Model Multikulturalisme Akomodatif Bercorak Millet

hukum, ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, serta memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan lain sebagainya dikutip dari Azra, 2013. Kultur dominan yang ditunjukkan oleh masyarakat Dusun Tegalwaras adalah ciri khas masyarakat Yogyakarta dengan kultur Jawa-nya yang kuat. Salah satu turunannya adalah norma untuk berhubungan sosial yang berlandaskan unggah-ungguh atau bersopan santun ala orang Jawa. Norma ini diturunkan dan disesuaikan dalam aturan kultural yang disepakati oleh warga Asrama Deiyai dan sering disosialisasikan oleh Agus wawancara 16 Oktober 2015, bahwa saat di berada di sekitar Dusun Tegalwaras dan bertemu dengan warga lain para penghuni asrama mesti bersopan-santun dan melaksanakan unggah-ungguh. Peraturan jam belajar masyarakat yang mengatur kunjungan tamu berakhir pada pukul 22.00 dan larangan membawa tamu lawan jenis untuk menginap yang diterapkan di semua kos, kontrakan, dan asrama di Tegalwaras adalah manifestasi undang-undang, hukum, dan ketentuan yang memiliki sensifitas secara kultural, lebih tepatnya kultur masyarakat Islam sekaligus masyarakat ketimuran. Dalam masyarakat multikultur, peraturan, undang-undang, maupun hukum tak terwujud dari ruang hampa, namun sedikit-banyak selalu diambil dari ideologi mayoritas. Kaum minoritas mesti berkompromi untuk menurutinya jika ingin melancarkan proses integrasi tanpa adanya konflik atau gesekan kultural. Poin penting lain dari model Multikulturalisme Akomodatif adalah kebebasan untuk kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka, serta tak berusaha menantang kultur dominan. Responden-responden Tegalwaras yang terdiri dari pengurus RT dan RW maupun warga biasa tak merasa di atas penghuni Asrama Deiyai. Mereka merasa setara. Mereka pun tak mempermasalahkan keberadaan asrama serta membebaskan beragam kegiatan yang diselenggarakan di dalamnya. Asal tak melanggar konsensus bersama yang berwujud peraturan dusun, maka tak ada masalah. Kegiatan kultural semisal upacara bakar batu, tari-tari tradisional Papua, atau bakar babi, tak pernah dipermasalahkan asal bisa tetap menjaga kondisi tetap kondusif dan tak menganggu warga Dusun Tegalwaras lain. Yang jelas, penyelenggaraan kegiatan kultural tersebut bukan bagian dari sikap menantang kemapanan kultur Jawa yang dominan. Melainkan usaha untuk melestarikan kebudayaan daerah. Sebuah upaya yang sejalan dengan semangat multikulturalisme yaitu perayaan akan diversitas atau keragaman kultural. Dalam teori maupun praktik, norma bersopan-santun dan unggah-ungguh menempatkan interaksi sosial antara warga Dusun Tegalwaras sebagai warga asli dan penghuni Asrama Deiyai sebagai pendatang dalam hubungan yang saling menguntungkan alias bercorak mutualisme. Hubungan yang terjalin dengan penerapan norma tersebut menjadi guyub, cenderung akrab, dan yang jelas menghindarkan diri dari persepsi-persepsi negatif. Interaksi sosial tetap terjalin, walaupun tak seintens atau seintim jika para mahasiswa Papua menghuni kontrakan maupun kos. Hal ini adalah bukti bahwa dusun Tegalwaras tak menerapkan segregasi sosial atau pemisahan kelompok-kelompok masyarakat tanpa ada interaksi sama sekali. Masih ada corak Millet sebab interaksi sosial tetap ada walaupun dalam kadar yang seminimal mungkin. Selain interaksi secara kultural, yaitu saat dimana para penghuni Asrama Deiyai bertemu dan bertegur sapa dengan warga Tegalwaras di kesempatan yang tak direncanakan, ada juga forum- forum terencana dimana wakil dari masing-masing penghuni asrama dan warga asli bertemu. Contohnya mengacu ke penuturan Pariman wawancara 29 Oktober 2015, Bakuh wawancara 29 Oktober 2015, dan responden Tegalwaras lain, bahwa para penghuni asrama selalu diundang dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan RT atau RW. Misalnya, rapat bulanan, acara perayaan ulang tahun Republik Indonesia tiap tanggal 17 Agustus atau yang dikenal dengan 17-an, syawalan, kerja bakti, ronda malam, dan lain sebagainya. Namun karena kesibukan akademik, penghuni Asrama Deiyai tak selalu bisa menghadiri undangan acara-acara tersebut. Jika bisa hadir pun tak melibatkan semua penghuni, namun perwakilan saja terutama dari pihak pengurus asrama. Pihak warga Tegalwaras bisa memaklumi kondisi tersebut dan tak mempermasalahkannya. Prinsip yang dibangun adalah selama frekuensi interaksi yang minim tersebut tak menimbulkan masalah- masalah yang signifikan, maka kondisi yang ada tak perlu juga dipermasalahkan. Meskipun ada juga harapan dari masing-masing pihak untuk bisa memiliki waktu dan kesempatan lebih untuk bersosialisasi dan membangun integrasi sosial yang lebih erat lagi.

