Multikulturalisme di Indonesia Kajian Pustaka

elemen masyarakat dihilangkan. Dengan kata lain, stratifikasi sosial yang berbentuk vertikal dihapus, digantikan dengan diferensiasi yang berbentuk horizontal. Menandakan sebuah semangat kesetaraan diantara perbedaan yang populer didasarkan pada konsep SARA atau Suku, Ras, Agama, dan Antar golongan, dan diwadahi dalam satu sistem politik nasional yang akhirnya berbentuk negara kesatuan. Selama 3 era besar sejarah Indonesia modern, yaitu selama pemerintahan Soekarno di awal kemerdekaan, Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, dan di era Pasca Reformasi tahun 1998, masing- masing rezim memiliki proyek politik multikulturalisme-nya yang khas serta konsekuensi-konsekuensinya. Banyaknya pemberontakan lokal di awal kemerdekaan saat Soekarno berkuasa misalnya, membuat kondisi politik di era Orde Baru terasa sangat otoriter dan asimilasionis model politik multikulturalisme ala Bikhu Parekh. Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan “khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno” dan masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menunjukkan kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme Azra, 2013. Secara restrospektif, politik monokulturalisme pada rezim Orde Baru yang mengatasnamakan stabilitas demi melancarkan politik pembangunan fisik atau developmentalism telah menghancurkan local cultural geniuses atau kearifan lokal, seperti pela gandong di Ambon, republik nagari di Sumatera Barat dan lain sebagainya. Selain menghancurkan banyak kearifan lokal, politik monokulturalisme pada akhirnya juga mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal. Kekerasan dan konflik yang bernuansa etnis dan agama yang khususnya marak sejak 1996 tak bisa dilepaskan dari fenomena tersebut Azra, 2013. Klinken 2004 mengutip Ted Gurr dalam membagi konflik suku bangsa seperti yang marak terjadi di Indonesia ke dalam lima kategori: 1 Etnonasionalis, yaitu satuan etnik yang hidup dalam wilayah tertentu dan ingin memisahkan diri dari negara misalnya: Aceh, Papua; 2 Persaingan komunal, yaitu persaingan antar kelompok untuk meraih kekuatan politik Kristen vs Muslim di Ambon dan Poso; 3 Etnokelas, yaitu upaya suku bangsa tertentu untuk mencapai persamaan hak dan mengatasi diskriminasi sebagai imigran dan minoritas; 4 Masyarakat adat, yaitu mereka hidup dalam wilayah tertentu dan menginginkan otonomi yang lebih besar dari negara yang memerintah untuk melindungi tanah adat misalnya: Papua, Dayak di Kalimantan; dan 5 Sekte agama militan, yaitu kelompok-kelompok kecil yang berjuang untuk ideologi agama misalnya Laskar Jihad Asyhari-Afwan, 2015. Kategori-kategori tersebut kenyataannya kadang tidak berlangsung secara terpisah. Seringkali konflik suku bangsa berlatar agama sebenarnya dipengaruhi persaingan komunal dari kalangan elit tertentu untuk merebut kekuasaan Asyhari-Afwan, 2015: 8. Koffi Anan selaku Sekjen PBB pernah menyinggung permasalahan konflik tipe etnonasioalis dalam pidatonya saat berkunjung ke Indonesia pada 2005 silam, atau 7 tahun setelah reformasi mengguncang Jakarta dan konsep tentang multikulturalisme yang sebenar-benarnya sedang ramai diperbincangkan kembali. Minoritas harus diyakinkan bahwa negara benar-benar milik mereka, juga milik mayoritas, dan bahwa keduanya akan menjadi pecundang kalau negara pecah. Konflik-konflik hampir pasti terjadi kalau respon negara terhadap separatisme menimbulkan penderitaan yang meluas di wilayah atau diantara kelompok etnik yang ingin memisahkan diri itu. Akibatnya adalah membuat makin banyak orang merasa bahwa negara bukanlah negara mereka, dan ini sama saja dengan memberi separatisme para pendukung baru. dikutip dari Budiman, 2009: xvi. Sebuah masyarakat multikultur tidak mampu stabil dan bertahan lama tanpa adanya perasaan saling memiliki yang dirasakan para warganya. Tak berdasarkan etnis atau karakteristik budaya atau karakteristik tertentu. Masyarakat multikultural terlalu beranekaragam untuk kategori tersebut. Namun secara alamiah bersifat politis dan didasarkan pada komitmen terhadap komunitas politik Parekh, 2008. Ketegangan antara mayoritas dan minoritas atau konflik antar kelompok etnis, agama, dan