Integrasi dan Akomodasi ala Dusun Tegalwaras

Sejak menjadi kawasan yang memiliki banyak tempat tinggal untuk para pendatang kos, kontrakan, asrama mahasiswa, elemen warga asli Dusun Tegalwaras memang sudah berkomitmen untuk mengakomodasi para pendatang, asal para pendatang juga bisa berintegrasi dengan warga kampung yang lain dengan menaati segala peraturan yang diberlakukan. Tujuan utamanya adalah membuat lingkungan Dusun Tegalwaras menjadi nyaman dan kondusif untuk ditinggali. Masing-masing responden asal Papua memiliki sejarah dan alasan mengapa memilih tinggal dan menetap di Asrama Deiyai. Agus wawancara 16 Oktober 2015 memilih asrama sebab biaya hidupnya lebih murah dibanding mengekos. Ia bisa bebas berdiskusi dan bertukar pikiran dengan teman-teman satu daerah. Walaupun ia mengakui jika mengekos kesempatannya untuk dekat dengan mahasiswa dari beragam daerah lebih besar. Mikael wawancara 23 Oktober 2015 yang mesti berpindah-pindah tempat tinggal juga mengakui jika pilihan mengekos sebenarnya memperbesar kemungkinan untuk bertemu teman-teman dari luar Papua. Markus wawancara 26 Oktober 2015, Moses wawancara 23 Oktober 2015, dan Yustinus wawancara 22 Oktober 2015 juga merasa bahwa tinggal Asrama Deiyai memiliki banyak kelebihan dibanding dengan mengekos. Kesempatan untuk bersolidaritas sesama kawan-kawan asal Papua menjadi lebih mudah. Asrama Deiyai juga ruang yang representatif untuk acara-acara adat khas Papua semacam upacara bakar batu dan bakar babi. Mereka tak kesulitan untuk mendapat izin, sebab selain pengurus RT dan RW tak mengekang dan bersikap akomodatif, sudah jamak diketahui jika salah satu tujuan dibuatnya asrama mahasiswa di Yogyakarta adalah ruang untuk melestarikan aktivitas kultural daerah asal masing-masing Salehudin, 2013. Di satu sisi, konsep asrama daerah bisa dinilai eksklusif. Ia berbeda dengan konsep kos-kosan yang bisa menampung mahasiswa- mahasiswa dari berbagai daerah. Pariman wawancara 29 Oktober 2015 berpendapat jika untuk kepentingan srawung atau bersosialisasi dan integrasi antara pendatang dan warga asli yang terbaik adalah konsep kontrakan. Untuk pengawasan lebih mudah, dan penghuninya dinilai lebih mau berpartisipasi dengan kegiatan kampung. Priyono wawancara 31 Oktober 2015 setuju, bahwa untuk kepentingan srawung dan integrasi, kontrakan lebih baik ketimbang asrama. Tapi ia kurang setuju dengan konsep kos sebab rata-rata penghuni kos sifatnya bulanan. Si penghuninya bisa saja sudah pindah sebelum bisa bersosialisasi dengan baik. Pendapat Priyono diamini Yohanes wawancara 31 Oktober 2015 yang menambahkan jika konsep asrama mahasiswa bukan dibuat untuk sarana bergaul yang efektif dengan masyarakat umum, namun difokuskan untuk tempat yang belajar yang kondusif. Intinya, konsep asrama mahasiswa memang sengaja dibuat eksklusif, namun bukan eksklusif dalam pengertian yang negatif. Pendapat Yohanes bisa diartikan bahwa keberadaan asrama mahasiswa di Dusun Tegalwaras dan tujuan eksklusifnya, yaitu tempat belajar yang kondusif, adalah representasi dari sikap akomodatif Dusun Tegalwaras kepada para mahasiswa pendatang dari Papua. Akomodasi secara formal adalah kesepakatan saat pendirian dan peresmian Asrama Deiyai. Akomodasi secara ekonomis disediakan warga Dusun Tegalwaras yang menjual makanan dan kebutuhan sehari-hari yang bisa diakses penghuni Asrama Deiyai. Akomodasi secara kultural adalah penerimaan warga Dusun Tegalwaras akan keberadaan warga asrama dengan setara tanpa membeda-bedakan dengan warga lainnya. Ari wawancara 31 Oktober 2015 memiliki solusi yang lebih sistematis. Menurutnya, mahasiswa pendatang pertama kali di Yogyakarta perlu untuk tinggal di asrama dulu untuk beradaptasi dan penyesuaian, baik soal tempat tinggal maupun nilai dan norma masyarakat setempat. Saat sudah paham juga budayanya, maka ia baru dibebaskan untuk tinggal di kos ataupun kontrakan.

