Intoleransi Tantangan-tantangan Multikulturalisme Yogyakarta

kenyataannya sikap intoleran mereka lah yang melanggar hukum dan membuat resah para korban serta masyarakat umum. Keberadaan ormas-ormas intoleran di kawasan yang dikenal ramah dan nyaman membuat Yogyakarta menjadi kawasan yang paradoksal. Sebagai salah satu korbannya, responden-responden Asrama Deiyai menyayangkan keberadaan ormas-ormas intoleran. Moses wawancara 23 Oktober 2015 menganggap keberadaan mereka tak relevan sebab sudah ada pihak keamanan seperti polisi dan tentara, sehingga baiknya ormas macam Paksi Keraton dibubarkan saja. Mikael wawancara 23 Oktober 2015 ingin menempuh jalan yang lebih moderat. Harapannya adalah diselenggarakannya suatu forum yang mempertemukan kedua belah pihak agar bisa sama-sama memahami keinginan masing-masing serta bisa ada titik temu. Konflik di masa depan pun diharapkan bisa dihindarkan. Tak hanya bagi para responden Asrama Deiyai, responden Dusun Tegalwaras juga menyayangkan jika di Yogyakarta masih ada ormas-ormas yang intoleran. Beberapa responden ada yang menyarankan pembubaran ormas-ormas tersebut dengan dasar analisis keagamaan yang bernas. Oiya, kayak FPI itu. Kalau mereka kan istilahnya terlalu mementingkan kepentingan mereka sendiri dengan kedok agama Islam. Barangkali terlalu cintanya ke agama Islam mereka jadi tak mau tahu dengan agama dan budaya lain. Padahal agama Islam sendiri masuk ke Indonesia kan melalui wali dan dengan damai. Karena agamanya kan disesuaikan dengan budaya Indonesia. Tidak bisa disamakan dengan di Arab. Indonesia kan bukan Arab. Saya menyayangkan sekali. … Harusnya ormas-ormas kayak gitu ndak ada. Mereka bukannya mengharumkan nama agama Islam, tetapi malah mencemarkannya. Wong agama Islam aja cinta damai. Misal kayak kelompok Pemuda Ka’bah, mereka juga sama. Mereka berkedok agama Islam tapi kalau ada kampanye malah mereka menggangu warga sekitar. Kampanye dari organisasi politik apapun juga sama. Simpatisannya malah meresahkan warga. Motor dibikin suaranya keras. Maghrib-maghrib waktu shalat malah war-wer. Mengganggu. Hilangkan saja Ari Harsono, wawancara 31 Oktober 2015. Yohanes wawancara 31 Oktober 2015 memandang bahwa walaupun para anggota FPI adalah orang Yogyakarta, namun mereka tak menunjukkan semangat toleransi ala orang Yogyakarta. Yohanes menilai jika agama sudah dipolitisir maka agama tersebut tak akan menjadi agama yang baik. Politisasi agama pula yang menurutnya memunculkan konflik antar agama. Yohanes percaya jika seseorang menjalankan ritual agama dengan baik tanpa dihubung-hubungkan dengan politik praktis, ia yakin orang tersebut juga akan menjadi pribadi yang baik. Responden lain menuntut ketegasan dari pihak-pihak yang berwajib untuk menyadarkan atau menghukum ormas yang bertindak intoleran sebab Indonesia adalah negara hukum. Tolong jangan sampai ada di kampung sini. Pihak berwenang dan yang berwajib harus menindaknya agar turut serta membuat Indonesia yang aman dan damai. Disadarkan itu yang fanatik-fanatik. Jika bertindak kekerasan ya dihukum saja Bakuh Wijiutomo, wawancara 29 Oktober 2015. Ormas seperti itu kan sukanya memaksakan kehendak. Dan sikap seperti itu jelas melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku. Saya juga tidak setuju kalau ada elemen masyarakat yang sukanya ngusir-ngusir orang dari Jogja. Indonesia kan negara hukum. Kalau ada yang membuat pelanggaran ya harus diusut sesuai prosedur. Ada yang ngatur sendiri hukum itu, bukan masyarakat Yohanes Sugiyo, wawancara 31 Oktober 2015.

