12
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Multikulturalisme
Bikhu Parekh 1997 memaparkan bahwa “as society with several religions or languages is multi religious or multi lingual, a society
containing several cultures is multicultural ” atau masyarakat yang terdiri
atas beberapa agama atau bahasa, pun banyak agama dan banyak bahasa, sebuah masyarakat yang terdiri dari beberapa kebudayaan adalah
masyarakat multikultur dikutip dari Azra, 2013. Sebelum istilah multikulturalisme muncul, para ahli lebih sering
menggunakan istilah yang lebih sederhana: masyarakat majemuk, yang dikemukakan oleh administrator dan penulis politik Inggris di Asia
Tenggara, J. S. Furnivall. Masyarakat majemuk bagi Furnivall 1944 adalah masyarakat yang terdiri dari “dua atau lebih elemen atau tatanan
sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur, dalam satu unit politik” dikutip dari Hefner, 2007: 16.
Mengapa multikulturalisme selalu lekat dengan politik yang khas adalah sebab bagi Furnivall permasalahan kondisi masyarakat majemuk
di Indonesia tak bisa ditangani sebagaimana Inggris mengelolanya “dengan tradisi-tradisi yang konservatif dan institusinya yang stabil”.
Masalah kritis masyarakat majemuk di Asia Tenggara baginya adalah:
bagaimana memfasilitasi interaksi damai dan kooperatif dalam suatu masyarakat di mana para warganya tidak memiliki perasaan mengenai
diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau budaya Hefner, 2007: 17. Bagi Furnivall, tidak mungkin menyatukan beragam elemen masyarakat yang
sedemikian majemuk hanya dengan kesamaan kepentingan ekonomi yang terwujud dalam pertukaran di pasar.
Tanpa membentuk atau dibentuk suatu unit politik, kondisi yang demikian terasa menggelisahkan bagi Furnivall 1944.
Masyarakat cenderung diorganisir demi produksi, bukan demi kehidupan sosial; tuntutan sosial dikotak-kotakkan, dan dalam
masing-masing kotak komunitas tuntutan sosial menjadi tercerai- berai dan tak efektif sehingga dalam masing-masing kotak itu
para anggota menghadapi rintangan dalam usahanya untuk menjalani hidup sepenuhnya sebagai seorang warga negara
dalam sebuah komunitas yang homogen; terakhir, reaksi menentang kondisi-kondisi abnormal ini, yang masing-masing
kotak
mengambil bentuk
Nasionalisme, membenturkan
komunitas yang satu dengan komunitas lainnya sehingga menekan sifat majemuk masyarakat itu dan memperburuk
instabilitasnya sehingga meningkatkan perlunya tuntutan sosial itu dipertahankan dengan suatu kekuatan dari luar Hefner, 2007:
18.
Masyarakat majemuk plural society yang belum tentu dapat dinyatakan sebagai masyarakat multikultural multicultural society,
karena bisa saja di dalamnya terdapat hubungan antar kekuatan masyarakat dan varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir
dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi. Bentuk masyarakat multikultural yang tak hanya majemuk, namun juga dalam satu unit
politik yang lepas dari segala bentuk dominasi, hegemoni, maupun kontestasi Hidayah, 2009: 2.
Secara sederhana, Scott Lash dan Mike Featherstone 2002 mengartikan multikulturalism
e berarti “keberagaman budaya” dikutip dari Salehudin, 2013: 11. Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk
menggambarkan masyarakat yang beragam, yaitu pluralitas plurality, keragaman diversity, dan multikultural multicultural Salehudin,
2013. Ketiganya merepresentasikan hal yang berbeda. Pluralitas
mengandaikan adanya ‟hal-hal yang lebih dari satu‟ many, dan keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ‟lebih dari satu‟ itu
berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Sedangkan multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain yang
berbeda budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama secara sama sebagai kesatuan Salehudin, 2013: 11.
Menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar tahun 1970-an terminologi “multikulturalisme” muncul pertama kali di Kanada dan Australia. Lalu
kemudian menyebar ke Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat
ke seluruh dunia Salehudin, 2013: 11. Irhandayaningsih
2012 berpendapat
bahwa istilah
multikuluralisme marak digunakan lebih surut lagi, yakni di tahun 1950 di Kanada. Sejarahnya adalah pemakaian istilah “multicultural” dulu
dipopulerkan oleh
surat kabar-surat
kabar di
Kanada yang
menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural dan multilingual banyak ragam bahasa.
Suparlan 2002 mengutip intisari pemikiran Jary, D dan J. Jay dalam
“Dictionary of Sociology”, B. Fay dalam “Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach
”, dan C.W.Watson dalam
“Multiculturalism” untuk menerjemahkan istilah “multikulturalisme” sendiri sebagai sebuah ideologi yang mengakui serta
mengagungkan perbedaan dalam lingkup kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Penekanannya ada pada
“kesederajatan”, yang berarti sebuah pengakuan mendasar bahwa yang beragam itu
—baik budaya maupun individu—berada dalam posisi setara alias tak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah.
Perbedaan-perbedaan budaya layak dinilai. Tak ada kebudayaan yang seluruhnya tidak berharga, bahwa semua pantas memperoleh
setidak-tidaknya beberapa pengormatan karena arti kebudayaan bagi para anggotanya dan energi kreatif yang diperlihatkannya, bahwa tidak ada
kebudayaan yang sempurna dan memiliki hak untuk menghadirkan diri pada pihak lain; dan bahwa kebudayaan paling mungkin dapat diubah
dari dalam Parekh, 2008: 441. Parekh mengemukakan sebuah perspektif yang menjadi prinsip
dasar masyarakat multikultur, terdiri dari satu keadaan saling mempengaruhi yang kreatif dari ketiga wawasan yang bersifat
komplementer. Pertama adalah keterlekatan kultural manusia, kedua yaitu