentukan pilihan kebudayaan yang akan dimasukinya. Representasi budaya massa yang merupakan objek masyarakat Bali sebagai pelaku yang ikut serta memainkan produk budaya, salah satunya seni sastra. Studi kebudayaan dan budaya populer sejauh ini belum banyak diperhatikan oleh para peneliti. Dengan melihat hubungan antara budaya massa dan wacana sastra dapat dipahami dinamika sosial budaya masyarakat Bali melalui karya sastra yang dihasilkan. Bahkan, termasuk budaya massa yang dihasilkan oleh masyarakat pendukungnya juga berdampak pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, bentuk komunikasi merupakan simbol budaya masyarakat dan refleksi dengan cerminan bahasanya.

4.2 Pengaruh Konstruksi Budaya terhadap Media Massa Surat Kabar Harian Bali Post

Kajian budaya merupakan representasi, bagaimana gejala-gejala kebudayaan itu sendiri dikonstruksi secara sosial dan digunakan dalam konteks tertentu, dengan tujuan tertentu. Menurut Barker dalam Ratna, 2008: 300 kajian budaya adalah struktur diskursif, jejak-jejak pemikiran yang menyediakan cara-cara untuk berbicara. Di samping itu, kajian budaya adalah struktur tekstual, proses pemaknaannya dihasilkan melalui simbol bahasa. Representasi dan makna dihasilkan oleh pikiran, perkataan, dan tingkah laku manusia, melekat pada material tertentu, baik abstrak maupun konkret. Dalam kehidupan sehari-hari tampak melalui berbagai bentuk, seperti bangunan, prasasti, buku, majalah, pedagang kaki lima, pejalan kaki, rumah mewah, institusi akademis, bintang film, bunyi, citra, bangunan bersejarah, dan pariwisata. Sebagai teks, objek kultural tampil dalam bentuk multidimensi. Budaya massa tidak dapat dilepaskan dari pola hiburan masyarakat. Selain itu, istilah budaya massa mass culture sering pula ditukarkan dengan budaya popular popular culture, begitu pula dengan hiburan sebab cakupannya lebih luas. Budaya massa adalah seluruh produk terpakai atau barang konsumsi consumer goods yang diproduksi secara massal yang 9 bersifat fashionable yang formatnya terstandardisasi serta penyebarannya dan pengunaannya bersifat luas. Luas penggunaan produk massa, antara lain, menandai terbentuknya masyarakat mondial. Lebih jauh, hiburan massa berkaitan dengan pola rekreasi masyarakat yang mencakup tiga aspek, 1 media rekreasi, yaitu fasilitas yang memungkinkan warga masyarakat mendapatkan produk budaya massa mass culture yang memiliki fungsi kesenangan satisfaction; 2 produsen media rekreasi, yaitu individu atau institusi yang menciptakan atau sebagai fasilitator atau pihak yang melakukan pendistribusian produk budaya; dan 3 konsumen yang menggunakan produk kebudayaan untuk tujuan psikologis atau sosial. Secara sederhana produk budaya massa berfungsi menghibur dan didukung oleh sistem massal dalam pendistribusiannya Gans dalam Siregar, 2000: 193. Dalam kajian budaya dan media identitas lebih bersifat kultural dan tidak punya keberadaan di luar representasinya sebagai wacana kultural. Identitas bukanlah sesuatu yang tetap dan bisa di simpan, melainkan sebagai suatu “proses” untuk “menjadi”. Identitas juga dapat dimaknai sebagai genre pada entitas tertentu. Misalnya, pada etnisitas ras dan nasionalitas adalah konstruksi-konstruksi diskursif-performatif yang tidak mengacu pada “benda-benda” yang sudah ada. Artinya, etnisitas, ras, dan nasionalitas merupakan kategori- kategori kultural yang kontingen. Kebudayaan bukanlah ”fakta” biologis yang bersifat universal. Sebagai konsep, etnisitas mengacu pada pembentukan dan pelanggengan batas- batas kultural yang mempunyai keunggulan tersendiri. Dalam konteks ini, penekanannya lebih dikonsentrasikan pada kajian-kajian budaya massa, komunikasi, media, dan bahasa. Pers dan kebudayaan bagaikan mata pisau, yang menjadi “bencana” bagi kehidupan publik dan