Pelanggaran HAM Tantangan-tantangan Multikulturalisme Yogyakarta

107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pokok-pokok temuan yang menjadi kesimpulan dalam penelitian tentang praktik multikulturalisme di Yogyakarta ini menyangkut 2 poin gambaran umum tentang proses integrasi dan akomodasi yang terdapat di Asrama Deiyai dan Dusun Tegalwaras, serta 1 poin tentang tantangan masa depan praktik multikulturalisme di Yogyakarta. Berikut penjabarannya. Pertama , pemahaman wacana multikulturalisme oleh para responden mahasiswa Papua di Asrama Deiyai maupun para responden warga asli Dusun Tegalwaras RT 05 RW 29, Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, secara umum sudah cukup baik. Pemahaman tersebut ditunjukkan bukan dalam teori, namun dalam praktik sehari-hari responden saat berinteraksi dengan warga lain yang berbeda secara etnis, suku, ras, agama, serta kelompok sosial. Praktik tersebut didasarkan pada nilai-nilai esensial multikulturalisme yaitu nilai tentang kesetaraankesederajatan, keadilan, dan nilai tentang interaksi sosial yang berkualitas baik. Masyarakat Dusun Tegalwaras sudah mampu menjalankan proses integrasi maupun akomodasi dengan baik bagi para mahasiswa Papua di Asrama Deiyai. Selain menyediakan ruang untuk hidup serta pemenuhan hak- hak mendasar bagi para penghuni asrama, Dusun Tegalwaras juga memberikan kesempatan bagi para penghuni asrama untuk menjalankan aktivitas kultural khas Papua. Syaratnya adalah dengan tetap menjaga ketertiban agar pelaksanaan aktivitas kultural tersebut tidak mengganggu warga Dusun Tegalwaras lain. Sesuai dengan realitas sosial yang terbangun di Asrama Deiyai dan Dusun Tegalwaras, bisa disimpulkan bahwa model multikulturalisme yang paling representatif untuk menggambarkan tempat penelitian tersebut adalah model Multikulturalisme Akomodatif bercorak Millet. Kedua , secara umum proses integrasi mahasiswa Papua di Asrama Deiyai di Dusun Tegalwaras dan terutama kepada warganya termasuk berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh 1 sikap baik para mahasiswa Papua selama tinggal di Asrama Deiyai di Dusun Tegalwaras —dimana penilaian serupa dilegitimasi oleh warga asli Dusun Tegalwaras, dan 2 sikap objektif para warga asli Dusun Tegalwaras yang bisa membedakan penilaian antara mahasiswa Papua di Asrama Deiyai dengan orang Papua lain di luar dusun. Warga asli Tegalwaras tak terpengaruh oleh segala macam persepsi negatif tentang orang Papua yang berkembang di Yogyakarta. Persepsi-persepsi negatif tersebut antara lain disebutkan bahwa orang Papua suka bikin onar atau ribut, bersikap keras dan brutal alias tak kenal sopan santun, tukang mabuk atau peminum minuman kerasberalkohol, tukang main perempuan, dan lain sebagainya. Salah satu tujuan dari sikap baik yang ditunjukkan oleh para penghuni Asrama Deiyai adalah untuk mematahkan beragam persepsi negatif tersebut, dan selama ini usaha tersebut berhasil. Integrasi bisa berjalan baik, keberadaan Asrama Deyai beserta para penghuni diakui, dan perbedaan- perbedaan yang menyangkut orang Papua dan orang Jawa juga tak pernah dipermasalahkan oleh warga Dusun Tegalwaras lain. Masing-masing pihak sudah bisa saling menghormati dan saling bertoleransi dalam lingkup interaksi sosial, yang walaupun tak terlalu intim, namun cukup untuk membangun kawasan Dusun Tegalwaras menjadi kondusif dan nyaman untuk ditempati. Ketiga , tantangan praktik multikulturalisme di Yogyakarta berkaitan dengan pengalaman para mahasiswa Papua di Asrama Deiyai sebelum tinggal di Dusun Tegalwaras. Antara lain masih berjalannya praktik diskriminasi, intoleransi, dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh elemen masyarakat Yogyakarta kepada para mahasiswa pendatang asal Papua.

B. Saran

Kekurangan penelitian ini berkaitan dengan sempitnya ruang lingkup penelitian. Model dan corak praktik multikulturalisme di Asrama Deiyai di Dusun Tegalwaras hanya lah satu contoh kasus. Yogyakarta memiliki jangkauan wilayah yang luas dan masing-masing kawasan memiliki model dan corak praktik multikulturalisme yang khas atau unik. Keunikan model dan corak tersebut disebabkan oleh tak bisa digeneralisasikannya pandangan dan perilaku mahasiswa atau pendatang asal Papua yang tinggal di Yogyakarta. Keragaman pandangan dan perilaku juga berkaitan dengan dimana pendatang asal Papua tersebut tinggal. Pandangan dan perilaku hidup mahasiswa Papua yang tinggal di kos atau kontrakan akan berbeda dengan mereka yang tinggal di asrama. Tak ada jaminan juga jika pandangan dan perilaku mahasiswa di Asrama Deiyai mewakili pandangan dan perilaku penghuni asrama mahasiswa Papua lain di Yogyakarta. Persoalan menjadi lebih kompleks jika melihat pada fakta bahwa para pendatang asal Papua tak hanya berstatus sebagai mahasiswa, namun juga berstatus sebagai peserta didik dari pendidikan atau lembaga formal di segala tingkatan Sekolah Dasar-Perguruan Tinggi, memiliki keragaman umur dan latar belakang yang beragam, dan ada juga elemen warga Papua yang tinggal di Yogyakarta sebagai pekerja, baik sendirian maupun sudah berkeluarga. Tak dipungkiri pula bahwa wacana multikulturalisme secara luas berkaitan dengan pendatang dari beragam daerah, tak hanya dari Papua saja. Konsekuensi dari penelitian kualitatif memang mesti mendalam, bukan meluas. Maka saran penulis atas kekurangan-kekurangan yang ada di penelitian ini, baik yang sudah disebutkan maupun belum, baiknya bisa menjadi bahasan dalam penelitian-penelitian para akademisi lain yang tertarik pada wacana multikulturalisme. Baik di tempat yang sama dengan perspektif baru sebagai kritik dan perbandingan maupun tempat lain di Yogyakarta. Baik penelitian sosial dengan metodologi kualitatif maupun kuantitatif. Baik dalam perspektif sosiologis maupun perspektif ilmu sosial yang lain.