Diskriminasi Tantangan-tantangan Multikulturalisme Yogyakarta

dilempar ke banyak instansi, termasuk juga pihak kepolisian. Mikael akhirnya menyerah. Ia menganggap ada unsur diskriminasi sebab teman-temannya yang berasal dari Papua mengalami hal yang sama, sedangkan teman-temannya dari Kalimantan dan daerah lain tidak. Prosesnya tetap dibuat cepat. Pengalaman serupa dialami oleh Markus yang perlu mengurus KTP baru sebab dompet beserta isinya hilang. Walaupun KTP hanyalah tanda formalitas saja, namun dalam kasus Moses hingga berpengaruh terhadap pembatalan keterlibatannya dalam Pemilu tahun 2014. Bulan Oktober 2014 lalu. Waktu pemilihan Presiden lalu. Saya ingin memilih di RT 20 dekat kampus. Mereka bilang syaratnya harus pakai KTP Jogja. Lalu saya tunjukan KTP Nasional saya. Akhirnya saya tak bisa memilih. Saya ditolak. Untuk mengurus KTP Jogja kata teman-teman lama banget. Daripada saya lama di Kantor Polisi, saya pakainya KTP Nasional saja Moses Douw, wawancara 23 Oktober 2015. Yustinus pun pernah terlibat diskriminasi terkait pengurusan KTP dan SIM di Yogyakarta. Ada. Yaitu tata peraturan membuat KTP dan SIM. Itu mahasiswa Papua merasa sangat kesulitan. Jadi pernah ada pihak keamanan yang menanyakan tentang surat berkendara namun kami dilepaskan karena memang tidak bisa mengurus. Saat kami mau urus, mereka pihak yang berwenang tidak terima kami. Alasannya kami mahasiswa Papua katanya semua urus di Papua. Baik untuk SIM, KTP, sampai STNK. Kami keberatan sekali atas sikap itu Yustinus Tebai, wawancara 23 Oktober 2015. Yustinus wawancara 22 Oktober 2015 juga mengalami diskriminasi saat berada di kampusnya. Ia adalah korban kinerja petugas bagian akademik yang tidak efektif dan tidak efisien. Saat itu ia perlu mengurus transkrip nilai yang bermasalah. Yustinus heran sebab yang mengalami hal demikian hanyalah dirinya dan teman- temannya sesama dari Papua. Padahal dalam kesaksiannya, pelayanan admnistrasi petugas kepada mahasiswa non-Papua baik-baik saja. Diskriminasi bisa berasal dari stereotip. Moses wawancara 23 Oktober 2015 menuturkan bahwa ada satu stereotip yang menyatakan bahwa mahasiswa yang berasal dari luar Jawa pasti berasal dari keluarga yang kaya. Stereotip yang tak benar dan jelas ditolak oleh Moses sebab ia adalah anak dari seorang petani miskin. Berkembangnya stereotip tersebut melahirkan tindakan diskriminasi seperti pengalaman Moses yang bermaksud ingin membeli kemeja di sebuah toko baju. Ia memilih sebuah kemeja yang akan ia beli dengan harga Rp 45.000 sesuai yang tertera di label kemeja. Namun saat ia akan membayarkannya ke kasir, harganya bertambah 5.000 menjadi Rp 50.000.