c. Tiga Tingkat Kesetaraan ala Dusun Tegalwaras

Bikhu Parekh di dalam buku Rethinking Multicuturalism 2008 pernah mengungkapkan teori tentang tiga tingkat kesetaraan. Teori tersebut bisa dipakai untuk menilai di tingkat mana warga Dusun Tegalwaras bisa didudukkan. Pada level yang paling dasar, kesetaraan melibatkan melibatkan penghargaan dan hak. Di tingkat ini masyarakat Tegalwaras sudah melakukannya. Bentuk penghargaan yang diberikan pada tiap pendatang terutama untuk penghuni asrama atas keberadaan mereka di dusun yang tak pernah dipermasalahkan, malah dihargai. Hak yang serupa dengan persoalan akomodasi untuk hidup dan pemenuhan kebutuhan lainnya, terutama yang mendasar makan, tempat tinggal, pakaian, juga sudah bisa dipenuhi dengan baik dan layak. Di tingkatan kedua, kesetaraan melibatkan kesempatan, kepercayaan, dan harga diri. Penilaian yang adil dari responden yang dekat dengan para penghuni Asrama Deiyai seperti Yohanes, Bakuh, dan Pariman adalah bentuk menghargai mereka yang tinggal di asrama sebagai seorang subjek, bukan digeneralisasi dengan memakai kacamata stereotip maupun prasangka negatif. Mereka menaruh kepercayaan kepada para penghuni asrama untuk bisa menjadi warga dusun yang baik, yang selama ini sudah terbukti. Beragam kesempatan bagi penghuni asrama untuk berpartisipasi dalam berbagai acara yang diselenggarakan di dusun juga sudah dilaksanakan, walaupun kesibukan sebagai mahasiswa dan beberapa diantaranya ada yang menjadi aktivis atau anggota organisasi intra danatau ekstra kampus membuat para penghuni asrama belum bisa memenuhi undangan acara dengan konsisten. Sedangkan untuk tingkat yang ketiga atau yang paling tinggi adalah kesetaraan yang melibatkan kekuasaan, kesejahteraan, dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk pengembangan manusia. Di tingkat ini, di Tegalwaras belum sepenuhnya bisa terpenuhi. Untuk kekuasaan misal, para pengurus RT dan RW di Dusun Tegalwaras masih 100 diisi oleh warga asli Tegalwaras. Tak heran jika peraturan yang berlaku adalah peraturan yang memasukkan nilai-nilai filosofi Jawa, terutama nilai tentang unggah-ungguh. Soal kesejahteraan hampir sama dengan poin hak di level pertama. Sedangkan untuk kemampuan dasar untuk pengembangan manusia, kontribusi warga Dusun Tegalwaras hampir tak ada. Para penghuni asrama mengembangkan potensi diri mereka secara mandiri baik lewat forum diskusi rutin di asrama maupun yang utama lewat studi mereka di kampus masing-masing.

d. Membangun Toleransi dalam Perbedaan Jawa-Papua

Warga Dusun Tegalwaras, yang diwakili oleh para responden, menyatakan bahwa mereka menerima siapa saja yang menjadi pendatang di wilayah mereka. Dusun Tegalwaras terbuka untuk siapa saja. Setiap kali responden asli Tegalwaras menyatakan komitmen tersebut, mereka selalu menambahkan satu syarat yang tak bisa ditawar-tawar: asal para pendatang itu bisa menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di Dusun Tegalwaras. Dari pernyataan- pernyataan responden Dusun Tegalwaras atas syarat tersebut, bisa disimpulkan bahwa mereka sangat memposisikan diri sebagai tuan rumah. Sedangkan dari pernyataan-pernyataan responden asal Papua, mereka memposisikan sebagai tamu. Masing-masing pihak menyadari dan menjalankan posisinya dengan baik selama ini. Hampir seluruh responden, baik warga Dusun Tegalwaras maupun penghuni Asrama Deiyai, tak memahami wacana multikulturalisme secara teoritis, namun secara praktikal. Pemahaman yang berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari di masyarakat Tegalwaras yang multikultur, dan lebih luas lagi sebagai bagian dari masyarakat Yogyakarta dan Indonesia. Para responden dari Dusun Tegalwaras bisa mengidentifikasi perbedaan antara etnis Jawa diri mereka sendiri dengan etnis Papua penghuni Asrama Deiyai tak sebatas perbedaan warna kulit atau ciri-ciri fisik saja. Mereka memahami bahwa terdapat perbedaan- perbedaan lain yang berkaitan dengan kebudayaan, terutama untuk soal sikap dan gaya berkomunikasi. Sebagai orang Jawa, maka standar penilaian yang dipakai untuk perbandingan adalah sopan santun ala orang Jawa. Sopan santunnya beda. Orang Jawa kan selalu sapa atau permisi dan salam kalau ketemu atau bertamu. Yang anak asrama sini sih selalu salam seperti itu, cuma yang tamu- tamu mereka itu lho, belum semuanya seperti itu. Etnis, ciri-ciri fisik kan jelas beda Pariman Trisno S, wawancara 29 Oktober 2015. Sri Priyono wawancara 31 Oktober 2015 memandang bahwa orang Jawa lebih terbiasa untuk memakai bahasa Indonesia dibandingkan orang Papua. Hal ini kadang menimbulkan kendala saat Sri berkomunikasi dengan mahasiswa asal Papua. Ia mesti lebih berhati-hati dalam memahami kata-kata sekaligus maksud yang dikandungnya atau yang ingin disampaikan lawan bicara. Antara apa yang dibicarakan dan maknanya kadang berbeda. Pasalnya ada kata- kata dari lawan bicara masih mencampur-adukkan antara Bahasa