c. Pelanggaran HAM

Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights yang ditetapkan sejak tahun 1948 menyatakan bahwa manusia dari segala latar belakang identitas budaya dilindungi lewat 16 hak, antara lain: hak hidup, kemerdekaan dan keamanan badan, diakui kepribadiannya menurut hukum, memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum, mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, masuk dan keluar wilayah suatu negara, hak atas kepemilikan benda, bebas mengutarakan pikiran dan perasaan, memeluk agama, rapat dan berkumpul, mendapat jaminan sosial, mendapat pekerjaan, berdagang, mendapatkan pendidikan, turut serta dalam gerakan kebudayaan, dan hak menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan Sunarso, 2006. Ada beberapa hak yang dilanggar atas kasus kekerasan yang dialami mahasiswa Papua di Yogyakarta. Mereka adalah kawan- kawan dekat dari para responden Asrama Deiyai. Kasus-kasus kekerasannya beragam, mulai dari pemukulan, pengeroyokan, penikaman, hingga pembunuhan. Kasus-kasus tersebut tak hanya melanggar hak hidup korbannya, namun juga menjadikan hak atas kemerdekaan dan keamanan badan mahasiswa Papua lain terganggu, termasuk para penghuni Asrama Deiyai. Agus wawancara 16 Oktober 2015 mengungkapkan bahwa rata-rata tiap tahun ada 1-2 kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh mahasiswa Papua di Yogyakarta, mulai dari korban pemukulan, penikaman, hingga kasus pembunuhan. Para korban, menurut Agus, rata-rata adalah mahasiswa-mahasiswa baru. Mahasiswa lama malah masih relatif lebih aman. Ditengarai, hal ini disebabkan oleh pengetahuan tentang cara menjaga diri yang masih belum baik oleh mahasiwa-mahasiswa baru tersebut. Salah satu korban pembunuhan yang cukup tragis adalah kakak dari Markus wawancara 26 Oktober 2015. Saat itu kakak Markus dan seorang temannya sedang minum kopi dan jalan-jalan di Malioboro. Lalu, tiba-tiba saja ada yang mendatangi dan membacok keduanya. Teman kakak Markus selamat, sedangkan kakak Markus sendiri meninggal dunia. Ia mendapat pukulan di bagian otak kecilnya. Saat dibawa ke rumah sakit, Subuhnya ia sudah meninggal. Markus mendengar kabar tersebut saat sedang berada di kapal di tengah perjalanannya menuju Yogyakarta. Ia tak bisa melakukan apa- apa kecuali berdoa. Teman-teman Markus lah termasuk Agus yang mengurus mayat kakaknya. Markus dan teman-temannya merasa ada kejanggalan dalam kasus tersebut. Mayatnya tak bisa diotopsi. Menurut Agus wawancara 16 Oktober 2015, pihak kepolisian tak membolehkannya. Akhirnya, mayat hanya dimasukkan ke peti dan dikirim pulang ke Papua. Agus, Markus, dan teman-teman Papua lain sampai sekarang masih kecewa dengan pihak kepolisian karena tak hanya melarang otopsi, namun juga sampai sekarang tak ada titik terang siapa sebenarnya pelaku pembacokan kakak Markus. Kasus tersebut belum dituntaskan hingga penelitian ini dilaksanakan. Untuk menuntut kejelasan kasus ini, kawan-kawan mahasiswa Papua sampai pernah membuat aksi damai. Bagi Markus wawancara 26 Oktober 2015 terselesainya kasus tersebut penting sebab tak hanya menyangkut keadilan hukum saja, namun juga berhubungan dengan keamanan dirinya dan mahasiswa Papua lain di Yogyakarta. Penuntasan kasus tersebut adalah pembuktian kinerja kepolisian dalam mewujudkan keamanan seluruh elemen warga yang tinggal di Yogyakarta. Saya sempat berfikir, kalau kasus seperti itu saja tak dituntaskan, bagaimana nasib kasus serupa yang akan terjadi lagi. Dan bagaimana jika kasus itu terjadi pada saya. Saya jadi khawatir juga jika jalan malam-malam sendiri Markus Eko Y, wawancara 26 Oktober 2015. 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pokok-pokok temuan yang menjadi kesimpulan dalam penelitian tentang praktik multikulturalisme di Yogyakarta ini menyangkut 2 poin gambaran umum tentang proses integrasi dan akomodasi yang terdapat di Asrama Deiyai dan Dusun Tegalwaras, serta 1 poin tentang tantangan masa depan praktik multikulturalisme di Yogyakarta. Berikut penjabarannya. Pertama , pemahaman wacana multikulturalisme oleh para responden mahasiswa Papua di Asrama Deiyai maupun para responden warga asli Dusun Tegalwaras RT 05 RW 29, Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, secara umum sudah cukup baik. Pemahaman tersebut ditunjukkan bukan dalam teori, namun dalam praktik sehari-hari responden saat berinteraksi dengan warga lain yang berbeda secara etnis, suku, ras, agama, serta kelompok sosial. Praktik tersebut didasarkan pada nilai-nilai esensial multikulturalisme yaitu nilai tentang kesetaraankesederajatan, keadilan, dan nilai tentang interaksi sosial yang berkualitas baik. Masyarakat Dusun Tegalwaras sudah mampu menjalankan proses integrasi maupun akomodasi dengan baik bagi para mahasiswa Papua di Asrama Deiyai. Selain menyediakan ruang untuk hidup serta pemenuhan hak- hak mendasar bagi para penghuni asrama, Dusun Tegalwaras juga