perilaku masyarakat karena mampu mendorong perubahan menuju keseimbangan kekuasaan, kearifan dan keunggulan lokal atau daerah. Di samping itu, secara politis termasuk sangat cukup berkorelasi dengan kekuasaan karena bisa memengaruhi kreativitas politik masyarakat terhadap perubahan orientasi, strategi, dan kebijakan politik. Pers dan kebudayaan sering kali dimanfaatkan berbagai pihak, baik negara maupun kelompok di tengah masyarakat untuk kepentingan berbeda-beda. Kajian budaya dan media, karya sastra dapat dilihat sebagai konstruksi sosial dan budaya yang secara intrinsik terimplikasi oleh persoalan-persoalan representasi. Konstruksi sosial yang dibentuk adalah sesuatu yang diregulasi dan memiliki konsekuensi tertentu di dalamnya. Identitas seksual dilihat bukan sebagai masalah esensi biologis yang universal, tetapi lebih sebagai persoalan bagaimana feminitas dan maskulinitas dinegosiasikan. Oleh karena itu, kajian budaya dan media sudah seharusnya memberi perhatian pada masalah-masalah seks 10 dan representasi. Misalnya, fokus kajian budaya dan media terhadap peran media dan komunikasi masyarakatnya melalui budaya populer atau sastra. Teknologi komunikasi khususnya media cetak yang dapat menunjang perkembangan karya sastra Indoensia di Bali dalam masyarakat multiukultural adalah surat kabar Bali Post. Surat kabar Bali Post adalah media cetak lokal yang mengemban nilai budaya lokal agar tetap lestari di tengah maraknya perubahan sosial sekarang ini. Salah satu nilai budaya yang dikembangkan adalah karya sastra yang banyak mengangkat warna lokal, ciri khas masyarakat Bali sebagai warisan budaya sejak dahulu kala. Kajian populisme kultural menurut McGuigan dalam Strinati, 2009: 380 adalah asumsi intelektual yang dibuat oleh sejumlah mahasiswa budaya populer bahwasanya pengalaman ataupun praktik simbolis orang kebanyakan lebih penting secara analitis ataupun politis dibandingkan kebudayaan dengan ‘K’ besar. Dalam kenyataannya, McGuigan memberikan serangan balik kritis terkini terhadap lahirnya pendekatan populis budaya populer. Populis berpendapat bahwa budaya populer tidak dapat dipahami sebagai sebuah kebudayaan yang direkatkan pada pemikiran ataupun tindakan orang. Apakah pembebanan ini dikatakan akibat tuntutan produksi ataupun konsumsi kapitalis demi keuntungan dan pasar, dari kebutuhan kapitalis atau patriark akan pengendalian ideologis, dari kepentingan kaum borjuis, dari memainkan perjuangan kelas atau dari pendiktean suatu struktur mental universitas, tetapi bagaimana pun kurang memadai sebagai salah satu cara memahami budaya populer. Menurut populisme, budaya populer tidak dapat dipahami kecuali kalau ia dipandang bukan sebagai pembebanan, tetapi sebagai ekspresi suara masyarakat yang tulus. Budaya yang ada dalam cerpen-cerpen Bali Post merupakan salah satu contoh populisme. Dari sudut pandang ini, usaha untuk merebut sesuatu yang positif dari budaya populer Indonesia. Dalam cerpen “Leluhur Gentuh” karya D.G. Kumarsana, terlihat bahwa budaya dan tradisi Bali, seperti balian, banten, bade, dan purnabawa telah memberikan pandangan warna lokal yang unik di dunia sastra nasional. Dalam hal ini, sasaran konstruksi kultural sebagai suatu strategi politik atau sebagai analisis budaya. Budaya Indonesia dan budaya Bali yang tercermin pada cerpen-cerpen Bali Post memberikan kontruksi besar dan kekuatan- kekuatan luar biasa yang membangun masyarakat Bali. Suatu arah populis bahwa manusia memiliki suatu pemahaman terbatas terhadap kekuatan-kekuatan sosial yang lebih luas atau berbagai relasi kekuasaan yang membentuk pikiran dan tindakan mereka sebagai contoh perempuan yang mengonsumsi kultural dengan proses-proses produksi kultural. 11

4.3 Sastra Koran: Melihat Gaya Bahasa Cerpen dan Puisi dalam Surat Kabar Harian