golongan adalah permasalahan klasik yang hampir selalu mewarnai perjalanan negara yang multikultur. Terkadang keduanya tumpang tindih: mayoritas yang terdiri satu etnis besar yang berkonflik dengan minoritas yang terdiri dari satu kelompok etnis kecil. Keluar dari era otoritarianisme Orba membawa Indonesia kepada dilema: di satu sisi ada tuntutan untuk agar kemajemukan dan identitas- identitas partikular tidak akan lagi menerima represi, atau dengan kata lain kebijakan pemerintah yang mengarah ke asimilasi serta homogenisasi kultural harus ditinggalkan, namun di sisi lain perayaan akan diversitas tersebut juga memunculkan “eksplosi” alias konflik SARA di sembarang tempat Budiman, 2009. Sebuah tanda jika perayaan diversitas kultural tak dikelola dengan tepat maka akan berakhir buruk, sebab berakhirnya Orba seakan turut membuat absennya nilai-nilai yang dibagi bersama shared value yang mengikat sebagai sebuah bangsa, dan bahwa negara-bangsa dan proses demokrasi harus didasarkan denominator bersama Budiman, 2009: 7. Konflik berbau SARA di Indonesia berangkat dari beragam pandangan dan sikap yang bertentangan dengan semangat multikulturalisme. Sikap etnosentris sampai berujung ke tindakan diskriminatif pada dasarnya berangkat dari persepsi satu orang terhadap orang lain, atau satu kelompok terhadap kelompok lain. Persepsi menentukan sikap atau perilaku baik perorangan maupun kelompok. Branca 1964 dan Wordworth dan Marquis 1957 menjelaskan jika persepsi dimulai dari proses penginderaan. Penginderaan adalah proses diterimanya stimulus oleh individu melalui panca indera. Stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf. Inilah yang disebut dengan proses persepsi. Sebuah proses yang terjadi setiap saat dikutip dari Walgito, 2003: 53. Menurut Davidoff 1981, persepsi membuat individu menyadari dan mengerti tentang lingkungan sekitarnya dan tentang dirinya sendiri. Dalam konteks hubungan sosial sehari-hari, Heider 1958 menyebut social perception atau persepsi sosial, atau sebuah persepsi yang berkaitan dengan variabel-variabel sosial. Definisi Lindzey dan Aronson yang merujuk Taiguri 1975 tentang persepsi sosial adalah suatu proses seseorang untuk mengetahui, menginterpretasikan, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya, dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi dikutip dari Walgito, 2003. Persepsi sosial adalah aktivitas yang integrated, merujuk temuan Moskowitz dan Orgel 1969, pikiran, perasaan, kerangka acuan, pengalaman-pengalaman atau dengan kata lain keadaan pribadi orang yang mempersepsi akan berpengaruh dalam seseorang mempersepsi orang lain dikutip dari Walgito, 2003. Berangkat dari persepsi yang keliru, muncul beberapa penyakit budaya yang menjadi pemicu konflik berbau SARA di Indonesia. Mengutip Sutarno 2007, penyakit budaya tersebut antara lain adalah etnosentrisme, stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan diskriminasi, dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010. Etnosentrisme atau sikap etnosentris adalah kecenderungan untuk melihat nilai atau norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang mutlak serta menggunakannya sebagai tolak ukur kebudayaan lain Herimanto dan Winarno, 2010: 113. Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena ia berasal dari kelompok lain Herimanto dan Winarno, 2010: 112. Stereotip menurut Allan G. Johnson 1986 adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan atau pengalaman tertentu dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010. Stereotip biasanya berawal dari prasangka: pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak teruji sebelumnya. Prasangka yang menghinggapi orang akan membuatnya tak dapat berfikir logis dan objektif adil, dan segala dinilainya sebagai sesuatu yang negatif Herimanto dan Winarno, 2010. Scape goating adalah pengkambing hitaman, atau sebuah teori jika individu yang tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan tersebut dapat ditangguhkan ke orang lain Herimanto dan Winarno, 2010. Persis seperti apa yang dilakukan Nazi terhadap warga Yahudi yang dinilai menyebabkan kekacauan politik dan ekonomi Jerman. Rasisme secara sederhana adalah sikap anti terhadap