tempat tinggal. Namun kenyataannya, persepsi-persepsi negatif itu tak terbukti pada para penghuni Asrama Deiyai.
Yohanes adalah orang Tegalwaras yang paling dekat dengan para penghuni Asrama Deiyai sebab selama penelitian berlangsung ia
sedang membantu renovasi asrama. Ia juga memiliki usaha warung makan yang menjadi langganan penghuni asrama. Ia memberi analisis
lain untuk membedakan dua entitas masyarakat Papua yaitu berdasarkan kadar intelektualitasnya.
Ada perbedaan pandangan juga diantara warga. Tidak seperti saya, pandangan yang lain kadang melibatkan anak-
anak Papua daerah lain yang kadang bikin rusuh itu. Mereka mikirnya jangan-jangan yang ada disini juga seperti
mereka itu. Saya hanya bilang, orang-orang intelektual itu pandangannya lebih baik dari orang-orang yang tidak
intelektual di luar sana. Jadi jangan memandang yang sana dengan yang sini sama. Jadi barangkali kalau yang ribut itu
yang tidak intelektual Yohanes, wawancara 31 Otober 2015
Yohanes wawancara 31 Oktober 2015 menganggap bahwa status sebagai mahasiswa juga berkaitan dengan karakternya, sepak
terjangnya
, sopan santunnya, hingga tata kramanya. Ia juga bisa membedakan dengan mudah mana yang pemabuk mana yang bukan.
Jika ada pendatang yang melanggar aturan kampung pun, menurut Yohanes, pelakunya bukan penghuni asrama, dan pelanggaran
tersebut tak sampai mengganggu ketenangan kampung. Dalam membedakan antara orang Jawa dan orang Papua
hingga memicu lahirnya beragam persepsi negatif, terutama anggapan bahwa orang Papua itu kasar dan keras, Bakuh wawancara 29
Oktober 2015 menganggap hal tersebut berkaitan dengan perbedaan peradaban yang ada di Jawa dan Papua. Menurut Bakuh, semakin
semakin maju
peradabannya, maka
akan semakin
sopan masyarakatnya. Selama hidup di asrama, Bakuh menganggap para
penghuni terutama yang senior sudah bisa menjadi warga yang dipandangnya berperadaban layaknya orang Jawa lain. Hanya saja ia
menyayangkan jika masih ada satu-dua penghuni baru yang belum bisa mengikutinya.
Ari wawancara 31 Oktober 2015 menganggap jika perbedaan kebudayaan antara Jawa dan Papua berpengaruh terhadap
persepsi yang berkembang. Para penghuni Asrama Deiyai seringkali melaksanakan kegiatan bersifat kedaerahan semisal upacara bakar
batu dan bakar babi yang diiringi dengan tarian khas Papua. Menurut Ari, warga kampung yang tak paham dengan aktivitas tersebut akan
kaget dan bertanya-tanya. Ari bertempat tinggal tepat di sebelah Asrama Deiyai. Secara
umum ia merasa tak pernah terganggu dengan acara yang diselenggarakan oleh penghuni asrama. Ari wawancara 31 Oktober
2015 tak memiliki rekam jejak hubungan yang buruk dengan para penghuni asrama. Menurut Ari, rata-rata penghuni asrama bersikap
pendiam dan tak se-guyub warga lain. Namun Ari juga bisa memakluminya sebab ia menganggap sikap tersebut adalah bawaan
adat.
Semua responden memberi kesaksian bahwa mereka tak pernah mendapat perlakuan buruk dari para penghuni Asrama Deiyai.
Kecuali pengalaman Bakuh yang pernah berhadapan dengan penghuni asrama yang tak sabaran saat ingin mengurus KTP.
Ya saat meminta surat mereka pernah bilang , “Kamu pak
RT ya? Saya minta ini...”. Saya jawab saya mau kerja, dan mereka kesannya memaksa. Cara memintanya kesannya
memaksa. Padahal saya juga kerja sebab jadi RT itu tidak dapat gaji Bakuh, wawancara 29 Oktober 2015.
Bakuh wawancara
29 Oktober
2015 menganggap
pengalaman itu bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Yang terpenting baginya tak ada konflik antara warga Tegalwaras dengan
penghuni asrama. Pengalaman itupun tak berpengaruh terhadap persepsinya terhadap orang Papua.
b. Melawan Persepsi Negatif sebagai Upaya Berintegrasi
Persepsi negatif yang berkembang seputar orang Papua diterima oleh para penghuni Asrama Deiyai tidak bersifat langsung
atau diucapkan langsung kepada mereka. Persepsi tersebut rata-rata mereka dapatkan melalui perbincangan dengan orang Papua lain
terutama mereka yang menjadi korban stereotip, prasangka, intimidasi, hingga diskriminasi, salah satunya mereka sendiri.