b. Model Multikulturalisme Akomodatif Bercorak Millet

Masing-masing konsep rumah tinggal —asrama, kos, kontrakan —di suatu kawasan yang masyarakatnya multikultur bisa dipakai untuk menilai model multikulturalisme apa yang diterapkan di dalamnya. Parekh 2008 memiliki pembagian jenis masyarakat yang tak mutlak, bisa tumpang tindih satu sama lain, dan yang membedakan adalah coraknya. Ia membagi masyarakat multikultur menjadi 3 model, yaitu 1 model proseduralis, 2 model asimilasionis kemasyarakatan, dan 3 model Millet. Parekh juga menawarkan 5 model lain yang lebih spesifik dan juga tak mutlak serta bisa tumpang tindih satu sama lain Azra, 2013. 5 konsep tersebut antara lain 1 Multikulturalisme Isolasionis, 2 Multikulturalisme Akomodatif, 3 Multikulturalisme Otonomis, 4 Multikulturalisme Kritikalinteraktif, dan 5 Multikulturalisme Kosmopolitan. Model-model di atas dijelaskan Parekh untuk konteks negara. Agar sesuai dengan analisis penelitian, maka unit kesatuan politik yang menjadi kawasan multikultur adalah kawasan administratif Dusun Tegalwaras. Dari kesekian model yang telah disebutkan, yang paling representatif untuk menjelaskan model apa yang ada di Dusun Tegalwaras dan Asrama Deiyai di dalamnya adalah model Millet dan model Multikulturalisme Akomodatif. Model Millet menggambarkan masyarakat multikultur yang mementingkan komunitas kultural dan ekspresi serta nilai hidup yang diterapkan sehari-hari. Ada komunitas-komunitas kecil di dalam satu komunitas besar communities in community. Hanya potongan pengertian inilah yang bisa dipakai sebab konsep Millet secara keseluruhan juga menuntut intervensi sekecil mungkin dari unit kesatuan politik terhadap komunitas kultural yang ada di dalam kawasan tersebut. Asrama Deiyai sebagai komunitas kultural mahasiswa Papua yang tinggal di Yogyakarta tak benar-benar lepas dari nilai dan norma masyarakat Tegalwaras. Jika masyarakat Millet yang sempurna meniadakan status moral unit kesatuan politik, maka di Dusun Tegalwaras masih ada status moral berupa peraturan bersama untuk ditegakkan semua elemen masyarakat yang tinggal di dalamnya. Walaupun secara kultural dan struktural Asrama Deiyai juga memiliki rumusan peraturan sendiri, namun mereka tak sepenuhnya hidup secara 100 otonom. Secara struktural peraturan tertulis maupun kultural ada tuntutan untuk menjadi satu entitas dengan warga dusun Tegalwaras yang lain melalui proses integrasi. Oleh karena hanya mengambil sebagian definisi dari model Millet yang masih bersifat umum, maka dalam konteks penelitian ini Millet hanya menjadi corak. Model yang lebih representatif dan spesifik untuk menjelaskan Dusun Tegalwaras adalah Multikulturalisme Akomodatif. Model Multikulturalisme Akomodatif adalah masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi- akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, serta memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan lain sebagainya dikutip dari Azra, 2013. Kultur dominan yang ditunjukkan oleh masyarakat Dusun Tegalwaras adalah ciri khas masyarakat Yogyakarta dengan kultur Jawa-nya yang kuat. Salah satu turunannya adalah norma untuk berhubungan sosial yang berlandaskan unggah-ungguh atau bersopan santun ala orang Jawa. Norma ini diturunkan dan disesuaikan dalam aturan kultural yang disepakati oleh warga Asrama Deiyai dan sering disosialisasikan oleh Agus wawancara 16 Oktober 2015, bahwa saat di berada di sekitar Dusun Tegalwaras dan bertemu dengan warga lain para penghuni asrama mesti bersopan-santun dan melaksanakan unggah-ungguh. Peraturan jam belajar masyarakat yang mengatur kunjungan tamu berakhir pada pukul 22.00 dan larangan membawa tamu lawan jenis untuk menginap yang diterapkan di semua kos, kontrakan, dan asrama di Tegalwaras adalah manifestasi undang-undang, hukum, dan ketentuan yang memiliki sensifitas secara kultural, lebih tepatnya kultur masyarakat Islam sekaligus masyarakat ketimuran. Dalam masyarakat multikultur, peraturan, undang-undang, maupun hukum