ras lain atau ras tertentu di luar ras sendiri. Rasisme adalah bentuk diskriminasi yang didasarkan atas perbedaan ras. Diskriminasi sendiri adalah tindakan membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya, atau dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas Herimanto dan Winarno, 2010: 112-113. Pratiwi 2010 mendefinisikan kelompok minoritas sebagai orang- orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya mayoritas sehingga mudah mendapat perlakuan tak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup. Mereka yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan Ibid. Ada pertentangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, dimana kelompok mayoritas adalah golongan yang menikmati status sosial lebih tinggi dan keistimewaan yang lebih banyak. Mereka mengembangkan seperangkat prasangka terhadap kelompok minoritas yang didasarkan pada 1 perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan; 2 sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing; dan 3 adanya klaim pada golongan dominan bawa sebagaian besar akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya-sumber daya tersebut Pratiwi, 2010: 5. Perlu diketahui bahwa Minority Group International MRG tak membatasi penyebutan minoritas hanya pada unsur numerik jumlah kuantitatif, melainkan lebih memberi perhatian khusus pada faktor “non- dominan” baik etnik, agama, maupun linguistik sebagai kategori untuk membedakannya dari kaum mayoritas Budiman, 2009. Bagi Parekh, kesetaraan dalam masyarakat multikultur yang berfungsi untuk memelihara rasa memiliki yang sama memang penting, namun kewarganegaraan adalah mengenai status dan hak. Kepemilikan adalah mengenai diterima dan merasa diterima Parek, 2008. Diskriminasi pada minoritas yang berbeda disebabkan oleh perilaku sempit dan eksklusif. Meskipun individu-individu yang berstatus sebagai korban masih bebas secara prinsip untuk berpartisipasi dalam kehidupan kolektif, mereka sering memisahkan atau mengasingkan diri mereka karena takut terhadap penolakan dan cemoohan atau karena perasaan terasing yang mendalam Parekh, 2008: 449. Peluang menjadi masyarakat majemuk yang damai dalam bingkai multikulturalisme yang ditawarkan banyak ahli idealnya bukan semacam “butik budaya” dimana diversitas kultural dianggap ada dari tampilan luar yang beragam gaya berpenampilan dan berpakaian atau terlihat pada pertunjukan seni budaya saja. Namun bagaimana memperlakukan yang berbeda itu dengan berlandaskan kesederajatankesetaraan dan keadilan yang terwujud dalam hubungan sosial sehari-hari.

B. Penelitian yang Relevan

Penulis belum menemukan penelitian yang menguji praktik multikulturalisme di Yogyakarta dengan bersubjek penelitian warga Papua. Penelitian yang paling dekat adalah penelitian individual Ahmad Salehudin, S.Th.I., MA dari UIN Sunan Kalijaga yang berjudul “Dilema Asrama Daerah dalam Membentuk Kesadaran Multikultural Mahasiswa Studi atas Lima Asrama Daerah di Yogyakarta ”. Lima asrama tersebut adalah Asrama Daerah Ikatan Pelajar dan Mahasiswa IKPM Sumatera Selatan Sumsel, Asrama Daerah Keluarga Pelajar Mahasiswa Indramayu KAPMI, Asrama Daerah Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa IKPM Lombok Tengah, Forum Silaturrahmi Keluarga Mahasiswa Madura Jogyakarta Fs-KMMJ, dan Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa IKPM Keluarga Mahasiswa Katolik Sumba KMKS Yogyakarta. Penelitian tersebut berisi tentang kondisi dilematis asrama daerah mahasiswa yang di satu sisi menyumbang ke-multikultur-an Yogyakarta juga lebih meramaikan seni budaya lokal dari beragam daerah, namun juga menjadi tempat tumbuh kembangnya primordialisme, etnosentrisme, hingga berujung gesekan antar etnis di Yogyakarta. Hal positif lainnya adalah tentang terciptanya toleransi atas perbedaan; penghargaan yang tinggi terhadap kelompok lain; kesadaran atas persamaan derajat dan kedudukan; apresiatif dan senantiasa memberi penghargaan terhadap kelompok lain; dan mampu menjaga kebersamaan, kerjasama dan hidup berdampingan secara damai. Juga bagaimana caranya meminimalisir gesekan dengan warga asli dengan sadar akan posisi dirinya sebagai pendatang. Kesamaan dengan penelitian penulis adalah terkait analisis hubungan antar kelompok kultural dalam masyarakat majemuk, dikotomi hubungan sosial antara warga asli dan warga pendatang, dan konsekuensi kondisi masyarakat multikultur yang tak bisa lepas dari sentimen kedaerahan dan gesekan-gesekan berbau SARA. Kesamaan lainnya adalah penelitian tersebut adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara observasi dan wawancara yang mendalam kepada subjek penelitian. