Membangun Toleransi dalam Perbedaan Jawa-Papua

interaksi sosial antar masyarakat Indonesia yang multikultur. Dalam bayangannya, jika keduanya benar-benar diterapkan, maka antar elemen masyarakat akan saling menghargai, menghormati, dan tak memiliki kebiasaan untuk memaksakan kehendak. Yohanes menekankan untuk tak mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan suku, ras, atau agama, namun tetap setia pada hukum. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Bakuh yang mementingkan pandangan hidup secara nasional. Kita sebagai bangsa Indonesia, kita saling menghormati. Biarpun berbeda-beda, kita saling menghormati. Karena apa? Kita itu orang Indonesia. Bukan orang Jawa bukan orang Papua. Kalau bisa kita itu nasional, pandangan hidup nasional. Bukan berdasarkan suku-suku. Wong mereka ke Jogja juga mencari ilmu dan kepintaran. Nanti toh untuk digunakan di daerahnya Bakuh Wijiutomo, wawancara 29 Oktober 2015. Beberapa responden berpandangan bahwa selain saling menjaga persatuan di tengah perbedaan, hal lain yang patut untuk dikedepankan adalah soal komunikasi. Forum-forum yang sengaja diselenggarakan untuk mempertemukan antara warga asli dan pendatang juga perlu untuk diadakan. Seperti pendapat Ari berikut ini, Harusnya saling tenggang rasa, menghormati antar sesama, walaupun dari daerah mana saja, etnis apa, mereka warga Indonesia. Komunikasi juga penting Ari Harsono, wawancara 31 Oktober 2015 Sri Priyono wawancara 31 Oktober 2015 menilai bahwa seharusnya ada forum untuk menyatukan antar warga asli Tegalwaras dengan orang-orang pendatang termasuk dari Papua biar terjalin komunikasi. Harapannya bisa dibuat sebulan sekali misalnya. Sebagai yang berwenang, Pariman sepakat ide tersebut dan harapannya pihak yang berinisiatif untuk memulainya, dengan tak hanya mengandalkan rapat RW yang rutin diselenggarakan di wilayahnya. Komunikasi juga penting, seperti rapat RW itu tadi. Penting juga dibangun srawung diluar rapat biar orang kampung sini rukun dan kondusif. Yang harus mulai ya mana yang dulu sadar. Gak perlu nunggu-nunggu. Siapapun boleh memulai Pariman Trisno S, wawancara 29 Oktober 2015. Seperti gambaran umum di awal pembahasan, wacana multikulturalisme di Dusun Tegalwaras yang di dalamnya terdapat Asrama Deiyai sudah dipraktikkan dengan cukup baik. Masing- masing dari dua kelompok yang mewakili Jawa-asli dan Papua- pendatang tidak hidup dengan menyimpan kecurigaan atau ketakutan satu sama lain. Kepercayaan sudah terbangun dengan baik, ditunjang juga oleh rekam jejak yang jadi bukti. Perbedaan diantara mereka bukan hal yang dipermasalahkan, bahkan disediakan ruang untuk hidup dan dirayakan. Kawasan dusun Tegalwaras yang di dalamnya terdapat Asrama Deiyai nyatanya bukan hanya ruang yang bebas diisi oleh beragam warga dari elemen budaya yang beragam seperti ciri-ciri masyarakat plural plural society, namun juga didukung oleh perasaan bahwa baik warga asli maupun warga pendatang adalah satu entitas masyarakat multikultur multicultural society.