Persepsi negatif yang melekat pada orang Papua dari penuturan penghuni asrama sama dengan yang disebutkan oleh warga
Tegalwaras. Antara lain prasangka bahwa orang Papua itu peminum
minum-minuman keras, pemabuk, suka bikin ributonarkacau lingkungan sekitar, dan bersifat kasar atau keras.
Agus wawancara 16 Oktober 2015 menambahkan jika orang Papua juga dianggap suka bawa perempuan. Mikael wawancara 23
Oktober 2015 menambahkan sifat anarkis pelabelan keliru untuk menyebut orang yang gemar melakukan tindak kekerasan. Markus
wawancara 26 Oktober 2015 menyebutkan jika ada yang berpendapat orang Papua masih makan daging manusia. Moses
wawancara 23 Oktober 2015 menambahkan orang Papua itu tak bertanggung jawab, semisal tak membayar sehabis makan di warung
burjo, tak pernah mandi, atau tak pernah pakai helm saat mengendarai sepeda motor. Perempuan Papua di Yogyakarta dilekatkan citra nakal
dan cepat hamil dan karenanya cepat pulang juga ke Papua. Semua responden asal Papua menolak persepsi-persepsi
negatif tersebut sebab mereka sendiri tak pernah menjadi pelaku. Hampir semua responden juga bisa menjelaskan bahwasanya persepsi
negatif yang berkembang itu hanyalah stereotip. Dalam paradigma psikologi sosial, walaupun stereotip adalah persepsi yang
mengandung sedikit kebenaran a little truth, namun tak adil jika kebenaran tersebut digunakan untuk dijadikan pandangan yang
general atau mencangkup semuanya. Kebenaran tersebut tetap muncul dalam situasi dan kondisi tertentu. Para pelaku hanyalah oknum.
Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena ia berasal
dari kelompok lain Herimanto dan Winarno, 2010: 112. Stereotip menurut Allan G. Johnson 1986 adalah keyakinan seseorang untuk
menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan atau
pengalaman tertentu dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010. Stereotip biasanya berawal dari prasangka: pernyataan yang
hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak teruji sebelumnya. Prasangka yang menghinggapi orang akan membuatnya
tak dapat berfikir logis dan objektif adil, dan segala dinilainya sebagai sesuatu yang negatif Herimanto dan Winarno, 2010.
Proses terjadinya stereotip dijelaskan oleh beberapa responden, antara lain sebagai berikut:
Persepsi itu muncul saat ada satu atau dua orang yang melakukan hal-hal yang kurang baik, lalu pandangan itu
muncul walaupun tak mungkin seluruh warga Papua di Jogja melakukan hal itu Moses Douw, wawancara 23
Oktober 2015.
Pendapat serupa dikemukakan oleh Markus wawancara 26 Oktober 2015 bahwa yang mabuk atau membikin onar di Yogyakarta
hanyalah 1 atau 2 orang Papua, baik yang berasal dari Provinsi Papua maupun Papua Barat. Para pelaku juga berasal dari suku-suku yang
berbeda. Bisa digambarkan, bahwa saat ada satu orang yang melakukan tindakan menyimpang, maka yang kena getahnya semua
orang Papua di Yogyakarta. Atau, saat satu anggota suku tertentu melakukan satu hal menyimpang, semua suku kena getahnya. Untuk
itu menurut Markus sampai hari ini persepsi negatif terhadap orang Papua masih tak jauh-jauh dari label pemabuk, pengacau, suka bikin
onar, bahkan ada yang menilai bahwa orang Papua adalah pemakan daging manusia.
Agus wawancara 16 Oktober 2015 memiliki pandangan yang serupa, bahwa yang memiliki perilaku sesuai stereotip hanyalah
orang-orang tertentu saja. Para pelaku adalah oknum, dan yang jadi pertaruhan adalah nama mahasiswa Papua di Yogyakarta. Agus dan
teman-temannya yang lain juga bisa membedakan mana oknum- oknum yang menjadi pelaku dan mana mahasiswa Papua yang bukan
sebagai pelaku. Mikael memiliki pandangan bahwa situasi yang tidak nyaman
antara masyarakat Yogyakarta dan para pendatang dari Papua serta pembetukan karakter yang berasal dari stereotip negatif sudah
berlangsung lama, yaitu sejak awal kedatangannya ke Yogyakarta.
Karena masyarakat Jogja dan Papua dari awalnya membangun situasi yang kurang baik. Orang Papua sendiri
sudah dibentuk persepsi sebagai peminum. Wataknya dikatakan keras. Akhirnya gak saling konek. Itu semua jadi
alasan untuk bilang orang Papua tukang bikin onar Mikael Kudiai, wawancara 23 Oktober 2015.
Dalam analisis peneliti, belajar dari kondisi bahwa orang Papua memiliki beban stereotip yang lebih dibanding dengan
pendatang dari daerah lain, para penghuni Asrama Deiyai kemudian