b. Intoleransi

Walaupun tempat tinggalnya tersebar di banyak tempat, mahasiswa-mahasiswa Papua secara umum di Yogyakarta memiliki ikatan solidaritas yang kuat antar sesamanya. Secara sosial, kolektifitas yang terbangun didasarkan pada kesamaan daerah sehingga ada perasaan untuk saling menjaga dan memberi perhatian pada masalah-masalah yang timbul, apalagi yang menyangkut tindak intimidasi atau diskriminasi. Secara budaya, mereka memiliki kepentingan untuk tetap melaksanakan adat istiadat maupun kegiatan budaya Papua walaupun berada di tanah rantau. Penyelenggaraan kegiatan tersebut selalu mengundang mahasiswa Papua lain lintas kabupaten dan lintas organisasi. Terkadang acaranya diselenggarakan di Asrama Deiyai. Secara politis, ada organisasi semisal Aliansi Mahasiswa Papua AMP yang terus konsisten menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Terkadang massa yang bersolidaritas bahkan bisa lintas kepentingan politik dan diikuti oleh mahasiswa danatau elemen aktivis non-Papua yang berdomisili di Yogyakarta yang memiliki kepedulian mengawal isu-isu seputar Papua. Dalam pengawalan isu-isu kemanusiaan tersebut, elemen mahasiswa-mahasiswa Papua, termasuk di dalamnya ada yang tinggal di Asrama Deiyai, terkadang menyelenggarakan aksi damai. Salah satu tujuannya juga untuk memahamkan isu-isu tersebut kepada khalayak di Yogyakarta non-Papua. Saat melakukan salah satu aksi itulah, massa aksi pernah mengalami dihadang oleh sebuah organisasi masyarakat ormas bernama Paksi Keraton. Dari kesaksian Mikael wawancara 23 Oktober 2015 dan Moses wawancara 23 Oktober 2015, Paksi Keraton adalah ormas yang menjadi bukti bahwa kebebasan berpendapat di Yogyakarta masih belum sepenuhnya tercapai. Mikael menilai bahwa anggota Paksi Keraton dibayar dan dipakai untuk meredam aspirasi mahasiswa Papua. Dari penuturannya juga, Paksi Keraton dimarahi oleh Sri Sultan saat beliau tahu apa yang dilakukan ormas tersebut. Tindakan Paksi Keraton bisa dinilai sebagai sebuah tindakan intoleran. Mereka menutup ruang bagi mahasiswa Papua untuk berbicara ke publik, yang berarti tak menghargai keberadaan sekaligus tak menghargai aspirasi yang sedang berusaha diungkapkan oleh mahasiswa Papua. Di dalam masyarakat yang multikultur, kelompok intoleran seperti Paksi Keraton biasanya hadir dengan mencitrakan dirinya sebagai perwakilan mayoritas, walaupun dalam banyak kasus di banyak tempat mereka sebetulnya hanya mewakili segolongan kecil kepentingan yang sempit dan eksklusif. Mereka bersikap fasis dan arogan sambil berusaha untuk menindas minoritas yang dianggap memiliki ide atau gagasan yang tak sejalan dengan ideologi mereka. Selain Paksi Keraton, ormas yang cenderung bersikap fasis dan intoleran di Yogyakarta adalah Forum Umat Islam FUI dan Front Pembela Islam FPI. Kedua ormas tersebut terkenal karena rekam jejaknya yang rajin membubarkan acara-acara yang dituduh melanggar hukum atau membuat publik resah, walaupun dalam kenyataannya sikap intoleran mereka lah yang melanggar hukum dan membuat resah para korban serta masyarakat umum. Keberadaan ormas-ormas intoleran di kawasan yang dikenal ramah dan nyaman membuat Yogyakarta menjadi kawasan yang paradoksal. Sebagai salah satu korbannya, responden-responden Asrama Deiyai menyayangkan keberadaan ormas-ormas intoleran. Moses wawancara 23 Oktober 2015 menganggap keberadaan mereka tak relevan sebab sudah ada pihak keamanan seperti polisi dan tentara, sehingga baiknya ormas macam Paksi Keraton dibubarkan saja. Mikael wawancara 23 Oktober 2015 ingin menempuh jalan yang lebih moderat. Harapannya adalah diselenggarakannya suatu forum yang mempertemukan kedua belah pihak agar bisa sama-sama memahami keinginan masing-masing serta bisa ada titik temu. Konflik di masa depan pun diharapkan bisa dihindarkan. Tak hanya bagi para responden Asrama Deiyai, responden Dusun Tegalwaras juga menyayangkan jika di Yogyakarta masih ada ormas-ormas yang intoleran. Beberapa responden ada yang menyarankan pembubaran ormas-ormas tersebut dengan dasar analisis keagamaan yang bernas. Oiya, kayak FPI itu. Kalau mereka kan istilahnya terlalu mementingkan kepentingan mereka sendiri dengan kedok agama Islam. Barangkali terlalu cintanya ke agama Islam mereka jadi tak mau tahu dengan agama dan budaya lain. Padahal agama Islam sendiri masuk ke Indonesia kan melalui wali dan dengan damai. Karena agamanya kan disesuaikan dengan budaya Indonesia. Tidak bisa