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut adalah jika subjek penelitian tersebut memakai mahasiswa-mahasiswa dari 5 asrama daerah, penulis menyasar beberapa mahasiswa Papua yang tinggal di sebuah asrama mahasiswa di Yogyakarta dan beberapa warga asli Yogyakarta di sekitar asrama tersebut. Penelitian-penelitian lain dalam beragam jurnal yang penulis temukan digunakan sebagai referensi dalam mendedah multikulturalisme baik secara etimologis, ontologis, epistemologis, sampai ke aksiologisnya. Antara lain: 1. Penelitian tentang sisi teoritis dari multikulturalisme adalah penelitian oleh Dra. Ana Irhandayaningsih, M.Si berjudul “Kajian Filosofis terhadap Multikulturalisme Indonesia ”. Isinya tentang problem asumsi dasar multikulturalisme di Indonesia seperti ketegangan antara “satu dan banyak” dan konflik antara mayoritas dan minoritas di Indonesia. 2. Penelitian pada Jurnal Sosiologi MASYARAKAT FISIP UI yang ditulis oleh Lucia Ratih Kusumadewi dengan judul “Kembalinya Subjek: Sosiologi Memaknai Kembali Multikulturalisme ”. Sesuai judul, penelitian tersebut bagaimana sosiologi mendedah ulang permasalahan multikulturalisme dalam proyek penglahiran kembali “subjek” yang mati sebagai korban ide-ide politik besar seperti negara. 3. Penelitian berjudul “Pendidikan Bagi Pendatang di Tengah Mayoritas Masyarakat Pribumi ” oleh Iwan Hermawan dari Balai Arkeologi Bandung yang memaparkan tentang konsepsi pendidikan bagi pendatang di tengah mayoritas masyarakat pribumi. Dalam abstraknya ia menyinggung tentang kondisi kemajemukan masyarakat Indonesia dan perlunya mendorong perlunya pendidikan multikultural dimana siswa memiliki hak yang sama dalam memperoleh pengetahuan akan budayanya. Yaitu proses pendidikan yang lebih menonjolkan ide keberagaman kebudayaan yang mendukung sikap saling menghargai terhadap perbedaan di tengah masyarakat. Sementara, pengenalan tentang nilai budaya masyarakat setempat yang dominan perlu dilakukan sebagai dasar bagi proses interaksi dan proses adaptasi dalam kehidupan bersama. Sedangkan artikel ilmiah yang berkisar pada ide maupun kritik tentang praktik multikulturalisme di Indonesia antara lain: 1. Penelitian Arie Setyaningrum selaku staf pengajar di Jurusan Sosiologi Fisipol UGM yang berjudul “Multikulturalisme Sebagai Identitas Kolektif, Kebijakan Politik, dan Realitas ”. 2. Penelitian John Habba pada Jurnal Bhinneka Tunggal Ika yang berjudul “Pancasila dan Kemajemukan Etnis di Indonesia”. Hasil penelitiannya adalah tentang pelaksanaan nilai-nilai Pancasila di Kupang, Makasar, dan Denpasar, yang menunjukan bahwa sebetulnya di daerah-daerah lokal tersebut sudah lebih dahulu memiliki nilai tentang menghargai orang lain alias “the other”, pun menghargai keberagaman, bahkan sebelum Pancasila dan Indonesia lahir.

C. Kerangka Pikir

Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai miniatur Indonesia sudah sejak lama mengadopsi ide multikulturalisme. Realitanya, sejak Kraton Yogyakarta bergabung serta mendukung penuh ke Republik Indonesia di era 1940-an, tingkat keberagaman budaya Yogyakarta terus meningkat. Salah satu penyababnya adalah banyaknya perguruan tinggi yang menjadi tempat belajar mahasiswa dari segala penjuru daerah di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Dari luar Yogyakarta sampai luar pulau Jawa. Menyadari kondisi yang demikian, para pemangku kebijakan di DIY, mulai dari Sultan Hamengku Buwono hingga pemimpin masing-masing kabupaten dan Kota Yogyakarta, sudah sejak awal kemerdekaan berusaha untuk mempraktikkan kebijakan berlandaskan multikulturalisme ala Indonesia sebagai basis hubungan sosial masyarakatnya. Slogan “Jogja Berhati Nyaman” sudah cukup menggambarkan niat baik Kota Pelajar yang ingin membuat seluruh elemen pendatang tinggal dengan nyaman. Sultan