2. Menjadi Warga Yogyakarta yang Baik

a. Pandangan Warga Asli Dusun Tegalwaras terhadap Penghuni

Asrama Deiyai Dusun Tegalwaras adalah kawasan multikultur yang diikat oleh sebuah peraturan atau konsensus yang disepakati bersama. Konsensus tersebut dibentuk atas tujuan utamanya yaitu kondisi dusun yang kondusif tanpa adanya gesekan antar elemen warga, terutama antara warga asli dengan warga pendatang, maupun warga dari satu kelompok etnis dengan warga dari kelompok etnis yang lain. Konsensus yang ditetapkan di Asrama Deiyai adalah rumusan peraturan yang ada di Tegalwaras dan pada praktiknya diterapkan ke seluruh warga di Tegalwaras, tak memandang warga asli atau pendatang. Misal, salah satu peraturan yang berlaku di Asrama Deiyai adalah “Perlu menjaga kebersihan dan ketenangan lingkungan asrama ” yang berkesesuaian dengan harapan warga Tegalwaras yang menginginkan suasana yang tenang di lingkungannya tanpa ada gangguan dari kegiatan para warga Asrama Deiyai. Pariman wawancara 29 Oktober 2015, selaku ketua RW 29, mengapresiasi para penghuni Asrama Deiyai, yang sejak asrama berdiri di pertengahan tahun 2012 hingga penelitian ini berjalan di akhir tahun 2015 bisa mempertahankan sikap kondusif, patuh tata tertib, dan bersikap baik dengan warga sekitar, termasuk ke diri Pariman sendiri. Dengan kata lain, mahasiswa Papua yang tinggal di Asrama Deiyai menunjukkan komitmen dan usaha untuk berintegrasi dengan warga Tegalwaras lain dengan cukup baik. Pariman wawancara 29 Oktober 2015 menyatakan jika pun ada yang menggeber motor dengan suara keras dan menuju asrama, pelaku tersebut bukanlah penghuni asli Asrama Deiyai, melainkan tamu yang berkunjung. Pariman seringkali mengingatkan tamu-tamu yang bersikap demikian karena mengganggu warga sekitar yang membutuhkan ketenangan. Ia menegaskan bahwa tanda-tanda yang terpasang di jalanan Tegalwa ras, semisal plang “Pelan-pelan, banyak anak kecil”, atau “Anda sopan, kami segan”, adalah peraturan untuk ditaati demi keselamatan bersama. Pariman wawancara 29 Oktober 2015 menilai jika para penghuni asrama adalah orang-orang yang sopan-sopan dan tak pernah berbuat ulah di Tegalwaras. Setiap kali para penghuni Asrama Deiyai ingin mengadakan sebuah acara salah satu perwakilan asrama akan datang ke Pariman untuk meminta izin. Pariman selalu mengizinkan sambil menitipkan pesan untuk tetap menjaga keamanan. Pariman wawancara 29 Oktober 2015 memang pernah mendengar cerita jika orang Papua orangnya keras, sering membuat keributan, dan tukang mabuk. Namun Pariman tidak terpengaruh atas informasi tersebut sebab penilaiannya selalu bersifat langsung. Ia hanya bisa menilai kepada orang-orang yang ia temui di kehidupan sehari-hari, dalam hal ini adalah para penghuni Asrama Deiyai. Penilaian yang sama juga diberikan oleh Bakuh Wijiutomo selaku Ketua RT 05 Tegalwaras. Bakuh wawancara 29 Oktober 2015 memang pernah mendapat informasi yang ia sebut sebagai “berita yang macem-macem”, bahwa orang-orang Papua itu brutal, tukang minum, suka teriak-teriak dan mengganggu lingkungan sekitar, dan jika diingatkan warga, mereka akan balik mengancam. Ia tak terpengaruh dengan informasi tersebut dan selalu bisa memisahkan pandangan bagi subjek di dalamnya dan para penghuni Asrama Deiyai. Sepengetahuannya, anak-anak Asrama Deiayi tak pernah membuat keributan dan selalu bersikap kondusif. Pandangan-pandangan serupa diungkap oleh 3 responden lain, yaitu Ari Harsono wawancara 31 Oktober 2015, Sri Priyono wawancara 31 Oktober 2015, dan Yohanes Sugiyo wawancara 31 Oktober 2015. Persepsi yang terbentuk oleh ketiganya sudah bisa adil, dalam arti bisa memilah penilaian kepada para penghuni Asrama Deiyai dengan orang Papua di luar Tegalwaras. Beberapa persepsi negatif yang mengandung stereotip dan prasangka yang pernah mereka terima antara lain bahwa orang Papua itu pemabuk, beringas, senang bikin ribut, bikin ulah atau bikin onar, kasar keras, yang intinya, mengutip Yohanes, membuat hal yang tak baik di sekitar tempat tinggal. Namun kenyataannya, persepsi-persepsi negatif itu tak terbukti pada para penghuni Asrama Deiyai. Yohanes adalah orang Tegalwaras yang paling dekat dengan para penghuni Asrama Deiyai sebab selama penelitian berlangsung ia sedang membantu renovasi asrama. Ia juga memiliki usaha warung makan yang menjadi langganan penghuni asrama. Ia memberi analisis lain untuk membedakan dua entitas masyarakat Papua yaitu berdasarkan kadar intelektualitasnya. Ada perbedaan pandangan juga diantara warga. Tidak seperti saya, pandangan yang lain kadang melibatkan anak- anak Papua daerah lain yang kadang bikin rusuh itu. Mereka mikirnya jangan-jangan yang ada disini juga seperti mereka itu. Saya hanya bilang, orang-orang intelektual itu pandangannya lebih baik dari orang-orang yang tidak intelektual di luar sana. Jadi jangan memandang yang sana dengan yang sini sama. Jadi barangkali kalau yang ribut itu yang tidak intelektual Yohanes, wawancara 31 Otober 2015 Yohanes wawancara 31 Oktober 2015 menganggap bahwa status sebagai mahasiswa juga berkaitan dengan karakternya, sepak terjangnya , sopan santunnya, hingga tata kramanya. Ia juga bisa membedakan dengan mudah mana yang pemabuk mana yang bukan. Jika ada pendatang yang melanggar aturan kampung pun, menurut Yohanes, pelakunya bukan penghuni asrama, dan pelanggaran tersebut tak sampai mengganggu ketenangan kampung. Dalam membedakan antara orang Jawa dan orang Papua hingga memicu lahirnya beragam persepsi negatif, terutama anggapan bahwa orang Papua itu kasar dan keras, Bakuh wawancara 29